Kamis, 03 Desember 2009
(500) DAYS OF SUMMER
Kamis, 03 Desember 2009
This is a story of boy meets girl. The boy, Tom Hansen of Margate, New Jersey, grew up believing that he'd never truly be happy until the day he met the one. This belief stemmed from early exposure to sad British pop music and a total mis-reading of the movie 'The Graduate'. The girl, Summer Finn of Shinnecock, Michigan, did not share this belief. Since the disintegration of her parent's marriage she'd only love two things. The first was her long dark hair. The second was how easily she could cut it off and not feel a thing. Tom meets Summer on January 8th. He knows almost immediately she is who he has been searching for. This is a story of boy meets girl, but you should know upfront, this is not a love story.
Rentetan kata yang dinarasikan oleh Richard McGonagle diatas rasanya sudah cukup mewakili apa yang ingin disampaikan oleh Marc Webb lewat (500) Days of Summer. Seperti film cinta kebanyakan, kisah diawali dengan si pencari cinta bertemu dengan sosok yang dia yakini bakal menjadi pendamping sepanjang hidup dan bahagia selamanya. Namun, kisah klise seperti ini tidak bakal kita temui lewat kisah yang ditulis duo Scott Neustadter dan Michael H. Weber, karena “Just because she's likes the same bizzaro crap you do doesn't mean she's your soul mate.”
Seperti telah ditegaskan oleh narrator, this is not a love story. Meski sepanjang durasi kita disuguhi kemesraan dua insan beda jenis kelamin, namun (500) Days of Summer rasanya bukanlah film cinta, namun lebih pada penerimaan akan realita. Cinta itu realita, bukan khayalan. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, kita disuguhi rangkaian kisah nan manis, gambar-gambar dengan pewarnaan yang manis, musik manis serta aksi manis dari Joseph Gordon-Levitt dan Zooey Deschanel. Eksekusi cerita tidak bisa dibilang happy ending, namun kurang tepat juga kalau dibilang sad ending. Hanya MANIS (hmmm…lama-lama bisa kena diabetes).
(500) Days of Summer mampu tampil beda, selain endingnya yang “memberontak” pakem rom com, juga karena gaya bertutur yang tidak linear dan mengingatkan pada Memento atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Film ini mungkin akan terasa biasa saja kalau dituturkan secara linear. Dengan pendekatan yang dipilih, sang kreator berhasil mengaduk-aduk emosi penonton sedemikian rupa.
Karakterisasinya juga digarap dengan apik terutama karakter Summer Finn. Cewek yang satu ini bisa terlihat sangat iblis, namun terkadang juga menampakkan sisi iblis nan kejam tanpa ampun, hingga mampu membuat Tom Hansen termewek-mewek. Namun, penonton rasanya tidak sampai dibuat benci terhadap sosoknya. Toh, sejak awal dia sudah mewanti-wanti Tom akan pemikirannya. Penonton mungkin dibuat geram dengan pilihan yang dia ambil. Tapi, bukankah ketika cowok mempunyai hak untuk memilih, cewek mempunyai hak untuk menolak dipilih?
Pemilihan Zooey Deschanel sebagai Summer Finn sungguh sebuah keputusan cerdas. Dengan mata lebar, serta kepribadian yang lepas dan percaya diri, cowok mana yang tidak melumer. Joseph Gordon-Levitt dengan wajah yang terlihat begitu muda dan naif terasa pas mempresentasikan sosok Tom yang seakan satu kakinya belum berpijak pada realita. Apalagi jenis pekerjaan yang dia jalani menempatkan dia pada posisi tersebut. Karakter Tom sedikit mengingatkan pada karakter yang diperankan Patrick Fugit di Almost Famous.
Terbiasa menggarap klip musik, ternyata mampu mengasah Marc Webb dalam mengolah dinamika cerita yang ditopang balutan musik-musik asyik. Dijamin deh kita tidak bakal dibuat bosan. Terdapat beberapa adegan yang cukup meninggalkan kesan, seperti adegan menari/menyanyi di taman ala Enchanted, split screen yang menggambarkan harapan versus kenyataan dan adegan ketika Summer dan Tom bermain rumah-rumahan. Sekedar informasi, Marc Webb ini pernah menggarap klip dari musisi top macam Green Day (Waiting dan 21 Guns), Maroon 5 (Harder to Breathe), 3 Doors Down (Here Without You), Daniel Powter (Bad Day), Fergie (London Bridge) dan masih banyak lagi.
Background arsitek yang dilekatkan pada Tom juga bukan gaya-gayaan. Sang pencari cinta itu layaknya tukang gambar. Apa yang dia desain belum tentu terealisasi dalam sebuah karya nyata. Kalupun ditolak bukan karena buruk, mungkin belum waktunya saja. Cinta berlalu bukan berarti akhir dunia, akan datang cinta lain menghampiri kita, layaknya sebuah musim datang. Toh, yang penting CINTA itu ada dalam diri kita. 4/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
suka banget sama filim ini,endingnya beda sama romcom picisan kebanyakan,kedua tokohnya emang pas banget meranin peranannya kaya yg gilasinema bilang...
the ending so nice with their own way...
love it....:0
setelah musim panas berlalu, datanglah si musim gugur. Keren banget penggambaran bahwa hidup itu terus berlanjut terlepas dari manusianya mau atau tidak untuk terus menjalaninya.
bingung... sbetulnya setelah ketemu autumn, nanti selanjutnya tom bakal putus cinta dan lanjut lagi dengan winter? begitu selanjutnya? hehe
keren. dalam hidup ini memang tidak semuanya bisa dijelaskan dengan logika. ending yang begini paling asyik. abis nonton masih bertanya2 dalam otak maupun rasa. halah... ;)
Life goes on deh pokoknya.
^_^;......hidup mang g ketebak.....nice movie :D
setuju banget sama gilasinema. gaya cerita yang nonlinear bikin film ini jadi beda sama film-film romcom yang lain.
dari wawancara Joseph Gordon-Levitt yang gw tonton di YouTube, dia sendiri bilang kalo film ini adalah gambaran yang sangat subyektif karna diceritakan dari satu sisi aja (sisi Tom). Kesubyektifan itulah yang bikin film ini terasa nyata, jujur, dan mengena di hati semua orang.
Gw pribadi suka banget sama endingnya. Waktu nonton, di saat gw udah sedih dan desperate di akhir-akhir film, tiba-tiba satu kalimat di scene terakhir bikin smuanya ga terasa sedih lagi dan sukses membuat gw senyum-senyum sendiri. Kalimat itu adalah, "Nice to meet you. I'm Autumn."
Sayang banget film ini ga dapet nominasi Oscar. Padahal seharusnya bisa menang di kategori Original Screenplay ama Best Actor in a Leading Role.
Posting Komentar