Kamis, 23 Juli 2009

MEREKA YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS

Kamis, 23 Juli 2009 9

Sekitar 3 bulan yang lalu Gilasinema berkesempatan membantu sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) yang mengadakan acara liburan ke sebuah obyek wisata. Kebetulan, meski hanya sekitar 6 bulan, Gilasinema pernah “main-main” di SLB tersebut antara tahun 2005 - 2006. Yang membuat Gilasinema takjub, meski sudah sekitar 3 tahun sudah tidak bertemu, para murid masih mengingat Gilasinema dan “mencoba” berperilaku baik di depan Gilasinema.
Setibanya di obyek wisata, Gilasinema mengamati banyak yang menatap heran, bahkan dengan pandangan jijik kepada mereka yang mungkin berperilaku “ganjil”. Keberadaan mereka yang berkebutuhan khusus memang masih dipandang sebagai sebuah penyakit. Gilasinema mendapati seorang ibu muda yang melarang anaknya mendekati mereka, karena takut tertular. Pandangan ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus.


Di dunia sinema pun, masih sangat sedikit yang mengangkat kisah mereka. Padahal, film bisa menjadi sarana yang kuat untuk mengedukasi dan juga membuka pemahaman masyarakat. Gilasinema mencoba “menginventarisir” beberapa film yang mengangkat karakter berkebutuhan khusus, dalam hal ini lebih kepada mereka yang secara “mental” bermasalah, tapi bukan yang sakit jiwa.
Ternyata, film-film yang mengangkat kisah mereka yang berkebutuhan khusus kebanyakan mempunyai kualitas yang tidak main-main. Rain Man, Forrest Gump, I am Sam, Sling Blade dan What's Eating Gilbert Grape merupakan beberapa judul yang diakui kualitasnya, bahkan oleh juri Oscar. Para actor/aktris juga terlihat antusias dengan karakter berkebutuhan khusus, karena dianggap mampu mengeksploitasi kemampuan acting mereka.


RAIN MAN

Karakter Raymond Babbit (Dustin Hoffman) digambarkan sebagai penderita autistic savant. Pada tahun 1887 Dr J. Langdon Down dalam seminarnya memperkenalkan apa yang disebut “Idiot Savant” adalah para penderita autisme yang memiliki kemampuan yang tidak terkalahkan dari para jenius, bahkan mungkin melebihi mereka. Sosok Raymond sebenarnya diambil dari kasus yang menimpa Kim Peek, seorang autistic savant yang bisa menghafalkan lebih dari 12.000 buku!
Meski dianugerahi kemampuan luar biasa, mereka sangat kesulitan dengan hal-hal yang berbau kata sifat yang abstrak, seperti keindahan, marah, sedih dan sebagainya. Mereka umumnya juga kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru. Lihat saja reaksi Raymond ketika diajak menginap di sebuah motel oleh Charlie Babbit (Tom Cruise).
Melalui sosok Raymond, Barry Levinson mengajak kita untuk lebih peduli dengan mereka yang berkebutuhan khusus, dan juga menyadari bahwa setiap manusia selain mempunyai kelebihan juga mempunyai kekurangan. Menghargai kelebihan dan kekurangan orang lain bisa menciptakan sebuah hubungan yang harmonis antar manusia. Film ini juga seakan menyindir para manusia (Charlie) yang dibutakan oleh materi hingga melunturkan rasa kemanusiaan yang dia miliki.

FORREST GUMP

Dengan IQ dibawah rata-rata, karakter seperti Forrest Gump bisa disebut dengan berbagai istilah, mulai dari idiot, imbecile, moron, retarded hingga yang terkesan lebih sopan “borderline intellectual disability”. Kalau dalam bahasa Indonesia bolehlah disebut dengan anak dengan kesulitan belajar.
Namun lihatlah perjalanan hidup Forrest Gump yang luar biasa mengagumkan, meski dengan IQ cekak. Seperti halnya dalam Rain Man, film Forrest Gump mengajak kita untuk tidak memandang rendah mereka yang dipandang mempunyai kemampuan terbatas, karena kalau ditangani dengan tepat, mereka masih bisa berprestasi dengan baik.
Dalam Forrest Gump, ditunjukkan betapa kasih sayang seorang ibu yang menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anaknya mempunyai pengaruh luar biasa dan menjadi modal dalam menjalani kehidupan. Sosok seperti Forrest Gump sebenarnya lebih mudah “dibentuk” ketimbang mereka yang mempunyai pola pikir lebih canggih. Perhatikan betapa seringnya Forrest Gump mendahului kalimatnya dengan “Mama bilang….”
Bukan sesuatu yang mudah dan dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi tentu saja. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Dukungan dan tuntunan yang diberikan akan bisa menjadi tolok ukur tingkat kemanusiaan keluarga dan lingkungan tersebut, selain tingkat pengetahuan akan mereka yang berkebutuhan khusus.

I AM SAM

Mereka yang berkebutuhan khusus seringkali dianggap sebagai kelas dua yang tidak mempunyai hak dan kewajiban layaknya mereka yang dianggap “normal”. Sam (Sean Penn) menunjukkan bahwa pandangan ini bisa saja salah.
Meski dilabeli dengan istilah mentally challenged/mentally-handicapped/mentally disabled/ mentally impaired atau “keterbelakangan mental”, Sam menunjukkan bahwa dia layaknya manusia lain yang juga mempunyai cinta yang ingin dia salurkan dan dia bagi, dalam hal ini kepada anaknya, Lucy (Dakota Fanning).
Berbeda dengan penderita autis, mereka yang dianggap terbelakang secara mental masih bisa mengekspresikan apa yang dia rasakan dan apa yang dia inginkan. Mereka bisa menjalani kehidupan layaknya manusia “normal” dengan bimbingan dan pantauan secara intensif. Namanya juga berkebutuhan khusus.
Intinya lewat I am Sam, mereka ingin diberikan kesempatan dan diperlakukan sama layaknya manusia normal. Mengapa? Karena mereka juga mempunyai apa yang dinamakan CINTA.

SLING BLADE

Apa yang menimpa Karl Childers (Billy Bob Thornton) setali tiga kutang dengan yang Sam idap di I am Sam, hanya saja nasib Karl jauh lebih kelam dan suram. Peristiwa di masa silam membuat banyak orang mencap Karl sebagai penyakit masyarakat. Namun, jangan dulu menghakimi Karl, karena dia melakukan aksinya tersebut bukannya alasan.
Karl yang dianggap sampah masyarakat ternyata bisa menjadi sosok ayah bagi seorang bocah, Frank (Lucas Black). Kontras dengan karakter Doyle (Dwight Yoakam) yang nyata-nyata lebih pantas disebut sebagai sampah masyarakat karena aksi kekerasan yang dia lakukan, mengingat secara mental dia tidaklah terbelakang.
Sling Blade yang ditulis ulang naskahnya dan diarahkan dengan bagus oleh Billy Bob Thornton (aktingnya juga lebih bagus ketimbang Sean Penn sebagai Sam) menunjukkan kepada penonton betapa masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan pribadi warganya. Pelabelan seringkali menempatkan seseorang pada situasi yang menguntungkan sekaligus merugikan.
Masyarakat tidak hanya menjadi tempat terjadinya kejahatan, tetapi juga berperan menciptakan sebuah kejahatan, begitu yang Gilasinema pernah baca (lupa sumbernya hehehe…). Mungkin hal ini bisa dihindarkan kalau setiap warganya mempunyai toleransi dan tenggang rasa demi terciptanya lingkungan social yang harmonis, terutama bagi mereka yang berkebutuhan khusus.

WHAT’S EATING GILBERT GRAPE

Tidak mudah memang ketika kita dihadapkan pada kenyataan ada salah satu anggota keluarga kita yang berkebutuhan khusus. Itulah yang dialami oleh Keluarga Grape. Arnie (Leonardo DiCaprio dengan penampilan terbaiknya sampai sekarang) yang meski terbelakang secara mental, mempunyai posisi penting dalam keluarganya.
Keterbelakangan mental yang dia alami disatu sisi bisa mempersatukan keluarga Grape, namun disisi lain bisa menghancurkan keluarga tersebut. Karenanya dibutuhkan partisipasi semua anggota keluarga dalam merawat Arnie. Tidak mudah ketika kita dihadapkan akan godaan-godaan di luar rumah yang seakan lebih menjanjikan.
What's Eating Gilbert Grape garapan Lasse Hallström menginspirasi kita untuk lebih menghargai setiap hal yang dilimpahkan kepada keluarga kita. Ketika merasa hidup kita berada di titik terendah, bisa jadi justru sebaliknya, karena ketika kita berhasil melaluinya, akan terlihat kualitas kita sebenarnya. Sekali lagi CINTA memgang peran penting dalam menjalani kehidupan. (duh….)

BEN X

Segala reaksi yang muncul terhadap mereka yang berkebutuhan khusus, bisa jadi disebabkan minimnya pengetahuan tentang keberadaan mereka, sehingga sulit untuk menumbuhkan empati dan simpati. Ben X secara jeli menyoroti hal ini.
Dibandingkan kasus lain, autis memang lebih sulit dikenali dan dipahami, wajar kiranya reaksi yang muncul akibat perilaku yang tidak lazim mereka seringkali tidak pada semestinya. Dalam hal ini ,media memegang peran vital dalam penyebaran pengetahuan, meski toleransi tehadap sesuatu yang dianggap tidak lazim juga memegang peran penting. Hindari prasangka buruk dan sikap menghakimi.

Sebenarnya masih ada beberapa judul yang mengangkat kisah mereka yang berkebutuhan khusus, seperti Chocolate yang mengisahkan gadis autis yang mahir bela diri, Koi Mil Gaya yang cenderung lebih ringan serta filmnya Josh Harnett , Mozart and the Whale.
Ada yang bisa bantu merekomendasikan judul yang lain?



Kembali kepada kegiatan liburan bersama anak-anak SLB yang Gilasinema ikuti. Ada satu anak yang membuat Gilasinema terkesan, sekaligus prihatin. Joshua namanya. Salah satu anak yang menderita autis ringan. Anaknya begitu loveable dan tidak kenal lelah, hingga mampu mencerahkan suasana namun terselip rasa sedih karena anak tersebut sepertinya susah merasakan marah dan sakit. Untungnya dia mempunyai ibu yang sangat perhatian.
Pada kegiatan yang sama, Gilasinema mendapati sebuah kejadian yang inspiratif. Saat itu Gilasinema mendampingi Dani yang menderita celebral palsy (semacam kelainan fisik) mencari teh hangat. Pemilik warung melayani dengan baik, bahkan berniat memberikan diskon. Namun ternyata niat baik tersebut ditolak mentah-mantah oleh Dani, yang tidak mau dikasihani. Gilasinema kagum dan salut akan semangat Dani tersebut, dan juga merasa malu, karena seringkali bertingkah manja ketika di rumah.


Simon Birch berpendapat bahwa setiap manusia pasti mempunyai peran di dunia ini. Begitupun dengan mereka yang berkebutuhan khusus. Kehadiran mereka menurut Gilasinema dimaksudkan untuk mengerem “kebuasan” manusia hingga menjadi pribadi yang lebih baik, bukan untuk merasa lebih baik lho. Bergaul dengan mereka seperti me re-charge (meski sejenak) rasa kemanusiaan kita.
Dalam pemahaman Gilasinema, pribadi unggul terlihat ketika berinteraksi dengan orang yang dianggap “kurang’, bukannya dengan orang yang dianggap “lebih”. Mereka yang berkebutuhan khusus, bisa memancing sisi baik kita untuk lebih “keluar” , karena dibutuhkan kesabaran, toleransi dan cinta serta kasih sayang dalam menghadapi mereka. Kita rangkul mereka, jangan diacuhkan atau bahkan disingkirkan. Pokoknya tebarkan CINTA deh hehehe….

NB : bukanya menakut-nakuti, beberapa penelitian membuktikan kalau anak yang lahir di lingkungan dengan tingkat polusi yang tinggi (selain pola makan yang tidak sehat) kemungkinannya lebih besar menjadi anak autis atau IQ yang kurang. Jadi ada baiknya memulai gerakan yang meminimalisir polusi udara. Terapkan pola hidup sehat (yang ini susah nih hehehe…)

DUPLICITY


Claire : If I told you I loved you, would it make any difference?
Ray : If you told me or if I believed you?


Dalam hubungan percintaan, kepercayaan merupakan salah satu pondasi demi terciptanya sebuah hubungan yang sehat dan (insya allah) langgeng. Kepercayaan yang dibangun dengan mengutamakan kejujuran. Namun apa jadinya bila dua orang yang hidup di dunia penuh intrik dan selalu berprasangka jatuh cinta?
Ray (Clive Owen) dan Claire (Julia Roberts) terlibat hubungan layaknya Tom dan Jerry. Keduanya dipertemukan ketika dalam sebuah tugas demi Negara masing-masing. Sebuah pertemuan yang meninggalkan kesan kurang baik dan berpengaruh terhadap hubungan keduanya kedepannya. Meski saling terpikat satu sama lain, gara-gara kesan pertama tadi, hubungan yang seharusnya bisa mulus berjalan, malah penuh aksi saling telikung. Makin rumit ketika keduanya bekerja pada dua perusahaan besar yang saling berseteru.
Sama dengan hubungan Ray dan Claire, Duplicity sebenarnya mempunyai inti cerita yang lumayan simple. Namun gara-gara otak Tony Gilroy yang sepertinya terlalu banyak dipenuhi kisah penuh intrik, Duplicity menjadi sebuah tontonan yang membutuhkan konsentrasi tinggi kalau tidak ingin membuat bengong. Apalagi dengan gaya bertutur yang maju mundur (mengingatkan pada gaya bertutur The Story of Us nya Bruce Willis dan Michelle Pfieffer), lumayan membuat bingung penonton yang tidak intens memandang layar.


Meski berbalut dunia intelijen, Duplicity sebenarnya menyoroti hubungan pria-wanita. Sedikit mengingatkan kisah-kisah Harlequin. Ada pertemuan yang berlanjut ke ranjang, terus putus-nyambung-ranjang-putus-nyambung dst. Masuknya beberapa kepentingan ternyata membuat hubungan dua insan beda jenis kelamin menjadi rumit dan kompleks. Tidak mudah memang menjalin sebuah hubungan, bahkan kadang melelahkan. Akal dan pikiran yang dianugerahkan kepada manusia bukannya menjadi solusi, malah menjadikan manusia terlalu banyak pertimbangan, hingga apa yang dirasakan oleh hati, terselip entah dimana. Ujung-ujungnya, jadi pusing sendiri.
Tony Gilroy lewat Duplicity makin mengukuhkan posisinya sebagai sineas yang fasih mengangkat cerita penuh intrik yang penuh kejutan. Lihat saja Devil’s Advocate, Michael Clayton hingga State of Play. Trilogi Bourne sengaja tidak disinggung, mengingat bukan Tony Gilroy yang menulis materi aslinya. Namun masalahnya, di tengah situasi yang makin tidak mudah, tontonan sejenis Duplicity bisa kesulitan menggoda penonton, apalagi mereka yang berpikiran, “kalau bisa mudah, kenapa diperumit”.


Namun untungnya Duplicity menghadirkan kejutan demi kejutan yang memikat dan membuat penonton menggelengkan kepala tidak percaya, karena selain cerdas juga lucu. Dialog-dilaognya juga segar menghibur. Simak adegan di dalam van yang memunculkan dialog “Because you’re the biggest swinging dick I’ve ever seen”. Musik olahan James Newton Howard juga lumayan “memperingan” film ini. Paling suka dengan closing song, Being Bad yang dibawakan Bitter Sweet (susah nyari lagu ini).
Julia Roberts yang lama tidak nongol ternyata tetap mampu memperlihatkan performa terbaiknya, yang untungnya bisa (agak) diimbangi oleh Clive Owen. Cantik, cerdas dan seksi memang bisa dipresentasikan dengan baik oleh Julia Roberts. Selain kejutan di akhir film, opening title film ini menurut Gilasinema sangat mengesankan dan lucu. Terima kasih kepada sinematografer Robert Elswit yang menyajikan pembukaan yang berkelas. Salut juga buat Tom Wilkinson dan Paul Giamatti yang meluangkan waktu berlatih gerakan di studio tari selama 4 hari! Adegan ini diakui Tony Gilroy sebagai adegan tersulit, karena butuh persiapan matang, yang otomatis membutuhkan lebih banyak waktu. 3,5/5


Sedikit saran : jangan menerima sesuatu (pekerjaan) yang tidak kita ketahui apa sebenarnya yang kita terima kalau tidak ingin malu pada akhirnya.
Dick! Dick!Dick!Dick!Dick!Dick!Dick!Dick! Dick! Dick!Dick!Dick!Dick!Dick!Dick!Dick!

BEN X


“Someone always has to die first before anything happen”

Ben (Greg Timmermans) seorang pemuda yang dinilai oleh orang-orang disekitarnya berperilaku tidak lazim. Karena ketidaklaziman inilah, Ben seringkali mendapatkan perlakuan kekerasan, bahkan pelecehan dari teman-temannya di sekolah. Merasa tidak aman di dunia nyata, Ben mencari pelarian ke dunia maya, dimana dia menciptakan karakter (avatar) yang penuh gagah berani dan penuh percaya diri, Archlord. Di dunia maya ini, dia berteman dengan karakter lain, Scarlite, yang menjadi satu-satunya “sosok” yang bisa membuatnya merasa aman dan hidup.
Hingga suatu hari, Ben mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari teman-temannya. Dia di telanjangi di tengah kelas, dan ketika ada temannya yang berusaha membantu Ben dengan merekam aksi tersebut untuk dijadikan bukti, yang terjadi justru semakin memperburuk kondisi kejiwaan dari Ben. Bahkan di dunia maya pun, tidak lagi menjadi tempat yang aman, ketika video memalukan tersebut disebarkan.
Setelah kejadian tersebut, Ben makin tak terkendali dan susah ditebak pikiran dan perilakunya, yang membuat ibunya (Marijke Pinoy) kesulitan menghadapi Ben. Namun berkat “kopi daratnya” dengan Scarlite, perlahan Ben mulai bangkit dan menyusun aksi pembalasan yang mencengangkan semua pihak (termasuk penonton). Kalimat diatas menjadi pedoman untuk menghadirkan akhir kisah dengan cerdas.


Sutradara dan penulis cerita, Nic Balthazar, dengan gaya penceritaan yang unik dan penyajian gambar yang atraktif, berhasil mengulik apa yang menimpa pada seorang penderita Asperger Syndrome, suatu bentuk autism, dimana penderitanya sangat kesulitan merespon lingkungan sekitarnya. Nic menggunakan filter yang memberi efek kabur gambar sekitar Ben untuk memperkuat cerita, serta ditampilkannya avatar di sela-sela kisah Ben. Penderita Asperger Syndrome memang kebanyakan tertarik dengan game. Dalam Ben X, apa yang dialami Ben didunia nyata diparalelkan dengan nasib Archold di dunia maya.
Ben X sendiri diambil dari frase "(ik) ben niks" yang berarti "(I) am nothing". Penderita Asperger Syndrome yang kesulitan bersosialisasi cenderung asyik dengan dunianya sendiri, hingga kesannya hidup terpisah dengan manusia lain (invisible). Hal ini tampaknya belum bisa dipahami oleh sebagian orang karena minimnya pengetahuan tentang Asperger Syndrome, sehingga seringkali mereka (khusunya para muda) menyikapi para penderita Asperger Syndrome dengan perlakuan kurang baik.
Kenyataan ini tampaknya memunculkan keprihatinan pada Nic Balthazar. Ben X selain menjadi tontonan yang menarik, juga mampu membuka mata penonton (muda) untuk lebih memahami sebuah perilaku yang berbeda. Seseorang yang “berbeda” tetaplah seorang manusia yang patut diperlakukan layaknya manusia. Nic Balthazar seakan ingin menyadarkan penonton (muda) bahwa mereka yang tidak bisa menerima sebuah perbedaan, tak ubahnya penderita Asperger Syndrome, karena kesulitan mereka untuk merespon sesuatu yang tidak lazim.


Kebanyakan film-film yang mengangkat mereka yang berkebutuhan khusus, meninggalkan kesan dan pesan mendalam bagi Gilasinema. Forrest Gump, I am Sam, Sling Blade dan Rain Man bisa dijadikan contoh. Ben X dengan gayanya sendiri mampu tampil menghibur, menuntun dan memikat dengan tampilan visual (opening title-nya bagus) dan beberapa twist. Film semacam ini rasanya masih perlu banyak dibuat, terutama untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat. Karena, sekali lagi, minimnya pengetahuan bisa mendorong perlakuan yang tidak semestinya, sehingga seringkali harus ada tragedy sebelum muncul kesadaran.3,75/5

Kamis, 16 Juli 2009

TOKYO SONATA

Kamis, 16 Juli 2009 7

American Beauty merupakan salah satu film terbaik yang pernah Gilasinema, karena keberhasilannya memotret sisi kelam kemunafikan (keluarga) Amerika. Bagi yang menyukai film tersebut, rasanya sangat sayang untuk melewatkan Tokyo Sonata. Seperti halnya American Beauty, Tokyo Sonata memotret suramnya sebuah keluarga kelas menengah di tengah hiruk pikuknya kota Tokyo. Film ini berhasil meraih gelar Film Terbaik di ajang Festival Film Asia 2009.
Kita diperkenalkan kepada sebuah keluarga, dimana Ryuhei (Teruyuki Kagawa) berperan sebagai kepala rumah tangga. Suatu hari dia dipecat dari pekerjaannya dan entah karena malu atau tidak ingin membuat keluarganya putus harapan, Ryuhei enggan menceritakan hal tersebut kepada keluarganya, terutama istrinya yang selalu berusaha menjadi istri dan ibu yang baik, Megumi (Kyoko Koizumi). Sambil mencari pekerjaan yang sesuai keinginannya, dia banyak menghabiskan waktunya di taman, bahkan ikut antri makan gratis bersama kaum dhuafa.
Ditempat tersebut dia bertemu dengan teman lamanya yang juga mengalami hal serupa. Ryuhei bahkan sempat dilibatkan dalam sebuah sandiwara oleh temannya tersebut untuk menyelamatkan muka di hadapan keluarganya. Hingga suatu hari, temannya tersebut nekat bunuh diri yang juga menyebabkan istrinya ikut meninggal dunia. Kejadian ini lumayan menyentak Ryuhei, hingga mau menerima pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di sebuah mal.
Ryuhei mempunyai anak, yang pertama sudah beranjak dewasa, Takashi (Yu Koyanagi yang akan membuat para cewek terkesan), yang memutuskan untuk mendaftar sebagai tentara Amerika Serikat yang sangat dibenci oleh ayahnya, setelah kurang begitu berhasil dengan pekerjaannya. Meski ditentang keras oleh ayahnya, Takashi nekat mendaftar dengan resiko terbunuh di medan perang karena dikirim ke Irak.


Kenji (Kai Inowaki), si bungsu, mendapatkan masalah di sekolah setelah berkonfrontasi dengan gurunya, hingga dia tidak merasa nyaman di sekolah. Suatu hari dia memutuskan ikut les piano. Meski dipuji oleh guru lesnya berkat bakat alam yang dia miliki, keinginan Takashi tersebut ditentang keras oleh Ryuhei yang menganggap bermain piano sebagai kegiatan yang kurang maskulin. Takashi tetap mengikuti les piano dengan sembunyi-sembunyi, dan tentu saja akhirnya terbongkar yang membuat sang ayah murka, hingga melakukan kekerasan.
Di sisi lain, Megumi mencoba menjalankan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga sebaik mungkin, meski seringkali tidak mendapatkan balasan setimpal dari suami dan anak-anaknya. Dia mencoba meredam keinginannya dan cenderung memilih diam melihat apa yang terjadi, termasuk kondisi sebenarnya yang menimpa suaminya. Namun ketika melihat Takashi mendapatkan perlakuan keras dari suaminya, dia mencoba berontak. Ketika seorang perampok memasuki rumahnya, bukannya merasa takut, dia malah memanfaatkan momen tersebut untuk meluapkan emosi dan mewujudkjan mimpinya meski sejenak.
Oleh sutradara Kiyoshi Kurosawa (tidak ada kaitannya dengan Akira Kurosawa) penonton diajak untuk menguliti kebobrokan yang menyelimuti keluarga Ryuhei. Kebobrokan yang mungkin disebabkan oleh jaman dan juga ketidakmampuan Ryuhei dalam beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Film ini terasa sangat actual dengan kondisi dunia sekarang ini. Meski mengambil setting Tokyo, rasanya kisah keluarga Ryuhei bisa terjadi di belahan Negara manapun.
Bagaimana globalisasi berdampak pada sebuah keluarga ditunjukkan dengan betapa mudahnya tenaga asing menggusur tenaga kerja dalam negeri, apalagi mereka yang tidak mempunyai skill khusus. Bagaimana perang Irak mempunyai dampak yang luas, hingga sebuah keluarga yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya pun bisa terkena imbasnya.
Tokyo Sonata juga seakan menjadi sebuah kritik terhadap para orang tua yang terlalu konvensional.


Bagaimana seorang ayah yang memposisikan dirinya sebagai pemegang kendali segala hal dengan alasan demi kebaikan anak dan keluarganya. Tanpa disadarai, kegagalan yang menimpa Ryuhei sebenarnya buah dari pola asuh yang kurang tepat, yang sayangnya dia terapkan kepada anak-anaknya. Film ini seakan ingin menegaskan, orang tua (ayah) idealnya tidak menghambat potensi yang ada pada anak, justru kalau bisa mendukungnya. Toh, kedepannya pasti akan ada buah yang bisa dipetik. Apapun hasilnya.
Selain berbekal cerita yang nyinyir, Kiyoshi Kurosawa juga berhasil menyajikan beberapa adegan yang kuat dan mengesankan. Perhatikan gambar ketika Ryuhei harus membersihkan mal yang terasa tragis dan ironis, atau ketika Ryuhei meluapkan emosinya dengan api menyala-nyala di dekatnya. Adegan ketika Takashi mempertunjukkan aksinya terasa sangat menggetarkan. Sayang, film seakan kehilangan arah sejenak ketika rumah Ryuhei dimasuki perampok, meski pada bagian ini Kiyoshi Kurosawa berhasil menyajikan humor yang teramat pahit. Untungnya segera terjawab dengan ending yang mantap.
Meski terkesan suram dan nyinyir seperti halnya American Beauty, Tokyo Sonata pada akhirnya jauh lebih optimis dan melegakan. Adegan ketika seberkas cahaya menerpa wajah Megumi menyiratkan optimisme akan kehidupan yang lebih baik. Adegan ini juga merupakan adegan terfavorit Gilasinema sepanjang film berlangsung. Film juga makin mantap dengan aksi para pemain yang penuh penjiwaan. Wajib tonton. 4,25/5

FILM DAN INSTITUSI RELIGI


Senin (13/7) kemarin Gilasinema mendapati berita, Vatikan lewat surat kabarnya L'Osservatore Romano memberikan dukungan positif terhadap film Harry Potter and the Half-Blood Prince, yang dinilai “made the age-old debate over good vs. evil crystal clear.”
Dalam tahun ini, tidak cuma sekali Vatikan memberi dukungan sesaat sebelum sebuah film dirilis. Angels and Demons sebelumnya juga sempat mendapatkan sertifikat “aman” , bandingkan dengan reaksi keras yang muncul ketika The DaVinci Code dirilis.


Terus terang Gilasinema takjub dengan berita dukungan Vatikan atas seri ke-6 Harry Potter. Entah karena ada misi khusus atau mungkin karena “pendekatan” yang dilakukan oleh pihak produser, hingga Vatikan sampai mengeluarkan penilaian tersebut, mengingat banyak masalah lain yang lebih penting untuk dikomentari. Tidak bisa dipungkiri, hal tersebut sangat menguntungkan produser film dimaksud.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa film dianggap sebagai sebuah media yang sangat penting dalam penyebaran nilai-nilai yang bisa dianggap positif oleh beberapa kalangan meski juga bisa disikapi sebaliknya. Saking pentingnya, seringkali institusi religi mengeluarkan statement terhadap sebuah film. Harry Potter and the Half-Blood Prince mungkin dianggap sebagai sebuah karya penting mengingat dipastikan akan banyak para usia muda menyaksikan film tersebut.


Ingat dengan Ketika Cinta Bertasbih yang memasang promo berisi dukungan para ulama? Tahun sebelumnya, produser Ayat-Ayat Cinta menggandeng beberapa ulama untuk menambah kesan positif jualan mereka. Langkah ini terbukti ampuh dengan panjangnya antrian penonton kedua film tersebut. Siapa yang diuntungkan? Pak Produser yang senyumnya makin lebaaarrr….


Penilaian yang dikeluarkan sebuah institusi religi tidak semuanya positif, bahkan tak jarang bukannya pujian justru malah kecaman yang didapatkan. Dampaknya? Film bisa dilarang diputar atau malah makin menarik minat tonton karena penasaran dengan isinya. The Passion of the Christ dan The DaVinci Code bisa dijadikan contoh. Kecaman dari petinggi Yahudi tehadap The Passion of the Christ, bukannya membuat penonton menjauh justru malah menjadikan film tersebut sebagai film dengan rating R paling menguntungkan sepanjang sejarah perfilman Holly. The DaVinci Code juga berhasil mengeruk ratusan juta meski beberapa Negara melarang untukj memutarnya.
Di Indonesia, kasus serupa menimpa Perempuan Berkalung Surban. Film ini menuai kecaman dari beberapa ulama karena dianggap memberikan gambaran yang kurang tepat akan perempuan dalam Islam dan cenderung provokatif. Bahkan mereka yang terlibat di balik pembuatan film ini dianggap sebagai antek liberalisme (Amerika). Kecaman ini tampaknya malah menarik minat penonton. Terbukti angka 800.000 penonton bisa diraih, meski menurut produsernya belum balik modal (o ya?!).


Tanggapan dari institusi religi nyatanya juga bisa berdampak negative bagi “kehidupan” sebuah film. Ingat kasus yang menimpa Buruan Cium Gue yang sempat tersendat perilisannya karena statement yang dikeluarkan oleh Aa Gym. Tidak mewakili institusi religi mungkin, tapi dukungan terhadapnya tetaplah ada. Penilaian yang diberikan oleh institusi religi juga membuat film-film seperti True Lies, The Siege serta Prince of Egypt haram diputar di Indonesia. Kasus seperti ini tidak banyak terjadi di belahan Negara lain. Cek saja “List of banned films” di Wikipedia.
Positif ataupun negative tanggapan dari sebuah institusi religi, intinya tetap sama yakni film memegang peranan yang penting sebagai media dalam penyampaian sebuah pesan (meski heran Bruno dan Saw lumayan lancar meluncur). Ketika institusi religi sudah menyadari betapa besarnya kekuatan sebuah film, pemerintah tampaknya belum sadar-sadar juga. Hal ini terlihat dari minimnya dukungan bagi perfilman nasional, padahal film bisa dipergunakan sebagai media promosi dan juga sebagai benteng budaya. Gimana nih pak SBY, katanya akan mendorong industri kreatif?

Rabu, 15 Juli 2009

IT’S NOT AS YOU MIGHT THING SO, BABY (TO NIE TAK JAK MYSLISZ, KOTKU)

Rabu, 15 Juli 2009 2

Hotel tampaknya bisa menjadi tempat menarik untuk mengeksploitasi cerita seru dan lucu. Dalam film ini, hotel layaknya sebuah labirin yang membuat pusing para tokoh yang ada, dan menimbulkan suasana gaduh tentu saja. Bagi yang suka plot cerita semacam Lock Stock and Two Smoking Barrels, RocknRolla atau Gara-Gara Bola, It’s Not As You Might Thing So, Baby yang merupakan produksi Polandia ini bisa dijadikan alternative tontonan yang menghibur meski wajah pemerannya asing di mata, serta nama yang membuat lidah melintir ketika mengucapkannya.
Dr. Filip Morawski (Jan Frycz) seorang neurosurgeon handal nan kondang ijin kepada istrinya, Morawska (Katarzyna Figura) untuk menghadiri pertemuan para ahli bedah syaraf di sebuah hotel di Warsawa yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan karirnya. Suami istri digambarkan memiliki hubungan yang tidak lagi selaras. Ternyata dr. Filip mengajak selingkuhannya yang seorang perawat, Dominika (Malgorzata Buczkowska).
Dominika sebenarnya akan segera meninggalkan hotel, ketika muncul Professor (Ryszard Barycz) yang merupakan sosk ahli bedah syaraf paling berpengaruh. Malang bagi dr. Filip, karena setelahnya muncul asistennya yang polos, Jakub Bazyl (Jacek Borusinski). Dengan iming-iming jabatan yang lebih baik, dr. Filip memaksa Jakub untuk bekerja sama dengan mengakui Dominika sebagai Jane, tunangan Jakub.


Tanpa diduga Morawska datang ke hotel yang sama setelah sebelumnya mendapatkan panggilan darurat dari pacar gelapnya, Bogus (Tomasz Kot) setelah sukses merampok bank. Sialnya, mobil yang ditumpangi mereka dikenali sebagai mobil dr. Filip hingga datanglah Polisi (Michal Piela) yang berusaha mengusut perampokan tersebut.
Kedatangan Morawska diketahui oleh Jakub yang berusaha menginformasikan hal tersebut kepada dr. Filip namun selalu gagal. Masalah makin pelik karena Jane (Malgorzata Kocik) memutuskan menyusul Jakub ke hotel bersama ayahnya yang seorang agen rahasia (Jerzy Schejbal). Saingan dr. Filip, Zmijewski (Michal Bajor) makin memperkeruh suasana dengan aksinya menjegal karir dr. Filip.
Dengan banyaknya kepentingan yang ada, masing-masing pihak bersenjatakan kebohongan yang menuntut setiap karakter saling bertukar identitas. Setiap aksi dibungkus kebohongan yang menimbulkan kebohongan baru. Kesalahpahaman demi kesalahpahaman tercipta dari suasana ini yang membuat cerita makin seru dan rumit, yang seakan tidak memberi ruang bagi penonton untuk bernapas. Penonton dibuat gemas untuk mengetok kepala tokoh-tokoh yang ada karena kebebalan mereka dalam berkomunikasi. Rasa-rasanya ada yang salah dengan syaraf mereka.


Film ini hampir seluruhnya mengambil setting di dalam hotel. Di tengah film, sutradara Slawomir Krynski hanya memberi sekelumit adegan di luar hotel yang lumayan memberi ruang bagi penonton untuk rileks sejenak. Karena bermain di setting yang terbatas, kita seolah menyaksikan sebuah komdei situasi di TV. Dan memang, It’s Not As You Might Thing So, Baby sedikit mengingatkan pada komedi di TV seperti Srimulat ataupun OB.
Namun, untungnya naskah olahan Vito Rocco lumayan lincah, terlalu lincah malah, hingga film berjalan cepat dan tidak membosankan. Justru lucu, apalagi ketika ada salah satu tokoh yang meratap, karena harus selalu disuruh bersembunyi di kamar mandi atau lemari pakaian. Kelucuan benar-benar tercipta dari sebuah situasi yang “genting.” Yang membuat film ini makin menarik, kita tidak bisa dengan mudah menebak nasib para tokohnya di akhir film, karena, seperti kalimat yang sering diucapkan dalam film ini, “It’s Not As You Might Thing So, Baby”. 3,25/5

21 TAHUN KINE KLUB FISIP UNS


21 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 14 Juli 1988, telah “lahir” sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mewadahi para mahasiswa FISIP UNS khususnya Jurusan Komunikasi yang mencintai film. Tujuan dilahirkannya UKM ini adalah untuk meningkatkan apresiasi film para mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya (idealis banget nih hehehe…). Nama UKM tersebut adalah Kine Klub Fisip UNS atau biasa disingkat KKFU.
KKFU ini menjadi wadah yang teramat penting dalam kehidupan Gilasinema. Sampai dengan SMA, terus terang hobi nonton Gilasinema sangat ditentang oleh orang tua. Buang-buang uang kata mereka, masih mending kalo uangnya buat jajan. Begitu pertama kali diperkenalkan dengan KKFU, ibarat ada seberkas cahaya yang menerangi sebuah jalan yang selama ini seakan tertutup baying-bayang kegelapan.
Tidak mudah untuk KKFU karena harus melewati beberapa tahap. Pertama, harus menjadi mahasiswa FISIP UNS, jadi harus lolos UMPTN terlebih dahulu. Tahap kedua ada seleksi yang sering disebut dengan screening. Disini para calon anggota disaring berdasarkan minat film, pengetahuan film dan juga kepribadian. KKFU sebenarnya dikhususkan bagi mahasiswa Jurusan Komunikasi karena sesuai dengan disiplin ilmu yang didapatkan. Tiap tahunnya, mungkin hanya sekitar 2 – 3 anak diluar jurusan Komunikasi (Administrasi Negara dan Sosiologi) yang diberi jatah.
Karena hasrat yang tak tertahankan untuk menjadi anggota KKFU, Gilasinema pada saat itu gencar melakukan pendekatan terhadap “petinggi” KKFU pada saat itu. Apalagi Gilasinema bukan mahasiswa Komunikasi, tetapi Sosiologi (banyak yang bilang Gilasinema salah ambil jurusan). Tekad Gilasinema pada waktu itu : Pokoknya harus keterima! Untung akhirnya keterima juga meski 2 tahun pertama kurang begitu aktif karena waktu terbagi dengan kegiatan di Teater Sopo. Baru menginjak di tahun ketiga, Gilasinema benar-benar aktif di KKFU setelah mundur dari Teater SOPO.

KKFU ADALAH TEMPAT BELAJAR


Kebanyakan kegiatan KKFU (dulu) lebih kepada menonton film terus membedah film tersebut dari beberapa segi. Mulai dari cerita, pemain hingga segi teknis (cahaya, musik, make up, kostum dan lain sebagainya). Tidak lupa kita juga membahasnya dari segi isu social, budaya, politik dll. Kegiatan apresiasi film ini bisa dilaksanakan satu minggu sekali atau dua minggu sekali. Film yang dibahas bisa macam-macam genre, dan juga dari berbagai belahan dunia. Saking mendarah dagingnya kegiatan ini, saat melihat bokep bareng-bareng pun jadinya malah rame karena terlalu banyak komentar yang muncul.
Selain apresiasi rutin, KKFU juga melaksanakan kegiatan Apresiasi Plus. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun, dan biasanya akhir pecan dengan menginap di kampus atau di salah satu rumah anggota, bahkan sampai menyewa villa di tempat wisata Tawangmangu. Di Apresiasi Plus ini, selama satu hari satu malem, para anggota “digempur” dengan berbagai hal, mulai dari sejarah film dunia, sejarah film nasional, Behind the scene dan berbagai ilmu lainnya yang terkait dengan sinema.
Disela-sela materi yang membuat banyak peserta teler (dan lari untuk berasyik masyuk bersama pasangan), diputar 2 – 3 film untuk selanjutnya dibedah (meski kebanyakan sudah banyak yang terkapar). Pada salah satu Apresiasi Plus yang Gilasinema ikuti, untuk mengusir kantuk, putar musik keras-keras terus nge-dance bareng-bareng (begini nih kalau para makhluk hedon berkumpul).
Selama di KKFU, Gilasinema berkesempatan memimpin Divisi Apresiasi selama dua periode.

KKFU ADALAH TEMPAT BERKARYA


Kegiatan KKFU tidak hanya berkisar pada bedah film, bedah film dan bedah film. Untuk meningkatkan skill para anggotanya diadakan kegiatan Latihan Dasar (Latsar). Disini, para anggota diberi bekal seputar produksi yang melibatkan kamera. Pengenalan alat, SOP serta membuat musical show dan One Minute Talk (OMT) menjadi menu dalam kegiatan ini.
KKFU juga menyelenggarakan Sepekan Kreatifitas Anak Kine Klub (SEKAKK). Dalam SEKAKK ini, anggota KKFU yang telah mendapatkan Latsar dibagi menjadi beberapa tim untuk kemudian masing-masing membuat film pendek. Meski nama kegiatan menggunakan kata “sepekan” namun kegiatan ini bisa berjalan lebih dari sebulan. Sepekan disini merujuk pada pelaksanaan produksi, mulai dari syuting sampai editing. Pelaksanaan pra produksi diberi waktu panjang untuk penggalian ide, pematangan cerita hingga hunting lokasi dan pemain.
Gilasinema berkesempatan mengikuti dua kali SEKAKK. Pertama hanya sebatas penulis cerita, pemain dan pembantu umum di film IN THE END. Pada keterlibatan yang kedua, menggarap film pendek berjudul TOGEL OH TOGELl. Disini Gilasinema bertindak sebagai penulis cerita (karena pernah berprofesi sebagai penjual Togel), sutradara dan Bantu-bantu ngedit (maksudnya menemani yang ngedit). Meski secara teknis jauh dari memuaskan, namun dari segi cerita sangat puas (ya iyalah, karya sendiri gitu…)
Dua kegiatan ini (Latsar dan SEKAKK) menjadi modal bagus buat anggota KKFU, terutama mereka yang jurusan Komunikasi, karena dilatih terlibat dalam sebuah produksi yang menuntut team work yang solid, hingga bisa menyesuaikan dengan cepat ketika harus magang atau memasuki dunia kerja.

KKFU ADALAH TEMPAT PENGGEMBLENGAN


Dalam setahun, minimal dua kali KKFU mengadakan pemutaran film. Pemutaran Kecil biasanya menyasar penonton di seputar kampus, sedangkan Pemutaran Besar sasarannya lebih luas lagi. Temanya bisa macam-macam, mulai dari Ngabuburit with Movie, Scarry Movie sampai yang terakhir kemarin, Pesta Film Solo 2009.
Dalam pemutaran film ini, para anggota KKFU belajar untuk mengorganisasi sebuah acara. Mencari sponsor, melobi nara sumber serta memilih film yang tepat menjadi tantangan tersendiri. Tidak heran, dalam event ini banyak muncul gesekan, dan mulai kelihatan mana yang bisa diajak kerja sama dan mana yang malas-malasan. Kegiatan ini juga bagus untuk saling mengenal lebih dalam antar anggota, meski dengan resiko konflik dan….cinta lokasi!
Salah satu event besar yang berhasil diselenggarakan oleh KKFU adalah waktu mengorganisasi road show film GIE di kota Solo. Sayang Gilasinema tidak terlibat dalam kegiatan ini. Katanya sih, Nicholas Saputra, Mira Lesmana dan Riri Reza sangat kooperatif.

KKFU ADALAH SEBUAH KELUARGA


KKFU menjadi bagian yang sangat penting dalam pembentukan Glasinema. Kenapa? Karena Gilasinema berkecimpung didalamnya kurang lebih selama sepertiga usia KKFU. Tujuh tahun bukanlah waktu yang pendek. Banyak yang didapatkan di KKFU, salah satunya adalah hubungan persaudaraan yang terjalin menyenangkan, meski kadang destruktif. Persaudaraan yang menciptakan sebuah keluarga baru yang dipenuhi manusia-manusia aneka rupa watak dan kepribadian. Sangat berwarna dan memperkaya, dan tidak mengenal angkatan lama maupun angkatan baru. Melebur (meski tidak semuanya bisa melebur) dan belajar menghargai perbedaan
Tidak terhitung berapa banyak waktu yang dihabiskan bersama, dan tak terhitung aneka polah yang dilakukan bersama. Mulai dari nonton bareng, nonton bokep bareng (jadi ingat pas heboh Bandung Lautan Asmara), main kartu seharian, kontes karaoke semaleman, nge-dance bareng semaleman (lengkap dengan goyang India) hingga nginep bareng di secretariat KKFU (yang sekarang dilarang oleh pihak Kampus) atau menginap di rumah salah satu anggota. Bahkan ada yang sempat tinggal di sekre KKFU.
Yang namanya keluarga, tentu tidak lengkap tanpa gesekan-gesekan yang membuat suasana memanas. Dan terus terang Gilasinema menikmati tahap ini, karena yakin bahwa setiap gesekan pasti akan memunculkan sebuah keseimbangan baru.

KKFU BUKAN TEMPAT TERBAIK MENEMUKAN CINTA :P


Itulah yang sering dialami anggota KKFU. Kemana-mana bersama (tidur bareng tanpa risih yang membuat beberapa pihak merasa heran), dengan aneka jenis kelamin, debar-debar asmara berhasil menyerang beberapa anggota KKFU. Kebanyakan sih memang tidak sampai ke jenjang pernikahan, tapi untungnya persaudaraan masih diutamakan.
Gilasinema sih cenderung ogah menjalin hubungan lebih dari persaudaraan dengan anggota KKFU yang lain. Lebih asyik sodaraan, ya nggak? Meski tidak dipungkiri, ada beberapa yang menarik hati (ups…). Gilasinema yakin, banyak temen lain yang merasakan hal yang sama, namun ditahan biar tidak merusak persaudaraan yang telah terjalin.
Mungkin gara-gara ini, banyak KKFU yang jomblo dan tidak laku-laku hehehe….(sorry guys…)


Para anggota KKFU seangkatan Gilasinema, kini telah memencar ke segala arah. Meski tidak semua, banyak diantara mereka yang berkecimpung di dunia media (cetak, elektronik atau apalah). Untungnya dengan adanya internet, komunikasi tetap jalan. Dan sesekali datang kesempatan berkumpul. Menyenangkan….Entah nantinya ketika semua sudah berumah tangga.

Di usianya yang ke – 21, semoga KKFU tidak berhenti mencetak manusia-manusia kreatif, dan semoga tetap ada sepanjang waktu, serta makin jaya. Jangan lupa untuk tetap selalu seru dan RUSUH, karena usia 21, kalau dalam film sudah masuk rating dewasa hehehe….Terima kasih banyak atas buaaanyak hal yang diberikan dalam hidup Gilasinema. I LOVE YOU!!!

Minggu, 12 Juli 2009

SUNSHINE CLEANING

Minggu, 12 Juli 2009 2

“Life's a messy business”

Kesuksesan tidak terduga film Little Miss Sunshine tampaknya membuat produsernya ingin mengulang prestasi yang sama dengan menghadirkan Sunshine Cleaning. Ada dua hal mencolok yang menuntun penonton ke arah kesimpulan tadi, yakni penggunaan judul “Sunshine” dan hadirnya kembali si kakek eksentrik, Alan Arkin.
Karena tuntutan ekonomi, Rose (Amy Adams) memaksa adiknya, Norah (Emily Blunt) untuk membantu menjalankan usaha barunya, yakni membersihkan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Pada saat yang sama, kebetulan Norah juga tidak punya pekerjaan. Melalui rangkaian gambar di awal durasi film. sutradara Christine Jeffs memperkenalkan kakak adik tersebut layaknya bumi dan langit.
Sebagai seorang orang tua tunggal, Rose digambarkan seorang pekerja keras. Meski dengan berat hati, Rose membersihkan dan merapikan rumah orang lain untuk bertahan hidup. Selain itu, dia juga gigih mengejar ketinggalannya dengan mengambil kelas malam, meski seringkali hanya dimanfaatkan untuk bermesraan dengan mantan pacarnya yang telah beristri, Mac (Steve Zahn). Berbeda dengan Norah yang menjalani hidupnya dengan mengandalkan ego yang seringkali menjalankan segala sesuatu dengan seenaknya.


Kedua karakter yang jauh berbeda tersebut, ketika dihadapkan pada satu situasi yang menuntut kerja sama, tentu saja terjadi beberapa gesekan. Apalagi tugas keduanya tidaklah ringan dan sering kali harus berhadapan dengan jejak yang ditinggalkan sebuah tragedy. Keduanya juga digambarkan sebagai pribadi-pribadi yang terluka akibat kehilangan ibu mereka. Sebuah peristiwa yang tragis dan traumatis. Joe (Alan Arkin) bukannya membantu menyembuhkan luka kedua anaknya tersebut, malah seakan lebih sibuk dengan dunianya sendiri. Gesekan dua bersaudari tersebut memuncak ketika tanpa sengaja, Norah menyebabkan rumah Rose ludes terbakar api.
Sama dengan Little Miss Sunshine, cerita yang dihasilkan oleh Megan Holley dalam Cleaning Sunshine ini terasa getir, meski tetap menghadirkan beberapa humor (pahit). Tema besarnya pun hampir mirip, yakni bagaimana sebuah dysfungsional family berusaha meminimalisir “kerusakan” yang ada. Dan sama seperti yang dihadirkan dalam Little Miss Sunshine, jangan harapkan sebuah solusi yang “cerah” di akhir film.
Secara keseluruhan, Sunshine Cleaning tidaklah jelek, namun rasanya masih setingkat dibawah Little Miss Sunshine. Cerita seakan kurang focus, terutama dengan sub plot baby shower yang sangat bisa dibuang atau digantikan dengan sub plot lainnya yang lebih kuat. Karakter Joe yang diperankan oleh Alan Arkin juga kurang tergarap dengan baik, hingga kadang muncul kesan tidak menyatu dengan jalinan cerita utama. Tensi cerita juga terasa datar. Dengan tema cerita yang sangat menarik, yakni tukang bersih-bersih TKP, potensi untuk menghadirkan letupan-letupan sebenarnya sangat besar sekali.


Kekuatan film ini, menurut Gilasinema ada pada Karakterisasi tokoh-tokohnya yang tidak hitam putih. Rose misalnya, tidak bisa dibilang seorang perempuan baik-baik meski berusaha keras menghidupi dirinya dan anaknya, karena hubungan terlarangnya dengan Mac serta bagaimana dia menutupi profesinya dari teman SMA-nya. Sedang Norah yang terkesan tidak bertanggung jawab, ternyata mempunyai hati yang sensitive.
Karakter yang tidak lurus ini tentu saja sangat menantang Amy Adams untuk memamerkan aksinya yang jauh berbeda dengan peran sebelumnya yang sering menempatkannya sebagai sosok lugu. Dalam Cleaning Sunshine, kita benar-benar disuguhi aksi liar seorang Amy Adams. Untungnya hal tersebut bisa diimbangi dengan baik oleh Emily Blunt. Sebagai kakak dan adik, chemistry keduanya sangat meyakinkan dan padu. Alan Arkin? Maaf, untuk kali ini kesan tempelan tidak bisa dihindarkan. 3,25/5



Gilasinema jadi teringat dengan sebuah novel Jepang karangan Natsuo Kirino berjudul OUT. Dalam novel tersebut dikisahkan empat orang perempuan yang terjerat bisnis melenyapkan “barang bukti” pembunuhan. Bisnis berdarah tersebut dijalankan didalam rumah, tepatnya di kamar mandi! Cerita yang dihadirkan benar-benar menegangkan serta penuh aroma darah, apalagi ketika melibatkan Yakuza, yang menjadikan novel OUT menjadi satu-satunya novel yang sukses membuat Gilasinema mual-mual. Meski terkesan sadis, novel OUT ini sangat kuat muatan feminisnya.
Kabarnya New Line Cinema sudah membeli hak cipta novel OUT untuk diangkat ke layar lebar dengan sutradara Nakata Hideo (Ring, Ring 2) untuk kemungkinan dirilis 2011 atau 2012. Versi Jepang-nya sudah dirilis 2002 silam.

PENGEN …., GAK PENGEN…..


PENGEN : SHANGHAI
Siapa yang tidak ngiler melihat barisan cast-nya. Favorit Gilasinema semua! Ada John Cusack, Chow Yun – Fat, Gong Li, Ken Watanabe dan Rinko Kikuchi, serta masih ditambah David Morse dan Franka Potente. Film yang baru akan dirilis Oktober ini (mengincar Oscar?) kayaknya bakalan penuh intrik, mengingat ada misteri pembunuhan didalamnya dan juga terkuaknya rahasia sebuah Negara. Ceritanya bakalan menarik nih, sampai-sampai John Cusack langsung “bergerak” begitu mendengar naskahnya akan difilmkan hingga Jhonny Depp yang juga tertarik harus menyingkir.


Yang unik dari film ini, meski bertitle Shanghai, naskahnya ditulis oleh Hossein Amini yang seorang keturunan Iran yang kemaren barusan menulis Killshot, dan disutradarai oleh Mikael Håfström yang berasal dari Swedia dan sebelumnya pernah bekerja sama dengan John Cusack lewat 1408.


GAK PENGEN : NEW MOON

Setelah menyaksikan Twillight yang disambut amat sangat terlalu meriah, meski filmnya amat sangat terlalu adem, Gilasinema terus terang tidak tertarik menyaksikan kisah cinta Bella dan Edward yang terlalu dipuitiskan.Apalagi dengan balutan kisah cinta segitiga. Duh….!
Meski Gilasinema yakin, waktu dirilis nanti bakal banyak yang bilang New Moon “lebih seru dibandingkan Twillight lho”, kayaknya tetap tidak bakal pengen liat deh. Thrillernya memang lumayan menggugah minat, terutama waktu ada yang berubah jadi serigala (itu Jacob ya?) atau ketika Bella mengeluarkan darah ditengah keluarga vampire, namun dulunya thriller Twillight pun juga mengusik rasa penasaran, dan ternyata…..huff!


Saking traumanya dengan Twillight (nih terlalu mendramatisir hehehe…), Gilasinema pun ogah melanjutkan baca novelnya, meski ada yang berbaik hati meminjami. Belum lagi selama proses produksi yang terlalu over exspose, yang membuat para cewek (remaja) tertelan hysteria, makin membuat Gilasinema eneg dan heran dengan kesuksesan komersial dari kisah cinta Bella dan Edward (sirik..).
Kayaknya New Moon memang ditujukan buat penonton cewek. Lihat saja gambar dibawah ini.


Selasa, 07 Juli 2009

THE ITALIAN (ITALIANETZ)

Selasa, 07 Juli 2009 5

Namanya yang sebenarnya adalah Vanya (Kolya Spiridonov). Panggilan “Italian” bermula ketika ada pasangan yang berkewarganegaraan Italia datang untuk mengadopsinya. Vanya memang tinggal di sebuah panti asuhan bersama puluhan anak kurang beruntung lainnya. Sejak menjadi “Italian”, Vanya seakan menjadi pusat perhatian, terutama dari pengelola panti asuhan, Madam (Maria Kuznetsova).
Ketika proses pengadopsian sedang berjalan, suatu hari Vanya mendapati seorang perempuan yang datang ke panti asuhan dengan tujuan mengambil anaknya. Padahal, anak yang diinginkannya tersebut telah diadopsi oleh pasangan lain. Melihat kenyataan ini, Vanya menjadi bimbang, bagaimana kalau misalnya ibu kandungnya datang untuk mengambilnya pada saat dirinya telah diadopsi?


Vanya mulai mencari informasi mengenai keberadaan ibunya dan menyusun aksi pelarian. Tidak mudah melakukan aksi tersebut, mengingat Vanya dikelilingi oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan berbeda, terutama Madam yang menyikapi para anak asuhnya sebagai asset dalam mengeruk uang. Belum lagi, beberapa penghuni panti asuhan yang usianya lebih tua sangat mengeksploitasi anak yang lebih muda.
Untung ada Irka (Olga Shuvalova), yang meski bekerja sebagai pemuas nafsu para sopir di jalan, namun ternyata mempunyai kebaikan hati dengan menolong Vanya dalam usahanya menemukan ibu kandungnya. Dimulailah usaha Vanya yang penuh ketegangan, tawa dan tangis. Kesemuanya membuat penonton merasa pesimis Vanya berhasil dalam menjalankan misinya. Apa yang dilakukan dan dialami oleh Vanya yang digambarkan baru berusia 6 tahun terasa sangat luar biasa. Berhasilkan Vanya menemukan ibu kandungnya?


The Italian arahan Andrei Kravchuk ini awalnya berjalan terasa lamban. Setting yang hampir seluruhnya tertutupi salju membawa aura dingin nan menjemukan sekaligus suram. Namun Andrei Kravchuk berhasil memberikan gambaran yang cukup detail mengenai kehidupan sebuah panti asuhan. Andrei Kravchuk terampil menghadirkan gambar-gambar dengan tata cahaya yang ciamik. Perlahan namun pasti, emosi penonton mulai terbangun, apalagi ketika aksi Vanya mulai dijalankan, film memjadi jauh lebih asyik.
Ditopang oleh penampilan Kolya Spiridonov yang mengesankan, aksi pencarian tersebut hadir sangat memikat, menegangkan sekaligus mengharukan. Siapa yang tidak iba melihat betapa kerasnya usaha Vanya mencari ibunya. Kenapa Vanya ngotot mencari ibunya, padahal dia sempat “terdampar” di panti asuhan? Karena meski hidup dalam kondisi alam yang ekstrim (super dingin), belaian kasih ibu akan mampu menghangatkan. 3,75/5

Minggu, 05 Juli 2009

THE LAST HOUSE ON THE LEFT

Minggu, 05 Juli 2009 5


If Bad people hurt someone you love, how far would you go to hurt them back?

Tampaknya Holly makin kering ide dengan makin giatnya membuat ulang film yang pernah sukses di era sebelumnya, terutama dari genre horror. Di tahun 2009, selain ada My Bloody Valentine dan Friday the 23th, ada The Last House on the Left yang pernah dirilis di tahun 1972 dan sempat menghebohkan dengan konten kekerasan yang dihadirkan di dalamnya. Si maestro horror, Wes Craven, yang sebelumnya duduk di kursi sutradara, kali ini hanya berperan sebagai produser.
Keluarga Collingwood melakukan liburan di sebuah tempat peristirahatan di daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kisah klise sebenarnya, mengingat banyak kisah horror/thriller yang dimulai dengan kisah seperti ini. Coba deh tonton Funny Games. Tragedi yang menimpa keluarga Collingwood dimulai ketika Mari yang jago renang (diperankan oleh Sara Paxton) bermain ke tempat temannya. Meski awalnya ragu, Mari menerima ajakan temannya untuk mampir ke tempat pemuda yang baru mereka kenal, Justin (Spencer Treat Clark).
Ternyata Justin ini tinggal bersama ayah dan kerabatnya yang merupakan buron pihak berwenang akibat aksi jahat nan sadis. Ayah Justin, Krug (Garret Dillahunt) dalam melaksanakan aksinya dibantu oleh Francis (Aaron Paul) dan Sadie (Riki Lindhome). Meski berjenis kelamin perempuan, kekejaman Sadie tidak kalah dengan yang ditunjukkan oleh para lelaki.
Tidak mau mengambil resiko, ketiga criminal tadi berniat membantai Mari dan temannya di depan mata Justin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Ternyata aksi tersebut tidak berjalan mulus dan bahkan menyebabkan Francis terluka parah yang membawa mereka ke tempat orang tua Mari. Kebetulan ayah Mari, John (Tony Goldwyn) seorang dokter. Dan karena kebaikan hati ibu Mari, Emma (Monica Potter), keempat orang tadi dipersilahkan untuk bermalam sejenak karena ada badai.
Ternyata Mari berhasil menyelamatkan diri meski tubuhnya tertembus timah panas dan mengalami pemerkosaan yang brutal. Menyadari bahwa pelakunya adalah tamu yang sebelumnya mereka sambut dengan baik, John dan Mari menyusun rencana penyelamatan. Namun, sebelumnya mereka melakukan pembalasan yang tak kalah brutal dengan aksi para criminal tadi.


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, versi asli film ini sempat menimbulkan kehebohan dengan aksi kekerasan yang ditunjukkan didalamnya. Tidak berbeda dengan versi aslinya, The Last House on the Left juga menyajikan adegan-adegan kekerasan yang berdarah-darah, meski adegan perkosaannya katanya sudah diperhalus demi rating yang lebih aman. Namun tetap saja rangkaian adegan kekerasan yang dihadirkan, terutama saat aksi pembalasan, membuat penonton memalingkan muka. Bayangkan saja ketika ada adegan kepala yang ……..dan juda ada adegan kepala yang ……..(lihat sendiri deh hehehe…)
Secara keseluruhan, sutradara Dennis Iliadis mampu menyajikan tontonan yang lumayan rapi dan menegangkan. Ketegangan cerita seakan dikendalikan untuk kemudian diledakkan mendekati akhir film. Mungkin akan terasa lamban bagi mereka yang terbiasa dengan horror/thriller yang penuh terror dan berbalut musik jedar-jedor. Apalagi dibandingkan tontonan sejenis, musik yang dihadirkan dalam The Last House on the Left cenderung lebih bersahaja.
Dari segi acting, tidak ada yang terlihat lebih menonjol diantara para pemainnya. Semua cast tampil pas sesuai porsinya, kecuali ketenangan sosok John yang sedikit mengganggu. Sara Paxton banyak tampil di paruh awal dan terlihat sekali dieksploitasi tubuhnya, sampai-sampai ada detail adegan ketika dia berganti pakaian. Penampilan Garret Dillahunt lumayan meyakinkan sebagai sosok antagonis kejam, begitupun dengan Riki Lindhome yang tampak nyaman bertelanjang dada, bahkan dalam situasi bertarung sekalipun! Jadi maklum kalau film ini tidak diputar di bioskop Indonesia.


The Last House on the Left menghadirkan dua pemain yang lumayan lama tidak Gilasinema saksikan aksinya. Ada Monica Potter yang lumayan sibuk di pertengahan 1990-an, tiba-tiba muncul dengan peran emak-emak. Sedangkan Spencer Treat Clark yang pernah tampil di Gladiator dan Unbreakable ternyata sudah gede dan sempat membuat Gilasinema berpikir, nih cowok anaknya Julianne Moore bukan sih? Mirip banget.
If Bad people hurt someone you love, how far would you go to hurt them back? John dan Emma dibantu Justin, menjawabnya dengan aksi yang tidak kalah kejam dengan para ‘bad people” tadi. Bukti bahwa perilaku jahat itu muncul karena dipancing untuk keluar. Siapa sih yang mengira di akhir film John yang seorang dokter baik hati melakukan aksi balas dendam kepada Krug dengan…….2,75/5

Sabtu, 04 Juli 2009

PESTA FILM SOLO 2009

Sabtu, 04 Juli 2009 0

Jum’at kemaren (3 Juli 2009) akhirnya bisa datang di Pesta Film Solo 2009. Karena kendala jarak dan waktu, Gilasinema hanya sempat melihat 2 film saja. Itupun satu film tidak utuh melihatnya, karena harus segera pulang. Pertama, Gilasinema melihat Keroncong, I Love to Sing. Tayangan ini sebenarnya merupakan tugas kuliah dari mahasiswa Komunikasi Fisip UNS. Keroncong, I Love to Sing berisikan tentang musik keroncong, mulai dari sejarah, mengapa disebut keroncong, beberapa jenis keroncong hingga sikap remaja (Solo) terhadap musik keroncong itu sendiri.
Tidak lupa menghadirkan para maestro keroncong seperti Andjar Any dan Waldjinah. Sayang, karena faktor kesehatan, para kru tidak sampai hati menghadirkan Gesang. Yang menarik, meski sekelumit, Keroncong, I Love to Sing menghadirkan para remaja dan anak kecil di kota Solo yang tertarik menggeluti keroncong.
Magenta merupakan film kedua yang Gilasinema tonton. Film karya anak-anak Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini berkisah mengenai seorang perempuan desa yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Beberapa kali, dalam film ditegaskan bahwa hidup merupakan sebuah pilihan yang harus dijalani tanpa penyesalan. Secara keseluruhan, Magenta ini biasa saja dan tidak beda jauh dengan sinetron yang tayang di TV. Sayang…Dan yang lebih mengecewakan, ilustrasi musiknya mengambil dari OST. Quickie Express yang karena peneditan kurang rapi, suara Sandra Dewi ikutan tampil.
Meski gratis, Pesta Film Solo ternyata tidak ramai pengunjung. Mungkin karena Gilasinema melihat yang sesi siang kali ya? Dengan mengadakan diskusi langsung dengan sineasnya, mungkin yang pemutaran malam bisa merangkul banyak pengunjung. Hal ini seakan mengingatkan pada jaman dulu ketika Gilasinema terlibat kegiatan sejenis.
O iya, pada pemutaran hari Kamis (2 Juli 2009), Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen menyempatkan hadir untuk bagi-bagi ilmu, meski cuma 30 menit. Sayang sekali Gilasinema tidak bisa hadir gara-gara angkot yang kurang bersahabat. Kehadiran Alenia ini berkat bantuan salah satu mantan anggota Kine Klub Fisip UNS yang terlibat dalam pembuatan film King.


Selamat deh buat panitia Pesta Film Solo 2009. Tidak perlu memikirkan jumlah penonton, karena yang penting bagaimana menyikapi kegiatan ini sebagai sebuah proses untuk lebih baik kedepannya. Dan yang pasti, akan berguna suatu saat. Selamaaaat…


 
GILA SINEMA. Design by Pocket