Sabtu, 28 Juni 2008

FIKSI.

Sabtu, 28 Juni 2008 2


Yang namanya fiksi berbeda dengan realita. Lalu apa jadinya ketika ada usaha untuk mempertemukan keduanya? Ketika ada pihak yang berusaha menghidupkan sebuah fiksi menjadi sebuah realita, terjadilah terror demi terror yang akan mengacaukan segalanya. Inilah mungkin yang ingin disampaikan oleh Mouly Surya dan Joko Anwar lewat film FIKSI. Seperti film – film yang terkena sentuhan Joko Anwar sebelumnya, film thriller psikologis ini lumayan enak dinikmati. Apalagi penulis cerita terlihat membekali diri mereka dengan referensi psikologi yang cukup.

Fiksi. dibuka dengan penggambaran tokoh Alisya (Ladya Cheril yang sering terlihat seperti teh Nia Dinata, hehehe) yang diperlakukan bak boneka oleh ayahnya yang seorang militer dan merupakan sosok yang terpandang. Dengan disiplin dan pengawasan yang ketat, Alisya seakan direnggut dari dunia nyata. Terdapat jarak yang amat lebar antara bapak dan anak ini yang ditunjukkan dengan sangat efektif dengan adegan di meja makan.

Terbiasa hidup dalam ruang lingkup yang sempit, Alisya melarikan hidupnya dengan bermain cello dan mengkoleksi boneka (orang kesepian cenderung mengkoleksi benda). Alisya menjadi pribadi yang kesepian dan terbiasa menyimpan segalanya sendiri. Polah tingkahnya tak beda jauh dengan boneka yang dia koleksi. Perhatikan cara dia berjalan, intonasi kata yang monoton sampai pemilihan model dan warna pakaian yang dia kenakan. Namun dibalik wajah tanpa ekspresi, tersimpan sebuah sebuah jiwa yang sakit. Hal ini diperparah dengan peristiwa traumatis yang dialami Alisya dimasa kecil.

Hidupnya berubah ketika Bari (Donny Alamsyah) masuk ke dalam kehidupannya. Entah mengapa dia selanjutnya begitu terobsesi dengan sosok satu ini. Mungkin dia melihat kehidupan dalam diri Bari. Selanjutnya dimulailah pengembaraan Alisya dalam usaha mendapatkan Bari yang telah mempunyai kekasih, Renta (Kinaryosih).

Mengaku sebagai Mia, Alisya menempati sebuah ruang yang KEBETULAN kosong disamping ruang yang ditempati oleh pasangan Bari dan Renta di sebuah rumah susun. Bari ternyata adalah seorang penulis cerita yang selalu mengalami kesulitan dalam mengakhiri cerita yang dia tulis, sedang Renta KEBETULAN merupakan mahasiswi jurusan Psikologi. Pasangan tersebut pada awalnya tidak melihat sesuatu yang aneh pada diri Mia/Alisya. Sampai beberapa peristiwa tragis menimpa beberapa penghuni rumah susun tersebut, Bari mulai merasakan ada sesuatu yang aneh, mangingat korbannya adalah sumber inspirasi cerita yang dia tulis. Hidup Bari makin tidak tenang setelah Mia/Alisya menyerahkan keperawanannya. Kalau sebelumnya Mia/Alisya hidup dibawah control, kini dia yang memegang control.

Menyaksikan Fiksi. mengingatkan kita pada gaya film produk Jepang, semacam Audition. Film mengalir dengan lambat, musik yang minimalis, pencahayaan yang suram namun menyimpan sebuah tragedy di penghujung cerita. Obsesi Alisya sedikit mengingatkan pada Jennifer Jason Leigh di Single White Female, Glenn Close di Fatal Attraction atau Kathy Bates di Misery.

Dibandingkan film Indonesia yang lain, film ini lebih mengandalkan gambar dalam menyampaikan sebuah ide. Meski pada beberapa bagian terkesan cerewet, seperti masalah hidup bersama, pada beberapa bagian Mouly Surya mampu menghadirkan gambar – gambar yang cukup efektif berbicara, meskipun tidak istimewa. Bahasa gambar paling kuat dan mengesankan adalah pada saat Mia/Alisya membaca tulisan karya Bari. Moment terkuat dari film ini hadir lewat adegan ini. Lewat adegan yang dihadirkan, sutradara dan penulis cerita seakan ingin memberi batasan yang tegas antara fiksi dan realita, namun bukan berarti keduanya tidak bisa berinteraksi. Hanya saja harus disikapi dengan lebih bijaksana.

Karena banyak bermain dengan bahasa gambar, mau tidak mau para pemain dituntut untuk mampu menerjemahkan naskah yang ada secara cerdas. Tugas berat dibebankan kepada Ladya Cherril yang tampil dominant sepanjang durasi film. Untungnya dia mampu menjalankan tugasnya dengan baik, begitupun dengan Donny Alamsyah. Kinaryosih tampil kurang menonjol mengingat porsinya yang memang terbatas.

Menyaksikan Fiksi. mau tidak mau sedikit mengingatkan pada film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet. Ada kemiripan antara Alisya dengan Adjeng, selain nama mereka dimulai dengan huruf A. Keduanya merupakan sosok yang mencoba untuk bebas dan merindukan cinta. Masalah yang mereka hadapi ditimbulkan oleh satu sosok yang sama : ayah yang brengsek. Kemiripan kedua film ini makin terasa dengan jalan cerita yang cenderung kelam dan lambat. Hanya bedanya, Joko Anwar terasa lebih terampil mengolah drama hingga filmnya lebih enak dinikmati, meski ada beberapa hal yang kurang tergambarkan dengan kuat seperti motivasi Alisya begitu terobsesi dengan sosok Bari. Dan seperti biasa, selalu ada sosok homoseksual. Namun dalam mengakhiri cerita yang dihadirkan, Mereka Bilang, Saya Monyet jauh lebih unggul.

Mengenai pemilihan akhir cerita, langkah yang diambil oleh penulis cerita bisa diterima, mengingat dialog dalam sebuah adegan yang membahas perbedaan antara fiksi dan realita. Namun apakah harus dengan kematian? Terkadang orang yang mati sekalipun, kisahnya akan tetap ada dan mempunyai pengaruh terhadap cerita selanjutnya, meski dengan pelaku yang berbeda. Namun pada akhirnya kita tidak perlu terlalu serius menyikapi sebuak fiksi, karena kadang ada beberapa bagian yang terasa dilebih – lebihkan dan terlalu banyak kebetulan didalamnya. Apakah darah perawan bisa seluber itu? Entahlah, namanya juga fiksi. Perhatikan dan camkan baik – baik judulnya yang tidak lazim! Judul film ini adalah FIKSI. (dengan titik) bukan FIKSI (tanpa titik). 3,25/5

PULAU HANTU 2



Dalam Scream seri dua, salah satu tokoh dalam film tersebut menyebutkan ada beberapa pakem yang bias muncul dalam film bagian kedua dari sebuah trilogy. Jilid kedua biasanya akan menghadirkan cerita yang lebih seru (heboh), lebih banyak bintang dan akan lebih banyak korban yang berjatuhan. Meski soal kualitas kebanyakan mengalami penurunan, trilogy Bourne dan Godfather bisa dijadikan perkecualian, namun secara kuantitas makin membuat senyum produser makin lebar.

Muncul pertanyaan ketika Pulau Hantu beredar di bioskop. Dengan materi yang lumayan cekak di seri pertama, apakah film tersebut layak untuk dibuat sekuelnya? Jika produser film tersebut yang diberi pertanyaan tadi, tentu dengan mantap akan menjawab “ABSOLUTELY!” mengingat lebih dari 700 ribu penonton berhasil diraih film Pulau Hantu. Sebuah jumlah yang diakui oleh produsernya cukup mengejutkan.

Cerita yang ditawarkan dalam Pulau Hantu 2 hampir tidak berbeda jauh dengan Pulau Hantu jilid pertama. Sekumpulan pemuda – pemudi berlibur di sebuah pulau di tengah laut. Mereka adalah Aura (Wiwid Gunawan yang wow), Tya (Garneta), Marsha (Astrid Satwika yang wow juga), Brian (Nicky Tirta) dan Joe (M.Riza). Keberadaan mereka di pulau berhantu tadi adalah untuk merayakan pernikahan teman mereka, Michael (Reza Rahadian) dan Kayla (Uli Auliani yang selalu siap tampil “lepas). Agar ada kaitan dengan seri pertama, dihadirkan Dante (Ricky Harun) dan Nero (Abdurrahman Arif).

Seperti seri pertama, para pemuda – pemudi tadi yang dilarang memasuki kawasan terlarang di belakang pulau, dengan acuhnya melanggar larangan tadi. Selanjutnya mudah ditebak, si setan mulai melancarkan aksinya tanpa adanya penjelasan yang cukup kenapa dia begitu kurang kerjaan menunjukkan dirinya. Tanpa etika, si setan mulai menebarkan terror di tengah balutan komedi konyol, yang konyolnya terasa lucu.

Cerita film ini memang amat sangat sederhana dan terkesan membodohi logika, seperti adegan lari di tengah hutan yang terlalu lancer, padahal kondisinya terjadi di waktu malam hari. Wujud hantu yang terkesan terlalu sering melakukan (maaf) oral, serta pemunculannya yang tidak terlalu mengejutkan seperti halnya di Pulau Hantu seri awal. Belum lagi adegan pembantaian di akhir cerita, dimana disisi yang lain para figuran sibuk berpesta pora seakan terpisah dari cerita.

Namun untungnya film ini lumayan memberikan beberapa penebusan dosa yang lumayan segar. Duet kocak Ricky Harun dan Abdurrrahman Arif mengalir dengan enak dan menghibur, meski kekonyolan mereka hadir terlalu berlebihan hingga akhirnya membuat sedikit muak. Secara visual, terlihat digarap dengan lebih serius oleh Jose Purnomo. Dari gambar – gambar yang dihasilkan, terlihat betapa terampilnya Jose dalam mengolah gambar. Penggunaan GPS oleh para tokohnya merupakan sebuah langkah cerdas dan kreatif.

Namun tidak ada yang lebih menyegarkan dari kehadiran Wiwid Gunawan dan Astrid Satwika. Mereka berdua tampil begitu “menonjol”. Kamera tampaknya menyukai “potensi” mereka, hingga mampu menangkap momen – momen hebat dengan jitu. Sayang mereka tampaknya tidak akan hadir lagi di seri ketiga. Uli Auliani memang tampil mengejutkan, terutama untuk adegan di kolam renang, namun maaf, dia kurang “menonjol” dan tidak terlihat segar di layar.

Pulau Hantu 2 memang sibuk menghadirkan humor konyol dan “potensi yang menonjol” para pemain ceweknya. Akibatnya Jose seakan menafikkan unsure utama sebuah film horror yakni menakut – nakuti penonton. Dibandingkan seri pertama, efek kejut dari pemunculan sang hantu sangat jauh berkurang. Tanpa ekspektasi berlebihan, film ini mampu menghadirkan hiburan yang cukuplah. Sekedar saran apabila memang akan dibuat seri ketiga, lebih banyak menghadirkan mereka – mereka yang “menonjol”. Seru juga kalau nantinya ditampilkan segerombolan cewek sexy dan bodoh yang mendatangi Pulau hantu tersebut. Kurangi humor konyol dan agar lebih kreatif lagi dalam memunculkan sang hantu. Akan lebih baik lagi kalau wajah sang hantu dipermak terlebih dahulu agar lebih menyeramkan. 2,5/5

Catatan:

Khusus untuk Wiwid Gunawan yang menonjol dan menggemaskan, saya kasih 7/10.

Senin, 23 Juni 2008

MEREKA BILANG, SAYA MONYET

Senin, 23 Juni 2008 1


Adjeng (Titi Sjuman) adalah seorang penulis cerita anak yang lumayan dikenal. Namun entah mengapa dia ingin meninggalkan hal tersebut untuk beralih menjadi penulis cerita dewasa. Dalam mewujudkan keinginan tersebut, Adjeng dibantu oleh mentor sekaligus “teman ranjangnya”, Asmoro (Ray Sahetapy). Dalam proses penulisan cerita dewasa pertamanya kita diajak untuk melihat berbagai kejadian di masa lalu Adjeng yang membentuk kepribadian Adjeng dewasa.

Waktu kecil, Adjeng (Banyu Bening) mengalami beberapa peritiwa kelam. Mulai dari ditinggalkan ayahnya untuk menikah dengan perempuan yang lebih muda, mendapatkan pelecehan seksual dari pacar ibunya (diperankan oleh Bucek Depp), sampai menjadi saksi mata pembunuhan yang dilakukan oleh ibunya. Belum lagi lingkungan sekolah yang tidak bersahabat. Tak heran, Adjeng tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, pemurung, namun menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja serta terbiasa hidup dengan imajinasi.

Segala bencana tersebut hadir terutama setelah ayahnya meninggalkan ibunya. Ibunya melihat Adjeng sebagai sosok yang dibenci sekaligus dicintainya, yang membuat perilaku ibunya menjadi labil. Kadang bersikap keras, baik secara fisik maupun verbal, namun disisi lain menjadi sosok pelindung yang berlebihan hingga terkesan cerewet.

Hubungan yang aneh dan tidak sehat ini berlanjut hingga Adjeng beranjak dewasa yang memutuskan untuk hidup sendiri. Adjeng tidak lantas bisa hidup tenang, karena setiap saat ibunya selalu hadir merecoki hidupnya. Sebuah hal yang hanya diterima pasrah dengan terpaksa oleh Adjeng. Adjeng dewasa menjadi pribadi yang terluka namun sekaligus memuja kebebasan karena terbiasa menyimpan permasalahannya sendiri.

Pada akhirnya penonton diajak untuk memahami bahwa proses yang diambil oleh Adjeng sekarang ini merupakan semacam terapi bagi jiwanya yang terluka. Konflik memuncak ketika akhirnya Adjeng berhasil meloloskan cerpennya di sebuah surat kabar ternama. Berbagai reaksi datang menghampirinya, yang membuat hidup Adjeng makin sulit, dan meledaklah segala kemarahan yang tersimpan dalam diri Adjeng. Aaaaaaaaaaargh!!!

Cerita yang dihadirkan oleh Djenar Maesa Ayu akan sangat sulit diterima oleh penonton awan. Terutama bagi mereka yang melihat film sebagai media hiburan. Dengan cerita yang cenderung gelap, karakterisasi yang kurang simpatik bahkan cenderung tak bermoral di mata masyarakat, serta diceritakan dengan irama yang lambat, berpotensi membuat penonton langsung tertidur atau bahkan segera beranjak meninggalkannya karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh film ini. Namun kalau penonton mau sedikit bersabar, kita akan diberi hadiah sebuah akhir cerita yang cerdas sekaligus mengejutkan. Dijamin, akhir cerita yang dihadirkan bisa dimasukkan sebagai salah satu penutup cerita terbagus di perfilman Indonesia mutakhir.

Pemilihan akhir cerita tampaknya sengaja dipilih Djenar untuk menyatakan sikapnya, terutama terhadap mereka yang sibuk mengomentari dan menghakimi orang lain, tanpa melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah hal yang jamak terjadi di tengah masyarakat dengan kontrol sosial yang kuat. Film ini menjadi semacam ejekan terhadap orang – orang yang sibuk mencereweti karya orang lain (termasuk GILASINEMA donk……jadi malu). Mungkin hal ini kurang tersampaikan dengan mulus mengingat karakter Adjeng yang tidak sepenuhnya mengundang simpati.

Sebagai sebuah karya perdana, Mereka Bilang, Saya Monyet bukanlah sebuah karya yang buruk, menjanjikan malah. Kalau Djenar serius berkecimpung di dunia film, karya – karya selanjutnya patut ditunggu. Walaupun bernuansa gelap, cerita yang dihadirkan oleh Djenar terasa lebih bersahabat dengan logika, mungkin tidak dengan rasa. Secara teknis juga perlu diperhalus lagi, apalagi dengan banyaknya bahasa gambar yang dipergunakan dalam penyampaian pesan.

Begitupun dalam mengarahkan pemain. Djenar tampaknya harus lebih keras lagi dalam mengarahkan pemain dalam filmnya. Siti Sjuman dan Henidar Amroe memang mampu menampilkan performa yang apik. Namun beberapa pemain pendukung terlihat agak canggung, mengingat banyaknya muatan dewasa dalam film ini. Contohnya Mario Lawalatta yang terlihat tidak nyaman dengan sedikit kain yang menempel ditubuhnya.

Kekuatan film ini memang ada pada naskahnya yang kadang terasa sangat cerpen. Keberanian Djenar mengangkat sesuatu yang lain dan menabrak banyak aturan patut mendapatkan apresiasi tersendiri. Ketika di film lain para tokohnya sibuk berkata “aku”, dalam film ini Adjeng menyebut dirinya dengan “saya”. Padahal orang – orang egois akan sangat menikmati film ini. Sayang film ini tidak beredar secara luas. Kalau saja film ini dilihat oleh lebih banyak mata. 3,5/5

 
GILA SINEMA. Design by Pocket