Senin, 11 Februari 2008

THE ASSASSINATION OF JESSE JAMES BY THE COWARD ROBERT FORD

Senin, 11 Februari 2008 1


Tidak ada yang menyangkal pesona yang melekat pada diri Brad Pitt. Sosok pria sempurna, terutama dari segi fisik, punya kekasih cantik dan sexy, karir yang bagus dan mampu menjadi ayah yang baik. Apa reaksi yang akan muncul ketika sosok seperti Brad Pitt di bunuh secara pengecut oleh orang yang tidak penting? Tentu akan banyak kecaman yang menghampiri si pembunuh.
Begitupun dalam film The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford arahan sutradara Andrew Dominic ini. Jesse James digambarkan sosok yang berkarisma dan melegenda, padahal dia seorang perampok kejam. Disisi lain ada Robert Ford ( dimainkan dengan sangat prima oleh Casey Affleck ) dengan karakter yang serba canggung, suara tergetar dan tidak meyakinkan. Kedua karakter ini dipertemukan dalam satu layar menghadirkan sebuah hubungan yang ganjil. Hubungan keduanya terasa tidak nyaman, karena keduanya terlihat saling mewaspadai satu sama lain. Mengingatkan kita akan hubungan Jude Law dan Matt Damon di The Talented Mr. Ripley.

Sampai film berakhir, entah pada siapa kita harus bersimpati. Apakah kepada Jesse James dengan kepribadiannya yang kuat serta mempesona tetapi kejam tanpa pandang bulu, atau kepada Robert Ford, lelaki tanggung yang selalu mendapatkan penganiayaan secara mental ( bullying ) tetapi membunuh Jesse James dengan cara rendah meskipun dia memuja orang yang dia bunuh tersebut.
Pada akhirnya yang muncul adalah rasa iba terhadap kedua tokoh tersebut. Jesse James dengan segala pesona dan kelebihannya pada akhirnya hidup dalam ketakutan dan kesepian karena sedeikitnya orang yang bisa dia percaya. Robert Ford yang selalu menjadi bayang – bayang, yang selalu diabaikan semakin terasing setelah setelah aksi yang dia lakukan.
Butuh tenaga ekstra mengikuti cerita yang ditawarkan dalam The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford ini. Entah apa yang ada dalam benak sutradara ketika menyajikan film dalam durasi yang panjang ( 160 menit! ). Untuk ukuran film western, film ini sangat jauh dari dar der dor. Film berjalan amat lambat dan senyap. Sesekali kekerasan tetap ditampilkan, tapi dalam porsi yang sangat minim. Kita lebih banyak disuguhi adegan interaksi yang saling mengancam dalam keheningan antara kedua tokoh utama dalam film ini. Sutradara Andrew Dominic terkesan ingin setia dengan cerita yang ada dalam novel karangan Ron Hansen. Salah satu wujud kesetiaan ini muncul lewat dialognya yang terasa novelis.
Untungnya hal tersebut diminimalisir oleh acting bintang pendukungnya yang prima. Sosok Casey Affleck yang terkesan belum matang dan tidak meyakinkan sangat kontras dengan sosok Brad Pitt yang semua juga sudah tahu seperti apa pesona yang mampu dia tampilkan. Pemilihan kedua bintang tersebut sungguh tepat, dan keduanya bisa menjalankan tugas dengan amat sangat baik. Penampilan Sam Rockwell juga cukup meyakinkan, begitupun cast yang lain.
Selain Casey Affleck, ada satu hal lagi yang sangat menonjol dari film ini, yakni dahsyatnya gambar – gambar yang dihadirkan. Sinematografer Roger Deakins tahu benar bagaimana menghadirkan sajian yang memanjakan mata. Komposisi cahaya maupun property diatur sedemikian rupa hingga menghadirkan gambar - gambar indah sekaligus dramatis. Dagi pecinta visual, film ini amat sangat sayang untuk dilewatkan, dengan catatan tontonlah dalam kondisi sehat wal afiat dan jangan sekali – kali membunuh seorang yang karismatik. Sebusuk apapun orang itu. 3,5/5


English

THE ASSASSINATION OF JESSE JAMES BY THE COWARD ROBERT FORD

No body is denying Brad Pitt is charming. A perfect man, especially from the physical side, have a beautiful sexy girlfriend, great career and able to be a good dad. What would be when a man like Brad Pitt were killed by a coward and unnoticed person? Of course there will be a lot of threat to the killer.
So is in The Assassination of Jesse James by The Coward Robert Ford under the director of Andrew Dominic. Jesse James is describing as the legendary charismatic person, but he is a robber, bad one. On the other side there is Robert Ford (played very well by Casey Affleck) that has unconvincing character. So clumsy. Both is match on a screen and it's very odd. The connection is so not comfort, because both side is prejudicing each other. Remind us to the connection of Jude Law and Matt Dammon in The Talented Mr Ripley.
Till the end of the film, we do not have a clue to whom we have to sympathize. Is it to Jesse James with his strong personality or Robert Ford who always become a victim of bullying but killed Jesse with the unrespect way even he honors Jesse?
At the end we become feel pity to both character. Jesse James with his charm but but he have to feel lonely because lack of friend he can trust. Robert Ford that always become shadow and more ignorance after what he did kill Jesse.
Need extra energy to follow the story that offered in The Assassination of Jesse James by The Coward Robert Ford. I wonder what is inside the director's mind when perform in such long film (160 minutes of duration). For the western film, it is not even close with bang bang things. The film is flowing so slow and quite. Sometime the violence is shown but very minim. We will see a lot of threatening and quite interaction between both character. The director is likely want to be loyal with the story in the Ron Hansen's Novel. It come up with the dialogues that feel so novelist.
Luckily it's cover by the perfect acting of the main role. Casey Affleck who seems immature and unconvincing that contras with Brad Pitt's character which is well known. The casting is so perfect and both can role very well. Sam Rockwell's performance is convincing either, so are the other casts.
Beside Cassey Affleck there is one thing that prominent in this film which is the great cinematography. The director of photography Robert Deakins is exactly know how to present the composition that spoil the eye of audience. The lighting and property is arranging so well to present the beautiful dramatic pictures. To visual lovers this film is so unfortunate to be missed. And I warn, you have to be healthy to see this film. And don't even to think to kill charismatic person. Even he is a bad criminal. 3.5/5

ACROSS THE UNIVERSE


Rasa – rasanya tidak pernah bosan mendengarkan lagu – lagu yang pernah dipopulerkan The Beatles. Kini hadir film yang mengahdirkan lagu – lagu band yang berasal dari Liverpool tersebut. Berbeda dengan film I Am Sam, dimana lagu – lagu The Beatles hadir untuk menguatkan cerita, dalam film Across The Universe ini lagu – lagu The Beatles merupakan nyawa dari cerita yang dihadirkan. Tidak kurang 30 lagu The Beatles hadir di film ini. Bukan itu saja, sutradara Julie Taymor juga menghadirkan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan The Beatles, mulai dari setting, pemilihan nama para tokohnya sampai beberapa kejadian yang pernah ada dan terjadi pada saat The Beatles masih utuh.
Cerita mengalir berdasarkan lagu. Kalau dalam film lain lagu menyesuaikan dengan cerita yang ada, film musical ini menempatkan cerita untuk menyesuaikan diri dengan lagu – lagu yang sudah ada. Sebuah langkah inovatif, meskipun di beberapa bagian terkesan dipaksakan.

Cerita berkisar pada dua remaja Jude ( Jim Sturges ) yang berasal dari Liverpool dengan Lucy ( Rachel Evan Woods ), seorang gadis cantik dari Greenwich Village, Amerika Serikat. Kisah mereka menjadi menarik karena diletakkan pada setting tahun 1960-an, tahun dimana sedang gencar – gencarnya Perang Vietnam. Kisah cinta mereka tidak dikemas menjadi kisah cinta murahan layaknya film percintaan remaja ala Hollywood, karena mereka juga dihadapkan pencarian akan makna dan tujuan hidup mereka.
Sebenarnya film ini bukanlah film tentang percintaan remaja. Film ini lebih pengembaraan para tokoh yang ada di film ini terutama pada Jude dan Lucy. Bagaimana ide – ide mereka dihadapkan pada kondisi dunia yang dipenuhi dengan kekerasan ( baca ; perang ). Masing – masing tokoh yang ada membawa ide – ide yang berbeda. Pada awalnya mereka dapat hidup damai dan rukun, tetapi pada akhirnya mereka harus saling “bertarung” membela ide – ide mereka ketika dihadapkan pada kepentingan yang berbeda. Pergesekan ini membuat hubungan yang ada menjadi hancur dan hanya cinta yang bisa menyatukan mereka kembali. All you need is love.
Across the Universe secara visual sangat menarik. Sangat menarik sekali. Terkadang film ini terlihat seperti lukisan. Gambar – gambar yang disajikan sangat imajinatif dan tidak membosankan. Sutradara banyak menggunakan symbol – symbol untuk memaparkan ide – idenya. Menarik melihat sutradara dalam menggambarkan proses wajib militer dan juga gambaran betapa berdarah dan menyedihkannya sebuah perang.
Langkah kreatif ini berimbas pada cerita yang ada. Karena terlalu sibuk bermain – main dengan gambar, sutradara melupakan keutuhan cerita. Cerita yang ditawarkan memang masih enak untuk dinikmati, namun kesan tidak utuh masih terasa menganggu. Banyaknya tokoh dengan latar belakang ras yang berbeda memang membuat film ini makin berwarna, namun juga membuat kebingungan dalam membagi porsi cerita. Tokoh – tokoh yang ada di sekitar Jude dan Lucy yang sebenarnya mempunyai karakter yang tidak kalah menarik kurang ditampilkan utuh dan menjadikan film menjadi kurang focus.
Kelemahan film tersebut untungnya tertutupi oleh primanya penampilan para pemainnya. Jim Sturges dan Evan Rachel Wood tampil manis dan meyakinkan. Tapi penampilan Dana Fuchs dengan vokalnya yang sangat bertenaga mampu mencuri perhatian. Penampilan dari Joe Anderson, Martin Luther dan TV Carpio juga cukup mengesankan. Semua pemain disini benar – benar menyanyi dengan suara mereka sendiri. Lagu – lagu The Beatles makin enak dinikmati berkat aransemen ulang dari Elliot Goldenthal.
Film asyik ini anehnya kurang mendapatkan atensi yang bagus dari penonton di Amerika. Hal ini mungkin disebabkan film ini terlalu tanggung dalam memilih sasaran. Meskipun menghadirkan remaja sebagai tokoh utamanya, cerita yang ditawarkan sedikit tidak lazim dan agak berat. Belum lagi adanya beberapa adegan ketelanjangan. Sedangkan dari mereka yang sudah agak berumur, akan sedikit kesulitan dalam menerima gambar – gambar yang ada. Film hadir dengan potongan gambar – gambar yang mengalir cepat dan dengan warna – warna permen yang cerah ceria. Sejatinya film ini memang didedikasikan bagi penggemar The Beatles.
Tapi film ini intinya sangat sayang dilewatkan karena mampu membawa kita ke dunia yang imajinatif. Belum lagi pemilihan kostum yang bagus. Jangan lewatkan juga penampilan Bono, Eddie Izzard dan Salma Hayek yang tetap sexy. 3,25/5



THE AMERICAN GANGSTER


Ridley Scott merupakan sedikit dari sekian banyak sutradara yang mampu menghadirkan sebuah tontonan bermutu tetapi tetap berkelas. Dia selalu total dalam menggarap film – filmnya. Selain itu, dia juga selalu menghadirkan film yang berbeda mulai dari yang feminis seperti Thelma and Louise, kepahlawanan Gladiator, perang yang brutal lewat Black Hawk Down dan komedi percintaan ringan A Good Year. Kini dia menyentak dengan film yang sangat lelaki dan brutal, American Gangster.
Mendengar kata gangster atau mafia, bayangan kita langsung mengarah pada sekumpulan orang – orang Italia atau Jepang, dan mungkin bahkan Rusia. Tak ada gambaran gangster adalah sosok orang berkulit gelap. Kalau kita perhatikan film Hollywood bertema gangster atau mafia, kebanyakan memang gambaran para kaum pendatang. Lalu apakah ada gangster atau mafia yang asli Amerika?

Lewat film American Gangster ini, Ridley Scott seakan – akan ingin menunjukkan inilah gambaran sosok gangster Amerika sesungguhnya. Mungkin banyak yang heran. Sebuah hal yang juga diungkapkan oleh salah satu tokoh dalam film ini. Lewat film ini kita diajak untuk melihat sepak terjang seorang kulit hitam, Frank Lucas ( Denzel Washington ) dalam membangun “bisnisnya” dari awal. dari seorang yang kurang penting menjadi sosok penjahat nomor wahid di Amerika sana. Seperti halnya film berkisah gangster, selain digambarkan sosok yang kejam tanpa ampun, Frank Lucas disini juga digampar seorang family man.
Di sisi lain ada Richie Roberts, seorang polisis jujur, tetapi mata keranjang yang berusaha membersihkan jalanan dari narkotika. Kejujuran Richie disini digambarkan begitu melegenda. Richie tidak goyah walaupun diiming – imingi harta benda. Begitupun ada temannya yang terjerat narkoba, dia tetap bergeming.
Ridley Scott benar – benar detail dan berusaha jujur dalam menggarap film ini, termasuk adegan penggunaan narkotika. Adegan – adegannya begitu intens dan berirama cepat. Menarik melihat kekejaman para gangster, bagaimana mereka menjalankan bisnisnya serta bagaimana hidup di masyarakat, sedang di sisi lain mereka selau berhadapan dengan orang – orang yang tidak mudah dipercaya dan berbahaya. Sama menariknya melihat bagaimana usaha polisi menangkap para gangster, dengan mengorbankan keluarga dan kehidupan social mereka ( klise ).
Sutradara juga detail dalam menggarap setiap adegan kekerasan. Bagiamana kepala tertembus peluru. Tubuh dan tulang hancur karena tembakan, semua tergambar secara frontal di layar. Belum lagi beberapa adegan ketelanjangan dan dialog – dialog yang ditampilkan dengan santai. Film yang sangat lelaki dan jauhkan dari jangkauan dari anak –anak.
Film tentang gangster akan lebih menarik kalau ditampilkan sosok polisi jahat. Begitupun dengan film ini yang juga menampilkan polisi brengsek yang diperanklan dengan mulus oleh Josh Brolin. Film ini bak perpaduan trilogy The Godfatrher dan The Untouchables.
Dari segi cast, tidak perlu diragukan lagi. Dengan didukung tiga bintang peraih Oscar macam Denzel Washington, Russel Crowe dan Cuba Gooding, Jr makin memperkuat film ini. Belum lagi penampilan Josh Brolin. Yang paling istimewa tentu saja Denzel Washington yang mampu tampil begitu kejamnya. Yang mengherankan adalah Ruby Dee yang dengan penampilan singkatnya tapi mampu membuat para kritikus memberikan apresiasi positif. bahkan ajang sekelas Oscar.
Yang menarik adalah kolaborasi Denzel Wahington dengan Russel Crowe. Mereka baru disatukan dalam satu adegan ketika film telah berjalan separuhnya. Dan mereka baru benar – benar bertatap muka ketika film telah berjalan lebih dari 2 jam. Adegan – adegan setelah terkuaknya Frank Lucas sayang sekali untuk dilewatkan. Brutal dan menampilkan chemistry yang kuat antara kedua bintang utamanya.
Meskipun bercerita mengenai dunia gangster, film ini tidak lantas menempatkan sosok mereka sebagai seorang hero. Lewat adegan – adegan yang ditampilkan, sineas dalam film ini tetap menempatkan narkotika dan segala hal yang berkaitan, harus dihapuskan dari jalanan.3,5/5

English


THE AMERICAN GANGSTER


Ridley Scott is a few to many directors that able to perform quality film that have class. He always total with his films. Beside that he can direct the different kind of film, from the feminist film such as Thelma and Loise, heroic Gladiator, battle war like Black Hawk Down, and drama love comedy like A Good Year. Now, he rock with manly and brutal film, American Gangster.
Hear of gangster or mafia, our imagination is straight to a bunch of Italian or Japanese or Russian men. No gangster that have a dark skin. If you have notice hollywood's gangster film mostly they are migrants. Is there any genuine American Gangster?
Trough American Gangster, Ridley Scott want to show the genuine character of American Gangster. A thing that reveal through the character Frank Lucas (Denzel Washington) an afro American that build his business from bottom. Like other gangster film beside the cruel and no mercy character, Frank Lucas is a family man either.
And there is Richie Roberts, a honest cop that try to sweep the street from drugs. Richie's dedication is become a legend. He is not wobbly even there are so many wealth offered to him. So if his friend is addicted to drugs he is stand still. Ridley Scott is truly detailed and try to honest with the film, include the drug usage scene. It's so intents and quick rhythm. It’s interesting to see the gangster brutality, how they role their business and how to live in society. And the other side the have to face with dangerous people. It’s like to see how the cop try to catch the gangster by sacrifice their own family and social life.
The director also taking the violence scene detailed. How the head is through by a bullet. Flesh and bone that crash because of a shot and all of it is frontally shown in screen. Yet a few naked scenes and some dialogues. Keep it away from children.
A film about gangster will be more interesting if there is a bad cop. So is the film that show a jerk cop that played well by Josh Brolin. The film is like the mix between The Godfather and The Unthoucables.
From the cast, don’t have to doubt about it. Supported by three oscar’s stars like Denzel Washingron, Russel Crowe and Cuba Gooding Jr. is strengthen his film. Yet the performance of Josh Brolin. Surprise for Ruby Dee’s performance with the short performance that get positive appreciation. Even in the oscar.
The collaboration from Denzel and Russel that is interesting. They get in one frame after the half of film’s duration. And after two hours duration they on face to face scene. The scenes after Frank Lucas’s reveal is too good to miss. Brutal and show the strong chemistry between the both stars.
Even telling about the gangster’s world, this film isn’t put them as a hero. The film maker put the drugs and all the things with it have to sweep from the street. 3.5/5


Jumat, 08 Februari 2008

HWANG JIN - YI

Jumat, 08 Februari 2008 0


Setiap daerah sepertinya punya wanita penghibur dengan karakteristik dan nama tersendiri. Tetapi umumnya mereka ada untuk memuaskan fantasi para lelaki. Kalau di Indonesia ada yang namanya ronggeng, geisha di Jepang, di Korea Selatan sebutan untuk wanita penghibur tadi adalah kiseang.
Kiseang sama dengan geisha di Jepang. Mereka dituntut untuk menghibur para lelaki yang datang ke tempat dimana para lelaki mencari hiburan. Sebelum mereka “diterjunkan” mereka dididik terlebih dahulu sebagai bekal melayani tamu, mulai dari pelajaran Cina klasik, hukum, filsafat, sastra dan sejarah, terutama sejarah seni. Jadi selain menjadi seorang penghibur, seorang kiseang dituntut menjadi seorang intelektual, karena hanya orang kaya dan terpelajar yang bisa menggunakan jasa mereka.
Hwang Jin Yi (Hye-kyo Song ) merupakan kiseang legendaries, karena jalan hidupnya yang dramatis. Hwang Jin Yi ini menjadi kiseang kondang dan berkelas, selain digambarkan berasal dari keluarga terpandang, dia juga mempunyai bakat mampu memainkan geomungo ( alat musik petik semacam siter ) dia juga mahir membuat sijo ( puisi asli dari Korea Selatan, kalau di Indonesia ada pantun ). Selain itu, kecantikannya tidak diragukan lagi.

Seperti disebutkan tadi, Hwang Jin Yi berasal dari keluarga terpandang. Karena terkuaknya latar belakang keberadaannya di masa lalu, dia memutuskan untuk terjun ke dunia kiseang. Bagi sebagian orang lasan tersebut terkesan mengada – ada.
Secara cerita, film ini tidaklah istimewa. Plot ceritanya bisa dikatakan hamper sama dengan film lain yang juga sama – sama bercerita mengenai seluk beluk wanita penghibur. Hanya seja kita di hadapkan pada setting yang berbeda. Seperti dalam Memoirs of Geisha, Hwang Jin Yi juga terlibat percintaan terlarang, karena adanya perbedaan status. Pria itu adalah Nom-Yi (Ji-tae Yu ), teman masa kecilnya yang menjadi buruan pemerintah karena berbagai aksinya. Bisa ditebak akhirnya Hwang Jin Yi terjebak antara pertarungan kedua belah pihak.
Hwang Jin Yi bukanlah film istimewa, tetapi paling tidak kita diajak untuk sedikit melihat tentang budaya dan sejarah yang ada di Korea Selatan.3/5


English

HWANG JIN-YI

Each country has its own women comforter with its name and characteristic it’s own. But generally they were there to satisfied the man’s fantasy. If in Indonesia there is Ronggeng, Geisha in Japan, and Kiseang that what women comforter call in South Korea.
Kiseang is the same with Geisha in Japan. They have to comfort men that come to the place for fun. Before they do it they got some training how to serve the guest, from the classic China, law, philosophy, literature and history, especially art history. So before they become an entertainer a Kiseang have to intellectually prepared because of wealth and education people who can use their service only.
Hwang Jin Yi (Hye-kyo Song) is a legendary kiseang, because of her dramatic live path. Hwang Ji Yo is a well known and class kiseang. Beside she is coming from respected family, she has talent to play geomungo (a kind of music instrument) and also skilled to make sijo (some kind of poetry). Beside that her beauty is no doubt.
Hwang Jin Yi is come from respected family but because her past is revealed so she decide to jump to the kiseang’s world. Which for some people the reason is too artificial.
As a story the film is not too special. The plot is just look a like with the other that tell about the women comforter. It's just different setting. Like Memoir of Geisha, Hwang Jin Yi is also include on forbidden love, because of the different status. The man is Nom-Yi (Ji-Tae Yu), his friend as she was child that become government wanted because of his action. It can be guess that finally Hwang Jin Yi is trapped between both side.
Hwang Jin Yi is not a special film, but at least we were taken to see the culture and the history of South Korea. 3/5

Rabu, 06 Februari 2008

GONE BABY GONE

Rabu, 06 Februari 2008 0

Ben Affleck menyutradarai film? Sebuah hal yang membuat kening berkerut, mengingat karirnya yang semakin menyurut karena pemilihan film yang kurang penting dan juga terlalu sibuk dengan urusan pribadi. Langkah Ben Affleck tersebut menimbulkan keraguan banyak pihak, selain karena factor yang telah disebutkan tadi, tadi juga karena keberanian dia mengangkat cerita dari novel karangan Dennis Lehane, penulis yang karyanya yang lain Mystic River sukses diangkat ke layar lebar oleh Clint Eastwood.
Ternyata sebagai sebuah karya perdana, film ini bisa dibilang sangat memuaskan. Tidak bisa dipungkiri, melihat film ini mengingatkan kita akan film Mystic River yang kelam dalam bertutur, peristiwa penculikan anak sebagai sarana mengupas watak manusia dan permainan para cast-nya yang memikat.

Tanpa basa – basi, sejak film dibuka kita sudah dihadapkan pada kasus hilangnya seorang gadis kecil. Sebuah kejadian yang banyak menyita perhatian karena adanya atensi media yang besar. Kemudian kita diperkenalkan kepada sepasang kekasih Patrick ( Casey Affleck ) dan Angie ( Michelle Monaghan ). Keduanya diminta oleh bibi gadis kecil yang diculik tersebut untuk menemukannya kembali.
Penyelidikan keduanya mengajak kita menelusuri kehidupan yang tidak mereka duga sebelumnya. Mulai dari mafia, pedophilia, narkotika sampai dengan polisi yang menyalahgunakan posisi mereka. Disini kita diajak untuk melihat betapa dunia yang ada sekarang bukanlah sebuah dunia yang pantas untuk tempat tinggal anak – anak. Sebuah dunia dimana manusia hidup sesuai aturan yang mereka anggap benar.
Pada akhirnya film ini memang mengajak kita untuk kembali mempertanyakan pilhan yang kita ambil lewat motif yang melatarbelakangi tindakan setiap tokoh dalam film ini. Apakah sudah tepatkah langkah yang kita ambil tersebut, walaupun kadang dengan maksud yang mulia?
Film ini menyerahkan semuanya pada penonton. Disini penulis cerita seakan mengaburkan batasan antara yang benar dan yang salah, sehingga kita sebagai penonton akan mengalami kesulitan kepada siapa harus berpihak. Dari akhir cerita yang ditampilkan, kita bisa melihat pilihan apa yang menurut penulis cerita merupakan langkah terbaik. Mungkin banyak yang kurang bisa menerima akhir cerita yang dipilih tersebut, tetapi sekali lagi, semuanya terserah pada kita bagaimana memandang persoalan yang ada.
Lewat jalinan cerita yang disajikan, ada satu hal yang pasti, bahwa sebagai manusia yang (idealnya) lebih dewasa, kita wajib menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak-anak kita, agar mereka tidak “hilang” Gone baby gone.
Ben Affleck sebagai sutradara debutan mampu menghadirkan tontonan yang enak dinikmati. Meski berbekal cerita yang kelam, Ben Affleck mampu memposisikan dirinya sebagai story teller yang baik. Dia tahu benar bagaimana mengatur irama cerita. Pasa satu adegan tertentu, kita disuguhi adegan yang mengalir pelan, tetapi kemudian kita disuguhi dengan kejutan – kejutan yang mengasyikkan.
Selain itu dia juga berhasil membuat para pemain di film ini mengeluarkan kemampuan terbaik mereka, terutama Casey Affleck yang dengan wajah imutnya berhasil membuat penonton merasa dekat dengan karakter yang dia mainkan dan menimbulkan simpati. Amy Ryan sukses memerankan ibu bermasalah yang menyebalkan. Begitupun dengan Ed Harris yang selalu pas sebagai karakter yang berseberangan, serta Morgan Freeman yang mampu membuat penonton memaklumi pilihan yang diambil.
Melihat pencapaian yang berhasil Ben Affleck raih lewat film ini, tampaknya dia lebih berbakat menjadi penulis cerita atau sutradara dibandingkan menjadi bermain film. Kalau Mystic River belum pernah dibuat, mungkin juri Oscar akan melirik film ini. Dan mungkin suatu saat dia akan mengarahkan temannya, Matt Damon, dalam sebuah film yang berbicara banyak di ajang Oscar. Siapa yang tahu. 3,5/5

English

GONE BABY GONE

Ben Affleck is directing a film? Something that make our forehead shrivel, considering that his career is turning down because he did wrong for picking the film and because of too busy to mind his personal problem. Ben Affleck’s step is doubting so many side beside the consideration of bad career he had also because of his guts to bring the story from Dennis Lehane’s Novel, the writer of Mystic River that success on wide screen by Clint Eastwood.
In fact, as a debut as director, this film is remarkably satisfying. To see this film is remind us to Mystic River that so dark and telling, the children kidnapping is the media to strip the human character and the role of its actor that attractive.
Since the film opened we already face the missing of a little girl case. A happen that take a lot of attention because it’s in media. Then we introduced to a lover couple Patrick (Casey Affleck) and Angie (Michelle Monaghan). Both of them is asking to help to find the little girl by her aunty.
The investigation is taking us to the live that they were never expect before. From the mafia, pedophilia, drugs until the cop that use his power in wrong way. In the film we are about to see that now, the world is not a world that proper for children to live in. A world that people live according to the rules they consider it right.
In the end the film is taking us to question the choice we are taking through the motives that become a basic of the action of each character. Is it we make the right step, even sometimes with a noble intention?
The film is giving all to the audience. In here the writer is blurring the border between the right and the false, so we are as audience will be hard to make a choice where we have to take a side. In the end of story we can see what the writer thought about the best choice. Perhaps a lot of people that can not be agree the way of story ending. But once again everything is up to us how we see in matter.
Through the story there is one thing for sure that is as a human which is maturely, we have to create the neighborhood that is fit and comfort for children, so they are not missing. Ben Affleck in debut as a director is able to perform the show that enjoyable. Even it’s with the dark story, Ben Affleck is able to positioning him self as a good story teller. He knew how to direct the story rhythm. In one scene there so slow, but suddenly we surprised with attractive scenes.
Beside that he is able to make the cast in the film to perform all out, especially Casey Affleck with his baby face that able to make the audience feel close and sympathize with his character. Amy Ryan is succeed playing a trouble annoying mother. So is Ed Harris which always fit as crossroad character, Morgan Freeman that able to make the audience to understanding the choice he made.
Seeing the accomplish of Ben Affleck trough this film, likely he is more talented to become script writer or as a director to an actor. If Mystic River haven’t made before, perhaps Oscar’s jury will see this film. And someday he will direct his friend, Matt Damon in the film that will do a lot in Oscar, who knows. 3.5/5

Senin, 04 Februari 2008

ONCE

Senin, 04 Februari 2008 3

ONCE adalah sebuah film yang jujur, sederhana dan nyaman untuk dinikmati. Setelah banyak digempur dengan film – film dengan tampilkan efek visual yang wah dan sound yang menggelegar, melihat film ini mampu menghasilkan sebuah sensasi tersendiri. Film disajikan dengan porsi yang pas, tidak lebih dan tidak kurang.
Kisahnya sendiri sangat sederhana. Tentang seorang pengamen, Guy ( Glen Hansard ) dan hubungannya dengan perempuan imigran, Girl (Markéta Irglová ). Tidak seperti umumnya film Hollywood, hubungan kedua orang berlainan jenis tersebut digambarkan adem ayem, jauh dari letupan dan tak ada gairah yang menggebu – gebu. Intinya tidak ada penggambaran perasaan yang ekstrem. Kita diajak menyelami apa yang mereka rasakan lewat lagu – lagu yang mereka mainkan. Sebuah penggambaran yang manis.

Film ini terkesan ingin “menyentuh” penontonnya dengan menghadirkan karakter – karakter yang bersahaja dan membumi. Kesan ini makin kuat dengan tidak disematkannya nama pada tiap tokoh – tokoh yang ada. Mereka hanya dilabeli dengan Guy, Girl, Girl’s Mother, Bassist Dude, Singer at Party dan label lainnya. Film ini makin bersahaja dengan pemilihan pemain dengan tampilan fisik yang biasa – biasa saja. Siapa sih yang kenal dengan Glen Hansard atau Markéta Irglová?
Kekuatan film yang diproduksi hanya selama 17 hari saja ini ada pada lagu – lagu yang menghiasi sepanjang film ini. Lirik lagu – lagu dalam film ini begitu apa adanya dan diaransemen dengan sederhana. Namun justru dengan kedua hal tersebut, lagu –lagu yang ada menjadi begitu kuat dan merasuk di hati penonton. Tidak mengherankan bila Academy Award dan Grammy memasukkannya dalam daftar unggulan.
Lagu – lagi dalam film ini makin enak dinikmati berkat suara Glen Hansard yang berat sedap dan suara Markéta Irglová yang empuk tapi kadang terdengar sendu. Mendengar suara mereka seperti mendengar Chris martin dan Dido berduet.
Sineas Indonesia bisa belajar dari film ini. Bagaimana menghasilkan film sederhana tapi kuat, dan yang terpenting enak dinikmati dan dengan biaya yang tidak besar. Film ini sangat tepat dinikmati ketika pikiran sedang penat, karena film ini berhasil menghadirkan atmosfer yang nyaman di hati penontonnya. 4/5

English

ONCE

Once is a honest film, simple and comfort to see. After so many film that come up with visual FX and out loud sound. Seeing this film can give its own sensation. A film that pour so fit, not less not more.
The story it self is so simple. About the singing beggar, Guy (Glen Hansard) and his relationship with an immigrant, Girl (Marketa Irglova). Not like common Hollywod's film, the relation between two person who has different gender is flowing cool and far from passion. There is no extreme expression of emotion. We are bringing to see what they feel through songs they played. A sweet description.
The film is wanting the audience touched by the present of the characters that humble and down to earth. The impression is stronger with no name on the characters. They just given name with Guy, Girl, Girl's Mother, Bassist Dude, Singer at Party and the other name. It's getting more humble with the performance of the cast that only have ordinary physical appearance. Who knows Glen Hansard or Marketta Irglova?
The strength of the film that produce for about seventeen days is on the songs that decorate along the film. The lyrics are so simple and as it is, so is the arrangements. That is making the songs so powerful and stick to the heart. No wonder that Academy Award and Grammy sign the song to the top nominee.
The song become more enjoyable because Glen Hansard's voice that nice heavy and Marketa Irglova's voice that so smooth and sound sad sometimes. Listening they sing is like listening Chris Martin and Dido on duets.
Indonesian film maker should be learning from this film. How to produce a simple strong film. And the most important is enjoyable. The budget isn't large either. Good film to see when you are having a hard day because this film is can bring the peace and comfort atmosphere to the audience's heart. 4/5

HULA GÂRU ( HULA GIRLS )



Menyaksikan film Hula Girls mampu menghadirkan semangat tersendiri. Semangat dalam menykapi perubahan. Kadang sulit sekali menghadapi sebuah perubahan, apalagi kalau hidup kita sudah terpola sedemikian rupa dengan pemikiran – pemikiran yang melekat sejak usia dini. Perubahan tersebut makin sulit diterima bila agen yang membawa angina perubahan tersebut adalah kaum minoritas atau mereka yang terpinggirkan.
Hula Girls mengisahkan perjuangan para perempuan di lingkungan pertambangan batu bara dalam usahanya mewujudkan hidup yang lebih baik buat semua. Tambang tersebut akan ditutup karena sudah tidak produktif lagi, dan sebagai gantinya akan dibuka tempat wisata dengan nuansa Hawai. Sebuah proyek ambisius mengingat daerah tersebut merupakan daerah dingin, dimana jarang mendapatkan sinar matahari. Banyak yang menentang proyek tersebut, mengingat banyak penduduk di kawasan tersebut sudah sejak lama hidup dari keahlian mereka menambang. sebuah pekerjaan yang membuat nyawa mereka sebagai taruhannya.
Namun tidak demikian dengan dua sahabat, Kimiko (Yû Aoi ) dan Sanae (Eri Tokunaga ). Mereka beranggapan bahwa satu – satunya cara menyelamatkan kawasan tersebut dari keterpurukan adalah dengan belajar tari Hula. dalam usahanya tersebut, banyak sekali hambatan yang mendatangi mereka, mulai dari tantangan dari keluarga sendiri, pandangan sinis dan merendahkan dari guru tari mereka, Madoka (Yasuko Matsuyuki ) sampai pandangan sebagian besar orang yang melihat tari Hula sebagai tarian cabul.


Namun keduanya tidak pantang menyerah. Mereka terus berusaha mewujudkan hal tersebut. Dalam perjalanan mewujudkan hal tersebut, banyak hal mereka temui, mulai dari peristiwa lucu, bahagia, mengharukan dan juga menyedihkan yaitu ketika kedua sahabat tersebut pada akhirnya harus berpisah. Pada perkembangannya Kimiko tidak sendirian, ada banyak perempuan yang ikut bergabung.
Film ini diangkat dari sebuah kisah nyata yang terjadi di tahun 1960-an, jadi sudah bisa ditebak bagaimana akhir dari film ini. From zero to hero. Film ini mengajak kita untuk melihat, bahwa tidak selamanya perubahan itu membawa dampak nigatif. Kadang yang terpenting bukan perubahan itu sendiri, namun apa yang terjadi sesudahnya dan bagaimana kita menyikapinya. Satu hal yang penting adalah agar dampak positf lebih besar, ada baiknya kita siap sebelum perubahan itu terjadi. Berubah untuk perubahan.
Bisa dibilang film ini sebagai film yang feminis, karena perempuan disini digambarkan punya semangat dalam membawa perubahan kearah lebih baik. Kadang kita memandang sinis peran perempuan dalam sebuah aksi, terutama pada daerah dimana system patriarki tertanam dengan kuat. Kadang kita lupa bahwa mereka juga punya semangat.
Semangat disini juga tercermin dari usaha para pemain dalam menghadirkan tontonan yang menghibur dan bermakna. Para pemain di film ini tidak mempunyai dasar menari, dan mereka dilatih selama 3 bulan penuh. Melihat aksi mereka di akhir film, tercermin semangat mereka yang besar. Aksi mereka benar–benar……………...wow! Sebuah akhir yang patut ditunggu. Semangaaaaaaaaaaaaaaatttt!!!!!! 3,5/5



DORORO


Dalam hal menciptakan tokoh dengan karakter yang unik, rasanya belum ada yang bisa mengalahkan film produksi Jepang. Keunggulan ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Komik/Manga yang begitu pesat. Kreator komik selalu menghadirkan karakter yang unik, bahkan cenderung ganjil untuk mencuri perhatian para penikmat komik, mengingat banyaknya komik yang diedarkan.
Seperti halnya Hollywood yang sukses mendulang dolar lewat film yang diangkat dari komik semacam Spiderman atau Batman, di Jepang juga banyak film sukses yang diangkat dari komik, salah satunya adalah Dororo. Film ini diangkat dari komik berjudul sama, hasil kreasi Osamu Tezuka, yang sebelumnya sukses menelorkan Atom Boy.
Kisahnya beerpusat pada usaha Hyakimaru (Satoshi Tsumabuki ) dalam mengembalikan 48 anggota tubuhnya yang dipersembahkan oleh Kagemitsu Daigo (Kiichi Nakai ) kepada setan demi ambisinya memperoleh kekuasaan. Sejak kecil, Hyakimaru hidup dengan anggota tubuh hasil “rakitan” Jukai (Yoshio Harada ). Dia tak ubahnya Frankenstein atau mungkin Inspector Gadget. Hal ini membuat hidupnya menjadi tidak normal. Untuk mendapatkan kehidupan yang normal, dia harus memburu ke 48 iblis yang menyandera anggota tubuhnya tadi.


Dalam usahanya tadi, dia bertemu dengan Dororo (Kou Shibasaki ), seorang pencuri perempuan yang merasa dirnya bukan perempuan hanya karena dirinya tidak mempunyai payudara karena suatu peristiwa di masa lalu. Bukan sebuah kelaziman, judul sebuah film diambil dari pemeran pembantu. Karakter Dororo inilah yang membuat film menjadi lebih menarik. Karakternya yang jahil dan banyak omong seakan menjadi katalis bagi karakter Hyakimaru yang dingin. Belum lagi motivasi dia mengikuti Hyakimaru adalah demi sebuah petualangan dan juga pedang yang menjadi tangan Hyakimaru.
Selain interaksi antara dua karakter yang sangat berbeda tadi, satu hal yang asyik dalam film ini adalah ketika kita menebak bagian tubuh mana yang akan “tumbuh” setelah Hyakimaru berhasil membasmi satu iblis. Meskipun kadang terlihat menjijikkkan, namun mampu membangkitkan rasa penasaran.
Diluar cerita yang imajinatif dan karakter yang ganjil dalam efek visual yang kadang terlihat kasar dan juga durasi yang terlalu panjang, film ini sebenarnya mempunyai tema cerita yang simple namun sangat penting, bahwa seorang anak berhak mendapatkan perlakuan yang layak. Anak adalah harta yang paling berharga. Save our children!
Sampai dengan film berakhir, Hyakimaru masih belum komplet sebagai manusia. Tapi jangan khawatir, sutradara Akihiko Shiota masih akan meneruskan petualangan Hyakimaru dan Dororo dalam dua film lagi. 3/5

English

DORORO

In creating a unique character it seem that no one is able to beat Japanese film. The advantage can not separated from the development of manga and comic. The creator of comics is always able to present a unique character and odd to steal the attention of comics lover, considering that so many comics have been release.
Like Hollywood that success take dollars through the film that bring from comics such as Spiderman or Batman, in Japan there are so many success film that bring from comic story, Dororo is the example. The film is taken from Osamu Tezuka’s same titled comic creation, which is success with Atom Boy.
The story is centered on the Hyakimaru’s aim (Satoshi Tsumabuki) in case to regain his 48 body parts which is given by Kagemitsu Daigo (Kiichi Nakai) to the devil for the power sake.
Since little, Hyakimaru lived with artificial body part that made by Jukai (Yoshio Harada). He has no different with Frankenstain or Inspector Gadget. This is make his live not normal, he had to hunt down the 48 devils who take his body parts.
In his way, he meet with Dororo (Kou Shibasaki), a thief girl who feel that she isn’t she just because she has no breast because of something happen in her past. It’s not usual that the title is taken from the assistance role. It’s Dororo’s character that make the film is more interesting. Her sneaky and talk active character seem to be a catalyst of Hyakimaru’s cool character. And her motivation following Hyakimaru is just for an adventure and also a sword that become Hyakimaru’s hand.
Beside the interaction between different two character, one thing that attract in this film is when we will guess which body part of Hyakimaru will grow after Hyakimaru successes demolition a devil. Even sometimes it’s disgusting but it can bring curiosity.
Beside the story and character that imaginative, the visual FX sometimes look so rough and the duration is also too long. The film is particularly have story theme that simple but important also. That a children deserve a proper threat. Children is our most valuable thing. Save our children!
Till the end of the film, Hyakimaru still not has his body completely as a human. But do not worry, the director Akihiko Shiota still continues the Hyakimaru and Dororo’s adventure in two sequel. 3/5

1BEONGA-UI GIJEOK (MIRACLE ON 1ST STREET )


Melihat film komedi dari Korea Selatan menghadirkan sensasi yang berbeda dibandingkan melihat film komedi produk Hollywood. Kalau film komedi Hollywood, akhir – akhir ini menuju kearah pendangkalan dengan menghadirkan humor dan gambar cabul untuk memancing kelucuan, film komedi dari Korea Selatan lebih memanfaatkan situasi sebagai sumber kelucuan. Hasilnya terasa lebih segar dan lebih nyaman untuk dinikmati.
Miracle on 1st Street bercerita mengenai sebuah pemukiman dengan segala romantikanya. Cerita diawali dengan masuknya Pil-je (Chang Jung Lim ) ke pemukiman tersebut. Dia adalah seorang mafia diutus oleh seorang pengusaha real estate yang ingin mengubah kawasan tersebut menjadi kawasan yang lebih baik. Kesialan demi kesialan mengiringi kehadiran Pil Je di pemukiman tersebut. Terutama dengan minimnya fasilitas yang diberikan oleh pengusaha yang mempekerjakannya. Disini kita disuguhi adegan-adegan lucu yang mengocok perut, terutama adegan ketike Pil Je minta kepada asistennya untuk dibuatkan WC duduk. Hidup Pil Je makin rumit karena ternyata tidak mudah membujuk penduduk di kawasan itu untuk menandatangani penyerahan tanah mereka.
Film ini makin asyik dan lucu ketika Pil Je mulai bersinggungan dengan beberapa orang di pemukiman tersebut, mulai dari 3 anak kecil dengan sifat yang unik sampai pertemuannya dengan Myung-ran, seorang gadis tomboi yang bercita-cita menjadi juara tinju tingkat Asia. Sejak saat itu hidup Pil Je menjadi lebih berwarna, sekaligus makin memperumit hidupnya. Kehadiran Pil Je yang awalnya dianggap musuh ini ternyata membawa perubahan di pemukiman tersebut. Disisi lain kita di juga disuguhi kisah cinta yang menghanyutkan.
Untuk sebuah film yang menggunakan judul Miracle, film ini tidak mengumbar keajaiban demi keajaiban yang ditampilkan berlebihan dan tidak masuk akal seperti halnya film lain yang menggunakan pkata Miracle dalam judulnya. Keajaiban disini ditunjukkan dengan halus, lewat perubahan hidup maupun karakter dari para tokohnya. Keajaiban nyang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mengisi hidup mereka dengan cinta dan harapan.
Film ini juga lumayan banyak menampilkan kritik sosial. Terutama dalam menggambarkan perlakuan orang yang kaya modal terhadap orang-orang miskin. Kaum miskin selalu terpinggirkan di dunia yang sangat memuja materi ini. Pada kehidupan nyata, si miskin seringkali dianggap sebagai bagian yang tidak penting, bahkan menjadi beban. Oleh karenanya mereka seringkali diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Akhir dari film inipun tidak berpihak kepada kaum marjinal tadi. Tapi film ini mengajarkan kita bahwa ada yang lebih berharga dari harta benda, yakni cinta yang membuat harapan tetap hidup dalam diri kita, dan jangan lupa untuk tetap tersenyum. Satu hal yang mengganggu dalam film ini adalah seringnya memukul kepala, terutama pada anak – anak. Mungkin di Korea Selatan hal tersebut sebuah hal yang wajar, tapi terlihat kasar bagi yang tidak biasa melihatnya. 3,5/5


English

1BENGOA-UI GIJEOK (MIRACLE ON 1ST STREET)

Seeing South Korean comedy film is bring different sensation comparing with the Hollywood's comedy film. If Hollywood's comedy film at recent days is going to dull with its humor and show some porn to pull the fun. South Korean comedy film is taking the situation to a source of fun. And it's more comfortable and enjoyable. Miracle on 1st Street tells about a district with all of live in it. It begin when Pil-Je (Chang Jung Lim) is arriving to the district. He is a mafia that send by a real estate businessman that want to change the district better than before. Especially with the minim facilities that given by the businessman who hired him. We will see funny scenes here especially when Pil Je ask his assistant to made him a sitting closet. Pil Je's live is getting complicated because it's not easy to persuade the inhabitant to sign the deal to give their home.
The film is getting funny when Pil Je is attach with some person who lived in there, from three little children who have unique personality to his meet with Myung Ran, a manly girl that has object to be an Asian champion as a boxer. Since then Pil Je's Live become colorful and getting complicated. The present of Pil Je that considered as an enemy become agent of change at that district. On the other side we will see the wander love story.
For a film that using miracle on the tittle, the film isn't show the miracle it self cheaply. Just not like the other film that using term of miracle on its tittle. The miracle here is shown with smoothly through transformation of the character. Miracle that can only feel by the people that fill their live with love and hope.
The film is also have social critic message. Like on the describe how the rich people treat the poor. The poor that always be marginal in the material world like today. And in the real live the poor is placed in the unimportant part, and become a burden. So they always take unproper treat as human.
Ending of the film is not taking side to the marginal people. But it's teaching us that there are thing that more valuable than material, which is love and hope. And do not forget to smile, always. One thing that annoying in this film is there are much slap on the head, especially to children. Perhaps it's usual thing in South Korea, but it's look too harsh to whom that not used to see it. 3.5/5

SUPERBAD


Sama halnya ketika usai menyaksikan Koncked Up, keheranan kembali muncul usai meayakasikan film Superbad. Film yang lahir dari sentuhan Judd Apatow ini mampu membuat penonton di Amerika berbondong – bondong ke bioskop. Banyak kalangan yang mengatakan film ini begitu lucunya. Rasa heran tersebut muncul, karena usai melihat film ini timbul pertanyaan ada pada bagian mana kelucuan dari film ini.
Film ini hanya menampilkan 3 remaja yang ingin melepas keperjakaannya sebelum masuk ke universitas, Seth ( Jonah Hill ), Evan Michael Cera dan Fogell ( Christopher Mintz – Plasse ). Sebuah hal yang bukan masalah bagi remaja yang keren, tetapi sebuah masalah besar bagi ketiga remaja yang bisa dibilang jauh dari keren tersebut.
Sepanjang film berjalan kita disuguhi bagaimana usaha ketiga remaja tersebut untuk mewujudkan impian mereka tersebut. Kita disuguhi banyak adegan dan dialog tidak penting, serta cabul terutama kata – kata yang keluar dari mulut Seth. Film ini semakin membuat sakit kepala ketika muncul dua polisi gila. Melelahkan sekali melihat sekumpulan orang yang tidak henti – hentinya membahas sesuatu yang kadang tidak jelas arahnya. Sulit rasanya untuk bersimpati kepada tokoh- tokoh yang ada di layar, terutama kepada Seth yang tidak henti – hentinya “mengoceh”. Berbeda sekali dengan American Pie, yang meskipun menyuguhkan premis cerita yang mirip, tetapi masih enak dinikmati.
Kalau film ini menjadi laris di Amerika karena alasan cerita yang ditawarkan terasa membumi, muncul rasa iba karena seks yang dijadikan sebagai patokan. Kesannya seks adalah segala – galanya bagi remaja yang mau lulus. Bukannya seks tidak penting, tapi seks dalam film ini sudah masuk kategori overrated. Begitupun dalam kebanyakan film produk Hollywood.
Melihat jajaran penulis ceritanya, bukan tidak mungkin film ini ada kaitannya dengan pengalaman masa muda kedua penulis cerita dari film ini, Seth Rogen dan Evan Goldberg. Sesuai judulnya, film ini memang Super…………Bad! 1,5/5


English

SUPERBAD

It's just amaze after seeing. Film from Judd Apatow can make the American audience go to the theater. So many people said that the film is funny. The amaze is come up just after saw the film, I wonder where the funny thing lies.
The film is telling the three teenagers that want to release their virginity before go to the college. Seth (Jonah Hill, Evan Michael Cera and Fogell (Christopher Mintz – Plasse). Something usual for cool teenager, but it is a big problem for teenager that lower than cool.
A long the film we will see the three teenagers aim to full fill their dream. We will see there are so many scenes and dialogs so unimportant. And there are so many indecent words that came out from Seth's mouth. It's getting terrible when there are two mad cops shown up. It's just tired to see a bunch of people that discuss something unimportant which do not have a clue where it gonna end. And there are no sympathy for Seth that never stop talking. It so different with American Pie even that give the same story premise, but it still good to enjoy.
If the film is popular in America it's just because that the offered story is down to earth, there is compassion to sex because it become a standard of live. Sex is become everything to the teen if they close to graduation. Not that sex is unimportant but it's overrated in this film. So is the most of Hollywood's film.
Notice the writers of the story, it's not impossible that the film is their own experience as they were young, Seth Rogen and Evan Goldberg. Like its tittle it is very super..... bad!. 1.5/5

KAWIN KONTRAK


Film Kawin Kontrak seakan menegaskan bahwa sineas Indonesia masih harus banyak belajar untuk menghasilkan sebuah film komedi yang lucu sekaligus menghibur serta kuat dari segi naskah. Dengan tema cerita yang cukup kuat dan aktual harusnya film Kawin Kontrak bisa menjelma menjadi sebuah film yang sensual dan menggigit. Disini penulis cerita seakan – akan mengalami kebingungan dalam membawa cerita ke arah mana. Hasilnya, film ini hanya sebatas bermain – main dengan seks.
Ceritanya berpusat pada tiga orang remaja Rama ( Dimas Aditya ), Dika ( Harry Tjan ) dan Jodi ( Ricky ) yang ingin “mencicipi” seks secara halal, tetapi tanpa tanggung jawab yang besar.
Cerita sekelompok remaja putra yang bermain – main dengan seks cukup sering diangkat di Hollywood. Yang paling fenomenal tentu saja American Pie, dan juga Superbad.
Setelah memikirkan berbagai alternative, mereka akhirnya memilih kawin kontrak sebagai tempat pelampiasan nafsu mereka. Maka berangkatlah mereka ke sebuah desa yangmenawarkan kawin kontrak tersebut. Setelah masing – masing mendapatkan pasangan “resmi”, kecuali Rama, mereka dihadapkan pada situasi – situasi yang tidak terduga dan mengejutkan.
Sebenarnya dalam kawin kontrak banyak hal menarik yang bisa digali, namun entah mengapa hal tersebut kurang tersampaikan dalam film ini. Kawin kontrak hanya dijadikan sarana untuk memunculkan guyonan – guyonan seks yang kadang tidak lucu. Dalam film ini kurang digambarkan, apa dan bagaimana kawin kontrak. Yang namanya kawin kontrak pasti ada perjanjian tertulis yang didalamnya terdapat syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, namun disini kawin kontrak hanya digambarkan sebagai salah satu sarana penyaluran libido pria hidung belang.
Selain itu, sepertinya penulis cerita kurang dalam mengadakan survey untuk memperkuat cerita. Penulis cerita seakan –akan lupa ( atau belum tahu ), kalau pada tahun 2006 NU mengeluarkan fatwa yang menyebutkan bahwa kawin kontrak adalah perbuatan haram karena identik dengan pelacuran.
Hal ini diperparah dengan gaya bertutur yang dipilih. Ketika di awal kita disuguhi adegan – adegan yang dimaksudkan untuk membuat tertawa, melewati separuh film kita diajak mengikuti jalinan cinta mendayu - dayu antara Rama dengan Isa (Dinda Kanyadewi). Dan ketika kita disuguhi adegan yang maunya nggrantes, dibagian akhir film tiba – tiba kita disuguhi adegan – adegan yang bodoh dan tidak masuk akal.
Sayang sekali, padahal film ini sudah disukung dengan lokasi yang ciamik. Mungkin karena kita terlalu sering disuguhi adegan perkotaan, sehingga apa yang ditawarkan oleh gambar dalam film ini seakan – akan menghapus kerinduan kita akan sesuatu yang lain. sesuatu yang segar. Sesegar penampilan Wiwid Gunawan yang aduhai.
Dari segi acting, Likman Sardi sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai actor serba bisa. Gaya bicara dan olah tubuhnya “makelar” sekali. Dari barisan bintang muda, paling asyik melihat penampilan Harry Tjan yang berperan sebagai pemuda masochist, mengingat tampangnya yang lucu. Ricky Harun lumayan berhasil menampilkan potensinya, sedangkan Dimas Aditya masih harus banyak belajar, terutama untuk acting tertawa. Dan untungnya di film ini ada Wiwid Gunawan yang penampilannya begitu “menonjol”. Film ini makin enak dinikmati berkat iringan musik yang digarap oleh Naif. Pas banget. 2/5


English

KAWIN KONTRAK

Kawin Kontrak’s film is straighten that the Indonesian film maker has to learn a lot more to produce a comedy film that entertain and strong on script. With actual strong story theme, Kawin Kontrak should be a film that sensual and bite. The writer confused where the story is going to end. And the result is the film just like playing with sex.
Center of story is on three teenagers, Rama (Dimas Aditya), Dika (Harry Tjan) and Jodi (Ricky) that want to taste a legal sex, but without big consequences.
Story about a bunch of teenager that play with sex is often we see as a film in Hollywood. And the phenomenon is American Pie and also Superbad.
After figure some alternative way, they finally choose Kawin Kontrak as a place to release their desire of sex. So be it, they are going to a village that offered Kawin Kontrak. After each of them has the official partner, but not for Rama, then they have to face the surprise and unexpected situation.
Literally there are so many thing that can dig more in Kawin Kontrak, but some how the thing is not come up in this film. Kawin Kontrak just a media that come up the scene that sometimes isn’t funny at all. In the film, the describing of Kawin Kontrak it self is not detail. In kawin kontrak there should be a deal that written and there are terms that have to complete from both but in here kawin kontrak just become a media to release the desire of womanizer.
The script writer seem lack on survey to strengthen the story. The writer is forget (or do not know) that in 2006, NU (Nahdatul Ulama) is forbidden kawin kontrak because it’s the other word of prostitution.
It’s worse with the story teller style. The story that want to make the audience laugh were placed before at first, but then after a half we were taken to follow the love story of Rama and Isa (Dinda Kanyadewi). And suddenly we will see the stupid and not make sense scenes at the ending.
So unfortunate, because the film is supported with such location. Perhaps just because we are so often see the city scenes so what is in the picture release our miss sense to something that different, something fresh. As fresh as the performance of Wiwid Gunawan.
From the acting side Lukman Sardi is showing his capacity as talented actor. His style and the way he speak is so salesman. From the teen actor the coolest performance is showed by Harry Tjan that play as a masochist youngman, considered that he has a funny face. Ricky Harun is not to bad on his performance, but Dimas Aditya has to learn a lot more, especially for the laugh acting. Luckily there were Wiwid Gunawan that so come up. And the film is more enjoyable because the soundtrack from Naif. So fit. 2/5

 
GILA SINEMA. Design by Pocket