Jumat, 20 Februari 2009

HEATH LEDGER IS NOT DEATH : WHY SO SERIOUS?!

Jumat, 20 Februari 2009 11



Pada tanggal 22 Februari 2008 setelah jam 9 malam waktu Hollywood bertempat di Kodak Theatre, Tilda Swinton membuka amplop untuk mengumumkan siapa yang berhak membawa pulang Piala Oscar untuk kategori Best Supporting Actor. And the Oscar goes to…..Heath Ledger! Sebuah kemenangan yang sudah banyak pihak menduganya. Mereka yang hadir segera berdiri untuk memberikan standing ovation kepada yang bersangkutan. Di TV bisa kita lihat, Michelle Williams yang mencoba menahan tangis sambil memeluk erat Mathilda.
Ketika Christopher Nolan menaiki tangga untuk mewakili Heath Ledger menerima piala, semua yang hadir terperangah melihat satu sosok yang tiba-tiba muncul dari belakang panggung. Orang tersebut berdandan layaknya Joker dalam film The Dark Knight! Langkah Cristopher Nolan terhenti dan terpaku, Tilda Swinton terbelalak hingga mulutnya terbuka dan Michelle Williams terjatuh pingsan dengan Mathilda yang menangis disisinya karena bingung dengan apa yang terjadi. Dengungan mulai terdengar memenuhi ruangan. Di luar dan di berbagai belahan dunia, banyak orang terpaku di depan televisi penasaran dengan apa yang selanjutnya akan terjadi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata Heath Ledger belum mati, atau tepatnya tidak mati. Semua yang terjadi sebelumnya ternyata adalah bagian dari strategi dagang jenius yang tidak bisa dipungkiri amat sangat berhasil. The Dark Knight menciptakan banyak rekor baru dengan hasil perolehan dolar yang amat fantastis. Dari segi kualitas, banyak pihak yang mengamini kalau The Dark Knight layak masuk deretan film terbaik sepanjang tahun 2008, bahkan ada yang berani mengklaim The Dark Knight sebagai film terbaik sepanjang masa. Semua pencapaian dan sorotan yang luar biasa tadi tidak bisa dipungkiri tidak bisa dilepaskan dari sosok bernama Heath Ledger. Coba bayangkan tanggapan yang didapat The Dark Knight andaikan Heath Ledger tidak meninggal?
Kalau rajin mengikuti berita seputar “kematian” Heath Ledger tentu akan mendapati bagian dimana hal yang membuatnya meninggal adalah obat yang dia konsumsi untuk menekan depresi akibat terlalu larut dalam perannya sebagai Joker. Karena terlalu larut dalam karakter Joker inilah, dasar munculnya ide usil untuk “mematikan” Heath Ledger. Seperti kita ketahui Joker dalam The Dark Knight digambarkan sebagai sosok yang kejam, jenius serta manipulatif berbalut jas warna ungu dengan dandanan layaknya badut.
Meski berpenampilan layaknya badut, Joker bulanlah orang yang lucu dan menghibur, karena dia sendiri baru merasa terhibur kalau berhasil menyingkirkan orang yang tidak disukainya tanpa pandang bulu. Bahkan kadang tanpa motif sekalipun, yang penting dia merasa senang. Hobinya bukanlah menciptakan kebahagiaan, karena dia merasa bahagia sekali ketika berhasil menciptakan kekacauan atau kehebohan
Kehebohan inilah yang terjadi ketika Heath Ledger tiba-tiba muncul di panggung Academy Award 2009. Mengingatkan kekacauan yang terjadi akibat Orson Wells yang menyebarkan kabar bohong mengenai invasi makhluk dari Mars ke bumi. Sebuah peristiwa yang diingat sebagai salah satu kebohongan terbesar sepanjang masa. Pun demikian dengan “kematian” Heath Ledger yang akan dikenang sebagai “Kebohongan terbesar sepanjang masa!” Mengapa terbesar? Karena begitu banyaknya pihak yang percaya akan kebohongan tersebut, lamanya kebohongan tersebut disimpan serta betapa dramatisnya tempat dan waktu yang dipilih untuk membuka kebohongan tersebut, yakni di panggung Academy Award ke-81! Dan tentu saja berbagai reaksi akan muncul berkaitan dengan peristiwa ini, baik yang menghujat maupun yang memuji serta memujanya sebagai sesuatu yang jenius. Sebuah peristiwa yang tentu saja di-backing orang-orang top dibidangnya. Termasuk CIA mungkin?
Tidak perlu serius menyikapi gambaran/cerita diatas tadi. Kalau benar demikian ya syukur, kalau tidak ya lupakan saja. Apa sih yang tidak mungkin di Hollywood yang merupakan salah satu panggung sandiwara terbesar di dunia. Anggap saja apa yang tertulis diatas sebagai hasil imajinasi orang yang terlalu banyak direcoki oleh cerita fiksi yang mudah merasuk kepada siapa saja yang kurang kerjaan. Atau mungkin malah gambaran tadi mampu menginspirasi para pebisnis (film) untuk menciptakan trik-trik cerdas sejenis demi meningkatkan pamor dagangan mereka.
Gambaran/cerita tadi dihadirkan tidak untuk bermaksud kejam atau menyakiti pihak-pihak tertentu. Imajinasi tersebut hadir sebagai tribute yang tulus wujud kekaguman terhadap keberhasilan Heath Ledger dalam menghidupkan karakter Joker di layar. Selain itu juga sebagai wujud ketidakrelaan akan perginya salah satu actor terbaik di generasinya.
Namun percayalah, bahwa Heath Ledger tidak akan “mati” untuk waktu yang sangat lama, karena dia akan selalu diingat sebagai actor yang berhasil memerankan tugasnya dengan baik, terutama dengan karakter Joker. Dalam setiap daftar “Best Villain Ever” yang selalu diperbarui, namanya akan selalu tercantum. Bahkan dalam waktu dekat, dia akan menghantui kita lewat penampilannya (meski tidak utuh) dalam film berjudul The Imaginarium of Doctor Parnassus yang mungkin saja akan menjadi film garapan Terry Gilliam yang paling laris. Dan jangan lupa perhatikan wajah Mathilda, karena ada Heath Ledger disana. Sekali lagi tidak perlu menanggapi serius tulisan ini, karena seperti kata Joker, “Why so serious? Joke’s on you!”

Rabu, 18 Februari 2009

…AND THE OSCAR GOES TO…..

Rabu, 18 Februari 2009 13


Best Achievement in Directing : GUS VAN SANT ( MILK )
Stephen Daldry? Dengan filmography yang sangat meyakinkan, Stephen masih akan banyak kesempatan menang kedepannya. Danny Boyle? Dia sangat terbantu oleh Loveleen Tandan, terutama dalam pengambilan gambar di pemukiman kumuh. Perhatikan namanya di akhir film yang ditulis setelah Danny Boyle. David Fincher pun demikian. Adegan ketika Benjamin Button di India, sangat terbantu oleh Tarsem (sutradara The Fall). Ron Howard? Dia kan sudah pernah dapet. Ntar-ntar lagi aja. Gus Van Sant? Banyak diakui diajang internasional (terutama Cannes). Kini saatnya dia dihargai di Holly. Kalau diperhatikan, filmnya yang masuk Oscar kurang bisa bersaing di ajang festival film internasional, seperti Good Will Hunting dan To Die For. dan Milk ini sangaaaat Amerika. jadi pantas kalau dia menang.

Best Performance by an Actress in a Supporting Role : VIOLA DAVIS ( DOUBT )
Digesernya Kate Winslet ke kategori aktris terbaik, membuat persaingan di kategori ini makin seru. Penampilan Viola David sangat kuat dan meninggalkan kesan meski dengan porsi terbatas. Taraji juga oke dan diuntungkan dengan porsi adegan yang lumayan banyak. Jangan dilupakan sejarah yang sering berpihak pada actor/aktris berkulit hitam untuk kategori Best Supporting. Penelope Cruz yang menggelegak serta personalitynya yang hangat bisa menjegal kedua aktris berkulit hitam tersebut. Kerelaan Marisa Tomey ber topless ria bisa memperkuat posisinya. Amy Adams? hmm…aktris yang satu ini mengingatkan pada Renee Zelweger, jadi dia tampaknya masih akan dapat kesempatan kedepannya. Mungkinkah lewat Julia and Julia yang mempertemukannya kembali dengan Meryl Streep?

Best Performance by an Actor in a Supporting Role : HEATH LEDGER ( THE DARK KNIGHT )
Heath Ledger sebagai Joker memang oke banget sih. Tapi penampilan Michael Shannon juga susah untuk dilupakan. Sedikit berharap, nama yang satu ini bisa menang. Bakal menjadi kejutan yang menyenangkan. Nama yang lain? yah…paling tidak bisa mempercantik portfolio mereka hehehe..

Best Performance by an Actress in a Leading Role : MERYL STREEP ( DOUBT )
Anne Hathaway dan Angelina jolie disingkirkan terlebih dahulu. Anna karirnya masih panjang, sedangkan Jolie masih bakal menunjukkan kekuatan aktingnya di film lainnya. Kecuali kalau para anggota AMPAS menginginkannya bersanding dengan Brad Pitt (kalau dia menang lewat Benjamin Button). Pertarungan seru terjadi antara Kate Winslet dan Meryl Streep. Banyak yang bilan tahun 2008 sebagai tahunnya Kate Winslet dan sudah saatnya dia diakui oleh Oscar setelah gagal 5 kali. Kenyataan ini membuat banyak yang lupa dengan fakta bahwa Meryl Streep terakhir menerima Oscar di tahun 1983 (Sophie’s Choice) dan selama rentang 25 tahun dia telah dinominasikan sebanyak 11 (baca: SEBELAS!) kali. Berarti dia telah mengalami kagagalan selama 10 (baca: SEPULUH) kali. Kate Winslet bermain bagus di The Reader dan rela bertelanjang ria, namun terus terang Gilasinema lebih terkesan dengan penampilannya di Revolutionary Road. Perannya sebagai Hanna di The Reader dianggap pro NAZI, meski sebenarnya jauh dari hal tersebut, yang membuatnya mungkin kehilangan beberapa pendukung. Dan menurut Gilasinema, Kate Winslet masih akan “menghantui” Oscar seperti halnya Meryl Streep. Dan mungkin banyak yang akan menyamakan Kate Winslet dengan Al Pacino yang berhasil membawa pulang Piala Oscar setelah berkali-kali masuk nominasi. Sangat berharap, Oscar membuat sejarah dengan dimenangkannya dua aktris hebat tersebut, karena kemenangan Meryl Streep akan melukai Kate Winslet, begitupun sebaliknya. Mau yang aman? Maka Melissa Leo-lah yang bakal tampil.

Best Performance by an Actor in a Leading Role : SEAN PENN (MILK)
Susah banget memilih dikategori ini setelah “membuang” Bard Pitt (kecuali Jolie menang dan AMPAS ingin menyandingkan mereka berdua). Penginnya sih Frank langella atau Richard Jenkis yang menang. Namun Oscar tidaklan sesimple itu. Mickey Rourke dalam The Wrestler merupakan sebuah pencapaian yang mengesankan, namun agak sanksi dia bakal terpilih. Dia mengingatkan pada nasib yang menimpa John Travolta, yang dipuja puji setelah tampil di Pulp Fiction. Belum lagi penampilannya yang seperti mabok di Golden Globe kemaren, bisa jadi mempengaruhi para old voters. Richard Jenkins mengingatkan pada Julie Christie di Away From Her, hingga posisinya sedikit kurang menguntungkan karena filmnya yang dirilis jauh sebelum award season berlangsung. Secara pribadi, kurang bisa menikmati permainan Sean Penn di Milk, namun banyak yang menjagokannya. Menurut Gilasinema, ancaman serius justru datang dari Frank Langella. Gilasinema tidak akan terkejut kalau actor gaek yang satu ini berhasil meraih gelar Aktor Terbaik. Kalau Helen Mirren seakan terlahir untuk memerankan The Queen, maka Frank Langgella seakan sudah digariskan untuk memerankan Nixon.


Best Motion Picture of the Year : MILK
Ketika banyak pihak menjagokan Slumdog Millionaire, Gilasinema justru melihat Milk sebagai contender terkuat. Mengapa? Karena, sekali lagi, Oscar masih terlalu angkuh untuk memenangkan film yang kurang berbau Amrik. Apalagi dengan film yang minim orang Holly dibalik penggarapannya. Berbeda dengan The Last Emperor dan Gandhi. Meski berbau luar Amrik, kedua film tadi dibelakangnya banyak melibatkan orang Holly. Untuk Slumdog, Holly hanya berperan sebagai distributor. Gilasinema agak curiga dengan motif bisnis dibalik gembar-gembornya Slumdog Millionaire, yang nyata sangat sukses mengangkat pamor film ini dalam mengeruk dolar.
Slumdog Millionaire mengingatkan dengan apa yang dialami oleh Crouching Tiger, Hidden Dragon. Disambut meriah oleh kritisi dan box office, mendapat 10 nominasi Oscar dan membawa pulang 4 piala. Kemenangan Milk tentunya akan membuat sebal pendukung Slumdog Millioanire (sama sebalnya diriku ketika Crouching Tiger, Hidden Dragon yang anti kekerasan dikalahkan oleh Gladiator yang pro kekerasan).
Gilasinema sengaja memilih Milk, karena film tersebut sangat actual dengan kondisi Amrik terkini. Diluar urusan orientasi seksual, perjuangan Harvey Milk mau tidak mau diidentikkan dengan Barack Obama. Perjuangan kaum yang dianggap minoritas. Perjuangan menuju perubahan. Hal ini dikuatkan dengan penggunaan kata “CHANGE” sebagai tagline film Milk. Kata yang banyak diteriakkan oleh Obama selama kampanye. Dan kata ini, mungkin bisa menggambarkan semangat perubahan (kalau ada) dari AMPAS (Holly) dengan (pada akhirnya) memilih film bertema homoseksual menjadi yang terbaik.
Slumdog Millionaire memang sebuah a feel good movie dan tetap asyik meski ditonton beberapa kali, namun konsep “destiny” yang diusungnya sedikit membuat film ini cacat dimata Gilasinema (penting gak sih hehehe…). Milk terasa lebih utuh secara keseluruhan. Belum lagi kampanye negative seputar eksploitasi anak di bawah umur yang membayangi.
Berikut daftar lengkap peraih Oscar 2009 versi Gilasinema :
Best Motion Picture of the Year : MILK
Best Performance by an Actor in a Leading Role : SEAN PENN (MILK)
Best Performance by an Actress in a Leading Role : MERYL STREEP ( DOUBT )
Best Performance by an Actor in a Supporting Role : HEATH LEDGER ( THE DARK KNIGHT )
Best Performance by an Actress in a Supporting Role : VIOLA DAVIS ( DOUBT )
Best Achievement in Directing : GUS VAN SANT ( MILK )
Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen : MILK
Best Writing, Screenplay Based on Material Previously Produced or Published : SLUMDOG MILLIONAIRE
Best Achievement in Cinematography : SLUMDOG MILLIONAIRE
Best Achievement in Editing : MILK
Best Achievement in Art Direction : THE CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON
Best Achievement in Costume Design : THE DUCHESS
Best Achievement in Makeup : THE CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON
Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score : AR RAHMAN (SLUMDOG MILLIONAIRE)
Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Song : JAI HO (SLUMDOG MILLIONAIRE)
Best Achievement in Sound : THE DARK KNIGHT
Best Achievement in Sound Editing : THE DARK KNIGHT
Best Animated Feature Film of the Year : WALL E
Best Foreign Language Film of the Year : VALS IM BASHIR ( WALTZ WITH BASHIR )
Best Documentary, Features : MAN ON WIRE

Selasa, 17 Februari 2009

OSCAR! OSCAR! OSCAR!

Selasa, 17 Februari 2009 3


Sejak jaman dulu, Gilasinema sering melakukan sebuah perkiraan tidak penting mengenai siapa-siapa yang bakal pulang membawa Piala Oscar. Ada kepuasan tersendiri kalau semakin banyak tebakan yang benar. Kepuasan yang absurd mungkin bagi beberapa orang. But…it’s fun, you know. Jadi teringat jaman kuliah (ketahuan kalau dah tuwir, hehehe…). Kita punya temen sepermainan (organisasi) yang berisi penggila sinema. Tiap kali mau pelaksanaan Oscar, selalu ada polling perkiraan Oscar. Siapa yang paling banyak tebakannya, dapat reward. Bukannya sombong, Gilasinema pernah menang dalam “permainan” ini. Hadiahnya? OST. Bridget Jones 2 hehehhe
Meski seringkali banyak yang meleset, bukti kalau Piala Oscar konsisten menghadirkan kejutan, namun kegiatan ini terasa menantang intelegensia (cuihhh…!). Karena orientasinya menebak pemenang, jadinya yang kita pilih belum tentu yang merupakan favorit kita, tapi lebih berusaha untuk menempatkan diri sebagai anggota AMPAS (aduhh..!). Puncaknya pas ada siaran langsung di TV (tahun ini ada gak sih?). Biasanya kita menyempatkan diri untuk nonton bareng. Karena biasanya disiarkan Senin pagi, kuliah pun bisa dipinggirkan dulu hehehe. Pernah malah kita nonton bareng di kampus. Menggunakan layar lebar plus proyektor. Seruuuu…! Dan akhirnya bakal lebih seru lagi, karena akan ada momen cela-celaan, berkaitan dengan jagoan masing-masing (Huhuhu…I missed that!).
Udah ah nostalgianya. Pilihan Gilasinema kali ada beberapa yang merupakan favorit Gilasinema, plus melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu (aduhh lagi.). Snob banget ya hehehe. Jadi maaf saja kalau hasil perkiraan Gilasinema akan sangat jauh berbeda dengan yang diperkirakan banyak orang. Kita tidak menebak Kategori Short Movie karena, film –film yang masuk amat sangat jauh dari pemberitaan.

Best Documentary, Features : MAN ON WIRE
Kalu yang ini ngikut aja deh dengan berbagai penghargaan di luar. Kalau mengikuti berita award-award, hampir semuanya menempatkan Man On Wire sebagai yang terbaik di kategori Dokumenter. Ngikuuutt bang….

Best Foreign Language Film of the Year : VALS IM BASHIR (WALTZ WITH BASHIR)
Entre les murs (The Class) sudah menang Cannes, jadi kecil kemungkinan film ini bisa menang. Oscar kan selalu menghindari film pemenang Cannes. Mereka terlalu angkuh untuk mengakui hasil award di luar Holly. Meski kebijakan politik luar negeri AS seringkali memihak Israel, namun Oscar belum sekalipun berpihak kepada film produk Negara tersebut, meski sudah mengakuinya dengan masuknya film buatan Israel ke nominasi kategori ini beberapa kali. Oscar kali ini tampaknya akan jatuh kepada Vals Im Bashir mengingat film ini sudah banyak mendapat pengakuan dari beberapa asosiasi kritikus film di Holly sana. Lagian di Holly sana banyak orang Yahudi yang berkuasa. Jangan lupakan pengaruh Hillary Clinton yang sangat pro Israel ((ada hubungannya gak sih?). Agresi Israel pada Palestina bisa menjadi kampanye negative bagi film ini, dan mungkin akan muncul kejutan dari Der Baader Meinhof Komplex (Germany) atau Okuribito (Japan). Masih ingat dong dengan kemenangan The Counterfeiters yang sebelumnya tidak dijagokan sama sekali.

Best Animated Feature Film of the Year : WALL E
NO DOUBT!!! Meski kehadiran film animasi Pixar selalu membuat kategori yang satu ini menjadi tidak seru lagi.

Best Achievement in Visual Effects : IRON MAN

Teknologi Facial Capture di Benjamin Button memang oke, namun tidak ketika efek visual menyentuh bagian setting. Kurang terkesan dengan tampilan efek visual pada The Dark Knight. Penampilan Iron Man begitu bikin ngiler (pengen kostum seperti itu hehehe) dan terlihat halus, lebih asyik dan keren ketimbang penampilan Transformer yang terlihat seperti gumpalan rongsokan besi ketika bertarung (makanya kalah taon kemaren).

Best Achievement in Sound Editing : THE DARK KNIGHT
Paling males nih dikategori ini. Secara nih kuping udah soak. Namun biasanya pengerjaan sound editing di film action terkesan lebih kompleks karena banyaknya sound yang dihadirkan, maka Gilasinema memilih The Dark Knight. Rasanya The Dark Knight bakal mengulang sukses The Matrix yang membawa banyak piala di kategori teknis.

Best Achievement in Sound : THE DARK KNIGHT
Alasannya? Idem dengan kategori Best Achievement in Sound Editing hehehehe

Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Song : JAI HO (SLUMDOG MILLIONAIRE)
Jai Ho enak banget di kuping, apalagi hampir tiap hari liat klipnya yang gak bosenin. O Saya enak juga, tapi sebenarnya gak masalah lagunya AR Rahman mana yang bakal menagg. Down To Earth juga asyik, meski nempelnya di kuping agak lama, namun efeknya malah tidak cepet bosan. Penolakan Peter Gabriel tampil di Oscar bisa jadi kampanya negative. Namun dengan wibawanya di permusikan Amrik sono, bisa jadi membuat AR Rahman meringis. Terkesan dominant bukan jaminan. Ingat dong dengan yang menimpa Enchanted dan Dreamgirls.

Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Score : AR RAHMAN (SLUMDOG MILLIONAIRE)
Mungkin di Amerika AR Rahman belumlah terlalu dikenal, namun nama yang satu ini sudah mempunyai reputasi yang mendunia berkat kerajinannya menggelar tur. Sudah mulai suka dengan AR Rahman sejak Lagaan. Musiknya berbeda dengan garapan musisi India lainnya. Musik tradisional India selalu kental dalam setiap karyanya dan selalu oke menggabungkannya dengan musik dari wilayah lain. Musiknya awalnya terdengar gak biasa, namun lama-lama…kok enak ya. Baru-baru ini dia menggarap musik film Delhi 6 nya Abhisek Bacchan, yang sedang mencoba beradaptasi dengan kupingku. Ancaman serius bisa dating dari Alexandre Desplat (The Curious Case of Benjamin Button) dan James Newton Howard (Defiance).

Best Achievement in Makeup : THE CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON
Memang Benjamin Button pada bagian tertentu amat mengandalkan Facial Capture, namun menjelang akhir, teknologi tersebut kurang begitu berperan. Tampilan Joker yang menghantui bisa jadi membuat juri mengalihkan pilihan. Hellboy mungkin imajinatif, namun rasanya sebelumnya sudah diwakili oleh Pan’s Labyrinth.

Best Achievement in Costume Design : THE DUCHESS
Sebenarnya kurang suka dengan tampilan di The Duchess yang menurutku terasa berlebihan. Tapi mungkin justru karena terasa berlebihan tersebut, kesannya lebih serius.

Best Achievement in Art Direction : THE CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON
Benjamin Button diuntungkan dengan setting cerita yang melintasi rentang waktu yang lebih panjang, jadi kesannya lebih kaya dan matang secara artistic. Terkesan juga dengan penataan artistic di Revolutionary Road.

Best Achievement in Editing : MILK
Dengan banyaknya karakter dalam film Milk serta pemakaian beberapa footage, sang editor dituntut untuk terampil memadukan gambar. Hasilnya? Milk terasa lincah dan dinamis, hingga tidak terasa membosankan. Frost/Nixon dan Slumdog Millionaire juga asyik. Kedua film ini bisa jadi contender kuat.

Best Achievement in Cinematography : SLUMDOG MILLIONAIRE
Terus terang gambar-gambar kumuhnya Mumbai begitu mengesankan dan meyakinkan. Over the top deh. Namun visualisasi Gotham City yang kelam bisa jadi ancaman serius.

Best Writing, Screenplay Based on Material Previously Produced or Published : SLUMDOG MILLIONAIRE
Hmm…pilihan yang sulit. The Curious Case of Benjamin Button harus disingkirkan. Selain karena tuduhan penjiplakan (semoga film ini tidak bernasib baik layaknya Viva La Vida-nya Coldplay), juga karena memang tidak suka dengan naskahnya. Doubt dan Frost/Nixon keren juga, namun tampaknya terlalu setia dengan materi aslinya. The Reader? Oke sih, tapi kok kayaknya peluangnya kecil.

Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen : MILK
Selain Frozen River, judul yang lain punya kans yang kuat buat menang. Wall-E unik dengan minimnya dialog, In Bruges yang bertaburan kata-kata makian memberi warna tersendiri serta Happy-Go-Lucky yang segar. Namun pilihan ada pada Milk. Bukan karena suka namun Milk mengingatkan pada duo Matt Damon dan Ben Affleck yang menang lewat Good Will Hunting yang juga diarahkan Gus Van Sant. Kali ini giliran Dustin Lance Black yang melejit.

Minggu, 15 Februari 2009

THE READER

Minggu, 15 Februari 2009 4


Pada suatu hari, Michael Berg ( David Kross) bertemu dengan Hanna. Sebuah pertemuan yang meninggalkan kesan mendalam dalam benak Michael. Diusia muda yang penuh dengan gairah akan hal-hal baru, Michael perlahan-lahan mendekat pada Hanna. Entah apa yang ada dalam benak Hanna yang menerima kehadiran Michael dengan hangat. Keduanya lantas terlibat dalam sebuah hubungan penuh gelora dan gelinjang. Terjalin hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya. Hanna akan memberikan kehangatan di ranjang kalau Michael membacakannya sebuah cerita.
Meski terlibat hubungan yang intim, Hanna tetaplah seorang yang menutup rapat siapa dirinya sebenarnya. Bahkan diapun enggan menyebutkan namanya. Yang Michael tahu adalah bahwa Hanna seorang kondektur trem. Dalam hubungan tersebut, terlihat sekali Hanna-lah yang memegang kendali. Meski seakan tidak ada batasan ketika bergelut di ranjang, Hanna seringkali memperlakukan Michael bak seorang anak. Hingga suatu hari, Hanna memutuskan untuk “mengundurkan diri” dari kehidupan Michael. Pun demikian, Hanna tetap akan dikenang Michael sebagai sosok yang berpengaruh dalam perjalanan hidupnya.
Beberapa tahun kemudian, Michael kembali dipertemukan dengan Hanna dengan kondisi yang jauh berbeda. Michael mendapati Hanna sedang menghadapi sebuah tuduhan serius yang akan merenggut kebahagiaan hidup Hanna. Terkuaklah siapa Hanna sebenarnya. Dan kitapun menjadi lebih paham dengan rangkaian adegan yang dihadirkan sebelumnya. Mengapa banyak adegan mandi dan telanjang (yang sedikt membuat jengah), dan mengapa Hanna suka mendengarkan cerita.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Michael, selain hanya menatap sambil mencerna apa yang sebenarnya terjadi, meski masih ada kemarahan yang tertinggal akibat kepergian Hanna sebelumnya. Michael tetap tidak melakukan apa-apa, ketika dia menyadari bahwa dia mempunyai kunci yang bisa membebaskan Hanna dari segala tuduhan yang dijatuhkan. Yang bisa dialakukan hanyalah merekam suaranya sebagai teman Hanna di bui.
The Reader sekali lagi mengangkat kisah seputar Holocoust, hanya saja mengambil perspektif yang berbeda. Dan sebenarnya The Reader lebih dari sekedar kisah Holocoust. Film ini lebih menyoroti mengenai masalah gugatan moral mengenai keberanian dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tidak peduli stigma yang menempel pada diri seseorang. Sebelum bertarung, terlebih dahulu kita harus berperang dengan diri kita sendiri. Mampukah kita berkorban demi hidup orang lain, lebih-lebih apabila seseorang tersebut pernah memberikan sesuatu yang istimewa dalam hidup kita. Beranikah kita berkorban, apabila harganya terlalu mahal untuk kita bayar.
Banyak yang menganggap kisah yang diangkat dari novel karangan Bernard Schlink berjudul Der Vorleser ini sebagai kisah pro-NAZI. Padahal, apa yang dialami oleh Michael dan Hanna bisa terjadi pada siapa saja. Apa yang dihadirkan hanyalah satu contoh kecil. Bahkan cerita yang mengalir sedikit mengingatkan pada kisah yang dihadirkan dalam The Kite Runner. Persamaan tersebut makin terasa dengan adanya aksi penebusan dosa oleh tokoh yang dibayangi rasa bersalah. Bedanya, apa yang dilakukan oleh Amir terasa lebih dalam dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Michael.
Michael memang mampu membuat hidup Hanna lebih berwarna selama di bui, namun masih tersisa sedikit penyangkalan dalam sikapnya yang membuat Hanna sakit hati. Amir dalam usaha penebusan dosanya, meski enggan pada walnya, terasa total, bahkan hampir merenggut nyawanya. Bisa dibilang Michael merupakan pribadi pengecut yang kalah dan gagal “membaca” dirinya sendiri. Hanna memang akhirnya memutuskan untuk “mengalah”, namun paling tidak dia berhasil menaikkan posisinya dari seorang “pendengar” menjadi seorang “pembaca’. Terlalu banyak Michael di dunia ini (termasuk aku) yang gemar membaca namun susah untuk mengamalkan apa yang telah dibacanya.
Bagi yang telah bosan dengan kisah seputar Holocoust, mungkin The Reader akan dilewatkan begitu saja. Namun film garapan Stepen Daldry ini, sekali lagi, lebih dari itu. Banyak hal yang bisa kita petik lewat film ini, seperti yang telah dikemukan diatas. The Reader sekan menegaskan kualitas dari Stepen Daldry sebagai sineas yang konsisten menghasilkan karya bagus. Ketiga film terakhirnya selalu berhasil menembus Oscar. Sebelumnya, dia menerobos Oscar dengan Billy Elliot dan The Hours.
Kate Winslet sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang aktris jempolan, meski terus terang agak kurang nyaman dengan keroyalannya mengumbar tubuh (suatu hal yang disukai anggota AMPAS). David Kross rasa-rasanya bakal mempunyai karir yang panjang kedepannya. Apalagi ditunjang keberaniannya ber- full frontal. Sedangkan peran pria nan murung memang selalu oke dibawakan oleh Ralph Fiennes. Ada satu adegan lucu (menurutku) dalam film ini, yakni sikap Hanna yang jijik ketika dibacakan kisah Lady Chatterly. Padahal….4/5

Kamis, 12 Februari 2009

LOVE IS AROUND THE WORLD

Kamis, 12 Februari 2009 6


Cinta itu ada dimana-mana dan selalu menarik untuk dibahas dan dijual. Gilasinema sengaja memilih beberapa judul film yang menyoroti hubungan antar anak manusia, terutama yang melibatkan passion di dalamnya yang berasal dari belahan dunia sebagai alternative tontonan yang selama ini sudah ada. Beberapa judul mempunyai kadar romantisme yang minim dan memuat banyak ketelanjangan.

L’APPARTEMENT (PERANCIS)

Cinta bagimu, sakit bagiku.
Dalam film arahan sutradara Gilles Mimouni yang dirilis tahun 1996 ini kita diajak untuk melihat betapa cinta itu bak labirin yang memusingkan serta menyakitkan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan terlibat dalam sebuah hubungan rumit nan kompleks. Mungkin benar apa yang ingin disampaikan oleh film ini. Ketika kita mencintai seseorang, disuatu tempat ada seseorang yang meratap karena patah hati, yang pada akhirnya mendorongnya melakukan tindakan yang membuat semua yang terlibat menjadi terluka.
Akhir cerita yang dihadirkan begitu membuat miris. Namun dari film ini kita belajar untuk lebih peka dengan perasaan orang lain. Film yang dibintangi oleh Monica Belucci dan Vincent Cassel ini, pada tahun 2004 dibuat versi Amerika dengan judul Wicker Park dan dibintangi oleh Josh Harnett dan Diane Kruger.

9 SONGS (INGGRIS)

Cinta dalam nafsu.
Cinta dan seks bagai sebuah satu paket utuh yang tidak bisa dilepaskan dalam sebuah hubungan dua anak manusia beda jenis kelamin. 9 Songs secara gamblang (vulgar?) menyoroti hal ini. Dua insan yang dimabuk cinta dipertemukan dalam sebuah konser. Berdua mereka menjalani hubungan yang disibukkan dengan menonton konser yang satu dengan yang lain, di sela-sela konser, mereka mengisinya dengan “pengenalan” tubuh masing-masing.
Film garapan Michael Winterbottom seakan menyoroti gaya percintaan kaum muda urban (London) yang bebas dan mungkin dinilai oleh sebagian orang sebagai meaningless relationship karena begitu memuja seks dan kesenangan. Absurb. Film ini selain banyak dipuji juga banyak dikecam mengingat muatan ketelanjangan yang begitu frontal layaknya sebuah blue film. Bagi pecinta Brit music, film yang diselingi penampilan Franz Ferdinand, Elbow, The Von Bondies dan grup band lainnya ini mungkin sayang untuk dilewatkan. Begitupun dengan mereka yang terkesan dengan film-film semacam Intimacy atau Killing Me Softly.

THE BUBBLE / HABUAH (ISRAEL)

Cinta yang terlarang.
Palestina dan Israel bagaikan anjing dan kucing. Apa jadinya kalau anjing dan kucing tersebut terjalin rasa cinta? Apa jadinya kalau keduanya ternyata mempunyai kelamin yang sejenis? Tentu saja hasilnya adalah sebuah hubungan yang saaaaaaaaaaaaaaaaaaaangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat terlarang di komunitas tertentu.
Sedikit terkejut setelah menyaksikan film ini, karena ternyata film Israel sangat berani menghadirkan gambar dan cerita yang sangat kental unsure seksnya mengingat Negara tersebut berada di Jazirah Arab. Menjadi maklum, kalau Negara-negara Arab (Islam) sangat mengkawatirkan keberadaan Negara yang satu ini. Kaum mudanya begitu bebas dalam pergaulan (menurut ukuran orang Arab lho). Namun pada akhirnya, diluar masalah seks tadi, tetap saja memunculkan pertanyaan, apakah kekerasan (perang) menjadi satu-satunya jawaban, apalagi kalau bicara soal cinta.

LOVE ME IF YOU DARE / JEUX D’ENFANTS (PERANCIS)

Cinta bukanlah permainan dan dibutuhkan keberanian untuk meraihnya.
Dua anak itu saling kenal sejak usia belia, dan keduanya terlibat sebuah permainan yang menantang keberanian (kenekatan) keduanya. Pada awalnya keusilan hanya menimbulkan kerusakan-kerusakan kecil. Dengan bertambahnya usia keduanya, permainan tersebut semakin kejam dan makin anarkis, yang tidak hanya mengancam hidup orang-orang yang ada disekitar mereka, namun pada akhirnya juga akan mengancam nyawa mereka berdua. Sebuah permainan yang sangat berbahaya.
Keduanya berani melakukan apa saja, kecuali satu yakni saling mencintai. Meski terlihat keduanya mempunyai rasa, namun karena ego mereka, keduanya pantang mengungkapkannya karena tidak mau diposisikan sebagai pihak yang kalah. Untungnya mereka pada akhirnya sadar, dan sebelum semuanya menjadi terlambat, mereka harus mengakhiri permainan penuh bahaya tersebut, dengan menumbuhkan keberanian untuk mengungkapkan rasa mereka. Berhasilkah usaha mereka?
Film ini dikemas dengan gambar-gambar imajinatif yang asyik untuk dilihat. Penggambaran adam dan hawa begitu fresh dan menarik. Perpaduan Marion Cotillard dan Guillaume Canet begitu padu. Humor yang diselipkan sukses memancing tawa. Makin asyik dengan lantunan lagu La Vie en Rose.

JAANE TU … YA JAANE NA / WHETHER YOU KNOW … OR NOT (INDIA)

Cinta terjalin lewat pertemanan.
Muda mudi itu bagaikan kucing dan tikus. Mereka mempunyai panggilan kesayangan “Meow” dan “Rats”. Meski terkesan saling “cakar-cakaran”, orang-orang di sekeliling mereka tahu, kalau mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Sebuah hal tidak disadarai oleh keduanya, dan malah menganggapnya sebagai lelucon. Bahkan keduanya bertekad saling mencarikan pasangan. Hanya waktu dan rasa sakit hati yang pada akhirnya menyadarkan akan rasa cinta diantara keduanya.
Secara cerita mungkin tidaklah istimewa. Banyak film sejenis yang telah dibuat. Namun entah mengapa film ini terasa segar dengan penampilan bintang-bintang muda dari Bolly sana. Film ini sedikit berbeda dengan kebanyakan film remaja produk Bolly lainnya, karena tampil lebih bersahaja. Balutan musik yang agak-agak jazzy serta lagu karya AR Rahman makin menguatkan aroma romantis dari film ini. Paling suka dengan lagu Kabhi Kabhi Aditi Zindagi yang enak banget di kuping.
Film ini disambut meriah di Bolly sana dan dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang tahun 2008. Tidak mengherankan mengingat ada Aamir Khan yang duduk di kursi produser. Nama yang satu ini selalu menjadi jaminan mutu (ukuran Bolly tentu saja). Film ini juga membuat Imran Khan, yang merupakan keponakan dari Aamir Khan, sebagai The Next Big Thing. Seperti halnya Love Actually, film ini menggambarkan airport sebagi salah satu tempat dimana cinta bertaburan.

GONE WITH THE WOMAN / TATT AV KVINNEN (NORWEGIA)

Cinta itu saling menghormati.
Cowok itu pada awalnya begitu menikmati kesendiriannya. Hidupnya mulai berubah ketika hadir cewek yang secara intens menyambanginya. Perlahan-lahan dia mulai menerima kehadiran cewek tersebut dan memproklamirkan hubungan mereka. Banyak hal berubah dalam hidup si cowok. Pada awalnya dia merasa aneh dan merasa ada beberapa hal yang tidak pas pada tempatnya, namun berusaha menerimanya karena dalam pikirnya, mungkin begitulah cinta.
Makin hari hubungan keduanya makin intim. Namun perlahan si cewek mulai menunjukkan beberapa polah yang menuntut kesabaran si cowok. Berhasilkah si cowok bertahan dalam sebuah hubungan yang makin mengkerdilkan eksistensinya? Haruskah dia meninggalkan cewek yang telah begitu biasa menghiasi hidupnya? Mampukah dia terus berusaha mempertahankan hubungan tersebut meski tidak ada lagi tenggang rasa dari si cewek, sedangkan diluar sana ada cewek lain yang patut dipertimbangkan?
Film ini sangat pas sekali ditonton oleh para cowok untuk lebih memahami hubungannya dengan para ceweknya. Apakah yang ada selama ini sudah merupakan yang terbaik bagimu. Secara halus, film ini menghadirkan sindiran-sindiran mengenai hubungan pria-wanita.

TALK TO HER / HABLE CON ELLA (SPANYOL)


Cinta itu butuh komunikasi.
Sungguh malang nasib kedua cowok itu. Cewek yang mereka cintai menemui nasib yang sama, yakni koma. Demi menunjukkan rasa cinta mereka, keduanya merawat kekasihnya sepenuh hati. Mengajak berkominikasi karena yakin cewek yang mereka cintainya bisa mendengar dan merasakan apa yang mereka kemukakan. Kedua cowok tersebut pada akhirnya terjalin hubungan pertemanan yang akrab karena persamaan nasib yang mereka alami. Hingga suatu hari, salah satu cowok tersebut dicurigai salah “mengkomunikasikan” rasa cintanya.
Sutradara jempolan asal Spanyol, Pedro Almodóvar berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang memukau dan indah. Film berjalan dengan kalem namun tidak membosankan. Salah satu film Spanyol terbaik yang pernah Gilasinema lihat. Adegan ketika dua cewek koma tadi disandingkan terasa lucu, namun juga menyedihkan. Sebuah film yang amat sayang dilewatkan. Naskahnya menang di Oscar 2002 lho.

THE CHILD / L’ENFANT (BELGIA)


Cinta itu tanggung jawab
Dua insane itu sedang dimabuk asmara, meski keduanya hidup di jalanan, tanpa rumah dan minim uang. Ditengah-tengah keduanya hadir bayi mungil yang cantik. Sang ayah dituntut untuk lebih serius dalam “bekerja”. Pekerjaannya mulai dari mencuri, mengemis, menjambret dan mencopet. Meski demikian, terlihat keduanya saling mencintai, layaknya Radit dan Jani.
Namun tidak bisa dipungkiri, keduanya masihlah anak-anak yang harus belajar banyak mengenai tanggung jawab. Cinta saja tidaklah cukup. Sebuah kebodohan dilakukan oleh si ayah yang membuatnya terancam kehilangan bayinya dan juga perempuan yang dia cintai. Dengan segala upaya dia berusaha memperbaikii segala kerusakan yang telah ditimbulkannya.
Meski dihasilkan oleh Negara dibelahan Eropa sana, namun film ini sangat aman dikonsumsi oleh kaum muda di sini, malah sangat dianjurkan sebelum mereka salah mengekspresikan rasa cinta mereka. Sebenarnya tidak salah sih, yang menjadi masalah adalah soal kesiapan mereka akan konsekuensi yang bakal datang menghampiri. Tidak mengherankan kalau film ini mendapatkan apresiasi yang sangat positif di ajang Cannes 2005.

HAPPINESS / HAENGBOK (KOREA SELATAN)

Cinta itu menyembuhkan dan membahagiakan.
Kedua insan itu dipertemukan di sebuah panti rehabilitasi. Perbedaan karakter antara keduanya justru saling membuatnya saling melengkapi satu sama lain. Hingga keduanya memutuskan untuk hidup bersama. Seperti kebanyakan pasangan lainnya, keduanya awalnya hidup bahagia sejahtera ditengah ancaman penyakit, masa lalu dan juga kebosanan. Pada akhirnya semua meledak hingga membuat semuanya terluka dan bisa jadi sebuah akhir yang memilukan
Seperti layaknya film drama produk Korea Selatan, film berjalan pelan yang berpotensi membuat penonton jatuh tertidur. Kesedihan yang dihadirkan sangat berpotensi memancing haru kaum hawa. Kekuatan film ini ada pada naskahnya yang terasa realistis. Sekali lagi film ini menyentil masalah cinta dan kebahagiaan. Apakah cinta saja sudah cukup? Jawabannya tergantung pada dirimu sendiri. Apakah kamu termasuk penganut romatisme atau realis?

ONCE (IRLANDIA)

Cinta itu bersahaja
Rasanya tidak perlu banyak komentar tentang film yang satu ini. Menarik menyimak bagaimana dua orang yang sebenarnya saling ada rasa itu berusaha tidak melintasi batas yang ada. Mereka menyikapinya dengan bersahaja dan penuh kedewasaan. Bahkan mereka memanfaatkan energi positif yang terpancar untuk menghasilkan sesuatu yang lebih indah. Lagu-lagu sederhana yang dalam dan membius. Perlahan-lahan membuat kita terbius dan jatuh hati. So romantic hehehe

LEVOTTOMAT / RESTLESS (FINLANDIA)

Cinta itu sebuah pencarian.
Pria yang berprofesi mulia itu mempunyai impian menikah dengan wanita yang dia cintai, membangun rumah tangga yang sakinah serta tidak akan menyakiti perasaan siapapun. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dirinya takut akan komitmen. Tiap malam tidur dengan cewek yang berbeda-beda. Mulai dari perempuan single hingga yang sudah bersuami.
Hingga dia bertemu dengan perempuan yang mengharapkan lebih dalam hubungan mereka, karena perempuan tadi begitu mencintainya. Bertaubatkah dia dengan petualangannya? Ternyata malah makin parah. Bahkan sahabat dari perempuan yang mencintainya ikut menjadi “santapannya”. Pada akhirnya waktu untuk mengambil keputusan pun tiba. Keputusan apakah yang pada akhirnya akan diambil?
Finlandia, seperti beberapa Negara Eropa lainnya, ternyata cukup bebas dalam menghadirkan film dengan muatan ketelanjangan yang dihadirkan dengan begitu santainya. Hampir sepanjang durasi kita disuguhi kita disuguhi gelinjang tubuh-tubuh polos demi memberi gambaran pencarian seorang lelaki akan hadirnya cinta dalam hidupnya, yang mampu memaksanya untuk berkomitmen dengan hidup orang lain.

BOUND (AMERIKA SERIKAT)

Cinta itu dibutuhkan kesetiaan, kepercayaan dan pengorbanan.
Kedua cewek itu bertemu dan tertarik oleh daya tarik seksual masing-masing. Dengan karakter yang jauh berbeda, keduanya terlibat hubungan nan sensual namun terancam bahaya. Demi membuktikan rasa cinta antara keduanya, disusunlah sebuah aksi yang akan menguji kesetiaan dan rasa saling percaya diantara keduanya. Pada akhirnya kedua hal tersebut menuntut adanya sebuah pengorbanan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Tidak bisa dipungkiri, daya tarik utama film garapan Wachowsky Bersaudara ini ada pada Gina Gershon yang gahar dan Jennifer Tilly dengan kemanjaan dan kegenitannya yang dibalut dengan busana seksi serta suaranya yang mendesah. Perpaduan kedua karakter bertolak belakang tersebut sungguh menarik disimak dan chemistry antara keduanya begitu meyakinkan.

ENDURING LOVE (INGGRIS)

Cinta……
Banyak pertanyaan soal cinta yang selalu membuat manusia sibuk mencari jawaban. Sayangnya kebanyakan menemukan jawaban setelah mengalami sebuah peristiwa tragis. Cowok itu menjadi saksi sebuah peristiwa yang merenggut nyawa seseorang di hari yang indah. Setelahnya, peristiwa tersebut sangat menghantuinya hingga membuat hidupnya menjadi lebih kompleks dan berbahaya.
Pada akhirnya cowok itu malah mendapatkan pencerahan akan sebuah CINTA. Kata yang satu ini tidak cukup dipelajari secara teoritis karena banyaknya wajah dan bentuk yang dia punya. Cinta yang menyembuhkan, cinta yang menyakitkan, cinta yang egois, cinta yang memaafkan, cinta yang tabu, cinta sepasang insan, cinta anak dengan orangtua, cinta sesama manusia dan banyak lainnya. Dengan banyaknya hal yang dipunyai cinta, apa yang sebaiknya dilakukan? Just don’t say anything! Karena pada akhirnya kita hanyalah satu titik yang makin lama makin tak terlihat.
Agak sulit menebak apa maunya film yang satu ini. Terlalu banyak bahasa gambar dan dialog yang perlu pemahaman lebih. Muatannya terkesan filosofis. Belum lagi gaya pengambilan gambar seolah-olah sang tokoh (kita?) sedang diamati oleh sesuatu yang “besar” . Intinya sih, dengan banyaknya cinta yang kita miliki, harusnya dunia menjadi tempat yang lebih indah.

Selasa, 10 Februari 2009

FROZEN RIVER

Selasa, 10 Februari 2009 1



Apa sih yang harta yang paling berharga bagi seorang ibu. Tidak bisa tidak, jawabannya adalah anak mereka. Harusnya sih anak menjadi harta tak ternilai dari seorang ibu, meski kenyataannya banyak ibu yang kurang memperlakukan anaknya dengan layak. Seorang ibu yang baik, tentu akan berusaha sekuat tenaga agar anaknya mendapatkan penghidupan yang layak.
Sungguh malang nasib Ray Eddy (Melissa Leo) ditengah ganasnya cuaca dingin, dia mendapati kenyataan ditinggal oleh suaminya yang brengsek. Hidupnya sungguh tidak mudah, karena dia harus menghidupi dua anak lelakinya. Penghasilannya sebagai karyawan toko sangatlah pas-pasan, rumahnya terancam direnggut karena terlambat membayar sewa. Hidupnya makin pelik ketika berhadapan dengan anak sulungnya yang beranjak dewasa. Meski terasa berat, dia menolak mentah-mentah ide anaknya yang ingin membanyu mencari uang.
Ditengah segala himpitan dia bertemu dengan perempuan keturunan suku Indian Mohawk, Lila (Misty Upham). Sebuah pertemuan yang tidak mengenakkan mengingat Lila membawa mobil yang ditinggalkan begitu saja oleh suami Eddy. Namun, siapa sangka kalau selanjutnya hidup Eddy akan sangat tergantung pada Lila. Bahkan terjalin semacam solidaritas diantara keduanya karena persamaan nasib yang menimpa mereka.
Demi bertahan hidup, Lila ini terlibat dalam kegiatan penyelundupan manusia. Suatu hal yang dianggap kejahatan oleh Eddy. Tekanan keuangan serta keinginan untuk mendapatkan hunian yang layak bagi anak-anaknya, Eddy pada akhirnya terlibat kegiatan yang dia anggap sebuah kejahatan tadi, mengingat hasil yang didapat cukup besar. Selanjutnya, kedua ibu tadi terlibat sebuah petualangan menegangkan di perbatasan Negara serta cuaca dingin nan ganas demi orang-orang yang mereka cintai, dengan nyawa sebagai taruhannya.
Frozen River sebuah film yang dihasilkan oleh perempuan dan untuk perempuan. Hasilnya, film ini sangat feminis. Lelaki di dalam film ini, sejenak diletakkan di pinggir, bahkan diposisikan sebagai seorang “asshole’. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai sosok pejuang nan tangguh dan penuh cinta. Perjalanan hidup yang dilalui oleh kaum perempuan tak ubahnya perjalanan yang dilakukan diatas sungai beku, yang sangat rentan oleh pijakan, karena sewaktu-waktu sungai tersebut bisa saja retak, hingga akhirnya pecah menelan mereka.
Ibu (wanita) digambarkan sebagai sosok penuh cinta. Apa yang dilakukan oleh Eddy dan Lila, tak lain demi kehidupan yang lebih baik untuk anak mereka. Begitupun dengan perempuan Pakistan yang rela menantang bahaya memasuki Negara asing secara illegal demi masa depan anaknya yang lebih baik. Pada akhirnya keberhasilan yang dicapai berkat usaha mereka dan juga karena solidaritas yang kuat antar kaum perempuan. Maka dari itu, barsatulah wahai para perempuan :)
Sutradara sekaligus penulis cerita, Courtney Hunt, berhasil membuat tontonan yang memikat dengan menghadirkan ritme ketegangan yang sangat terjaga. Puncak ketegangan terjadi ketika Eddy dan Lila berusaha menyelamatkan nyawa orang yang belum mengenal dosa. Belum cukup, kita juga disuguhi aksi menegangkan ketika aksi kedua perempuan tadi mulai terendus oleh pihak yang berwenang. Belum lagi dengan sub plot, yang menggambarkan situasi yang dihadapi oleh kedua anak Eddy ketika ibu mereka sedang berjuang, hingga membuat penonton merasa gemas melihatnya.
Pada akhirnya, bagaimana nasib kedua perempuan tadi? Oleh Courtney Hunt, kita disuguhi sebuah eksekusi cerita yang masuk akal. Tidak terlalu membahagiakan namun cukup melegakan dan bijaksana. Cerita yang dihadirkan oleh film yang berhasil meraih predikat Best Dramatic di ajang Sundance 2008 serta masuk Top 10 versi AFI ini bukannya tanpa kelemahan. Kalau diperhatikan ada sedikit lubang yang cukup mengganggu (cari sendiri ya…tidak mau merusak kenikmatan menonton). Makanya timbul keheranan ketika naskah film ini berhasil menembus nominasi Naskah Asli Terbaik di Oscar 2009.
Penampilan Melissa Leo sangat memikat, berkat karakter Eddy yang kuat. Sayang sekali kurang diimbangi oleh Misty Upham yang pada beberapa bagian terkesan mentah. Akibatnya Melissa Leo begitu menonjol. Suatu hal yang sangat menguntungkan baginya karena dia bisa jadi ancaman yang serius bagi Kate Winslet dan Meryl Streep di ajang Oscar 2009. Penggambaran hamparan salju sepanjang film cukup efektif dalam memperkuat ketegangan yang dihadirkan. 3,75

Senin, 09 Februari 2009

DOUBT

Senin, 09 Februari 2009 7


Suster James (Amy Adams) adalah seorang guru muda yang kurang berpengalaman dan juga naïf, mengajar di sekolah Katholik yang dikelola gereja St. Nicholas dan berada di kawasan Bronx. Disitu dia bertemu dengan Suster Aloysius (Meryl Streep), si kepala sekolah yang digambarkan berwatak kaku, tegas, konservatif, namun menempatkan pendidikan anak diatas segalanya. Para anak didik begitu takut dengan sosok yang satu ini. Dipihak lain ada Father Flynn (Phillip Seymour Hoffman) yang sangat berkebalikan dengan Suster Aloysius yang digambarkan lebih moderat, jago khotbah dan ramah hingga disukai oleh anak-anak.
Hingga suatu hari, Suster James mendapati keanehan pada salah satu muridnya, Donald (Joseph Foster) setelah anak tersebut bertemu dengan Father Flint. Melihat gelagat yang kurang baik, Suster James melaporkannya pada kepala sekolah. Suster Aloysius yang sejak awal mengawasi tindak tanduk Father Flint dan kurang begitu suka dengan beberapa pendekatan yang dilakukan olehnya segera yakin dengan apa yang terjadi.
Tentu saja keyakinan Suster Alysius tersebut dibantah keras oleh Father Flint. Dengan meyakinkan, dia mengemukakan apa yang terjadi. Terjadi “pertarungan” diantara keduanya yang membuat Suster James ragu-ragu harus berpihak kepada siapa. Kebingungan tersebut pada akhirnya malah membuatnya menderita (batin). Apalagi secara personal, Father Flint lebih simpatik dibandingkan dengan Suster Aloysius.
Doubt memang bercerita tentang keyakinan. Suster James seakan mewakili penonton untuk menyaksikan “pertarungan” dua keyakinan. Oleh penulis naskah, John Patrick Shanley, semua yang terjadi dibuat kabur, hingga penonton ditantang untuk memilih keyakinan mana yang benar. Argumen keduanya begitu meyakinkan. Masalah keyakinan tersebut makin kabur ketika hadir Mrs. Miller (Viola Davis) yang meyakini bahwa sekolah tersebut merupakan tempat terbaik untuk anaknya. Dia tidak peduli apa yang menimpa anaknya, sepanjang anaknya bisa merasakan kebahagiaan. Dia meyakini kebahagiaan anaknya, diatas persoalan benar atau salah.
Yang pasti, keempat karakter utama dalam film ini dibuat menderita dengan keyakinan yang mereka pilih. Suster Aloysius pada akhirnya terkesan dimenangkan, namun dalam pengakuannya di akhir film, dia merasa menderita karena mulai masuknya keraguan dalam hatinya berkaitan dengan manuver yang dia lakukan. Father Flint harus menerima stigma buruk yang ditempelkan padanya dan Mrs. Miller yang menahan kepedihan akibat keyakinan yang dia pilih membawa konsekuensi tersendiri bagi anaknya. Berbeda dengan lainnya, Suster James dilanda penderitaan akan sikap ragu-ragunya, yang bisa membuatnya tersesat, atau malah membuatnya diam di tempat.
Pada akhirnya tidak ada yang benar-benar menang dalam “pertarungan” tersebut. Tidak ada yang mutlak (selain Tuhan?). Ingat, setiap pilihan selalu ada harga yang harus dibayar. Keyakinan memang penting demi memastikan sikap, namun bukan keyakinan yang kaku. Namun ada saatnya juga kita meragukan apa yang sebenarnya terjadi, asal ditindaklanjuti dengan aksi demi menemukan jawaban yang tepat biar tidak terombang-ambing. Bisa belajar dari para ilmuwan, yang selalu memulai segala sesuatunya dengan pertanyaan, untuk kemudian melakukan observasi.
Satu yang pasti dalam film Doubt ini, yaitu permainan para actor/aktrisnya yang meyakinkan, meski agak stereotype. Perempuan dengan karakter keras, paling pantas memang diperankan oleh aktris berkarakter kuat seperti Meryl Streep. Dia begitu pas memerankan tokoh yang satu ini. Dengan penutup kepala yang tidak pernah lepas sepanjang durasi, penampilan terasa lebih tajam dan membuat merinding. Phillip Seymour Hoffman, sekali lagi tepat memerankan tokoh yang cerdas dan lihai. Sedangkan Amy Adams selalu mendapatkan peran-peran lugu, seperti yang dia tunjukkan sebelumnya lewat Junebug dan Enchanted. Kredit lebih diberikan kepada Viola Davis, yang meski tidak lama, namun berhasil meninggalkan kesan mendalam. Tidak heran kalau Oprah mengincar peran ini. Penampilannya begitu meyakinkan dan kuat sebagai sosok ibu yang menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Perdebatannya dengan Meryl Streep di jalan begitu menyesakkan, hingga membuat tokoh yang diperankan oleh Meryl Streep tergagap dengan keyakinannya.
Film ini makin meyakinkan dengan tampilan gambar yang seakan menyimpan sebuah misteri. Kamera diposisikan sedemikian rupa hingga menghasilkan gambar yang menyoroti sudut-sudut St. Nicholas dengan begitu mengesankan. Gambar-gambar tersebut seakan menggiring persepsi penonton akan adanya “sesuatu” yang terjadi. Setelah atau sebelum melihat film ini, ada baiknya melihat Deliver Us from Evil. Sebuah film documenter garapan Amy Berg yang menyoroti skandal seks yang melibatkan seorang pendeta. 4,25/5

Sabtu, 07 Februari 2009

FROST/NIXON

Sabtu, 07 Februari 2009 7


David Frost.
Mungkin banyak yang belum mengenal nama yang satu ini. Bagi yang tertarik dengan dunia pertelivisian, nama yang satu ini mungkin sudah tidak asing lagi. Namanya dikenal lewat program That Was The Week That Was (bingung?) yang ditayangkan di BBC London, dan menjadi salah satu acara favorit dimasanya dan mendorong lahirnya banyak program sejenis di era 1960-an.
Frost menjadi satu-satunya orang yang pernah mewawancarai 6 Perdana Menteri Inggris (Harold Wilson, Edward Heath, James Callaghan, Margaret Thatcher, John Major and Tony Blair), selain berhasil mewawancarai 7 Presiden Amerika Serikat ((Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter, Ronald Reagan, George H.W. Bush, Bill Clinton and George W. Bush). Sebuah prestasi yang pasti membuat pekerja TV lain merasa iri. David Frost ini memang dikenal sebagai jurnalis politik, dengan segala sindirannya.
Richard Nixon
Nama yang satu ini mungkin lebih dikenal dibandingkan dengan David Frost. Salah satu presiden Amerika Serikat yang penuh dengan kontroversi, mulai dari politik luar negerinya berkaitan dengan Cina dan Uni Soviet, selain kebijakannya mengenai perang Vietnam dan mengijinkan pengeboman salah satu wilayah di Kamboja, hingga skandal Watergate yang membuatnya menjadi satu-satunya Presiden AS yang mengundurkan diri. Belum lagi dengan beberapa kebijakan ekonominya di tengah perekonomian yang mengalami inflasi cukup tinggi.
Jurnalis bertemu tokoh berpengaruh yang controversial? Tentu akan menjadi sebuah sajian yang seru dan berbobot. Dan itulah jadinya film Frost/Nixon garapan Ron Howard berdasar naskah panggung dari Peter Morgan. Ron Howard berhasil membuat sebuah tontonan yang menghibur. Meski beraroma politik dengan hadirnya sosok bernama Richard Nixon, film mengalir lancar dan enak dinikmati. Sebagai perbandingan, film Milk jauh lebih politis ketimbang film Frost/Nixon ini.
David Frost mungkin kondang di Inggris, namun tetap dianggap sebagi seorang anak bawang di Amerika. Entah atas dasar apa, hanya berbekal naluri, David Frost berusaha membuat sebuah talk show dengan Richard Nixon yang pada saat itu sedang menjadi sorotan karena skandal Watergate yang memaksanya untuk mundur. Dia juga banyak dikecam karena tidak pernah mengucapkan kata maaf atas segala kekacauan yang dia timbulkan, bahkan sekedar rasa penyesalanpun enggan dia tunjukkan.
Berbekal dana terbatas dan keyakinan, dengan didampingi produsernya yang setia, John Birt (Matthew Macfadyen), David Frost terbang ke Amerika Serikat untuk merayu Nixon agar bersedia diwawancarai. Dia juga merayu stasiun TV besar untuk menjual wawancara tersebut, selain mengunjungi beberapa perusahaan untuk mencari dana. Nixon yang enggan berbicara ke media, berkat pendekatan yang intensif (termsuk insentif yang cukup besar pada saat itu) akhirnya bersedia menerima tantangan Nixon dengan berbagai syarat, salah satunya porsi yang sedikit untuk skandal Watergate.
Selanjutnya kita diajak untuk melihat persiapan masing-masing pihak. Film perlahan-lahan menuju puncak emosi, hingga kemudian tiba saatnya perekaman wawancara dilakukan. Bak pertandingan tinju, wawancara tersebut dibagi ke dalam beberapa ronde (dalam film ini 4 ronde). Hingga ronde ketiga, kubu Nixon yang lebih siap materi terlihat memegang kendali yang membuat kubu Frost menjadi kalang kabut, hingga menimbulkan tekanan yang mengancam keutuhan tim. Tiga ronde awal ini kita disuguhi kehebatan Nixon sebagai negarawan yang ulung. Salute!
Frost yang masih muda berusaha untuk tetap optimis dan semangat. Hingga sebuah peristiwa, memberikan sebuah petunjuk penting yang akan berguna untuknya dalam usaha “mengalahkan” kelincahan lidah Nixon. Benar kata pepatah orang bijak “kenali musuhmu dan kenali dirimu sebelum bertarung”. Pada ronde keempat, Frost berhasil “memukul” titik sensitive dari Nixon, hingga mampu “meng – KO” orang tua ini untuk kemudian mengungkapkan rasa penyesalannya akan kekacauan yang telah dia buat, yang ditampilkan lewat bahasa wajah yang mengundang iba. Maka hebohlah Amerika, yang membuat wawancara Frost atas Nixon akan diingat sebagai sebuah talk show klasik layaknya pertandingan tinju antara Ali dan Frazier.
Film ini terus terang sangat menarik dan menghibur. Emosi penonton dibuat naik turun oleh manuver-manuver yang dilakukan oleh kubu Frost maupun kubu Nixon. Makin renyah dengan selipan humor satire yang menggelikan, seperti penggambaran betapa materialistisnya dan betapa narsisnya si Richard Nixon. Sikap paranoianya disisi lain memunculkan rasa kasihan, mengingat usianya yang uzur.
Selain kekuatan naskah dan editingnya yang ciamik, Frost/Nixon makin mengkilap dengan penampilan Frank Langella dan Martin Sheen yang begitu pas. Nixon dan Frank Langella bagaikan Helen Mirren dan The Queen Yang juga ditulis oleh Peter Morgan. Segala intonasi suara serta bahasa tubuhnya membuat penonton tidak melihatnya sebagai Frank Langella tapi lebih kepada melihat Nixon. Paling top adalah ketika dia mengungkapkan penyesalannya tadi. Michael Sheen berhasil menterjemahkan karakter David Frost sebagai sosok muda penuh semangat, dengan mata lebar yang mengesankan kepolosan yang menipu. Meski agak kurang meyakinkan sebagai seorang womanizer.
Kehadiran Rebecca Hall lumayan menyegarkan ditengah kaum pria yang sibuk berargumen. Sosoknya seakan menegaskan belum ada tempat bagi perempuan didunia politik pada saat itu. Dominannya Frank Langgella dan Michael Sheen tak urung sedikit meredupkan pamor bintang – bintang lainnya, kecuali Matthew Macfadyen, seperti Oliver Platt, Kevin Bacon maupun Sam Rockwell (aku selalu suka membaca nama ini hehehe). 4,25/5

Jumat, 06 Februari 2009

GRAN TORINO

Jumat, 06 Februari 2009 3

Walt Kowalski (Clint Eatwood) seorang veteran perang Korea, mengisi masa tuanya dengan kesendirian setelah ditinggal istrinya yang meninggal dunia. Memang ada anak tunggalnya yang siap hadir bersama menantu dan cucunya. Hanya saja Walt tahu bahwa mereka tak sabar melihat dirinya meninggal dunia atau mengirimnya ke panti jompo demi menguasai hartanya, terutama mobil tua Gran Torino yang amat dia banggakan.
Di masa tuanya, yang diinginkan Walt hanyalah ketenangan hidup. Sesuatu yang mustahil, mengingat dia hidup di pemukiman dengan dunia yang terus berubah dan makin plural. Dia dikelilingi oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang budaya yang dia anggap sebagi warga kelas dua. Tetangganya yang bersuku Hmong, pendeta muda yang selalu memberi wejangan dengan logat Irish nya, hingga gank dengan berbagai warna kulit.
Hidupnya perlahan-lahan mulai berwarna, meski awalnya tidak dia kehendaki. Semuanya berawal ketika dia berusaha mengusir kawanan pemuda berandal dari halamannya. Walt mulai terseret dalam pusaran kehidupan tetangganya yang bersuku Hmong tadi. Perlahan-lahan dia mulai menjalin hubungan yang intens dengan Thao (Bee Vang) pemuda tanggung yang sering mendapatkan tekanan serta kakak perempuannya, Sue (Ahney Her).
Walt yang pada awalnya membangun tembok pembatas dengan para pendatang, lama-lama mulai membuka diri. Hubungannya dengan Thao ibarat murid dengan mentornya. Hingga sebuah tragedy menimpa Sue yang membuat Walt tidak bisa tinggal diam melihat kekerasan demi kekerasan yang menimpa orang-orang yang tidak layak menerimanya.
Namun apakah kekerasan harus dilawan dengan kekerasan? Apakah dengan diam dan pasrah akan menjauhkan kita dari kekerasan? Penulis cerita Nick Schenk menjawabnya dengan akhir cerita yang mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Pada intinya, dibutuhkan keberanian dan otak serta kebijakan untuk melawan kekerasan.
Dirty Harry is back! Namun kali ini sebisa mungkin dia menjauhkan diri dari yang namanya kekerasan. Dimasa tuanya dia seakan menyesali berbagai kekerasan yang dulu dia sajikan. Ya, bisa dibilang Gran Torino ini merupakan anti tesis dan juga penyesalan yang dulunya dia tampilkan lewat aksi-aksi yang diartikan sebagai aksi heroic, seperti layaknya peran Walt di Perang Korea. Di usia tuanya, Clint Eastwood ingin meninggalkan warisan yang inspiratif yang dia tunjukkannya lewat langkah yang dia pilih untuk mengakhiri siklus kekerasan dan juga dia tunjukkan dengan diwariskannya Gran Torino kepada Thao. Gran Torino seakan menjadi symbol akan nilai-nilai luhur nan klasik, yang sayangnya makin mahal untuk didapat.
Sama seperti Walt Kowalski, Clint Eastwood seakan mengalami kegelisahan ketika melihat dunianya menjadi semakin permisif dengan kekerasan. Nilai – nilai luhur makin ditinggalkan. Padahal dengan makin mengaburnya batas antara manusia yang satu dengan manusia yang lain idealnya terjadi pertukaran nilai-nilai kebajikan, bukan malah saling memaksakan apa yang mereka yakini. Perbedaan harusnya menjadi suatu hal indah bukannya menghadirkan kekacauan. Sikap antipati yang diungkapkan lewat dialog memorable “get off my lawn” cukup kuat menggambarkan kondisi saat ini.
Menyaksikan Gran Torino seakan-akan mengalami déjà vu. Temanya hampir mirip dengan No Country for Old Man yang sangat anti kekerasan meski didalamnya bertaburan aksi kekerasan. Tommy Lee Jones dan Clint Eatwood seakan-akan mewakili generasi tua yang mengalami kebingungan di dunia yang makin berubah. Bedanya, Gran Torino terasa lebih optimis dengan eksekusi yang dipilihnya.
Gran Torino tidak dipungkiri merupakan karya terbaik Clint Eastwood, meski Academy tidak meliriknya sama sekali. Temanya begitu actual. Gran Torino juga seakan menjadi pencapaian terbaik dari Clint Eastwood dari segi acting. Dengan suara berat (get off my lawn!), dengusan melecehkan hingga mata sinis yang kadang terlihat kejam, peran Walt Kowalski seakan-akan memang diciptakan untuk Clint Eatwood sebagai wujud pamitnya dia dari dunia acting. Sayang sekali. Gran Torino pada beberapa bagian juga menyelipkan humor yang mengundang tawa, terutama ketika menyorot permusuhan Walt dengan nenek Thao. Chemistry Clint dengan pemeran lain yang nota bene asing dimata maupun di telinga cukup meyakinkan. Gaya bertuturnya juga enak dan sempat membayangkan bagaimana kalau cerita diambil dari sudut pandang Thao?
Dari sekian banyak suku di dunia, terbersit pertanyaan mengapa suku Hmong yang dipilih? Terus terang baru kali ini mendengar suku yang satu ini. Banyak yang terkecoh kalau suku ini berasal dari Korea, padahal pada kenyataannya, suku ini banyak tinggal di kawasan Asia Tenggara, dan secara historis mungkin ada keterkaitan dengan Cina. Dan diluar Asia, ternyata suku Hmong ini ternyata memang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, yakni sekitar 200.000 jiwa lebih. 4,25/5

Minggu, 01 Februari 2009

MILK

Minggu, 01 Februari 2009 6


Harvey Bernard Milk dikenal sebagai politikus pertama yang mengaku sebagai gay dan berani mengikuti pemilihan secara terbuka. Sebagai yang pertama (perintis), meski mungkin banyak politikus yang mempunyai orientasi serupa, tentu dibutuhkan perjuangan luar biasa untuk bisa eksis dan bertahan. Perjuangan tersebut tentu saja menarik untuk disimak, karena biasanya Kisah seorang perintis selalu berisi peristiwa-peristiwa luar biasa dan inspiratif. Apalagi Milk ini dmasukkan sebagai salah satu tokoh "Time 100 Heroes and Icons of the 20th Century".
Sebagai seorang yang pertama dengan orientasi yang dianggap menyimpang tentu saja banyak pihak yang akan berusaha menghambat langkah. Bolehlah mereka yang menentang itu disebut sebagai kaum konservatif, meski mereka kadang juga tidak begitu konservatif amat. Mungkin untuk beberapa hal tertentu. Mereka yang berjuang umumnya merupakan kaum minoritas yang termarjinalkan dengan berbagai kekerasan menghampiri, baik fisik maupun psikis, sedangkan mereka yang menentang berada di pihak mayoritas.
Film ini dibuka dengan sangat efektif. Digambarkan betapa kaum gay mendapatkan perlakuan tidak semestinya, terutama oleh pihak yang harusnya melindungi warga dari tindak kekerasan (polisi). Namun Milk tidak (akan) mengumbar penderitaan kaum gay akibat penindasan, justru berbagai perlakuan tersebut mendorong Milk untuk menunjukkan kekuatannya untuk memperjuangkan kaum yang terpinggirkan.
Selanjutnya kita diajak melihat sepak terjang dari Harvey Milk yang benar-benar dari bawah. Meski banyak batu terjal ditemui, namun tidak menyurutkan langkah Milk dan kroninya. Untuk memperkuat jalinan cerita (drama), didalamnya perlu dimasukkan pernik-pernik kehidupan pribadi dari si Milk tadi. Pada awalnya dia menjalin hubungan dengan Scott Smith (James Franco). Hubungan keduanya berjalan dengan intim dan intens, sampai pada akhirnya Scott tidak kuasa lagi menyamakan langkah dengan Milk, dia memutuskan untuk mundur. Pada saat inilah muncul Jack Lira (Diego Luna) yang labil, yang makin memperkuat drama dalam perjalanan hidup si politikus gay.
Bagi “penderita” homophobia, perlu ditegaskan meski film ini banyak memuat hal-hal berbau Homoseksual, esensi film ini tidaklah sedangkal itu. Film ini merupakan film politik, salah satu yang terbaik malah. Kalau mengambil jalan hidup Milk, itu hanya sebagai bungkus untuk menyajikan tontonan yang menarik dan penuh drama. Bagi yang ingin terjun didunia politik, film ini bisa menjadi sebuah pembelajaran yang amat penting. Bagi aktivis pejuang kaum minoritas, film ini bisa dijadikan bekal yang lumayan berharga.
Dalam film besutan Gus Van Sant berdasar naskah Dustin Lance Black ini, kita diajak untuk melihat perjuangan kaum marjinal yang terorganisir. Mulai dari pengumpulan pendukung (kampanye), menciptakan jargon politik, orasi politik hingga bagaimana mereka menggunakan media untuk mempertajam aksi mereka. Terkadang mereka juga melakukan lobi dan manuver politik yang agak terkesan kotor, namun menunjukkan kecerdasan mereka. Perjuangan mereka kadang terkesan begitu agresife, namun tahu kapan harus memperhalus aksi mereka. Bagaimana meraih tujuan lewat organisasi yang solid, merupakan satu hal yang bisa kita dapat setelah menyaksikan Milk. Sebuah pengetahuan berharga yang sayang untuk dilewatkan.
Perjuangan Harvey Milk akan tidak berhasil kalau dia tidak didukung oleh tim yang solid. Namun tim yang solid tidak akan terbentuk tanpa adanya kepercayaan akan kekuatan pemimpin mereka. Inilah kehebatan Milk. bagaimana dia bisa membuat orang-orang percaya dengan apa yang dia perjuangkan. Tim yang solid pulalah yang membuat film ini menjadi sebuah tontonan memikat nan komplit, meski jujur, bukanlah sebuah tontonan yang luar biasa, karena sebelumnya telah banyak diangkat kisah perjuangan kaum marjinal.
Di bawah arahan Gus Van sant, Milk menjadi sebuah tontonan yang utuh. Elemen-elemen dalam film hadir saling menguatkan. Mulai dari cerita dan dialog yang berisi, barisan bintang pendukung yang kuat, divisi artistic yang mampu menghadirkan atmosfer tahun 1960-an hingga 1970-an dan diperkuat sinematografi yang mantap, hingga editing yang lincah yang membuat film sarat muatan politis ini lebih enak dinikmati. Salute untuk Gus Van Sant yang mampu membuat bintang-bintang muda seperti Emile Hirsch dan Diego Luna makin terasah aktingnya.
Penampilan Sean Penn dinilai banyak orang sebagai sebuah penampilan yang brillian, namun penampilan James Franco sebagai Scott mampu mencuri perhatian. Dibandingkan Josh Brolin, penampilannya lebih meninggalkan kesan. James Franco dan Sean Penn mampu membangun chemistry yang cukup meyakinkan dan tidak sungkan-sungkan “bergelut” di ranjang, sesuatu hal yang makin disikapi santai oleh actor Holly belakangan. James Franco sukses menampilkan sosok yang mencintai, namun terpaksa mundur demi kemajuan orang yang dicintainya meski rasa cinta belum luntur (aduh….!!!).
Yang namanya film, tentu saja ada beberapa fakta yang harus direduksi, agar sosok yang dihadirkan mampu menginspirasi penonton. Kalau mengikuti kisah Harvey Milk, tentu akan menemui beberapa hal yang tidak dihadirkan dalam film ini. Jadinya, film ini terkesan mengkultuskan sosok Harvey Milk. Sekali lagi sejarah mempunyai banyak wajah (versi).
Harvey Milk meninggal karena dibunuh oleh Dan White (Josh Brolin). Sekali lagi film dengan tokoh gay didalamnya, mendapatkan akhir tragis. Mengapa Harvey Milk meninggal? Karena dia mengucapkan “I’ll be back”, padahal di tengah film dia menegaskan aksinya dengan kalimat “never turn back” lewat kaos yang dia pakai. Kalimat ““I’ll be back”, merupakan kalimat kutukan. Masih ingat film Scream? (hehehe…joke’s on you). Harvey Milk meninggal karena ego pribadi yang tidak dewasa dan bebal, serta tidak tahu bagaimana mencapai apa yang menjadi tujuannya yang juga tidak dipahaminya.
Buat mereka yang akan maju memperjuangkan hak mereka yang tertindas ada satu tips penting dari Harvey Milk. “I cannot prevent anyone from getting angry, or mad, or frustrated. I can only hope that they'll turn that anger and frustration and madness into something positive, so that two, three, four, five hundred will step forward, so the gay doctors will come out, the gay lawyers, the gay judges, gay bankers, gay architects ... I hope that every professional gay will say 'enough', come forward and tell everybody, wear a sign, let the world know. Maybe that will help.” Intinya sih kenali dirimu terlebih dahulu untuk kemudian berdamai dengannya sebelum kamu berjuang. Pesan ini rasanya cukup universal.
Di tengah eforia “change”, dampak kampanye Obama (mungkinkah dia terinspirasi perjuangan Harvey Milk?), film ini bisa menjadi sandungan untuk film lain dalam memperebutkan predikat Film Terbaik di ajang Oscar 2009. Homoseksualitas memang belum mempunyai sejarah manis di kategori ini, meski hubungan sejenis jamak terjadi di Hollywood. Ingat dong dialog yang diucapkan Robert Downey, Jr di film Tropic Thunder dimana Ben Stiller bertindak sebagai sutradara dan penulis naskah.
“Man…everyone’s gay once in a while. This is Hollywood!” 4,25/5

THE WRESTLER



Randy "The Ram" Robinson (Mickey Rourke) seorang paruh baya yang telah bergelut hampir 20 tahun di arena gulat bebas professional atau lebih keren dikenal dengan istilah smack down. Selama hampir 20 tahun dia mendedikasikan hidupnya di panggung sandiwara penuh kekerasan yang entah mengapa membuat sebagian orang merasa terhibur melihatnya. Apa yang Randy dapatkan dari dedikasinya tersebut? Ketenaran pastinya.
Namun lihatlah kenyataan di luar “pangung”. Rumah saja dia tidak punya, bahkan nyaris kehilangan trailernya karena tidak sanggup membayar sewa. Hubungan dengan putri semata wayangnya, Stephanie (Evan Rachel Wood), jauh dari kesan harmonis. Randy malah lebih akrab menjalin pertemanan dengan penari telanjang nan seksi, Cassidy (Marisa Tomey).
Hingga suatu hari Randy terluka cukup parah, yang membuatnya harus istirahat dari “panggung” gulat bebas professional. Padahal sebentar lagi akan ada event besar sebagai perayaan atas eksistensinya selama 20 tahun di arena gulat bebas professional, yakni dipertemukannya kembali dia dengan “rival abadinya” Ayatullah (Ernest Miller). Atas saran Cassidy, Randy mulai berusaha menjalin hubungan lagi dengan putrinya. Mencoba bekerja di supermarket yang sebenarnya kurang begitu dia sukai. Dan Randy pun ingin menjalin hubungan yang serius dengan Cassidy.
Namun ternyata semuanya berjalan tidak seperti yang dia harapkan. Hubungan dengan putrinya yang awalnya mulai membaik, kembali hancur gara-gara kesalahan yang dia buat. Randy juga dikeluarkan dari pekerjaan karena mearas frustasi. kalu dirunut, semua gara-gara penolakan dari Cassidy, meski penolakan tersebut bisa dimaklumi mengingat alasan Cassidy cukup kuat. Di tengah rasa frustasinya, Randy pun nekat mengikuti pertandingan akbar yang telah dipersiapkan untuknya, dengan resiko kehilangan nyawanya.
Menyaksikan film The Wrestler besutan sutradara Darren Aronofsky berdasar naskah tulisan Robert D. Siegel ini kita akan mendapatkan kesan romantisasi dunia kekerasan, meski sebenarnya kekerasan yang semu, karena penuh sandiwara. Akibatnya, pada beberapa bagian terkesan cemen, terutama pada bagian sakit hatinya Randy akibat penolakan Cassidy.
Namun hal tersebut untungnya tertutupi dengan betapa detailnya cerita yang dihadirkan, selain pertarungan yang brutal dan berdarah (terutama pertarungan terakhir). Kita diajak untuk melihat dunia “di balik layar” seorang “actor” pegulat bebas professional. Betapa untuk menghadirkan tontonan yang keras nan menghibur, ada banyak langkah dan pengorbanan yang harus ditempuh. Para “actor’ tadi memang bukan seorang atlet, tapi lebih sebagai penghibur. Karenanya kepuasan penontonlah yang menjadi ukuran kesuksesan. Tidak peduli rasa sakit yang mereka dapatkan yang kadang tidak sebanding dengan uang yang didapat. Kita juga diajak sisi “genit” mereka demi sebuah citra. Yang mengesankan adalah rasa solidaritas yang tinggi antar pegulat.
Setiap orang memang mempunyai “panggung” tempat mereka beraksi dengan peran yang berbeda-beda. Semuanya tergantung dengan waktu, tempat serta audience yang ada. Di kehidupan bermasyarakat, peran yang kita mainkan sangat tergantung dengan status yang melekat pada diri kita. Bagi yang pernah belajar Sosiolgi (mantan nih hehehe) tentu akrab dengan istilah dramaturgy yang dipopulerkan oleh Erving Goffman. Bahwa setiap manusia memainkan sebuah “drama”, dengan panggung yang berbeda-beda. Setiap panggung mempunyai aturan, norma dan penerimaan yang berbeda antara panggung yang satu dengan panggung yang lain. Kalau Randy memilih arena gulat sebagai panggung tempatnya beraksi, Cassidy memilih panggung tarian panjang.
Yang namanya dunia panggung tentu berbeda dengan dunia nyata. Siapa yang mengira kehidupan Randy dan Cassidy di luar panggung segetir itu. Randy yang terlalu menghayati perannya di panggung, terlihat gagap ketika bersinggungan dengan dunia nyata. Frustasi. Dia lebih menikmati perannya di arena hingga menemukan kebahagiaan disana. Sedangkan Cassidy berusaha mengingkari kehidupan panggungnya, yang justru membuatnya menjadi manusia yang tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri, hingga kehilangan rasa bahagia.
Film ini terasa istimewa berkat permainan apik para pendukungnya. Mickey Rourke secara mengejutkan mampu menampilkan sebuah permainan yang memikat. Hilang sudah segala kesan “tabu” yang melekat pada dirinya berkat aksinya yang nakal di 9,5 Weeks dan Wild Orchid. Untung baginya Stallone urung terlibat dalam proyek ini. Marisa Tomey kembali menunjukkan tajinya dengan semakin ikhlas berpakaian minim, setelah sebelumnya santai berpolos ria di Before the Devil Knows You’re Dead.
The Wrestler kemungkinan besar bisa memunculkan kontroversi di beberapa Negara (Islam). Bahkan mungkin menolak untuk memutarnya. Adegan menjelang akhir durasi bisa jadi menjadi pemicunya. Namun buat penggila sinema, tentu hal tersebut tidak akan menghalangi melihat film yang satu ini. Sebuah film yang mengajak kita sekilas melihat dunia di balik panggung yang kadang lebih menarik dan dramatis untuk disimak. Jadi…di panggung mana dirimu akan tampil? 4/5
 
GILA SINEMA. Design by Pocket