Selasa, 30 Oktober 2007

LANTAI 13

Selasa, 30 Oktober 2007 0

Lantai 13 tampaknya diarahkan ke pasar yang lebih dewasa dibandingkan dengan kebanyakan film horor Indonesia (I-Horror) yang ditujukan untuk remaja. Hal ini terlihat dari pemilihan pemain yang tidak muda lagi. Setting yang dipilihpun suasana perkantoran. Lantai 13 ini lumayan memberikan kesegaran, terutama di 2/3 dari film ini. Dan sekali lagi terlihat kelemahan penulis Indonesia adalah bagaimana mengeksekusi cerita. Banyak film Indonesia yang gagap dalam menghakhiri sebuah cerita, seperti yang tampak pada Lantai 13. Setelah menampilkan sesuatu yang menjanjikan seperti ketegangan yang terjaga (terjadi koor teriak) dengan tidak mengumbar pemunculan hantu dan scene-scene segar yang mampu menjadi katalis (kecuali scene satpam yang artificial), cerita diakhiri dengan amat sangat datar dan terkesan dibuat-buat. Buka-buka BH. Tetek deh….. Kasihan Tio Pakusadewo yang terlihat canggung dan bingung harus bagaimana.

Adegan paling asyik ketika perbincangan ketiga tokoh perempuan dari sore sampai malam. Perhatikan suasana diluar lewat jendela kaca. Pada adegan ini sutradara berhasil menghasilkan atmosfer perbincangan biasa yang tidak membosankan. Padahal adegan ini lumayan lama. Bahkan pada adegan ini selain dibuat tegang, penonton juga dibuat tertawa. Jarang banget film Indonesia yang menghadirkan adegan seperti ini.

Adegan hantu yang menjelma jadi Widi Mulia, lumayan memberikan kejutan.

Widi Mulia sudah berusaha tampil biasa, tetapi matanya yang sering melotot lumayan mengganggu.

Diluar ending film ini yang sangat buruk, film ini lumayanlah buat hiburan. 2,5/5

DEATH NOTE


Dari dulu aku penasaran banget dengan film ini. Di media film ini disebutkan menjadi box office di Jepang sana. Pertama membaca judulnya yang terbersit dibenakku adalah jenis film horror Jepang layaknya The Ring ataupun Ju-on. Ternyata perkiraanku salah banget. Film ini memang ada setannya. Tetapi berbeda dengan film “setan” yang lain, setan di film ini diwujudkan dalam sosok manusia. Bahwa setan yang paling berbahaya itu adalah setan yang bersemayam di tubuh manusia. Apalagi pada manusia yang diberi kekuasaan untuk mencabut nyawa manusia yang lain.

Sosok sentral di film ini digambarkan seorang pemuda mahasiswa fakultas hukum yang ironisnya skeptis terhadap hukum itu sendiri. Ironi ini dipertajam lagi dengan kenyataan ayahnya yang seorang polisi. Belum cukup ironi yang ditawarkan, dipertengahan film keduanya dikondisikan pada posisi penakluk dan yang ditaklukan.

Intrik makin memikat dengan hadirnya tokoh L yang eksentrik. Film yang diangkat dari komik ini selanjutnya menggambarkan adu pintar antara Light (tokoh utama) dengan L. Pertarungan menarik yang didukung dengan skrip yang orisinal. Dijamin tidak akan bosan menunggu akhir pertarungan dua tokoh cerdas ini.

Pertarungan dua tokoh ini berlanjut di seri kedua (film ini rencananya akan ada seri 3). Tetapi layaknya sekuel, konflik yang ada tidak setajam seri pertama (membosankan malah), meskipun cerita makin kompleks dengan hadirnya tokoh lain yang mempunya “sesuatu” yang sama dengan Light.

Buat yang suka film Jepang, film ini patut dikoleksi. 3,5/5

MENGEJAR MAS MAS


Mengejar Mas Mas adalah Film yang ringan dan menghibur dengan didukung acting para pemain yang memukau. Terutama sekali Dinna Olivia yang tampil meyakinkan sebagai Ningsih, seorang pelacur dengan bayaran Rp. 50.000,00 ( mau banget jadi pelanggannya ).

Adegan bergosip dengan tetangga berjalan natural. Paling seneng adegan ketika dia mencuci pakaian sambil nangis-nangis dan adegan saat “dirajam” para tetangganya.

Poppy juga bermain bagus sebagai remaja kota yang angkuh dan manja. Adegan dia yang berkesan waktu nangis-nangis pas ayahnya meninggal ( sepertinya artis Indonesia paling jago untuk adegan nangis, Agnes Monika saja dipuji Jerry Yan ).

Film ini semakin enak dinikmati dengan sentuhan musik ringan yang ditata oleh Monty Tiwa. Lagunya Genk Kobra asyik banget.

Bagi yang sudah bosan dengan film-film Indonesia yang Jakarta banget, film ini patut dilihat.

Sebagai hiburan, film ini sangat sayang dilewatkan.

Aku sedikit kurang paham dengan judul Mengejar Mas Mas, karena setelah melihat filmya, tidak bisa disimpulkan sebagai cerita 2 orang perempuan mengejar seorang mas.

Tambah bingung lagi dengan tagline-nya “Karena matahari tidak perlu dikejar”

Ada yang bisa membantu Ke-dodol-anku? Soalnya Monty Tiwa sendiri waktu ditanyain soal ini juga tidak menjawab secara jelas.

Kalau ada yang sudah liat promonya, kesannya ini film percintaan, padahal apa yang disajikan di layar lebih dari itu. Aku kurang paham dengan strategi dagang pembuat film ini. Sepertinya mereka kurang yakin jualan sesuatu yang tidak berbau cinta.

2,5/4

DISTURBIA


Aku awalnya penasaran dengan film ini, karena ketika dirilis film ini nomer satu selama dua atau tiga minggu. Dan pengen liat aksi Shia Labeouf yang dipuji-puji oleh Steven Spielberg dan dicap sebagai Next Tom Hanks. Disturbia ini (maunya) versi remaja dari salah satu karya terbaik Alfred Hitchcock, Rear Window.

Hasilnya? kalah jauh. Kurang tegang, kurang misterius. Penjahat yang digambarkan lebih sadis dengan ikut-ikutan trend potong memotong ala SAW atau HOSTEL, tidak bisa membantu mengangkat tensi film ini, karena dimunculkan terlalu awal meskipun David Morse sendiri bermain lumayan meyakinkan. Film ini juga kebingungan mau lari kemana. Terlihat sekali, penulis cerita punya banyak hal yang ingin disampaikan. Sebuah obsesi yang wajar sebenarnya. tapi akan membuat bias kalau tidak dirangkum dalam satu tema besar.

Selain David Morse, Carrie Ann Moss juga tampil bagus sebagai seorang ibu. Beda banget dengan peran dia di Matrix. Sayang porsinya terlalu sedikit. Ternyata di bagian Deleted Scene, adegan dia memang yang paling banyak dipotong. Shia LeBeouf berperan asyik seperti yang ditampilkannya di Transformer ataupun di I,Robot. Sarah Roemer yang digembar-gemborkan media sebagai salah satu poin positif dari film ini karena keseksiannya, bermain datar.

Cerita kurang mengekspolitasi suasana suburban, padahal lingkungan suburban kan bisa jadi setting cerita yang menarik seperti dalam Desperate Housewives. Intinya film ini nanggung banget. 1,5/5

THANK YOU FOR SMOKING



Thank U For Smoking menurutku salah satu film terlucu di tahun 2006 seperti halnya Little Miss Sunshine. Film yang banyak bertaburan dialog cerdas ini patut direkomendasikan bagi mereka yang bergerak di bidang kehumasan. Dari judulnya, film ini seakan-akan diarahkan untuk memberi gambaran tentang dunia rokok di Amerika. Sebuah gambaran yang tidak sepenuhnya keliru, karena sepanjang film kita disuguhi adegan-adegan yang menyindir industri rokok disana.Tetapi setelah dilihat film ini ternyata sebenarnya berfokus pada perkembangan karakter tokoh utamanya yang digambarkan seorang spoke person sebuah perusahaan rokok terkemuka.

Kita diajak melihat tingkah polah tokoh utama dalam menghadapi persoalan yang dalam hal pengambilan sikapnya harus bisa menyenangkan semua pihak. Sesuatu hal yang sulit mengingat dia bekerja untuk perusahaan rokok yang dituding penyebab berbagai macam penyakit. Meskipun pada kenyataannya pembunuh nomer satu di Amrik adalah kolesterol.

Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi ketika dia mempunyai anak yang masih belia yang begitu mengidolakannya. Disini bagi tokoh utama dituntut untuk mengambil sikap yang tidak merugikan perusahaan tempat dia bekerja, sekaligus memberikan dampak positif bagi anaknya.

Film ini kalau diumpamakan sebuah lagu adalah sebuah lagu jazz yang smooth banget. Alur cerita sangat enak dinikmati dengan humor-humor cerdas, plus penampilan para bintangnya yang meyakinkan, terutama Aaron Eckhart. Kalau dia lebih pintar lagi memilih film, rasa-rasanya kesuksesan akan mudah dia raih. Katie Holmes yang lama tidak aku lihat juga makin enak dipandang.

Yang menyebalkan adalah Tom Cruise.Lho? Iya, gara-gara Tom Cruise kita tidak bisa menikmati Tits-nya Katie Holmes, padahal kemunculan “NYA” sangatlah kontekstual. Dia minta adegan itu dipotong ketika film dirilis di bioskop maupun home video.

Yang membuatku heran, film sebagus ini yang satu level dengan Little Miss Sunshine, tidak ada gaungnya sama sekali. Film ini memang menjadi salah satu favorit para kritikus film di tahun 2006, tetapi tidak bagi penonton. Mungkin karena gara-gara Tom Cruise tadi, atau karena tidak dipromokan dengan tepat. Mungkin kalau menggunakan jasa tokoh utama di film ini, film ini akan lebih laris.

Film ini sangat saya rekmendasikan. 4/5

Best quote di film ini ketika si Aaron Echkart bilang BULLSHIT!

Temennya menjawab “IT’S AMERICA!”

Senin, 29 Oktober 2007

BRAVE ONE

Senin, 29 Oktober 2007 0

Ada banyak cara untuk mati, tapi yang lebih penting beranikah kita menghadapi hidup? Demikian kira – kira yang ingin disampaikan film The Brave One. Film ini mencoba meneropong kehidupan seseorang setelah mengalami musibah. Sebuah peristiwa tragis yang menuntut kita untuk memilih langkah tertentu untuk bias bertahan hidup, meski dengan kepribadian yang baru. Dalam hal ini kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan situasi baru sangatlah diuji. Dibandingkan dengan makhluk lain, manusia bisa dikatakan mempunyai daya adaptasi yang paling kuat karena dibekali dengan akal pikiran.

Dalam menyikapi suatu hal kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang kadang sulit untuk dipilih. Padahal yang penting bukan benar atau salah pilihan yang kita ambil, tetapi lebih penting lagi bagaimana kita menyikapi pilihan kita tersebut, termasuk segala akibat yang ditimbulkannya.

Film ini menyoroti usaha tokoh yang diperankan oleh Jodie Foster untuk keluar dari ketakutannya. Ketika rasa aman sudah tidak bisa didapatkan lagi, apa yang harus dikerjakan? Rasa aman di kota yang ironisnya di klaim sebagai kota teraman di dunia, New York.

Film ini menurutku sebuah gambaran kecil tragedy 9/11. tanggal kejadian tragedi di film inipun dibuat mirip yakni, 6/11. Film ini mencoba mengusik benak kita dengan pertanyaan “Apakah tragedy harus dihadapi dengan tindakan yang menciptakan tragedy (kemanusiaan) ? Apakah penggempuran Irak oleh AS bisa dibenarkan secara hukum dan moral demi mendapatkan sebuah kesembuhan dari luka tragedy 9/11?

Dalam hal ini pembuat film lebih condong untuk menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan, bahkan dengan mengakali hukum sekalipun. Film ini lumayan enak dinikmati berkat tampilan Jodir Foster yang laksana Robert DeNiro di Taxi Driver. Perhatikan adegan dia menatap dirinya di cermin setelah melakukan pembunuhan pertama. Top banget.Emosi takut, aneh dan kuat terpancar dari ekspresi dia. Terence Howard yang tampil meyakinkan di Hustle & Flow seakan tenggelam oleh kekuatan acting Jodie Foster. Penataan kamera secara efektif memberi gambaran ketidakstabilan emosi Jodie Foster. Salut juga dengan yang mendandani Jodie Foster. Penampilan dia terkesan orang biasa-biasa saja, selain terlihat lebih muda. Kadang terlihat seperti turis yang sedang jalan-jalan.

Sayang sekali eksekusi cerita yang diambil kurang cerdas dan sangat tidak meyakinkan. Mungkin bagi yang belum terbiasa membaca buku atau menonton film misteri, penyelesaian yang dipilih tidak mengganggu. Berbeda dengan Death Note yang produk Jepang. Dengan premis yang hampir sama, film ini memberikan penyelesaian yang jauh lebih cerdas dan meyakinkan.

Dan ada hal yang mengganggu lainnya, yakni ketika tangan Jodie Foster terluka oleh linggis. Rasanya dengan luka seperti itu, pergerakan tangan akan sangat terganggu. 2,5/5


English

The Brave One

There’re so many way to die, but the most of all is do we have the brave to live? This is would like to be the message of the Brave One. The film is trying to look a calamity person’s live. A tragedy that lead us to choose a particular step to survive, even with the new personality as the consequences. In this case, the ability of adaptation from mankind in the new circumtances is barely tested. Compere to the other living things, mankind have the strongest capable of adaptation because its have intelligence.


To demeanor something, we dealed with the choices which is difficult to choose. When the important thing is not about right or wrong for what step we’ve taken, but beyond that is how we can demeanor for what we choose, include all the consequences.


The film is focused on a character that starred by Jodie Foster, which is she want to out of her fear. When the feelling of safe had taken away, so what can we do about it? The feelling of safe in a city that claimed as the safest city in the world, New York.


The film is about the little picture of 9/11 tragedy. A day of tragedy in the film is likely made, 6/11. The film is trying to tease our mind with the question, whether the tragedy have to faced with the action that create tragedy? Whether the assault of Iraq by United States of America can be justifier by law and moral for the heal of 9/11 tragedy’s wound?


In this case, the film maker is leaning to end the violence with the violence, even with tricking the justice. The film is enjoyable because of the performance from the star, Jodie Foster, that is like Robert De Niro in Taxi Driver. Watch closely on the scene when she stares her self in to the mirror after she did her first murder. Very impressive. Scared emotion, odd and strong is come out from her expression. Terence Howard who on convincing performance in Hustle and Flow like to be drawn by the performance of Jodie. The Cinematography is efectively give the unstable of the emotion from Jodie Foster. Great job from the make up. She is looking ussual, younger but sometimes like a tourist that take a walk.


It’s pretty shame that from story execution is little unsmart and not convinced. Perhaps to the audience that not used to read mistery story in the book or see it on the film, the conclusion isn’t annoying. Differently from the Japan’s Death Note. With the same premise, the film gives the smarter and more convinced conclusion.


And there’s something that annoying, when Jodies Foster’s hand is wound by the crowbar. It’s feel with that such wound, the hand would be so annoying. 2.5/5.

BADAI PASTI BERLALU

Setiap melihat film adaptasi sebuah novel, seringkali kekecewaan yang aku temui (Kecuali Silence of The Lambs). Hal ini terjadi lagi setelah melihat Badai Pasti Berlalu. Entah apakah penulis skenario dan sutradara sudah membaca novelnya atau belum.Ato mungkin sekedar melihat filmnya yang versi Teguh Karya? Entahlah.

Kebetulan beberapa hari kemudian aku membaca novel karya Marga T tersebut. Badai Pasti berlalu versi novel menurutku mempunyai dramaturgi yang kuat, sesuatu yang tidak begitu tampak pada filmnya. Jarang sekali novel Indonesia yang enak buat dibaca (menurutku). Tapi dalam kasus Badai pasti Berlau, ceritanya enak banget diikuti. Berbeda dengan filmnya yang sangat membosankan (sampai rasanya ingin keluar).

Padahal Badai Pasti Berlalu berbekal materi yang cukup. Cerita yang kuat, barisan pemain muda yang secara mengejutkan tampil bagus (terutama Raihanuun), pemain senior yang tampil konsisten, pemilihan warna yang menarik dan gambar-gambar yang indah (meski kadang puyeng dengan gambar-gambar yang terlau "goyang").

Badai Pasti Berlalu (harusnya) bercerita tentang penderitaan seorang wanita bernama Siska (Raihanuun, dengan penampilan yang cantik, secantik fisiknya) yang tiada henti dan bagiamana dia menyikapi hal tersebut. Siska dikhianati teman dan tunangannya, dijadikan bahan taruhan (yang dalam novelnya diceritakan diprakarsai oleh Ayah dan Kakaknya), terjebak dalam pernikahan dengan psiko, ayah yang selingkuh, ibu yang sakit-sakitan, punya diabet dan anaknya yang meninggal.(Kejamnya dunia!)

Segala hal tadi membuat dia menjadi pribadi yang apatis dan sinis. Belum lagi setelah menikah dia hidup dalam gelimang dosa dan makin jauh dari Tuhan. Dalam Novelnya diceritakan keluarga Siska ini merupakan keluarga yang taat berdoa dan ke Gereja.

Hal ini makin diperparah ketika dia menyimpulkan orang yang dia cintai punya diabet juga, yang berarti dia tidak bisa menikah dengan orang tersebut.

Semua hal diatas kurang begitu nampak di layar.Apalagi soal kesimpulan yang keliru tadi. Dalam novel terlihat ada dilema ketika dia mengambil keputusan untuk putus dengan Leo (Vino G. Sebastian). Antara cinta dan diabet.

Terus sosok Helmi (Winki Wiryawan) dalam novel dikisahkan seorang gigolo bangsat yang memikat para Tante kaya untuk mengumpulkan uang. Mengenai hal ini, kalo filmnya ikut novelnya akan dipenuhi dengan adegan seks yang panas.

Pada intinya Badai pasti Berlalu lemah dalam mengadaptasi apa yang tertulis dalam novelnya. Masalah klasik dalam pengadaptasian.

Untungnya film ini banyak wajah-wajah indah, sehingga lumayan bisa mengobati kebosanan. Raihanuun (sekali lagi) bermain lepas dan tidak canggung dan bibirnya kemlamut banget, Davina yang mulus (dalam novel karakter dia suangat sangat JALANG), Dewi Irawan yang tetap mempesona.

Vino G. Sebastian kurang pantas memerankan Leo. Kurang brandal. Kadang malah kayak orang stres, terlau banyak umbar senyum. Di novel Leo digambarkan sosok yang menyebalkan sekaligus didambakan oleh para cewek. Hal ini tidak nampak pada Vino. Apalagi suara dia kurang "keras" untuk sosok Don Juan.

Aku malah membayangkan novelnya dijadikan sinetron seri (cukup 13 episode saja). Dari pada adaptasi serial Korea. Taiwan ataupun Jepang. Semoga Leo Sutanto bisa melihat peluang ini.

Kalau dijadikan sinetron aku usul Laudya Cinthya Bella (Siska), Vicky Notonegoro (Leo) dan Baim Wong (Helmy).

Pasti ntar dapet rating tinggi. Hehehe.....2,5/5


BLACK DAHLIA


Apa yang terpikir di benak kalian ketika membaca sebuah judul? Entah itu judul buku, judul film ataupun judul yang lain. Ketika membaca sebuah judul, yang pertama terlintas dipikiran kita adalah bahwa isinya pasti berkaitan dengan judul yang tertera. Judul harusnya mampu merangkum tema utama yang ingin disampaikan oleh kreatornya. Tapi hal ini tampaknya tidak berlaku untuk The Black Dahlia, film arahan Brian de Palma. Terlihat sekali bahwa judul yang dicantumkan semata – mata untuk menarik orang untuk menonton film ini. Judul ini mengacu pada nama korban pembunuhan yang sampai saat ini belum terungkap siapa pelakunya, meskipun kasusnya timbul pada tahun 1947. Memang film ini mencoba mengangkat sisi lain dari peristiwa yang menewaskan Elizabeth “Betty” Short.


Membaca judul film ini, yang terbersit di benak penonton adalah film ini akan banyak mengulas profil si korban melalui penyelidikan – penyelidikan yang dilakukan oleh polisi pada waktu itu. Tapi ternyata film ini lebih focus kepada karakter dua polisi yang mengusut kasus tersebut. Black Dahlia akhirnya hanya menjadi sub plot dalam film ini.

Secara visual film ini sangat memanjakan mata. Brian de Palma menyajikan gambar – gambar dengan pencahayaan dan setting khas film noir. Terlihat jelas bahwa penata artistik di film ini bekerja dengan amat serius untuk membangun suasana tahun 1940 – an. Tak heran film ini mendapat nominasi Oscar untuk Penataan Artistik. Mulai dari kostum, make up dan properti yang dihadirkan benar – benar menguatkan film ini. Belum lagi para pemainnya yang berakting semi teatrikal yang memang banyak dijalani pada waktu itu. Film ini makin asyik di mata dengan kehadiran para pemainnya yang memang pas didandani ala 40 –an. Tapi penampilan paling asyik adalah si Mia Kishner yang tampil meyakinkan sebagai si korban. Pada salah satu adegan kita tidak bisa menebak apakah dia sedang di audisi atau sedang direkam apa adanya. Yang mengecewakan adalah Josh Harnett, yang entah kenapa di layar terlihat paling malas mengekspor karakternya.

Ada satu lagi hal menarik dari film ini, yakni pergerakan kamera yang asyik banget pada adegan – adegan tertentu, seperti adegan seorang wanita teriak minta tolong ataupun adegan pada saat jatuhnya Aaron Ekhart. Brian de Palma juga cukup piawai menjaga ketegangan film ini, meskipun setengah jam pertama berjalan kacau.

Yang menjadi kelemahan film ini adalah memang pada skripnya. Penonton di awal dibuat bingung dengan arah yang akan dituju. Baru setelah sekitar setengah jam kemudian arah film mulai terlihat jelas. Sebagai penonton, agak kecewa juga dengan fokus yang dipilih oleh penulis cerita. Hal ini diperparah lagi dengan ending film yang menurutku tidak cukup berharga untuk dijadikan penyelesaian, meskipun cukup mengejutkan juga. Tetapi sungguh mengesalkan mengetahui motif dari si pelaku, yang membuat film ini menjadi sedikit konyol menurutku.

Film ini diangkat dari novel tulisan James Ellroy dengan judul yang sama yang memilih untuk setia pada kenyataan bahwa kasus ini tidak pernah terungkap. Penulis skenario memilih untuk ”mengungkap” kasus ini. Mungkin akan lebih menarik kalau dia memilih setia pada novelnya. Bagi pecinta film semacam Wild Things, film ini lumayan mengobati kerinduan akan jenis film yang penuh dengan tipu menipu, seks dan darah. Bonus: dikemas dengan indah.

Rating : 3/5

Rabu, 24 Oktober 2007

GRINDHOUSE

Rabu, 24 Oktober 2007 0


Grindhouse merupakan istilah yang merujuk pada bioskop di era 60 da 70 – an yang biasa menyajikan 2 – 3 film berkelas B. Semacam antitesis dari istilah Arthouse. Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez merupakan penggemar dari Grindhouse tadi. Saking cintanya, di tahun 2007 ini mereka merilis film Grindhouse. Di Amerika sana, film yang terdiri dari dua film (Planet Terror dan Death Proof) ini dirilis menjadi satu bagian dengan durasi sekitar 140 menit lengkap dengan trailer palsu yang dibuat oleh teman-teman mereka macam Eli Roth, Edgar Wright dan Rob Zombie. Beruntung penonton di luar Amerika yang bisa melihat kedua film tersebut secara terpisah dengan durasi masing-masing yang mencapai hampir dua jam.

DEATH PROOF
Film yang digarap oleh Quentin Tarantino ini mempunyai cerita yang sangat simple yakni tentang pembunuh berantai berantai yang bernama Stuntman Mike dan korban-korbannya, 8 cewek sexy (lebih tepatnya 7 orang). Film dibagi menjadi dua bagian, yang masing –masing bagian terdiri dari 4 cewek. Masing-masing bagian pada awalnya berjalan pelan, bahkan cenderung membosankan karena dipenuhi dengan dialog yang norak dan tidak penting seperti halnya yang tampak pada film Tarantino yang lain seperti Pulp Fiction, Jackie Brown maupun Reservoir Dogs. Tapi seperti umumnya film Tarantino tersebut, selalu ada kejutan di akhir film. Begitu juga dengan Death Proof yang di masing-masing bagian memberi kejutan yang mengasyikkan dan seru. Saya tidak akan membeberkannya disini, lebih baik lihat sendiri saja. Khas Tarantino lah.Film ini dibintangi Kurt Russel, Rosario Dawson, Jordan Ladd, Rose McGowan, Marley Shelton dan Mary Elizabeth Winstead (favoritku di film ini, karena sekilas mirip Asia Carrera). Film ini asyik dinikmati berkat penampilan sexy para cewek-ceweknya. jangan lewatkan adegan ketika salah satu cewek menari untuk Kurt Russel.

PLANET TERROR
Dibandingkan Death Proof, film ini lebih seru, lebih berdarah dan lebih lucu seperti yang tampak di film Robert Rodriguez sebelumnya macam Desperado, From Dusk Till Dawn, The Faculty dan Sin City. Film yang bercerita mengenai zombie ini menampilkan banyak bintang macam Rose McGowan, Marley Shelton, Bruce Willis, Naveen Andrews, Jeff fahey, Michael Biehn, Josh Brolin dan Quentin Tarantino. Film ini seru karena banyak adegan tembak-tembakan, yang tentu saja lebih banyak darah karena banyak tubuh yang hancur dan sobek. Humor juga nyaris muncul hamper sepanjang film, meskipun bagi sebagian orang humor yang ditampilkan terasa aneh. Ada semangat main-main dalam film ini. Main – main dengan totalitas. Hal ini terlihat dari adegan ketika Quentin Tarantino muncul. Selain itu, film ini dipenuhi dengan karakter-karakter yang tidak penting. seorang go go dancer yang tidak lucu tetapi ingin menjadi stand up comedian, pemilik Bar B Q yang terobsesi dengan bumbu bahkan dalam keadaan sekarat sekalipun dan juga adailmuwan yang terobsesi dengan testis!


Dari kedua film tersebut, dapat saya simpulkan, Grindhouse adalah semacam bioskop yang menampilkan film dengan cerita yang dikategorikan “kacangan”. Film yang ditujukan demi hiburan semata, dengan penyajian yang norak, kotor dan vulgar. Dalam pendapat beberapa kalangan “kelas bawah banget deh”. Dalam hal ini Robert Rodriguez lebih berhasil menghadirkan aroma Grindhouse dibandingkan dengan Quentin Tarantino. Dalam Planet Terror, secara visual lebih vulgar dan kotor, selain cerita dan dialog tokohnya yang norak, acting para pemainnya juga dibuat berlebihan. Melihat Planet Terror, seperti ketika melihat film di bioskop pinggiran dengan gambar yang sudah tidak jernih lagi, banyak noda dan kadang tiba-tiba adegan mengalami lompatan karena pita film yang mengalami kerusakan. Dan memang inilah tujuan dari film Grindhouse ini. Memberikan pengalaman menonton di bioskop pinggiran dengan film yang dikategorikan murahan. Sesuatu yang lucu karena ketika film itu dihasilkan oleh Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez menjadi tidak murahan lagi. 3/5

English

GRINDHOUSE
Grindhouse is the term that refers to cinema on 60's and 70's which is show 2 or 3 class B films. Like an antithesis for the Arthouse term. Quentin Tarantino and Robert Rodriguez are the fans of Grindhouse. Because of their mad to it, in 2007 they release the Grindhouse film. In America, the film is divide to 2 films (Planet Terror and Death Proof) that compile within 140 minutes duration, include the fake trailer that made by their own guys such as Eli Roth, Edgar Wright and Rob Zombie. It's very lucky to the audience out side America that can see both complete film separately within two hours duration each.

DEATH PROOF
A film by Quentin Tarantino that has simple story about serial killer, Stuntman Mike and his victims, 8 hot chicks (7 is precisely). The film is separated become two parts, each part is telling about 4 chicks. Each scene is running very slow, even boring because it fulfill with bad taste and unimportant dialogue as we see on the previous Tarantino’s film, Pulp Fiction, Jackie Brown and Reservoir Dogs. But mostly, Tarantino always give impressive and lively surprise. So is Death Proof which is each of the part give us impressive and lively surprise. I wouldn’t tell you here, you better see it for your self. Very typically Tarantino. The film is starring by Kurt Russel, Rosario Dawson, Jordan Ladd, Rose McGowan, Marley Shelton and Mary Elizabeth Winstead. The film is very enjoyable because the sexy chicks performance, and don’t miss when the chicks are dancing for Kurt Russel scene.

PLANET TERROR
Compare with Death Proof, this one is more lively, bloody and more funny just like Robert Rodriguez’s previous Desperado, From Dusk Till Dawn, The Faculty and Sin City. The film is telling about zombie, and full of star like Rose McGowan, Marley Shelton, Bruce Willis, Naveen Andrews, Jeff Fahey, Michael Biehn, Josh Brolin and Quentin Tarantino. The film is full of shooting action, and of course a lot of blood because there’s a lot break and ripped body. Humor is always shown a long film, even it’s weird for some people. There is joking spirit in this film. Joking about totality. After Quentin Tarantino’s scene, the film is fulfill with odd and unimportant character. A Go go dancer which is not funny at all but he want to be a stand up comedian, Bar B Q owner who obsessed with the cooking spices even on his dying and there’s a scientist that obsessed with testicles.

From the both film, Grindhouse is like a cinema that show lower class of film. The film that used for the entertainment only, with bad taste, dirty and vulgar wrapping. In some viewer, it’s the lowest level. In this case, Robert Rodriguez is likely could manage better than Quentin Tarantino to present Grindhouse aroma. In Planet Terror, it is vulgar and dirty as visualization, beside the bad taste story and the bad taste figure, the acting of the star is over. Seeing Planet Terror, is like to see the film at the coastal areas, with null view, a lot of dirt and sometimes the scene is jumping because the film’s ribbon is broke. And this is become the aim of Grindhouse. Give the experience to watch the cinema of coastal areas. Film that on the lowest level. It’s become something when it made by Quentin Tarantino and Robert Rodriguez. 3/5.

 
GILA SINEMA. Design by Pocket