Minggu, 31 Mei 2009

KLEPAS – KLEPUS .... MAMPUS!

Minggu, 31 Mei 2009 6


(World No Tobacco Day, 31 Mei)

Menyaksikan TV mendapati berita hasil laporan dari WHO yang menyebutkan setidaknya lebih dari 4 juta jiwa melayang tiap tahunnnya gara tembakau (rokok). Di Indonesia, diperkirakan tiap harinya ada sekitar 1.000 orang meninggal akibat racun yang terkandung didalamnya. Semua sudah tahu bahaya yang ditimbulkan dari aktivitas merokok. Pengetahuan tersebut sayangnya tidak diikuti dengan kesadaran untuk menjauhinya, atau paling tidak menguranginya.
Mengapa demikian? Gilasinema tidak akan membahasnya, namun tertarik dengan makin berkembangnya gugatan untuk mengurangi atau menghilangkan adegan merokok atau cigarette image dalam bentuk apapun dalam sebuah film. Beberapa penelitian membuktikan bahwa film mempunyai peran mendorong para remaja untuk mulai mengkonsumsi rokok, karena remaja hidup di masa dimana mereka suka dengan hal-hal baru serta cenderung meniru (imitatif) perilaku figur yang mereka anggak keren, cool, gaya atau apalah.. Entah sengaja atau tidak Pedro Almodovar mengamini hal ini. Salah satu tokoh di film All About My Mother (bagus banget nih film) mengaku merokok gara-gara melihat aksi Bette Davis.
Dalam hal ini rokok diposisikan sama dengan adegan kekerasan ataupun adegan berbau seksual. Namun berbeda dengan dampak dari adegan kekerasan yang masih banyak disangkal dan didebat, dampak dari adegan merokok dalam film, banyak didukung oleh penelitian ilmiah dan banyak institusi yang mendukung gerakan Smoke Free Movies.


”World Health Organization, the American Medical Association and the American Academy of Pediatrics support policies that will limit or eliminate smoking on the screen,” (Cheryl Healton, Dr. PH, President and CEO of the American Legacy Foundation.)

American Medical Association tahun ini meluncurkan program “Which Movie Studios Will Cause the Most Youth to Start Smoking This Summer?” sebagai control demi menekan adegan merokok di film. Film yang terbanyak menampilkan rokok akan ditampilkan di billboard-billboard September nanti. X-Men Origins: Wolverine menjadi salah satu film kandidat “tampil” di billboard tersebut.
Gerakan Smoke Free Movies telah mendapatkan respon positif dari beberapa pekerja film dan institusi lain yang terkait. British Board of Film Classification (BBFC) telah lama memutuskan bahwa adegan merokok akan menjadi salah satu poin penentu sertifikat (rating). Begitupun dengan Motion Picture Association of America (MPAA) yang telah memberlakukan kebijakan ini sejak dua tahun lalu, meski banyak disorot karena seringkali tidak konsisten. Langkah MPAA ini telah ditindaklanjuti oleh beberapa studio besar di Holly, seperti Disney (yang pendirinya meninggal karena racun ryang terkandung dalam rokok), Warner hingga The Weinstein Company.
Baru-baru ini, Departemen Perhubungan Perancis menolak pemasangan poster film Coco Chanel. Pose Audrey Tautou sebagai Coco Chanel yang memegang rokok dianggap sebagai "unhealthy and inappropriate." Bagaimana dengan di perfilman Indonesia? Belum ada kesadaran tentang hal ini. Terlihat dari bebasnya karakter dalam film (gak cowok, gak cewek) klepas-klepus dengan (sok) gaya. Coba saksikan Virgin 2 yang para pemeran ceweknya seakan menikmati asap beracun tersebut. Belum lagi beberapa film yang disponsori oleh merk rokok tertentu.


Rokok dihadirkan biasanya untuk menguatkan gambaran karakter yang memberontak (melawan system). Perempuan bebas dan independent, karakter yang neurotic dan frustasi serta pria macho atau antagonis seringkali dilengkapi aksesoris bernama “rokok”. Padahal tidak perlu rokok untuk menunjukkan jiwa pemberontak. Tidak perlu rokok untuk terlihat macho atau sangar.
Dan rokok sangat tidak dianjurkan hanya supaya tampak lebih gaya atau stylish. Sebuah pendekatan yang BASI, serta tidak cerdas karena tidak mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya. Para actor/aktris juga setali tiga kutang. Atas nama profesionalisme, mereka kadang menerima sebuah peran tanpa mempertimbangkan tanggung jawab social sebagai konsekuensi menjadi figure kondang.
Industri rokok memang penting bagi perekonomian, namun perlu dipertimbangkan dampak (kesehatan) bagi generasi muda. Yah..paling tidak ada upaya untuk menunda konsumsi rokok bagi mereka yang masih muda dengan melakukan control terhadap beberapa hal yang dianggap sebagai pemicu.
Sebagai orang yang sangat membenci asap dalam bentuk apapun dan dalam rangka WORLD NO TOBACCO DAY, kalau boleh Gilasinema berpesan :


Hingga di depannya tidak ada orang yang kita kasihi, berkata :


……dan akhirnya

Sabtu, 30 Mei 2009

VIRGIN 2 : BUKAN FILM PORNO

Sabtu, 30 Mei 2009 5


Tina (Christina Santika) diusir dari rumah ketika ibunya mendapati dirinya dalam pelukan cowok ibunya. Tanpa mau tahu yang sebenarnya terjadi, Ibu Tina langsung mengenyahkan anak gadisnya dari rumah. Tidak tau harus pergi kemana, Tina menginap di rumah teman satu sekolahnya, Steffi (Wichita Satari). Pertemuannnya dengan Steffi justru makin membuat hidupnya tidak karuan, karena tanpa berdosa Steffi mengumpankan Tina kepada Yama (Yama Carlos) yang setelah merenggut kegadisannya, menjual Tina kepada para lelaki hidung belang. Untung Tina pada akhirnya mampu melepaskan diri.
Selanjutnya Tina dipertemukan dengan Nadya (Joanna Alexandra), seorang DJ yang tinggal dengan Mitha (Smitha Anjani), seorang pecandu yang kesulitan lepas dari jerat narkoba. Masalah makin meruncing ketika Mitha terlibat masalah dengan bandar narkoba. Demi menyelamatkan Mitha, Nadya yang sedang mengandung janin akibat benih yang ditanam oleh Raymond (Ramon T Yungka) rela mengobral tubuhnya. Tidak sampai disitu, karena demi kesembuhan Mitha dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kali ini bersama Tina, keduanya terpaksa ”dinikmati” sekumpulan pria hidung belang. Belum cukup, tanpa sengaja Tina dipertemukan lagi dengan Yama. Dan selamat menikmati adegan berdarah-darah nan brutal yang menghiasi menit-menit akhir film yang disutradarai oleh Nayato Fio Nuala ini (tumben tidak ganti nama).
Virgin (ketika keperawanan dipertanyakan) mungkin bukanlah film yang bagus, namun berkat penggarapan yang serius film tersebut lumayan enak dinikmati (kala itu). Cerita yang lincah dan cepat, akting para pemainnya yang total serta pesan yang jelas menjadi nilai plus Virgin seri pertama. Di tangan Nayato, Virgin 2 tampaknya memang harus dilepaskan dari seri pertamanya, karena selain setting dan pemain yang berbeda, Virgin 2 jauh lebih kelam, brutal dan terus terang agak kurang tersampaikan pesan yang ingin disampaikan.
Kalau maksudnya menghindarkan remaja dari perilaku seks bebas, kenapa harus ada adegan dimana Nadya tidak menyesali kehamilannya. Justru dia terkesan senang dengan kehamilan tersebut dengan mengabaikan permohonan maaf dari Raymond. Sikap Nadya yang menerapkan perilaku ”safe sex” dengan menolak hubungan tanpa kondom terasa menggelikan, mengingat dirinya sudah bunting. Memang sih pada akhirnya Nadya mengalami nasib tragis, namun ketika nasib yang sama menimpa pada Tina yang ”rusak” bukan karena keinginannya, bisa saja ada yang menyimpulkan, ”lha wong gak ada bedanya, mending nglakuin yang dilarang sekalian’. Bandingkan dengan Virgin 1 yang meniupkan aura optimisme lewat sosok yang diperankan oleh Laudya Cintya Bella. Dan rasanya aneh ya, memakai judul Virgin, kok tokohnya tidak ada yang perawan. Mending judulnya jadi Virgin2 (ketika keperawanan hilang...)


Virgin 2 : Bukan Film Porno memang bukan film porno, namun bagi pecinta bokep, akan sangat dimanjakan dengan pameran ”daging segar” hampir sepanjang durasi. Kamera dengan nakalnya, menempatkan diri di tempat-tempat strategis hingga mampu menangkap ”momen-momen” mengundang. Namun ketika kamera banyak membeberkan tubuh dari Christina Santika dengan wajah polosnya, tak pelak malah memunculkan rasa jengah. Duh...itu anaknya siapa sih kok dapat ijin mengumbar banyak daging.
Dibandingkan assamble cast Virgin pertama, para pemain di Virgin 2 juga kalah solid meski tidak kalah cantik. Penampilan Christina Santika masih mentah, namun untungnya terbayang dengan aksi dingin yang cukup memukau di akhir film. Sayang sekali sosok Neyna Lisa Bartlet yang memerankan Kenny hanya muncul sebentar dan terkesan tempelan, padahal tampilan fisiknya oke banget. Pemunculan Ramon T Yungka sebenarnya juga tidaklah penting-penting amat.
Nayato sekali lagi sukses di segi teknis dengan menyajikan gambar-gambar yang menghadirkan suasana menekan dan menyesakkan. Seperrti biasa Nayato kreatif mengolah gambar. Nayato lumayan detail menyoroti sudut kehidupan malam yang kelam, dan kotor. Penonton seakan menyaksikan film karya sineas Hongkong, yang tampaknya memang menjadi acuan Nayato. Hanya saja, pemilihan lokasi yang itu-itu saja menimbulkan kesan menekan biaya produksi. Selain itu, saking atraktifnya kamera, seringkali kontinyuitas gambar kurang diperhatikan.
Seperti dikemukakan diatas dan juga tercetak di posternya, Virgin 2 merupakan tontonan yang brutal. Sejak awal kita disuguhi jalinan cerita tragis nan gelap yang mencapai puncaknya ketika dihadirkan adegan penuh darah di akhir film. Pada bagian ini, terkesan Nayato ingin menyajikan sebuah adegan yang mendekati riil hingga mengabaikan nilai estetis. Benar-benar brutal. Akibatnya, sukses membuat beberapa penonton miris dan memalingkan muka. Nilai plus atau minus? Pada akhirnya semua kembali kepada penonton. 2,25/5


NB : dalam banyak adegan, Nayato ”memamerkan” film-film favoritnya, seperti My Blueberry Night, Happy Together dan The Dreamers.

Kamis, 28 Mei 2009

TERMINATOR SALVATION

Kamis, 28 Mei 2009 8


T1? Tidak ingat pernah melihatnya. T2? Pernah liat tapi gak pernah kelar. T3? Lewaat. Terus kenapa liat Terminator Salvation? Yah ... kebetulan ada duit lebih, dan lagi ingin melihat film heboh. Awalnya agak kesulitan mengikuti cerita, untungnya teman sebelah sedikit memberi panduan.
Intinya bumi di tahun 2018 dikuasai oleh para robot jahat. Dari sekian banyak manusia yang selamat, ada satu orang yang bisa membebaskan bumi dari cengkeraman robot, John Connor (Christian Bale). Kecerdasannya akan dunia robot dan juga kemampuan bertarungnya yang yahud menjadi senjata yang ampuh menumpas para “rongsokan besi” tadi. Pada saat yang bersamaan, dia harus menyelamatkan seorang pemuda, Kyle Reese (Anton Yelchin). Kalau Kyle ini gagal terselamatkan, maka tidak akan pernah ada John Connor, karena Kyle Reese ini tak lain dan tak bukan adalah ayah John Connor.
Di pihak lain ada Marcus (Sam Worthington) yang berhasil selamat karena dirinya seorang android. Kondisi ini membuat dirinya dianggap sebagai musuh dari John Connor. Namun setelah John Connor menyadari Marcus bisa membuka jalan bagi usahanya membebaskan Kyle Reese, dia akhirnya malah bekerja sama dengan Marcus, yang mempunyai motif mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.


Disutradarai oleh McG, Terminator Salvation menghadirkan adegan aksi tanpa henti dan seru. Seperti halnya Charlis Angels : Full Throtle, Terminator Salvation banyak menghadirkan adegan aksi yang tidak mungkin. Tubuh yang terbanting, ledakan yang spektakuler banyak hadir hampir disepanjang film. Pengalamannya mengerjakan klip musik berpengaruh kepada betapa dinamisnya pergerakan kamera. Bagi pecinta film action dijamin terpuaskan dengan film. Apalagi ketika Motorterminator dimunculkan. Tidak kalah keren dengan Batmobile. Adegan-adegan seru tadi lumayan berhasil menutupi beberapa lubang dari naskah susunan John D. Brancato dan Michael Ferris.
Satu hal menarik (atau basi?), pada beberapa adegan, Gilasinema seakan mengalami deja vu. Beberapa jalinan kisah dan adegan sedikit mengingatkan pada film-film yang telah hadir sebelumnya. John Connor sebagai The One mengingatkan pada Neo di Matrix. Adegan loncat Sam Worthington dari pesawat pernah ada di Charlie Angels: Full Throtle, serta pengeboman hutan seakan menghadirkan kembali film Apocalypse Now. Ceritanya juga agak mirip-mirip Back to The Future.
Dari jajaran cast-nya, justru karakter yang diperankan oleh Sam Worthington jauh lebih menarik dibandingkan dengan sosok John Connor. Dilema yang dialami Marcus membuat karakternya lebih menantang dan untungnya mampu dimainkan dengan baik oleh Sam Worthington. Penampilan Helena Bonham Carter juga cukup mengejutkan. Cristian Bale? Tidak bagus-bagus amat, tapi amanlah. Dan jujur, dia kalah seksi dengan Sam Worthington. Sedangkan Bryce Dallas Howard, cukup puas sebagai pemanis belaka (kok wajahnya jadi mirip Mulan Jameela ya hehehehe).
Secara keseluruhan sih, Terminator Salvation seru dan menghibur. Jauh lebih menghibur ketimbang Wolverine kemarin. Agak terganggu dengan ending yang dipilih. Dalam logika Gilasinema yang cekak, John Connor bisa dibiarkan mati saja deh. Kan yang penting Kyle Reese selamat. Selanjutnya dia kan bertemu dengan Sarah Connor, bercinta, tercetak deh si John Connor. Bodoh gak sih pemikiran ini hehehe...3,5/5


NB : Arnold dibayar berapa ya wajahnya dipinjem buat di facial capture

MY SISTER’S KEEPER



Baru saja menyelesaikan novel My Sister’s Keeper karangan Jodi Picoult sebagai pemanasan sebelum filmnya rilis tanggal 26 Juni 2009 (yang kayaknya kecil kans masuk ke Indonesia). Dirilis bersamaan dengan Transformer jilid 2, terus terang film ini lebih menggugah minat Gilasinema dibandingkan pertarungan heboh antar makhluk kaleng.
Menurut Gilasinema, materi ceritanya sangat luar biasa, karena penuh gugatan moral yang sangat mengusik dan karenanya banyak bermain di area abu-abu. Berkisah mengenai Anna Fitzgerald (Abigail Breslin) yang mencoba melepaskan diri dari “kewajiban” menyelamatkan kakaknya, Kate (Sofia Vassilieva), yang mengidap leukemia akut.
Didampingi oleh pengacara Campbell Alexander (Alec Baldwin), Kate terpaksa berhadapan dengan orang tuanya terutama ibunya , Sara Fitzgerald (Cameron Diaz) yang menentang keras niat Kate tersebut. Dalam hal ini, Anna tidak bisa langsung disalahkan, begitupun dengan usaha Sara mempertahankan hidup Kate dengan mengupayakan segala cara. Pada akhirnya semuanya bermuara pada sebuah pengambilan keputusan akan pilihan yang ada. Tidak ada pilihan terbaik ataupun pilihan terburuk. Tidak ada pilihan yang salah, dan tak ada pilihan yang sepenuhnya dapat dibenarkan.
Inti film ini sangat filosofis yakni apa sih alasan kita dilahirkan di dunia ini? Setelah membaca novelnya, Gilasinema merasa tersentak betapa manusia tidaklah merdeka selama jiwa masih terperangkap dalam raga dengan segala keterbatasan. Bahkan sejak dalam proses “pembuatannya”, manusia telah dibebani dengan berbagai motif. Meneruskan sejarah keluarga, memperbaiki keturunan, atau seperti yang dialami oleh Anna, dia lahir ke dunia demi membuat kakaknya bisa bertahan hidup.
Disutradarai oleh Nick Cassavetes (filmnya yang She’s So Lovely bagus lho), film ini diperkirakan bakal menguras banyak air mata di tengah gempuran film heboh. Namun, jangan kuatir, filmnya tidak bakal menjadi tontonan yang sangat kelam, karena dalam novelnya, akhir yang dipilih cukup memancarkan harapan. Tidak terlalu melegakan, tapi juga tidak menyesakkan. Gilasinema berharap ada kejutan penulis scenario (Stephen Furst) menyajikan akhir cerita yang berbeda, karena sejalan dengan persoalan pilihan tadi, akhir cerita yang dipilih di novelnya masih terbuka terhadap pilihan yang lain.


Film dengan tema berat seperti ini idealnya mampu menguras acting para pemainnya. Karakter Sara yang kuat namun dilingkupi dilema besar merupakan tantangan tersendiri bagi Cameron Diaz. Penasaran dengan akan bagaimana penampilannya ketika memberikan argument penutup yang menyentuh. Begitupun dengan Alec Baldwin, yang karakternya mengalami sebuah pencerahan berkat kasus yang ditanganinya tersebut.
Sosok Anna yang diperankan Abigail Breslin pada awalnya digambarkan egois dan tidak berperasaan, namun ketika apa yang sebenarnya dia simpan terkuak, akan membalik persepsi penonton akan sosok Anna tadi. Tugas berat ini kalau bisa dijalankan dengan mulus oleh Abigail Breslin akan makin mengukuhkan posisinya sebagai bintang harapan masa depan, begitupun dengan pendatang baru Sofia Vassilieva.
Cameron Diaz, Abigail Breslin dan Sofia Vassilieva terlihat serius mendalami karakter mereka dengan merelakan rambut ketiganya dibabat habis (karenanya Dakota dan Elle Fanning mundur dari film ini). Mengincar Oscar mungkin? Yah…tidak ada salahnya berharap, karena HARAPAN pada akhirnya menjadi senjata paling ampuh dalam menjalani kehidupan yang makin tidak mudah ini (duuuh….).

Minggu, 24 Mei 2009

THE SECERET LIFE OF BEES

Minggu, 24 Mei 2009 7


“Some things in life, like the color of a house, don't really matter. But lifting someone's heart? Now, that matters.”

Malang benar nasib Lily (Dakota Fanning). Tinggal bersama ayah (Paul Bettany) yang kurang bisa menunjukkan kasih sayang, Lily juga harus hidup dengan kenangan bahwa dirinya penyebab meninggalnya ibunya, meski tidak disengaja. Peristiwa tragis tersebut terjadi ketika Lily masih balita. Untung masih ada Rosaleen (Jennifer Hudson) yang masih memberikan sedikit perhatian kepadanya.
Sebagai wanita berkulit gelap, Rosaleen hidupnya juga tidak mudah ditengah system yang menempatkan kaum negro di kasta paling bawah. Meski digambarkan pada saat itu (1964) telah dideklarasikan persamaan hak (civil right), namun pada kenyataannya seperti yang Rosaleen bilang “it’s just a piece of paper”. Tidak tahan menghadapi ayahnya, di ulang tahun yang ke-14, Lily mengajak Rosaleen melarikan diri, demi menemukan sepenggal kisah kehidupan ibunya. Pada saat yang sama Rosaleen sedang mendapatkan perlakuan diskriminatif yang mengancam kebebasannya (jiwanya).
Pelarian tersebut menuntun keduanya ke tempat peternakan lebah milik Boatwright bersaudara. Untuk dijamannya, Boatwright Bersaudara termasuk keluarga istimewa dan independen, karena terdiri dari tiga wanita berkulit gelap, dengan rumah pink menyala serta menjalankan usaha yang cukup diakui kualitas produknya. Mereka terdiri dari August (Queen Latifah) yang penuh kasih dan bijaksana, May (Sophie Okonedo) yang penuh cinta hingga tidak mampu mendengarkan hal – hal buruk yang terjadi, serta June (Alicia Keys) yang cantik, namun cenderung keras, terutama menyikapi komitmen yang ditawarkan oleh Neil (Nate Parker)
Berbeda dengan kedua saudaranya, June cenderung sinis menyikapi kehadiran Lily yang berkulit putih. Menjelang akhir, terkuak alasan June bersikap demikian. Di tempat tersebut, Lily mulai belajar banyak mengenai lebah madu di bawah panduan August yang penuh kesabaran. Perlahan, sosok ibunya yang selama ini masih buram mulai terlihat jelas. Di tempat ini pulalah Lily menemukan cinta pertamanya bersama Zach (Tristan Wilds). Sampai sebuah tragedy, membuat Lily menyemburkan kemarahan atas apa yang menimpa hidupnya di tengah dunia yang menurutnya tidak adil.
Seperti kebanyakan film dimana mayoritas bintangnya berkulit gelap, kita disuguhi tontonan berbau rasisme dimana mereka yang berkulit gelap tertindas oleh system yang tidak berpihak pada mereka. Isu persamaan hak makin kental dengan dominannya sosok perempuan dalam film ini, mulai dari barisan castnya, hingga sutradara (Gina Prince-Bythewood) serta penulis bukunya (Sue Monk Kidd). Tak pelak aura feminism amat kuat menyelimuti film ini. Bagi yang tidak terbiasa dengan tontonan sejenis, mungkin akan mengacuhkan film ini, bahkan mereka yang sinis mungkin akan memandang sekumpulan perempuan dalam film ini tak ubahnya anggota sekte terlarang.
Namun, The Secret Life of Bees tidak jatuh pada tontonan yang cengeng dan cerewet, meski kesan mendayu-dayu tidak bisa dielakkan. Justru film terasa menyejukkan dan menghangatkan, terutama dengan dialog yang keluar dari Queen Latifah. Bak ratu lebah, Latifah mampu menampilkan sosok bijak dengan amat sangat meyakinkan dan menjadi sosok sentral yang lovely. Intinya, The Secret Life of Bees pekat dengan aroma cinta yang menghangatkan. Belum lagi balutan sinematografinya yang indah di pandang.


Tidak hanya Queen Latifah, cast lainnya mampu memainkan peran mereka dengan baik, terutama Dakota Fanning. Lewat film ini dia makin menunjukkan kecantikannya serta potensinya menjadi bintang besar kedepannya. Setelah mendapatkan kecupan bibir pertama dan diperkosa di kubangan lumpur dalam Hounddog, Fanning melakukan ciuman pertamanya di The Secret Life of Bees. Alicia Keys yang terlihat sangat cantik di film ini, mampu menunjukkan keseriusannya di dunia acting setelah tampil garang di Smokin’ Aces, sedang Sophie Okonedo terlihat unik dengan karakter yang dia mainkan.
Sayang, Jennifer Hudson kurang mendapatkan porsi yang cukup, hingga kadang timbul kesan karakternya sekedar pelengkap. Untungnya penampilannya tidak mengecewakan. Penampilan Paul Bettany (sekali lagi) sangat meyakinkan sebagai sosok antagonis. Nate Parker yang menurut prediksi Gilasinema bakal melanjutkan kiprah Denzel Washington, cukup memberi warna tersendiri di tengah dominasi karakter cewek.


Ibarat sebuah lagu, The Secret Life of Bees berlirik syahdu dan berisi (Sue Monk Kidd), dilantunkan para diva (Queen Latifah dkk) dan diaransemen dengan terampil (Gina Prince-Bythewood), serta divisualisasikan dengan indah (oleh sinematografer Rogiers Stoffers). Kalau boleh Gilasinema menambahkan lirik (halah….!), di akhir percakapan Lily dengan ayahnya, Lily harusnya berkata “I”ll come for you, Dad”. Ucapan ini sebagai wujud maaf dan cinta Lily terhadap ayahnya, hingga pada akhirnya terasa lebih menyejukkan. 3,75/5

FUNNY GAMES



Teror itu dimulai dengan permintaan telur dari Peter (Brady Corbet). Sebagai pihak peminta, Peter terkesan menjengkelkan dengan berbagai permintaan dan aksinya, termasuk menjatuhkan telepon genggam dari Ann (Naomi Watts) dan meski tidak diperlihatkan layar, penonton tahu dia sengaja memecahkan telur yang telah diberikan untuk kemudian meminta ganti. Teror berlanjut ketika teman Peter, Paul (Michael Pitt) ikut nimbrung dan memperkeruh suasana.
Puncaknya, Paul memperoleh tamparan dari suami Ann, George (Tim Roth, lama tidak melihat aksi actor ini). Naas bagi keluarga ini karena mereka tidak mengetahui dengan siapa mereka berurusan. George dan Ann serta anak mereka, Georgie (Devon Gearhart) yang bermaksud menikmati liburan justru mendapatkan siksaan demi siksaan kejam yang dianggap sebuah permainan “lucu” oleh dua pemuda sinting tersebut. Di awal, Ann sudah mencium sesuatu yang tidak biasa berkaitan dengan tetangga mereka, Fred (Boyd Gaynes), namun tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
Setelah insiden telur pecah, penonton diajak Michael Haneke untuk memasuki atmosfer terror yang menyesakkan dan mengejutkan. Mulai dari pembantaian anjing, pemukulan terhadap Geoorge yang meremukkan tulang kakinya, pelucutan pakaian Ann, hingga peluru yang menembus…..(it’s really really shocking!). Kekerasan demi kekerasan dari Peter dan Paul disuguhkan tanpa toleransi sama sekali. Atmosfer ini sedikit mengingatkan pada Saw jilid pertama.
Meski demikian, film ini meminimalisir visualisasi kekerasan. Satu satunya adegan yang mempertontonkan kekerasan yakni saat Ann menembak salah satu pelaku. Minimnya visualisasi kekerasan justru menimbulkan efek yang mengejutkan dan mengerikan. Minimnya musik pengiring makin membuat Funny Games terasa mencekam. Apalagi musik yang dipilih terasa tidak lazim di kuping. Haneke juga terampil mengatur ketegangan, terutama adegan ketika Georgie berusaha melepaskan diri.
Dan memang, Funny Games penuh dengan ketidaklaziman yang menjungkirbalikkan pola yang ada selama ini tertancap di otak penonton. Sejak film dibuka, kita disuguhi dengan gambar yang tidak biasa. Kamera bergerak di atas mengikuti obyek (mobil) yang bergerak. Gambar ini terlihat seperti sebuah lukisan dan seakan memperkenalkan kepada penonton pihak yang bakal menjadi “target” permainan. Opening tittle dan musik yang dihadirkan makin memperkuat ketidakbiasaan tadi.
Meski banyak menghadirkan kekerasan, film dibalut dengan penggunaan warna putih yang cukup dominant, yang membuatnya menghadirkan atmosfer berbeda dibanding film thriller kebanyakan. Komposisi gambar yang tidak biasa membawa penonton pada sebuah pengalaman visual yang cukup menyegarkan. Puncak ketidaklaziman hadir ketika hadir sebuah adegan yang menghancurkan harapan penonton. (Ampun! Adegan ini sukses membuat misuh-misuh). Belum lagi, pada beberapa adegan Michael Pitt mengerling dan menyeringai kearah kamera seakan mengejek penonton.
Dengan judul Funny Games, penonton benar-benar dibuat masuk ke dalam sebuah permainan tidak lucu dan cenderung kejam yang memposisikan kita (penonton) benar-benar sebagai penonton yang tidak punya kontrol. Analoginya begini, kita sedang menonton teman kita (Peter dan Paul) sedang bermain sebuah permainan (Ann sekeluarga). Jadi ketika Peter dan Paul melakukan sebuah kecurangan, kita hanya bisa mencemooh namun tidak bisa berbuat apa-apa karena keduanya yang memainkan permainan tersebut. Keduanya laksana “Tuhan” yang memegang kendali sepenuhnya. Suka-suka mereka wis…
Setelah menyaksikan film ini, terus terang muncul pertanyaan, apa sih maksud Michael Haneke menghadirkan sebuah tontonan yang tanpa toleransi sama sekali. Setelah mengubek-ubek kesana kemari, didapatkan dalam sebuah wawancara, kalau Haneke ingin menyuguhkan relevansi antara media dan kekerasan. Benarkah media punya peran dalam memunculkan perilaku beringas? Itulah mengapa ada televisi menyala dalam film ini untuk menggambarkan betapa televisi sudah merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia. Televisi (monitor) begitu menyita kehidupan manusia.
Meski didukung sedikit pemain, masing-masing cast mampu menampilkan permainan memikat. Duo Michael Pitt dan Brady Corbet sukses bertransformasi menjadi sosok sinting yang menyebalkan. Naomi Watts yang juga berperan sebagai produser, berhasil menampilkan sosok teraniaya yang mengibakan, begitupun Tim Roth. Sedangkan aksi actor cilik, Devon Gearhart, sangat meyakinkan dan alami.
Funny Games pada beberapa adegan terasa sangat nyata dengan membiarkan kamera diam (statis) menyoroti aksi para tokohnya. Pendekatan ini semakin membangkitkan perasaan miris di hati penonton. Di akhir film, kedua pemuda sinting tadi mendiskusikan tentang realita dan fiksi untuk selanjutnya melanjutkan aksi di rumah sebelah. Benar-benar tontonan sinting yang menghantui. Tidak heran beberapa pihak, slah satunya The Times, menempatkan film ini sebagai salah satu film terburuk 2008, meski tidak sedikit yang memuji film yang merupakan remake identik (shot to shot) dari film berjudul sama dan disutradarai oleh orang yang sama (rilis tahun 1997). Funny Games sayang dilewatkan, terutama bagi mereka yang selalu mencari sebuah pengalaman visual yang lain dari biasanya. 3,75/5

Rabu, 20 Mei 2009

PAUL BLART : MALL COP

Rabu, 20 Mei 2009 2


Paul Blart (Kevin James) sebenarnya mempunyai tekad yang kuat untuk menjadi polisi. Pada awal film diperlihatkan usahanya menyelesaikan ujian fisik yang harus dijalani. Sayang, gara-gara hypoglycemia (gula darah dibawah normal), dia harus mengubur impiannya menjadi polisi. Namun paling tidak dia masih bisa menyalurkan keinginannya menjaga ketertiban dengan menjadi satpam sebuah mall (mall cop).
Paul Blart digambarkan sebagai sosok yang optimis, namun seringkali menerima hinaan yang dialamatkan padanya dengan sukarela. Hidup bersama ibu dan anaknya, Paul juga mengalami kesulitan menjalin dengan perempuan setelah ditinggalkan istrinya yang mengincar green card. Paul Blart digambarkan seorang pecundang, yang bahkan mengatasi orang cacat pun menemui kegagalan. Bahkan kalah telak ketika diserang oleh seorang perempuan pengunjung mall tempat dia bekerja.
Paul Blart ditugasi oleh atasannya untuk membimbing pagawai baru, Veck (Keir O’Donnel).Di tengah tugasnya tersebut, Paul Blart merasa tertarik dengan penjaga stan rambut palsu, Amy (Jayma Mays). Namun segala kecanggunggannya malah seringkali mengacaukan usaha pendekatannya. Hingga pada suatu hari, mall tersebut disabotase oleh sekelompok perampok professional yang bermodalkan kemampuan akrobatik.
Paul Blart yang berada di dalam mall karena sebuah aktivitas konyol sebenarnya mempunyai kesempatan bagus untuk lolos dari bahaya. Namun ketika menyadari Amy menjadi salah satu sandera, dia memutuskan untuk membebaskan wanita pujaannya tersebut. Apalagi kemudian anaknya juga menyusul untuk secara “sukarela” menjadi sandera. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Paul Blart untuk menunjukkan kemampuannya, meski harus berjuang dengan hypoglycemia yang bisa menghambat usahanya tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa Gilasinema menonton film ini. Pertama, film ini menjadi film pertama yang rilis tahun 2009 yang berhasil menembus angka 100 juta dolar untuk peredaran domestiknya. Bahkan sempa bertengger di puncak box office selama dua minggu berturut-turut. Alasan kedua adalah karena Roger Ebert memberikan 3 bintang dari 4 bintang kepada film ini dengan alasan tidak adanya unsure porno layaknya komedi keluaran mutakhir. Alasan yang ketiga adalah tema yang dipilih, yakni kisah satpam mall, rasanya belum pernah diangkat (tolong ralat kalau saya keliru).
Alasan terakhir menikmati film ini adalah karena film ini merupakan film Kevin James yang menempatkan dirinya sebagai lead actor. Pertama kali melihat aksi actor tambun ini lewat film Hitch. Pada waktu itu Gilasinema bertanya-tanya “who’s that guy?”. Penampilannya yang manis lumayan mencuri perhatian, yang membuat Gilasinema berani memprediksikan dia bakal banyak muncul kedepannya. Dan ternyata benar. Aksinya bersama Adam Sandler di I Now Pronounce You Chuck and Larry disambut positif secara kuantitas. Dan kini, lewat Paul Blart : Mall Cpo, Kevin James membuktikan potensinya dalam mengeruk dolar.
Namun, berbagai alasan diatas tadi ternyata tidak mampu menyelamatkan kualitas film ini. Secara keseluruhan film ini sangat ringan dan garing, bahkan mengalahkan kegaringan Night at the Museum . Naskah tulisan Kevin James dan Nick Bakary terasa kurang lincah dan penuh lubang yang mengganggu kenikmatan penonton, terutama yang berkaitan dengan handphone (meski kritikan soal benda ini lumayan menggigit). Akibatnya sutradara Steve Carr terlihat kesulitan menghadirkan tontonan yang enak dinikmati. Terasa sekali ada yang tidak beres dengan alur cerita yang terkesan melompat-lompat dan sangat tidak meyakinkan.
Kelemahan ini mungkin disadari oleh mereka yang terlibat didalamnya dan dibiarkan saja, mengingat film ini menyasar pasar semua umur (maksudnya penonton anak-anak). Dan memang, tampaknya penonton belia akan menikmati aksi dari Paul Blart dan masa bodoh dengan segala kelemahan yang ada. Para bocah pasti terkesan dengan aksi Kevin James bergelantungan, bergulingan serta aksi lainnya yang dilakoninya tanpa menggunakan peran pengganti. Dan pastinya para bocah akan menyukai aksi Kavin James diatas Segway-nya.
Film ini makin garing dengan penampilan para cast-nya yang…ampun deh! Keir O’Donnel sebagai Veck (Fag?) terlihat seperti orang teler yang tidak meyakinkan untuk memimpin aksi perampokan. Jayma Mays terlihat seperti cewek gagu yang sibuk membuka mulut dan membelalakkan mata. Dan Kevin James sendiri tampil seakan kurang darah. Justru penampilan Bobby Cannavale mampu mencuri perhatian dengan wajah sinisnya, meski karakternya berhasil ditaklukan dengan begitu mudahnya. Dan sekali kesalahan pantas ditujukan kepada naskah yang garing, serta dangkal. Beberapa kelucuan memang sempat hadir, namun tidak mampu menutupi kedongkolan akibat lemahnya naskah tadi.
Padahal, cerita yang dihadirkan mempunyai potensi menjadi sebuah cerita yang seru, apalagi kalau Paul Blart didampingi side kick yang mampu mencairkan kegaringan yang menyelimuti sepanjang durasi. Ini yang menjadi tantangan penulis naskah demi menyelamatkan sekuelnya nanti, selain mempertahankan “prestasi” tidak menghadirkan hal-hal berbau cabul.
Selain melanjutkan aksinya menjaga keamanan dan ketertiban mall, Kevin James tampaknya akan makin disukai saat dirinya beralih menjadi penjaga hewan di The Zookeeper. Hmm… dari judulnya harusnya filmnya menjadi tontonan seru dan menegangkan. Perlu bantuan Chris Columbus barangkali?
Paul Blart : Mall Cop barangkali bisa menjadi pilihan ketika anak-anak membutuhkan tontonan yang lumayan aman. Roger Ebert boleh saja memberikan 3 bintang, namun bagi Gilasinema, Paul Blart : Mall Cop menjadi salah satu kandidat film terburuk di tahun 2009 ini. 2/5

Selasa, 19 Mei 2009

ROLE MODELS

Selasa, 19 Mei 2009 2


Danny (Paul Rudd) dan Anson (Seann William Scott) menjual minuman energi demi menyambung hidup. Mereka berkunjung dari satu sekolah satu ke sekolah lain dengan bersenjatakan kalimat “ Just say no to drugs, and yes to Monitaur!” Anson yang terkesan tengil (seperti penampilan Seann William Scott sebelumnya), terlihat tidak bermasalah dengan hidup yang dia jalani. Berbeda dengan Danny, yang meski kalem ternyata sangat tidak menikmati apa yang menimpa dirinya dan tampaknya siap meledak kapan siap. Danny yang wajahnya terlihat manis menjadi pribadi yang sinis akan banyak hal.
Pacar Danny, Beth (Elizabeth Banks) lama – lama tidak tahan dengan sikap cowoknya tersebut dan memutuskan untuk pisah. Hal inilah yang membuat sisi panas dari Danny meledak hingga menimbulkan kerusakan. Akibatnya, Danny harus memilih antara penjara atau pelayanan kepada masyarakat. Anson yang selalu berada di sisi Danny, mau tidak mau ikut terseret akibat yang ditimbulkan oleh Danny yang tidak peduli hukuman jenis apa yang bakal menimpanya. Namun berkat rengekan Anson, keduanya harus menjalani pelayanan kepada yang membutuhkan selama 150 jam.
Jenis pelayanan yang harus mereka lakukan ternyata lain dari pada yang lain. Keduanya wajib mendampingi anak yang bermasalah dalam berinteraksi. Danny mendapatkan Augie (Christopher Mintz-Plasse) yang berperilaku aneh dan hidup dalam dunia penuh imaji. Sedangkan Anson yang sebenarnya butuh pendampingan, berkewajiban mendampingi seorang anak kulit hitam yang terobsesi dengan “boobies” dengan mulut kotor layaknya Chris Rock, Ronnie (Bobb'e J. Thompson).
Kedua pria “dewasa” tadi awalnya menjalani tugas mereka dengan ogah-ogahan, hanya demi kepentingan mereka sendiri yakni terhindar dari penjara. Namun, seperti biasa, seiring berjalannya waktu, keempat orang beda karakter tadi mampu saling memahami dan justru saling mendukung. Tentu saja tidak digambarkan mulus dalam prosesnya, bahkan sebuah peristiwa membuat keempatnya tercerai berai. Dan ketika batas waktu hampir habis, keempatnya kembali dipersatukan dalam sebuah peristiwa seru yang menyegarkan.
Ada satu hal menonjol yang membedakan Role Models dengan komedi produk Holly belakangan ini, yakni materi cerita yang tidak sibuk mentertawakan hubungan cowok-cewek dan menghindari selangkangan sebagai suguhan utama. Memang masih menampilkan gambar bagian atas tubuh perempuan, namun tidak semelimpah layaknya film yang disentuh Judd Apatow dan kawan-kawannya. Role Models arahan David Wain mempunyai pesan bagus yang bisa disampaikan dengan baik tanpa terasa menggurui.
Dalam proses pembentukan kepribadian, seorang anak pasti melewati tahap imitasi, dimana pada tahap ini anak meniru perilaku orang lain (biasanya yang lebih berumur dibandingkan dirinya) sebagai referensi dalam bertindak. Masalahnya, tidak mudah mencari sosok yang tepat untuk ditiru, Danny dan Anson sebagai contoh. Namun, film ini tidak lantas menghakimi dua pria tadi, dan secara bijaksana penulis cerita (Paul Rudd salah satunya) menunjukkan bahwa panutan bisa datang dari siapa saja, tanpa melihat batasan usia, status dan warna kulit.
Danny dan Anson bisa belajar dari Augie dan Ronnie, begitupun sebaliknya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah dalam proses penjaringan sikap positif seseorang. Dibutuhkan pendampingan dan juga dukungan dari lingkungan sekitar, selain tentu saja pola pikir positif. Berkat pesan positif tadi, menjadikan Role Models sebuah tontonan yang lebih dari sekedar hiburan.
Dengan pesan positif, untungnya Role Models masih menyisakan ruang untuk menghadirkan kelucuan demi kelucuan yang lumayan segar. Puncaknya adalah ketika dihadirkan pertarungan seru nan konyol yang menggelikan. Dari segi cast, penampilan Bobb'e J. Thompson sanggup mencuri perhatian, meski paling muda diantara pemeran lainnya. Aksinya sukses mengundang tawa sekaligus mengelus dada (dan berdoa semoga tidak ditiru anak kita hehehe). Sean William Scott yang biasanya tampil tengil dalam porsi berlebihan, kali ini agak lebih “halus” dan lebih enak dinikmati.
Paul Rudd yang tampil kurang bertenaga sedikit menganggu. Namun, tampaknya tahun 2009 ini merupakan tahun yang bagus untuknya. Selain masih menikmati sisa kesuksesan Role Models, Paul Rudd juga sukses dengan sumbangan suaranya di Monsters vs. Aliens serta disambut lumayan meriah di I Love You, Man bersama Jason Segel. Dalam waktu dekat, Paul Rudd masih berpotensi mencetak prestasi di Year One.
O, iya…rasa-rasanya program pendampingan seperti yang dihadirkan di film ini lumayan bagus untuk dikembangkan lho.3/5

Senin, 18 Mei 2009

QUIET CHAOS (CAOS CALMO)

Senin, 18 Mei 2009 0


“Rats live on no evil star”

Pietro (Nanni Moretti) mendapati istrinya meninggal dunia setelah sebelumnya dia berhasil menyelamatkan seorang perempuan yang nyaris tenggelam diseret ombak di pantai. Peristiwa yang sangat kontradiktif ini sangat memukul Pietro, yang merasa dirinya lalai mengawasi istrinya. Maish untung baginya, karena masih ada anaknya, Claudia (Blu Di Martino) disisinya yang terlihat lebih tegar menerima kepergian ibunya.
Tidak mau kejadian yang sama terulang kepada anaknya, Pietro memutuskan memberikan seluruh waktunya disisi Claudia. Pietro mengurus dan mengantar Claudia kesekolah. Bahkan Pietro menungguinya sampai kelas berakhir. Lho, bukannya Pietro harus bekerja? Berkat posisinya yang kuat, Pietro bisa memantau pekerjaannya lewat ponsel. Bahkan beberapa rekan kerja malah datang menyambanginya di taman depan sekolah Claudia.
Tanpa disadari Pietro, di taman tersebut seperti terbentuk sebuah dunia kecil baru, dimana orang-orang yang bersinggungan dalam kehidupannya hadir silih berganti. Mulai dari rekan kerja, hingga adik perempuan mendiang istrinya yang labil. Mereka hadir, bukannya untuk meringankan beban Pietro justru merecokinya dengan keluhan demi keluhan, yang membuat Pietro tak beda dengan tempat sampah. Padahal, dalam beberapa adegan, digambarkan betapa merana dan kesepiannya Pietro. Hanya adiknya, Carlo (Alessandro Gassman), yang bisa memahaminya.
Pietro juga menjalin hubungan dengan orang-orang yang rutin berada di sekitar taman tersebut. Seorang anak berkebutuhan khusus bersama ibunya yang tiap melintas selalu menantikan suara alarm mobil Pietro, pria pemilik kafe dan juga gadis yang mengajak anjingnya berjalan-jalan di taman tersebut. Bahkan seorang pria paruh baya yang tinggal di dekat taman, mengundangnya untuk sekedar “nge-teh” bersama.
Bagi penggemar cerita yang disajikan cepat dan meledak-ledak, Quiet Chaos arahan Antonio Luigi Grimaldi akan terasa menjemukan. Film yang diangkat dari buku karangan Sandro Veronesi ini mengalir pelan dan minim letupan konflik. Namun, persinggungan Pietro dan karakter lainnya berhasil disajikan secara menarik oleh Antonio Luigi Grimaldi. Antonio berhasil menahan penonton, dengan membuat penasaran, apa yang pada akhirnya bisa membuat Pietro berdamai dengan dirinya sendiri.
Tidak digambarkan dengan gamblang memang, namun dari rangkaian adegan penonton bisa menyimpulkannya sendiri. Dalam hidup, apa yang telah terjadi tidak bisa kita putar kembali. Apa yang telah terjadi tidak bisa dihindari dan tidak cukup disikapi dengan penyesalan. Berbeda dengan sebuah kata/kalimat, ada yang bisa dibaca terbalik tanpa menimbulkan sebuah kata/kalimat baru (reversible), namun ada kata/kalimat yang tidak bisa dibaca ketika kita membaliknya (irreversible). Perhatikan kalimat pembuka diatas.
Yang bisa dilakukan manusia hanya berusaha untuk terus melangkah maju, dengan menyikapi apa yang telah terjadi sebagai pelajaran berharga agar hal yang sama tidak terulang lagi, bahkan menjadikan kita pribadi yang lebih baik dan lebih kuat (hmmm…mudah sekali mengutarakan hal ini hehehehe). Semuanya tentu membutuhkan proses yang seringkali tidak mudah, bahkan menyakitkan. Menimbulkan kekacauan dalam diri (quiet chaos), yang sering tidak bisa dilihat oleh orang luar. Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Film ini sangat tertolong dengan pergerakan kamera yang cukup lincah serta editing rapi yang didukung blocking pemain yang diatur sedemikian rupa. Terutama adegan di taman. Meski film ini berhasil menyabet penghargaan dalam penataan musik di David di Donatello Awards (Oscar-nya Italia), namun dimasukkannya lagu Cigarettes dan Chocolate Milk-nya Rufus Wainwright kok terasa kurang match (lagunya sih enak).
Dari segi cerita, rasa-rasanya gambaran Pietro dengan pekerjaannya porsinya terlalu besar. Belum lagi dimasukkannya konsep Trinity. Andai saja sutradara lebih intensif menggambarkan perkembangan hubungan Pietro dengan orang-orang baru yang dikenalnya di taman, kemungkinan film akan lebih indah dan menyentuh. Seperti ending film ini yang melegakan. Ah…jadi kepikiran menghadirkan cerita “LELAKI DI TAMAN”.
Entah untuk alasan apa sutradara menghadirkan adegan panas membara antara Pietro dengan perempuan yang dia tolong. Memang cukup “membangkitkan” sih, meski keduanya sudah tidak segar lagi. Tapi tetap saja memunculkan pertanyaan, memang perlu ya menghadirkan adegan tersebut. Namun secara keseluruhan, film ini sayang sekali dilewatkan, apalagi dengan penampilan khusus dari Roman Polanski menjelang akhir film. 3,5/5

Jumat, 15 Mei 2009

SPEEDY SCANDAL (GWASOK SEUKAENDEUL)

Jumat, 15 Mei 2009 7


Apa yang kamu lakukan jika kamu seorang pria mapan berusia awal 30-an dengan karir bagus, terkenal, tinggal di sebuah apartemen yang nyaman nan mewah serta bisa berganti-ganti cewek setiap hari, hingga suatu hari datang seorang perempuan muda bersama seorang anak kecil (balita) mengaku sebagai anak dan cucumu. Bingung dan kalut adalah sebuah reaksi yang wajar.
Begitulah yang harus dihadapi oleh Nam Hyeon-soo (Cha Tae-hyun) seorang penyiar radio yang kondang dan memandu sebuah acara dengan rating tinggi. Bahkan karena kesuksesannya, dia membintangi sebuah iklan. Tanpa peringatan, pada suatu hari datang Hwang Jeong-nam (Park Bo-yeong) dan anaknya, Hwang Ki-dong (Hwang Seok-hyeon) yang mengaku sebagai anak dan cucunya.
Mengingat usianya yang masih muda, tentu saja Nam Hyeon-soo menganggap lelucon hal tersebut (begitupun dengan penonton). Bayangkan dirinya sudah harus dipanggil dengan sebutan “kakek’! Namun setelah mendengarkan penjelasan dari Hwang Jeong-nam, Nam Hyeon-soo tidak bisa berkelit. Posisinya makin terjepit ketika Hwang Jeong-nam mengikuti singing contest di acara yang dia pandu, bahkan menjadi kandidat kuat sebagi pemenang.
Meski awalnya panic dan berusaha mengusir “tamu tak diundang” tadi, namun dibawah tekanan, Nam Hyeon-soo terpaksa mau menampung keduanya. Kehidupan Nam Hyeon-soo perlahan mulai kacau balau. Apartemennya yang sebelumnya terkesan elegan dan steril, segera berubah layaknya kapal pecah. Belum lagi kebiasaan bocah Hwang Ki-dong yang biasa berjalan dalam tidur seakan menghadirkan terror menakutkan dalam kehidupan Nam Hyeon-soo.
Namun pada akhirnya sudah ditebak, terjalin hubungan yang akrab diantara ketiganya. Tanpa disadari, Nam Hyeon-soo mulai menerima kehadiran anak dan cucunya, bahkan menikmatinya. Selanjutnya kita disuguhi beberapa momen lucu, terutama hubungan antara kakek dan cucu. Dengan santainya si kakek memanfaatkan cucunya demi mendekati guru cantik yang mengajar di sekolah cucunya. Disisi lain, Hwang Jeong-nam tanpa sengaja bertemu dengan kekasih lamanya.
Sayang kemesraan ketiganya tidak berlangsung lama. Karena ketidaksengajaan, hal tersebut mulai diketahui oleh public, yang tentu saja menginterpretasikannya lain. Disini Nam Hyeon-soo dihadapkan pada sebuah pilihan. Mempertahankan keduanya atau lebih mementingkan karirnya. Ternyata Nam Hyeon-soo lebih memilih yang kedua. Maka berpisahlah mereka dengan penuh kemarahan hingga dipersatukan kembali oleh suatu peristiwa yang menyangkut nyawa si bocah. Lalu, benarkah mereka ada hubungan darah?
Film garapan Kang Hyeong-cheol sedikit mengingatkan kepada The Game Plan, dimana hidup seorang pria mapan diobrak-obrik oleh seseorang yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Namun, film ini menjadi tontonan yang unik dan menggelitik dengan memasukkan sesuatu hal yang mungkin tidak masuk akal bagi penonton. Penonton sempat dibuat berharap, semoga antara Nam Hyeon-soo dan Hwang Jeong-nam tidak terikat hubungan bapak – anak. Apalagi keduanya melakukan tes DNA di sebuah klinik hewan.


Berkat sesuatu hal yang terkesan tidak mungkin tadi, justru menjadikan Speedy Scandal sebagai tontonan yang segar dan menghibur. Belum lagi penampilan ketiga bintangnya yang meyakinkan dan memancarkan ikatan yang kuat. Tanpa mengesampingkan dua bintang utama lainnya, penampilan si bocah, Hwang Seok-hyeon, mampu mendapat sorotan utama dengan penampilannya yang natural dan menggemaskan. Sebuah pencapaian luar biasa mengingat film ini merupakan debutnya. dan lagi, siapa sih yang tidak terpikat melihat penampilannya.
Namun tidak bisa dipungkiri, kesegaran film ini tidak bisa dilepaskan dari peran Kang Hyeong-cheol yang mampu menyajikan sebuah cerita dan tontonan yang renyah, lincah dan menghibur namun tetap bisa diterima akal serta mempunyai pesan yang kuat yakni pentingnya sebuah keluarga. Humor-humor yang dihadirkan oleh Kang Hyeong-cheol sukses mengundang tawa. Adegan paling lucu menurut Gilasinema adalah adegan bermain kartu antara kakek dan cucu. Tidak jelas mana yang tua, mana yang belia hahahaha….
Speedy Scandal disambut meriah pada saat perilisannya, hingga berhasil menempatkan film ini dijajaran 10 film terlaris sepanjang masa di Korea sana, bahkan mampu melampaui pencapaian yang diraih oleh The Good, The Bad and The Ugly. Melihat kesuksesan yang diraih oleh film ini, Holly langsung menyambar hak untuk membuat ulang film ini dan direncanakan rilis tahun 2011. Semoga tidak bernasib layaknya My Sassy Girl (yang juga dibintangi oleh Cha Tae-hyun), yang hanya dilempar ke pasaran home video. Buat yang mencari hiburan, film ini sangat direkomendasikan. 3,75/5

Selasa, 12 Mei 2009

WISATA SINEMA DI IBU KOTA

Selasa, 12 Mei 2009 16
Meski sudah hampir 3 dekade Gilasinema menghirup udara di negeri Indonesia ini, belum sekalipun Gilasinema berkesempatan menyambangi ibu kota yang katanya kejam itu (udik ya hehehe). Pernah sih ke Bekasi, tapi kan secara administrative masih masuk Jawa Barat (bener gak sih?). Bersyukur sekali tanggal 6 – 8 Mei kemarin, Gilasinema dikirim ke Jakarta oleh kantor untuk mengikuti suatu event. Kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan untuk “menjelajah” setelah kegiatan tadi selesai. Sebagai penggila sinema, penjelajahan pastinya tidak terlepas dari sinema (film). Gilasinema menyebutnya “wisata sinema”. Terima kasih kepada teman-teman yang ikut menyukseskan wisata sinema ini dengan menanggung akomodasi, transportasi dan tiket hehehehe…
Sayang sekali pilihan film yang ada sangat terbatas, selain waktu yang juga terbatas, sehingga Gilasinema hanya berkesempatan menyambangi 2 bioskop. Kirain Star Trek ikut tayang serentak dengan Amerika Utara, ternyata belum toh….Berikut oleh – oleh Gilasinema :

X – MEN ORIGINS : WOLVERINE

Lokasi : Blitz Mall of Indonesia (8,5/10 layarnya gedhe, tapi sayang kursinya tidak enak)
Sebenarnya tidak bermaksud melihat film ini, karena lebih penasaran dengan sensasi 3D yang ditawarkan di My Bloody Valentine. Namun karena datang terlambat, loket sudah ditutup. Terpaksa deh melihat aksi cakar maut dari Wolverine.
Sejak awal film, entah mengapa Gilasinema merasakan sensasi geli yang tak tertahankan menyaksikan adegan demi adegan yang dialirkan. Formula yang ditawarkan begitu baku (baca: basi) yang diperparah dengan dialog yang corny banget. Tak pelak Gilasinema banyak ketawa sendiri dengan “kelucuan” tersebut. Ketika “kelucuan” makin membosankan, Gilasinema dan rekan jatuh tertidur sejenak ketika Wolverine datang ke pulau dan terbangun oleh peluru yang menembus kepala Wolverine. Adegan sebelumnya gimana sih?
Film makin parah dengan penampilan Hugh Jackman yang dimata Gilasinema sangat berlebihan. Mengingatkan pada acting Salman Khan yang jarang sekali terlihat natural dan sangat menonjolkan otot. Usaha Hugh Jackman yang berusaha terlihat sangar sangat menganggu. Efek visual yang dihadirkan jauh dari kesan menakjubkan. Gak istimewa wis (makanya suka males melihat film-film heboh). Untung cast lainnya lumayan meminimalisir “kelebihan” yang ditampilkan Hugh Jackman.
Dari barisan cast pendukung terlihat sekali, mereka yang terlibat dibelakang pembuatan Wolverine mencoba menarik banyak penonton dari mereka yang berjenis kelamin perempuan (remaja). Sebagai salah satu produser, Hugh Jackman tidak mau rugi hingga merelakan (maaf) bokongnya “diobral”. Adegan ini juga klise, karena “kelahiran” seperti ini telah dihadirkan di Matrix, Terminator dan Demolition Man.
Terus, cewek mana sih yang tidak terkesan dengan penampilan Remy LeBeau yang sedikit mengingatkan pada Keanu Reeves dulu pas berambut panjang. Belum lagi hadirnya Daniel Henney (Agent Zero), yang akan banyak menarik penonton di Asia karena dirinya mempunyai fan base yang kuat di kawasan ini. Berbicara soal pasar, Wolverine tampaknya memang sangat berharap akan mengeruk banyak dolar di luar Amerika Utara, terutama Asia. Meski hasil openingnya tidak mengecewakan, rasanya film ini bakal tertatih-tatih menyentuh angka $200 juta. Kehadiran Ryan Reynolds sebagai Wade Wilson merupakan trik jitu untuk mengetes pasar. Kalau respon terhadap karakter satu ini cukup baik, kayaknya sih bakal dibuatkan kisah tersendiri.
Kalau memang mau dibuat sekuelnya, ada baiknya David Benioff dibuang saja dari barisan penulis naskahnya. Orang yang satu ini sebelumnya bertanggung jawab, betapa murahannya film Troy yang dibintangi Brad Pitt, serta lempengnya The Kite Runner.
The X-Men Origins : Wolverine sekali lagi mengangkat kisah the special one. Yang menarik, dimasa rehatnya, Wolverine memilih profesi yang ada kaitannya dengan kayu. Hmmm…ada yang familiar dengan kisah ini? 2,5/5

CRANK : HIGH VOLTAGE

Lokasi : Studio XXI di EX (8/10, suara mantep namun ukuran layar standar)
Di awal, Film ini sudah memberi peringatan kepada penonton mengenai muatan apa yang akan ditampilkan dalam rentetan gambar selanjutnya. Peringatan tersebut terselip diantara kalimat yang diucapkan oleh pembaca berita, yakni “omong kosong” dan “tidak mungkin”. Bagi penonton yang bisa “membaca” pesan ini, harusnya sudah menyiapkan diri dengan rentetan adegan ngawur dan tidak penting yang dihadirkan secara simultan sepanjang durasi. Ide cerita sangat menggelitik, meski terkesan konyol. Jantung manusia diibaratkan sebuah alat elektrolis, yang hanya bisa bekerja maksimal kalau terpenuhi asupan listrik. Jantung tak beda jauh dengan hand phone ataupun IPod!
Crank:High Voltage sungguh sebuah kekacauan. Jalinan cerita yang tidak jelas, dialog kasar, humor rendah, aksi pemain yang cethek serta banyaknya tokoh yang berseliweran dengan karakterisasi yang tidak jelas. Dengan bahasa gambar dan penceritaan yang cepat, penonton dibombardir dengan rangkaian adegan yang tidak penting namun mengejutkan dan menghibur. Bahkan kadang terasa sangat lucu. Istilah “strawberry cake” dan “friction” begitu membekas. Sayang sekali banyak sekali adegan yang terpotong, terutama adegan yang mengeksplotasi “daging’ hehehe. Nunggu bajakan beningnya ah….
Film ini makin menarik dengan hadirnya banyak cameo. Mulai dari Geri Halliwell, Chester Linkin Park hingga Ron Jeremy! Paling terkejut dengan penampilan David Carradine yang sukar dikenali. Satu-satunya gangguan di film ini adalah penampilan si jalang Bai Ling. Untungnya sedikit termaafkan dengan diacuhkannya karakter yang diperankan oleh Bai Ling oleh Chev Chelios, padahal si sundal Bai Ling pastinya bakal ikhlas tampil telanjang.
Dibandingkan X – Men : Wolverine, Crank:High Voltage jauh lebih menghibur dan meninggalkan kesan. Tanpa bermaksud neko-neko, Crank:High Voltage justru terasa lebih orisinil, meski mengulang formula yang telah hadir di seri awal. Berbeda dengan X-Men:Wolverine yang maunya tampil berkelas dengan kemasan yang basi. Tidak heran kalau rating yang diberikan oleh beberapa kritikus terhadap film ini jauh lebih baik dibandingkan yang diperoleh X_Men:Wolverine. Masalahnya, tidak semua penonton bisa menerima Crank:High Voltage sebagai sebuah hiburan mengingat banyaknya kegilaan yang dihadirkan didalamnya.
Kalau dicermati, duo Neveldine/Taylor seakan mengolok-olok keseriusan penonton dalam menikmati sebuah film. Olokan paling frontal dan brutal tentu saja ditunjukkan dengan aksi jari tengah Chev di akhir film. Brillian! Duo ini secara jeli mengobrak-abrik aturan baku yang ada. Aturan estetis tidak diindahkan sama sekali hingga bagi penoton yang tidak kuat terasa memuakkan dan mengecamnya. Humor-humor yang dihadirkan juga lucu dan segar, meski ujung-ujungnya membuat penonton mengelus dada. Makin mengelus dada ketika ada seorang ibu mengajak dua anaknya yang masih belia melihat film ini. PARAH!!!
Banyak penonton yang beranjak dari kursi begitu end title bergulir. Padahal, disela-sela end credit tersebut masih terdapat adegan yang menggambarkan nasib Chev. Dari sini terlihat ada peluang kisah pemilik jantung terkuat di dunia masih akan berlanjut. Gilasinema berimajinasi (meski dengan berat hati), duo Neveldine/Taylor ada kemungkinan akan menghadirkan actor yang berbeda untuk memerankan Chev. 3/5


OLEH – OLEH LAINNYA


Selain menyambangi dua bioskop tadi, Gilasinema juga mampir di La Piazza 21. Namun kali ini untuk sekedar bergaya, hehehehe…..


Sebenernya Gilasinema mendapatkan undangan dari salah satu temen yang kebetulan menjadi wartawan film di sebuah tabloid hiburan untuk menghadiri gala premiere Benci Disko di Senayan City XXI, namun jadwal yang tidak memungkinkan, membuat Gilasinema tidak bisa memenuhi undangan tersebut. Padahal kalau bisa hadir, sudah pasti bisa mejeng di tabloid tersebut bersama salah satu artis pendukungnya. Untungnya sedikit terbayar dengan souvenir (kaos) film yang bersangkutan.


Tidak lengkap rasanya menyambangi sebuah kota tanpa berburu DVD bajakan, apalagi di kota sebesar Jakarta. Atas rekomendasi teman, Gilasinema memilih Ambassador/ITC Kuningan (?) sebagai tempat berburu. Disini, Gilasinema benar-benar kalap, hingga memborong lebih dari 35 judul! Padahal sudah secara serius memilih yang benar – benar layak beli. Kebanyakan sih film lama yang sulit didapatkan di kios bajakan deket rumah. Baru berhenti ketika sadar dana menipis. Terpaksa cari suntikan dana dari temen hehehe….(Gilasinema tidak ada ATM karena pasti bakal lebih boros tidak kuat menghadapi godaan).


Akhirnya, terima kasih sekali lagi buat temen-temen yang telah meluangkan waktu untuk menyukseskan wisata sinema Gilasinema hehehe…

Selasa, 05 Mei 2009

THE INTERNATIONAL

Selasa, 05 Mei 2009 3


Filmografi dari Tom Tykwer mungkin belum panjang. Namun sejak menelorkan Run, Lola, Run, sineas asal Jerman ini menjadi favorit bagi penikmat film. Tom Tykwer terlihat sekali berusaha memberi suguhan yang berbeda di setiap karyanya. Kalu Run Lola Run, kita diajak untuk menikmati sebuah kemungkinan (waktu), di Perfume : The Story of A Murderer, penonton diajak untuk menyelami jiwa seorang psikopat. Kini Tom Tykwer kembali hadir mengusung tema yang berbeda, yakni seputar konspirasi keuangan (perbankan) dunia.
Cerita bermula ketika Louis Salinger (Clive Owen) seorang agen Interpol, melihat kematian salah satu temannya di depan matanya. Keduanya sedang disibukkan menguak aliran dana misterius yang bisa menyeret salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, The International Bank of Business and Credit (IBBC). Kejadian ini bukannya menyurtkan langkah Salinger, justru makin menguatkan tekadnya untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Usaha salinger ini sedikit mengingatkan aksi Leonardo DiCaprio di Blood Diamond.
Salinger tidak sendirian, karena ada Eleanor (Naomi Watts), si penegak hukum, yang berada disisinya. Keduanya rela bergerak dari Negara yang satu ke Negara yang lain demi membekuk otak yang berada di balik aliran dana kotor yang digunakan sebagai sarana mencapai tujuan bagi golongan tertentu. Sebuah hal yang bisa merongrong perdamaian dunia dan dikhawatirkan menelan korban yang tidak berdosa. Usaha tersebut seringkali menemui jalan buntu, mengingat banyaknya orang yang terlibat dibaliknya dan juga keterlibatan beberapa figure penting yang sulit ditembus. Hal yang lumrah, mengingat dolar yang “diolah” jumlahnya sangat menggiurkan. dan korban pun mulai berjatuhan.
Bagi penikmat trilogy Bourne, The International akan terasa menjemukan dan tanggung. Menyaksikan The International, mau tidak mau harus membandingkan dengan Bourne Trilogy. Sama-sama mengisahkan intrik dan konspirasi, serta mengajak penonton untuk menjelajahi beberapa tempat di dunia (Eropa). Berbeda dengan Bourne Trilogy yang banyak menyajikan adegan aksi memukau, The International terbilang pelit adegan aksi nan seru. Namun aksi gun fight di Museum Guggenheim sangat mengesankan, karena terlihat sekali dipikir matang dan serius. Adegan seru ini juga terasa lebih realistis.
Ketegangan yang coba dihadirkan juga kurang menggigit, bahkan pada adegan menjelang akhir yang berpotensi menghadirkan ketegangan tingkat tinggi, Tom malah menggarapnya secara lempeng-lempeng saja. Kesan nanggung mungkin disebabkan oleh karakter tokoh utamanya yang digambarkan cerdas, namun tidak secerdas Bourne, serta tidak dimodali teknologi canggih layaknya James Bond. Belum lagi kemampuan fisik yang jauh dibawah kedua agen rahasia tadi. Namun justru karakterisasi seperti ini menjadi kekuatan tersendiri, karena tokoh Louis Salinger terasa lebih riil. Bahkan, beberapa kesempatan Louis yang terbantu dengan kemujuran. Adegan aksinya juga terasa lebih nyata dan tidak dibuat-buat. Andai film ini dirilis sebelum Bourne Trilogy, tentu penerimaan penonton bakal lain.
Dengan segala “ketanggungan” tadi, justru The International menjadi sebuah suguhan yang berbeda. Kesan ini makin kuat ketika hadir adegan dimana Wilhelm (Armin Mueller-Stahl) membuat pengakuan di depan Louis. Tiba-tiba saja kita disuguhi sebuah percakapan dengan muatan yang dalam, bahkan cenderung filosofis, yakni tentang integritas manusia di tengah dunia yang makin kotor dan mengikis kepribadian. Tokoh Louis yang mengangkat isu seputar pilihan hidup makin membuat scene ini meninggalkan kesan dan mengusik nurani.
Dengan irama film yang cenderung ditengah-tengah (begitupun dengan penataan musiknya) dan berpotensi membuat bosan, Tom Tykwer memberikan keindahan visual lewat tampilan gambar yang menyoroti gedung-gedung megah nan indah. Gambar-gambar ini seakan ingin menekankan, bahwa kejahatan dewasa ini tidak hanya berlangsung di medan perang, namun bisa juga muncul dari dalam sebuah ruangan yang terselip di dalam gedung megah nan indah. Betapa dunia dikendalikan oleh segelintir orang dari tempat yang tidak mudah diraih oleh kebanyakan orang.
Menyaksikan The International seakan melakukan sebuah wisata arsitektur. Namun kemudian kita dikejutkan dengan ide Tom Tykwer yang mencoba “merusak” salah satu ikon keindahan arsitektur. Museum Guggenheim di New York dibuat “babak belur’ dengan peluru yang melubangi tembok dan menghancurkan keca serta beberapa instalasi seni. Tentu saja lokasi yang digunakan bukan lah lokasi yang sesungguhnya, karena demi menunjukkan keseriusan menyuguhkan aksi yang bagus, para kru membangun sebuah tiruan dari Museum Guggenheim. Salut untuk kerja mereka.


Lewat The International, sekali lagi Clive Owen menunjukkan kepantasannya berperan di film dengan tema konspirasi atau dunia intelijen. Masih ingat dong dengan penampilannya di Bourne Identity, Children Of Men, Shoot ‘em Up hingga yang terbaru, Duplicity (belum liat sih hehehehe). Yang membuat Gilasinema heran, dengan modal wajah rupawan dan acting yang tidak jelek (paling tidak pernah masuk nominasi Oscar), karir Clive Owen terkesan jalan ditempat. Filmnya secara financial mendatangkan pemasukan yang kurang memuaskan. hal yang sama juga menimpa Naomi Watts yang tampak kesulitan mengangkat karirnya.
Setelah menyaksikan The International, Gilasinema jadi berpikir, kenapa ya banyak para manusia cerdas dan pandai tidak memanfaatkan kemampuannya untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Mereka justru tersilaukan oleh kemasyuran dan kekayaan dunia serta kilau dunia lainnya. Kesimpulan akhir, Eric Singer rasanya perlu mendapat bantuan Tony Gilroy kalau ingin menghasilkan sebuah naskah yang lebih menggigit. The International akan jauh lebih menarik apabila dituangkan menjadi sebuah novel tebal. Untungnya berkat sentuhan Tom Tykwer, The International mampu menjadi sebuah tontonan yang mempunyai kelas tersendiri. O, iya dalam film ini kedua bintng utama tidak terlibat asmara. Sayang sekali...atau malah membuatnya berbeda?3,25/5

GHAJINI



Ada dua alasan mengapa Ghajini tertarik menonton Ghajini, pertama film ini didukung oleh Aamir Khan. Aktor yang satu ini merupakan salah satu actor yang selectif memilih peran dan selalu tampil berbeda dengan peran sebelumnya. Setelah sebelumnya menjadi guru yang penuh perhatian, di Ghajini Aamir Khan tampil total, terutama dalam membentuk badan agar terlihat lebih kokoh. Promo film ini begitu gencar, dan proses pembentukan tubuh Aamir Khan sepanjang 1 tahun diekspos habis-habisan. Gilasinema kebetulan menyaksikan tayangan tersebut, dan melihat betapa tersiksanya Aamir Khan. Alasan kedua adalah fakta kalau Ghajini menjadi film terlaris sepanjang masa di India, tanpa mempertimbangkan inflasi. Dirilis kahir tahun 2008 (Aamir Khan senang merilis filmnya di penghujung tahun), Ghajini disambut meriah oleh penikmat film Bolly.
Kisahnya sederhana dan klasik. Bagaimana usaha Sanjay (Aamir Khan) mencari pembunuh yang menghabisi secara brutal didepan matanya kekasih yang amat dia cintai, Kalpana (Asin, nama yang aneh). Sanjay hampir bernasib serupa dengan Kalpana, namun dia masih bisa bertahan meski dengan kerusakan yang parah di otaknya. Akibat benturan yang amat keras diotaknya, Sanjay mengalami short memory loss, yang menyebabkan setiap 15 menit, dia lupa akan yang peristiwa yang terjadi sebelumnya. Demi membalaskan dendamnya, Sanjay bersenjatakan Polaroid, tato dan buku catatan sebagai senjata utama serta bermodalkan satu petunjuk penting, Ghajini.



Memori, Polaroid dan tato? Terdengar tidak asing memang. Film Ghajini secara terang-terangan mengambil plot yang dihadirkan di film Memento-nya Christopher Nolan. Hal ini sudah jamak dilakukan oleh sineas Bolly sana. Dengan penambahan ornament disana sini, hasil akhirnya adalah sebuah tontonan khas India yang kadang memuakkan, namun tak jarang memberikan hiburan tersendiri. Ghajini yang rilis tahun 2008 ini merupakan versi kedua dari versi 2005 berjudul sama dan disutradarai oleh orang yang sama, A. R. Murugadoss . Hanya saja Ghajini terdahulu berbahasa Tamil dan kini dibalut bahasa Hindi dengan memasang bintang tenar. Asin merupakan pemain asli yang dipertahankan. Jadi Ghajini 2008 merupakan remake Ghajini 2005 yang ide dasarnya mencomot Memento yang diangkat dari naskah berjudul Memento Mori tuulisan Jonathan Nolan. Mumet….
Karena produk Bolly, jangan harapkan sebuah tontonan yang stylish dan memusingkan layaknya Memento. Ghajini sangat sederhana dan cheesy, bahkan terlalu banyak lubang yang cukup mengganggu. Ghajini juga memberikan porsi besar kisah yang cinta antara Sanjay dan Kalpana, melebihi kisah usaha pembalasan dendam Ghajini. Namun bukan berarti Ghajini bisa langsung disingkirkan begitu saja, karena ternyata kisah asmara antara Sanjay dan Kalpana yang penuh kesalahpahaman sangat menarik untuk diikuti. Ikatan kimia antara Aamir Khan dan Asin yang kuat makin membuat penonton (Ghajini) betah. Asin yang merupakan pendatang baru, mampu tampil segar natural dan bisa mengimbangi permainan Aamir Khan.
Menyaksikan film Bolly, kurang lengkap tanpa musik dan tarinya. Dalam Ghajini, sekali lagi Aamir Khan mengajak AR Rahman. Seniman yang satu ini memang tahu benar bagaimana menciptakan musik yang asyik. Coba dengarkan Guzarish yang romantis (dengan klip yang top sinematografinya) , Behka yang genit (dengan penampilan Aamir Khan yang “muda”) serta Kaise Mujhe yang menghanyutkan (terutama versi score-nya).
Bicara soal plagiarisme, mencomot ide dari sebuah karya yang sudah jadi, menurut Gilasinema rasa-rasanya sah-sah saja, sepanjang ada sentuhan kreatif demi menghadirkan hasil yang berbeda dari materi aslinya. Dan tentu saja akan menarik kalau, sentuhan kreatif tadi bermuatan local. Sineas Indonesia rasanya masih perlu belajar banyak soal comot mencomot ide ini Bolly, hingga hasilnya tidak seperti Ihsan…Mama I love You (Taare Zameen Par) yang mentah atau garingnya Suka Ma Suka (Dostana).
Dengan sukses luar biasa yang dicapai oleh Ghajini, rasanya sineas Bolly akan semakin giat mencomot ide dari Holly. Penasaran menunggu hasil akhir versi Bolly dari Benjamin Button. Peringatan dan larangan keras dari Holly berkaitan dengan niat membuat Benjamin Button versi Bolly, tampaknya hanya dianggap angin lalu. 3/5

Senin, 04 Mei 2009

HE’S JUST NOT THAT INTO YOU

Senin, 04 Mei 2009 5


Conor (Kevin Connoly) dan Gigi (Ginnifer Goodwin) sebenarnya sudah merasa klik satu sama lain meski baru pertama kali bertemu. Sesampainya di apartemen, Conor yang mempunyai ide untuk menelepon Gigi, dilarang oleh temannya, Alex (Justin Long) yang apatis terhadap cinta. Gigi yang merasa ditolak oleh Conor, berusaha melanjutkan hidup dengan tetap berusaha mencari belahan jiwanya. Berdasarkan masukan dari teman kerjanya Gigi mulai bersusaha memahami “aturan” dalam berkencan. Pencarian tersebut justru mempertemukannya dengan Alex yang tidak menyadari dirinya mulai “hanyut’ oleh kehadiran Gigi.
Salah satu rekan kerja Gigi adalah Janine (Jennifer Connely) Janine sedang disibukkan dengan kegiatan mempersiapkan rumah barunya bersama suaminya, Ben (Bradley Cooper). Keduanya sudah berhubungan sejak di perguruan tinggi. Ben yang tampaknya sedang mengalami keraguan akan pernikahannya dengan Janine, tanpa sengaja bertemu dengan Anna (Scarlett Johansson) yang sangat menarik. Ben awalnya berusaha membendung rasa sukanya terhadap Anna, namun siapa yang tahan berdampingan dengan wanita semenarik Anna. Dan terjadilah perselingkuhan yang membuat hidup Ben terselubung dengan lembaran dusta.
Anna mempunyai teman, Mary (Drew Barrymore) yang dikelilingi oleh 3 “lelaki” yang siap berbagi kapan saja. Masalahnya, Mary ingin menjalin hubungan dengan lelaki tulen. Bukan usaha yang mudah di era serba digital. Berkembang pesatnya dunia komunikasi (digital) ternyata membuat manusia makin jauh dan pengecut. Mary mempunyai seorang klien yakni Conor. Keduanya hanya berhubungan lewat telepon dan belum pernah bertatap muka. Meski hanya sebuah hubungan bisnis, keduanya tampak nyaman berkomunikasi.
Conor ini berteman dengan Anna dan secara terus terang jatuh hati kepada Anna. Awalnya Anna tidak ingin membawa hubungan pertemanan tersebut menuju kea rah yang lebih serius, namun setelah insiden Ben yang melukai hatinya, dia mulai menerima Conor sebagai lebih dari sekedar teman. Namun ketika Conor ingin melangkah lebih jauh, Anna kembali mengambil langkah mundur. Disisi lain ada teman Ben, Neil (Ben Affleck) yang telah lama hidup bersama dengan Beth (Jennifer Aniston). Meski terlihat saling menyayangi, Beth nyatanya ingin meresmikan hubungan tersebut. Sebuah ide yang laingsung ditolak oleh Neil yang anti perkawinan. Hal ini membuat Beth memilih untuk “lepas” dari Neil.
He’s Just Not That Into You sekali lagi mengangkat tema hubungan cinta antara lelaki dan perempuan. Bagi yang menggemari kisah seperti halnya Love Actualy, film garapan Ken Kwakis (The Sisterhood of the Traveling Pants) ini tentu akan menarik perhatian. Apalagi dengan barisan cast-nya yang menjanjikan. Masalahnya, tidak mudah menggarap film dengan banyak karakter berbalut kisah yang rumit dan saling terkait, hingga menjadi sebuah tontonan yang tidak melelahkan. Film menjadi begutu riuh dan terkesan cerewet. Seolah kita sedang berada di sebuah jalan yang sangat ramai dan bising, hingga susah untuk berkonsentrasi dan membuat pusing.
Masing-masing tokoh begitu disibukkan persoalan cinta. Dengan durasi yang lebih dari 2 jam, film ini makin terasa membosankan dengan karakter-karakter yang penuh kebimbangan. Dengan banyaknya cast yang hadir, terlihat kebingungan dalam membagi porsi, hingga ada beberapa tokoh yang sangat kurang ditonjolkan. Untungnya, dalam naskah film yang diadaptasi dari sebuah buku self help ini, masih terselip humor-humor yang mampu memancing senyum, terutama beberapa adegan kesalahpahaman yang menimpa Gigi.
Dengan porsi yang lebih banyak dibandingkan karakter lain, tak pelak penampilan Ginnifer Goodwin sebagai Gigi terlihat lebih menonjol dibandingkan pemeran lainnya. Dengan gaya polosnya, peran Gigi pasti akan memikat penonton dan mengangkat karir Ginnifer Goodwin, meski dibandingkan karakter lainnya, karakter dari Gigi sebenarnya paling lazim ditemui di film rom com sejenis. Jennifer Connely dengan porsi tidak sebanyak Ginnifer Goodwin mampu tampil memikat. Hal ini tidajk bisa dilepaskan dari permasalahan yang dihadapi oleh Janine yang terkesan lebih “berat” dibandingkan dengan apa yang menjadi masalah karakter lainnya. Scarlett Johansson sekali lagi tampil sebagai sosok yang menggairahkan dan menggoda.
Drew Barrymore ternyata sangat minim tampil dalam film ini. Drew tampaknya lebih menikmati perannya di balik layar, yakni sebagai produser. Apa yang dialami Mary sangat menarik untuk diangkat menjadi film tersendiri, yakni bagaimana pencarian cinta di tengah gempuran teknologi komunikasi digital. Era dimana “more texting, less talking”. Kisahnya dalam bayangan Gilasinema akan menjadi semacam You’ve Got Mail, namun dengan medium yang berbeda (sms, voice mail, facebook, twitter dan lain-lain)
Secara keseluruhan, He’s Just Not That Into You lumayan menghibur. Tema pencarian cinta sepertinya masih punya pasar yang besar, buktinya film ini untuk sementara sudah meraup pendapatan enam kali lipat dari biaya produksi untuk peredarannya di seluruh dunia. Andai saja, durasinya lebih singkat dan karakter yang lebih sedikit, tentu film akan lebih meninggalkan kesan, karena penonton akan lebih focus hingga mampu menyerap kisah yang dihadirkan. Film ini sekali lagi menegaskan, tidak usahlah terpaku kepada aturan yang seringkali kurang begitu terpercaya keampuhannya. Makin parah kalau kita terlalu dangkal dalam menginterpretasikan aturan tidak baku tersebut. Persolan cinta itu persoalan hati, jadi ya “follow you heart”. Andai saja film ini “disentuh” Richard Curtis……… 3/5

Sabtu, 02 Mei 2009

JAMILA DAN SANG PRESIDEN

Sabtu, 02 Mei 2009 10


“Hahahaha…..sekarang saya dibungkan hanya karena berbeda?”

Entah kutukan apa yang menyelimuti hidup Jamila (Atiqah Hasiholan). Waktu kecil dirinya dijual oleh ayah kandungnya, sebelum akhirnya diselamatkan oleh ibunya. Jamila kemudian ditipkan ibunya kepada kerabatnya. Bukannya mendapatkan afeksi, edukasi dan proteksi, di situ Jamila malah mendapatkan pelecehan seksual yang mendorongnya untuk kabur ditengah kondisi hamil, hingga dia mengalami keguguran.
Belum cukup sampai disitu penderitaan Jamila. Dia juga nyaris diperkosa oleh orang yang menampungnya, hingga akhirnya jalan hidupnya mempertemukan dirinya dengan Susi (Ria Irawan yang seperti biasa fasih bergenit ria dan misuh-misuh) seorang pelacur. Selanjutnya, Jamila mulai berkubang di dunia “hitam” tersebut. Dan karena kecantikan serta kepintarannya, Jamila digambarkan termasuk pelacur yang punya kelas hingga mempertemukannya dengan menteri muda Nurdin (Adjie Pangestu, kenapa sih harus dia?). Hubungannya dengan Nurdin yang berpengaruh, ternyata malah mengarahkan Jamila ke arah kematian. Jamila divonis mati oleh pengadilan karena terbukti membunuh Nurdin, yang nota bene seorang pejabat Negara.
Tentu saja kisah yang dihadirkan dalam Jamila dan Sang Presiden dituturkan secara linear seperti gambaran diatas. Dengan gaya bertutur maju mundur, Ratna Sarumpaet selaku sutradara, produser sekaligus penulis cerita mengurai secara perlahan-lahan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Jamila. Dalam kisah tadi, diselipkan banyak gugatan mengenai nasib para mereka yang termarjinalkan (perempuan).
Gugatan paling keras memang ditujukan kepada system yang membuat perempuan diposisikan sebagai komoditas belaka. Perjualan anak dan perempuan (human trafficking) makin marak, padahal aturan yang berkaitan dengan hal tersebut sudah ada. Kenapa gagal membendung kejahatan tersebut? Karena tidak ada ketegasan dari para aparatnya, yang membuat hukum kehilangan taringnya. Belum lagi indikasi keterlibatan oknum-oknum berpengaruh yang serakah.
Jamila bisa dibilang merupakan korban dari system yang ada. Apa yang dialami oleh Jamila dan perempuan-perempuan kurang beruntung lainnya merupakan akibat dari gagalnya pemerintah mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan selalu memunculkan kriminalitas. Kemiskinan seringkali tidak bisa diminimalisir karena kebodohan yang menjangkiti masyarakat. Kebodohan timbul karena system pendidikan yang diterapkan seringkali tidak tepat dan makin mahal. Jaman makin maju, namun pendidikan bukannya makin murah, justru makin tidak ramah, terutama untuk murid yang dianggap kurang mampu (secara financial dan otak).
Jamila juga merupakan korban dari system, dimana para lelaki masih sangat dominant, baik dari segi jumlah (pelaku) maupun dari segi peran. Perempuan belum dipandang sebagai mitra setaraf, hingga kadang mereka tidak dimanusiakan. Namun tidak bisa semuanya disalahkan kepada para lelaki, karena pada kenyataannya banyak perempuan yang juga berperan dalam “penjerumusan” kaum mereka sendiri. Agama yang sebenarnya menganjurkan menghargai perempuan di tempat terbaik, justru banyak disalah tafsirkan. Agama bukannya membebaskan justru digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan perempuan.
Sungguh banyak sekali gugatan yang ingin disampaikan oleh Ratna Sarumpaet dalam Jamila dan Sang Presiden ini. Dampaknya, film ini menjadi sebuah tontonan yang tajam dan kritis. Sisi negatifnya, karena terlalu banyaknya “teriakan” yang ingin disampaikan, membuat Jamila dan Sang Presiden terkesan cerewet dan menggurui. Kesan ini makin menguat karena Ratna Sarumpaet terlalu “rajin” menggunakan bahasa verbal dalam menyuarakan protesnya. Simak saja dialog Jamila dan Pak Kyai (Nizar Zulmi). Protes pada akhirnya menjadi khotbah menjemukan.
Hal ini bisa dimaklumi, karena naskah asli film ini yang berupa naskah panggung. Namun dengan media yang berbeda, harusnya Ratna menggunakan pendekatan yang berbeda pula. Aksen teatrikal masih sangat kuat dalam film ini, terutama dalam hal naskah dan acting para pemainnya (dua hal ini memang saling terkait). Dan tampaknya Ratna terlalu setia dengan materi aslinya. Akibatnya konflik yang dihadirkan cenderung datar dan membosankan. Dari 5 orang yang menonton film ini, 2 orang sudah keluar sebelum film berjalan separuh! Sayang sekali, padahal Ratna mempunyai modal cerita yang amat kaya dan mempunyai potensi menjadi tontonan yang “menggedor” (nurani dan rasa).
Kesalahan terbesar dari cerita Jamila dan Sang Presiden menurut Gilasinema adalah lemahnya motif yang mendasari Jamila menghabisi nyawa Nurdin. Ketika sepanjang durasi kita disuguhi protes-protes akan bobroknya system yang ada dan nasib perempuan yang memprihatinkan, tiba-tiba semua dimentahkan oleh alasan sakit hati karena dikhianati kekasih tercinta! Rasanya seperti, berjalan diatas jembatan yang sedang dibangun, tiba-tiba jembatan runtuh karena ada kesalahan pada salah satu tiang penyangganya. BRUK!!!
Gilasinema membayangkan, kalau saja si Nurdin ini merupakan bagian dari pelaku human trafficking dan ada kaitannya dengan hilangnya Halimah (adik Jamila), tentu kisah yang dihadirkan akan lebih tajam konfliknya (ini sekedar imajinasi lho).
Dari segi pemain, Atiqah mampu memberikan penampilan terbaiknya. Dia mampu mengimbangi acting dari Christine Hakim. Adegan dua aktris beda usia tersebut di dapur sangat memikat. Atiqah pada beberapa scene juga cuaaantiiik sekali. Yang sedikit mengherankan, kenapa harus dibutuhkan 2 aktris dalam memerankan Jamila di usia tanggung (remaja). Christine Hakim dengan porsi yang terbatas, terlihat berusaha tampil maksimal. Sayang sekali hubungan antara Jamila dan Surya (Surya Saputra) serta Ibrahim (Dwi Sasono) kurang digarap lebih dalam, hingga penampilan dua actor muda tadi kurang tergali.
Perasaan cinta Ibrahim kepada Jamila porsinya terlalu sedikit hingga kurang meyakinkan. Untungnya Dwi Sasono dan Atiqah menampilkan ekspresi meyakinkan pada adegan perpisahan hingga terasa menyentuh. Poin plus patut diberikan kepada Ria Irawan yang membuat film menjadi lebih cair. Ajie Pangestu? Bisa diganti sih, namun kayaknya ini wujud kompromi Ratna dengan Pak Raam deh.
Satu hal yang menarik dari rilisnya Jamila dan Sang Presiden ini, yakni membuktikan bahwa seni merupakan salah satu media yang ampuh dan efektif dalam menyampaikan gugatan (protes). Hanya saja mungkin harus lebih dipikirkan dalam hal pengolahannya, agar mampu menyajikan sebuah tontonan yang memikat. Kalau audiens sudah terpikat, insya allah pesan yang ingin disampaikan bisa sampai ke sasaran. Kedepan, film semacam ini diharapkan akan selalu diproduksi. 3,25/5

NB: sempat ketar-ketir film ini tidak diputar, karena sampai jam tayang kuota minimal penonton belum terpenuhi (2 orang). Untung akhirnya terkumpul 5 penonton, meski kemudian yang 2 orang keluar ketika film belum genap 1 jam. Penonton Indonesia parah tenan!
 
GILA SINEMA. Design by Pocket