Jumat, 23 Mei 2008

DER FALSCHER ( THE COUNTERFEITERS )

Jumat, 23 Mei 2008 0

“It takes a clever man to make money, it takes a genius to stay alive”

Pada penyelenggaraan Oscar 2008 kemarin banyak yang terkejut ketika film – film unggulan semacam The Diving Bell and The Butterfly serta 4 Months, 3 Weeks, 2 Days tersingkir dari daftar nominasi Film Asing Terbaik. Lebih mengejutkan lagi ketika film Der Falscher (The Counterfeiters) dari Austria garapn sutradara Stefan Ruzowitzky ditasbihkan sebagai Film Asing Terbaik. Hal ini tak ayal menimbulkan penasaran, sebagus apa sih film ini hingga bisa menyisihkan film favorit para kritikus film.

Tidak berbeda dengan film lain yang masuk nominasi di kategori yang sama, Katyn (Polandia), film ini mengambil latar belakang cerita di era kekejaman Nazi. Seperti umumnya film bersetting era Nazi, yang ditonjolkan adalah bagaimana seorang Yahudi mencoba bertahan hidup di tengah bahaya pembantaian.

Diangkat dari memoir yang ditulis oleh Adolf Burger, dikisahkan Solomon (Karl Markovics), seorang pemalsu/peniru (counterfeiter) yang menjadi tumpuan orang – orang yang ingin menyelamatkan diri dari kejaran Nazi, mulai dari pembuatan identitas palsu sampai dengan paspor. Solomon hidup nyaman dengan bergeliman harta berkat keahliannya sebagai seorang pemalsu yang hasil “karyanya” selalu lolos dari pemeriksaan. Kondisi ini membentuk Solomon menjadi pribadi yang sombong lagi menjengkelkan. Naas, pada suatu hari dia berhasil tertangkap tangan oleh tentara Nazi. Dan dimulailah kehidupan yang berbalik 180 derajat di kamp konsentrasi milik Nazi.

Berbeda dengan sekapan yang lain, Solomon digambarkan sebagai sosok yang cerdas, sehingga selalu mencari cara agar tidak “dijemput”. Kehebatannya dalam memalsu, mendapatkan perhatian dari pemimpin kamp konsentrasi, Sturmbannführer Friedrich Herzog (Devid Striesow). Karena keahliannya tadi, dia tidak “dijemput” namun diberdayakan untuk membuat uang palsu demi keuntungan Jerman. Bukan usaha yang mudah, karena nyawa Solomon beserta tawanan yang lain menjadi taruhannya. Sedangkan untuk membuat sebuah tiruan, bukanlah pekerjaan mudah, apalagi di tengah kondisi yang begitu mengancam.

Dengan segala cara, Solomon berusaha membuat uang palsu yang tidak akan terdeteksi demi kelangsungan nyawanya. Masalah timbul, ketika Solomon dihadapkan pada seorang peniru yang lain, yang berprinsip tidak mau bekerja sama dengan Nazi dan merencanakan aksi membebaskan diri demi menyelamatkan keluarganya. Tentu saja hal ini mendapatkan tantangan dari Solomon yang egois dan tidak punya sanak keluarga. Yang diinginkan Solomon adalah bagaimana dia tetap hidup.

Namun setelah melihat kekejaman demi kekejaman yang dilakukan oleh tentara Nazi, dalam sebuah adegan diperlihatkan Solomon dikencingi, nurani Solomon mulai muncuil pertentangan. Belum lagi satu persatu temannya menemui ajal dengan cara yang tragis. Pada saat yang sama, nyawa Solomon terancam karena tak kunjung menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan. Akankah Solomon bertahan dengan cara yang dia pilih, dan bagaimanakah nasib Solomon dan tawanan yang lain? Satu yang pasti, Solomon bisa selamat dari kamp konsentrasi tersebut, mengingat film ini menggunaan alur kilas balik.

Tidak mengherankan mengapa juri Academy Award memilih film ini sebagai yang terbaik. Berbeda dengan film berlatar belakang kekejaman Nazi, tokoh utama dalam film ini digambarkan seorang criminal yang begitu individualis dan mencintai uang. Secara visual, film ini tidaklah terlalu istimewa. Penggambaran kekejaman Nazi banyak hadir di film sebelumnya, begitupun gambaran penderitaan kaum Yahudi. Namun film ini kuat secara tema. Bagaimana kita memanfaatkan kelebihan yang kita miliki untuk membantu nasib orang lain. Dan seperti tagline dari film ini “It takes a clever man to make money, it takes a genius to stay alive” , selama ada otak untuk berfikir, ada harapan untuk bertahan hidup. Kelebihan yang kita miliki akan lebih berguna kalau dilandasi dengan rasa kemanusiaan yang kental, bukannya memanfaatkannya untuk mempersulit hidup orang lain. 3,5 / 5

EARTH



Cara apa yang paling ampuh untuk memberi peringatan kepada orang lain. Sutradara Alastair Fothergill dan Mark Linfield mempunyai cara tersendiri dalam memperingatkan pentingnya menjaga lingkungan lewat film documenter yang mereka tekuni selama 5 tahun berjudul Earth.

Tidak berbeda dengan film documenter sejenis tentang alam, kita disuguhi berbagai keindahan yang ada di muka bumi ini. Para pekerja film ini berhasil menangkap momen – momen terbaik persembahan alam. Film documenter ini lebih enak dinikmati dibandingkan film documenter sejenis dengan cara bertutur yang bak sebuah film cerita. Dengan balutan drama yang lumayan kental, film ini mampu mengikat emosi penonton untuk kemudian hanyut dan mampu tersentak kesadarannya (walau sejenak) lewat pesan yang ingin disampaikan oleh orang – orang yang berada di belakang layar dari film ini.

Ada tiga pemeran utama dalam film ini, yakni beruang kutub, gajah Afrika dan paus humpback. Secara runut dipandu narasi suara dari Patrick Stewart, lewat pergantian musim dalam rentang waktu satu tahun, kita terpaku melihat ketiga jenis binatang tersebut dalam usahanya bertahan hidup di tengah alam yang terus berubah akibat ulah manusia yang serakah.

Bagaimana beruang kutub bertahan hidup dan keberadaannya yang makin terancam karena semakin menipisnya salju di Antartika. Perjuangan beruang kutub memberi makan anak – anaknya yang terasa begitu dramatis dan berakhir tragis membuat hati menangis (walau kemudian lupa dengan kesedihan itu). Paus humpback yang berkelana ribuan mil lautan yang sulit ditebak untuk mencari makanan yang makin sulit didapat karena suhu air laut yang meningkat serta usaha gajah Afrika mencari sumber air ditengah bentangan gurun Kalahari yang kering lagi tandus dan incaran predator lain dihadirkan dengan ketegangan yang cukup memacu jantung.

Disela – sela drama di alam yang makin buas dan tidak bersahabat tersebut, kita digempur dengan rangkaian visual yang indah tiada tara seperti burung yang berada di hutan Papua Nugini yang elok salah satunya (terima kasih Tuhan menciptakan makhluk indah ini). Usaha ketiga binatang yang menjadi sorotan juga digambarkan dengan elegan. Banyak momen dramatis dalam film ini, terutama visualisasi anak kijang yang dikejar oleh serigala yang begitu menegangkan.

Pada akhirnya, sutradara mengajak kita untuk menghargai bumi ini karena didalamnya terdapat berjuta keindahan yang hendaknya kita bagi dengan generasi di masa mendatang. Belum terlambat untuk menciptakan bumi ini sebagai tempat hidup yang lebih layak. Seperi visualisai di akhir film, masih ada harapan jika manusia mau menjaga kelestarian keindahan lingkungan dimana dia tinggal.

Ajakan sutradara tersebut dihadirkan secara halus dan elegan. Tidak sekalipun sutradara menunjuk secara langsung manusia sebagai biang kerusakan yang terjadi. Sutradara seakan sadar, cara tersebut tidak akan efektif dalam membangun kesadaran manusia. Sutradara lewat visual yang dihadirkan seakan – akan mengajak audiens untuk berfikir “Relakah apabila sesuatu yang indah milik kita yang kita cintai hancur begitu saja, apalagi jika kehancuran tersebut sebagai akibat perbuatan kita sendiri?”

Earth mungkin terasa lebih menghentak dari pada An Inconvenient Truth garapan Al Gore yang bagi sebagian orang terlalu ilmiah. Terima kasih yang tak terhingga patut dialamatkan kepada orang – orang yang terlibat di balik pembuatan film Earth ini. Karena berkat ketekunan serta kerja keras mereka, film ini mampu dilahirkan. Keberhasilan mereka menangkap momen – momen indah dan dramatis patut diacungi jempol. Rasa – rasanya usaha mereka selama lima tahun dengan budjet mencapai $ 40 juta (terbesar untuk sebuah film documenter) terbayar dengan hasil akhir dari film yang melibatkan 45 orang kameraman yang bekerja dengan kesabaran selama 2.000 hari di lapangan dengan 204 lokasi di 62 negara ini.

Film ini sangat direkomendasikan di tengah gencarnya seruan menjaga lingkungan. Dan juga film ini patut untuk dikoleksi. Siapa tahu menjadi tontonan yang berharga kedepannya bagi anak cucu kita, ketika kemungkinan terburuk dari pemanasan global menimpa bumi tempat kita berjuang hidup, namun kurang mendapatkan balasan cinta dari manusia. 4/5

URI SAENGAE CHOEGO-UI SUNGAN (FOREVER THE MOMENT)


Pada Olimpiade Yunani tahun 2004, tim bola tangan (hand ball) perempuan Korea Selatan ikut berlaga. Dengan perjuangan keras tim Korea Selatan yang dianggap underdog berhasil melibas lawan – lawannya dan bertemu tim kuat Denmark di laga pamungkas. Pertarungan berlangsung ketat dan menegangkan. Sampai peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi, kedua tim memperoleh hasil yang sama. Hingga waktu perpanjangan berakhir, kedua tim masih sama kuat. Pada akhirnya medali emas ditentukan lewat adu pinalti yang dramatis. Apapun hasilnya, tim bola tangan Korea Selatan pada waktu langsung menjadi tim favorit di negaranya.

Berangkat dari peristiwa tersebut, sutradara Lim Soon-rye mengangkat jatuh bangun tim hand ball perempuan Korea selatan ke layar perak bertajuk Forever the Moment. Bermodal naskah tulisan Na Hyeon, Sutradara lebih menitik beratkan apa yang terjadi di balik keberhasilan tim tersebut, mulai dari membangun semangat dan kebersamaan, sampai pemilihan pemain dan pelatih. Dan tentu saja, untuk menghasilkan tontonan yang memikat, dimasukkan unsure drama lewat beberapa konflik yang menghampiri para pemain, baik konflik personal maupun konflik antar anggota dan juga dengan pelatih.

Kim Hye-kyeong (Kim Jung-eun) memutuskan berhenti melatih tim bola tangan di Jepang untuk pulang ke Korea Selatan, padahal karier pelatihannya sangat sukses di Jepang. Tiba di negaranya dia ditawari untuk melatih tim nasional yang ditinggalkan oleh pelatihnya. Tawaran tersebut segera diterimanya, dan ketika mendapati kualitas anak asuhnya, dia memutuskan untuk memanggil teman – teman lamanya dulu ketika bermain di tim nasional, termasuk pemain terbaik di jamannya dan tetap yang terbaik, Han Mi-sook (Moon So-ri). Bukan perkara yang mudah, mengingat Han Mi-sook disibukkan dengan permasalahan keluarga. Dengan bujukan uang akhirnya Han Mi-sook bersedia bergabung.

Konflik dalam tim muncul ketika Kim Hye-kyeong bersifat keras dan disiplin terhadap anggota tim. Hal ini menyebabkan ketidak cocokkan antara pemain dan tim. Melihat hal ini petinggi olahraga Korea Selatan segera menunjuk pelatih baru, Ahn Seung-pil (Uhm Tae-woong) mantan anggota tim bola tangan pria. Dengan pendekatan modern dan bergaya Eropa, Ahn Seung-pil berusaha mengeggenjot kemampuan para anggota tim. Anggota tim yang belum terbiasa dengan sistem pelatihan tersebut merasa kesulitan dan makin membuat mereka frustasi.

Kondisi ini membuat Ahn Seung-pil pusing tujuh keliling, dan makin diperparah dengan kekalahan tim asuhannya ketika melakukan uji coba dengan tim bola tangan laki – laki dari sebuah universitas. Akhirnya dia membujuk Kim Hye-kyeong yang sebelumnya mengundurkan diri untuk ikut bergabung dalam timnya. Dengan terpaksa, Kim Hye-kyeong mau bergabung. Yang namanya mengasuh tim perempuan tentunya berbeda dengan mengasuh tim laki – laki. Melalui proses, Ahn Seung-pil yang sebelumnya terkesan menjaga jarak, mulai melakukan pendekatan personal dengan para anggota tim untuk lebih membangun kepercayaan dalam tim tersebut.

Selain beberapa konflik tersebut, penulis cerita juga menyelipkan beberapa kritik terutama terhadap perhatian pemerintah kepada nasib para atlet yang telah pensiun. Perhatian pemerintah terhadap mereka yang sebelumnya berjuang mengharumkan nama bangsa dirasakan amat kurang. Lewat tokoh Han Mi-sook dapat dilihat betapa tragisnya para atlet yang sudah tidak dipakai lagi. Satu hal lagi permasalahan yang coba diangkat oleh sutradara adalah masalah regenerasi pemain yang tersendat.

Secara keseluruhan, film ini tidaklah terlalu istimewa. Garis ceritanya mirip dengan kebanyakan film olah raga, bahkan beberapa bagian dalam mengingatkan kita pada film A League of Their Own. Namun entah mengapa, menyaksikan film olah raga terasa begitu berharga. Menyenangkan melihat hasil akhir yang diraih oleh para tokoh – tokohnya. Tidak selalu menang, namun mereka pasti mendapatkan sesuatu yang berharga. paling tidak semangat mereka bisa menjadi inspirasi bagi yang melihatnya.

Dibandingkan film sejenis, sebenarnya film ini tidaklah terlalu menggetarkan. Permainan final yang seharusnya dikemas lebih menegangkan dan lebih greget, tidak nampak di layar. Adegan ini kurang dikemas dengan baik oleh sutradara. Film ini mendapatkan sambutan yang sangat baik di Korea selatan, dengan hasil akhir yang mencapai 9 kali budget yang dikucurkan. Bukti film olahraga yang dibalut rasa nasionalisme bisa dijual asal dikemas dengan baik. Indonesia harusnya bisa membuat film seperti ini mengingat tidak sedikit tokoh / tim olahraga yang hebat. Masalahnya tinggal kemauan dan semangat para pemilik modal. 3,25/5

BEE SEASON




Eliza (Flora Cross) seorang anak yang pendiam dan digambarkan kurang menonjol. Sejak awal dia digambarkan sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dan apa yang dia inginkan. Dalam keluargapun begitu. Ayahnya, Saul (Richard Gere), lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada anak laki – lakinya, Aaron (Max Minghella). Sedangkan Miriam (Juliette Binoche) seakan hidup dalam dunianya sendiri.

Hidup Eliza berubah drastic ketika Eliza memenangkan sebuah kejuaraan mengeja (spelling contest). Ayahnya akhirnya menyadari anak gadisnya mempunyai sesuatu. Dengan maksud “membentuk” Eliza yang lebih baik, karena Eliza berhak masuk ke kekejuaraan yang lebih besar, Saul mulai memberikan perhatian penuh kepada Eliza. Saul mulai mengajari bagaimana memahami kata. Selain itu, dia juga berusaha mengajarkan apa yang menjadi kepercayaannya kepada anaknya yang baru berusia 11 tahun.

Di saat Saul dan Eliza asyik dengan huruf dan kata, timbul sedikit kecemburuan dalam diri Aaron, karena Saul yang biasanya memberi atensi lebih kepadanya sekarang waktunya tercurah untuk Eliza. Seakan kehilangan pegangan, dia mulai mencari apa yang hilang di luar rumah. Hingga dia bertemu dengan seorang gadis, Chali (Kate Bosworth) yang membuka matanya ada banyak pilihan di dunia.

Sedangkan Miriam digambarkan makin terasing dan gelisah. Ada yang dia takutkan ketika melihat perkembangan anak gadisnya di bawah arahan Saul. Namun dia tidak dapat berbuat apa – apa, mengingat begitu dominannya Saul. Keluarga yang terkesan harmonis ini perlahan – lahan mulai mengalami keretakan dan bisa hancur kapan saja. Puncaknya adalah ketika Saul mengetahui kegiatan luar rumah yang dilakukan oleh Aaron yang membuatnya marah besar. Pada saat yang sama, Miriam melakukan sebuah perbuatan yang menyebabkan dirinya dimasukkan ke sebuah panti rehabilitasi.

Eliza yang mengamati perkembangan keluarganya, timbul rasa bersalah dalam dirinya. Dia menganggap apa yang terjadi merupakan akibat dari keberhasilannya dalam kejuaraan mengeja. Apakah Eliza akan tetap maju ke kejuaraan nasional dan memenangkannya? Apa sebenarnya yang menimpa Miriam? Dan bagaimana Saul menyikapi kondisi keluarganya? Akankah keluarga tersebut bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dan bersatu kembali? Semuanya diurai dan disajikan secara perlahan oleh sutradara Scott McGehee dan David Siegel. Penonton harus sabar menikmati film ini hingga ke detik terakhir.

Untuk sebuah film keluarga, secara mengejutkan film ini hadir dengan muatan yang sangat berat untuk diikuti dan dinikmati. Butuh perhatian penuh untuk bisa memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Film yang diangkat dari novel karangan Myla Goldberg ini hadir dengan muatan filsafat yang lumayan kental. Pertanyaan essential tentang hidup dan kebahagiaan banyak dihadirkan dalam film ini.

Semuanya dikaitkan dengan usaha Eliza dalam kejuaraan mengeja. Kita diajak untuk memahami apa rahasia di balik sebuah kata yang tersusun dari beberapa huruf. Dan betapa dahsyatnya efek dari sebuah kata. Butuh kekuatan untuk mencerna kata yang kita baca. Karenanya butuh kebijakan dalam menyikapinya, sama seperti ketika kita menyikapi kehidupan. Dan semuanya dilalui melalui sebuah proses, tidak bisa dipaksakan.

Mungkin inilah yang ingin disampaikan oleh penulis naskah film ini. Biarkan semuanya mengalir melewati sebuah proses. Tidak bisa dipaksakan. Dalam film ini Eliza digambarkan paling berhasil melewati proses ini. Tidak Saul yang pandai bermain kata dengan refernsi yang luas. Dia hanya sekedar tahu, namun kesulitan dalam implementasinya. Sesuatu yang banyak menimpa kita manusia kebanyakan.

Kita bisa belajar dari Eliza. Memahami hidup bisa diibaratkan dengan pengejaan yang dilakukan oleh Eliza. Pertama tama dia mengucapkan kata, diam sejenak sambil menutup mata, lalu dengan perlahan dan penghayatan dia mengurai kata tersebut menjadi rangkaian huruf untuk kemudian dia rangkai huruf – huruf tadi menjadi kata yang utuh kembali. Seperti menyusun sebuah puzzle. Dan sekali lagi, jangan lupakan proses. Seperti yang tergambar di awal film ini, ketika sebuah huruf terombang – ambing di udara, pada akhirnya akan menemukan tempat yang tepat untuknya. Begitulah hidup.

Sebuah film yang patut ditonton (dengan kesabaran). Meskipun demikian, rasa – rasanya membaca novelnya akan lebih bisa menikmati dan lebih memahami isi ceritanya. Menarik memperhatikan pemilihan pemain. Wajah – wajah mereka begitu mirip dan pas sebagai sebuah keluarga. Permainan mereka tidak istimewa, namun terasa pas. Salute untuk divisi casting. 3/5

Senin, 12 Mei 2008

I'M NOT THERE

Senin, 12 Mei 2008 3

Sutradara Todd Haynes rupanya akrab dengan musik. Setelah menuai banyak pujian lewat Velvet Goldmine yang mengangkat kejayaan musik glam rock, kini dia menghadirkan I’m Not There. I’m Not There hadir sebagai sebuah tribute untuk Bob Dylan. Film ini berpatokan dari lagu – lagu karya Bob Dylan serta hal – hal yang berperan dalam kehidupan Bob Dylan. Salah satu persamaan kedua film ini adalah, kalau dalam Velvet Goldmine, Ewan McGregor berkesempatan show off his dick secara frontal, giliran Heath Ledger mempertontonkan “barangnya” sekilas di I’m Not There.

Pendekatannya hampir mirip dengan Across The Universe, hanya saja I’m Not There mencoba “membaca” Bob Dylan lewat 6 karakter yang dihadirkan : Jack Rollins (Christian Bale), Woody Guthrie (Marcus Carl Franklin), Jude Quinn (Cate Blanchett), Robbie Clark (Heath Ledger), Billy the Kid (Richard Gere) dan Arthur Rimbaud (Ben Whishaw). Keenam karakter tersebut dimaksudkan oleh Todd Haynes dan Oren Moverman sebagai penulis cerita untuk menggambarkan kisah perjalanan hidup serta proses kreatif dari Bob Dylan. Kalau diperhatikan, keenam karakter yang dihadirkan mempunyai kesamaan, yakni jiwa mereka selalu gelisah dan seorang tukang protes. Akibatnya mereka seakan hidup di luar lingkaran, karena selalu berbeda dalam berpikir dan bertindak.

Robbie Clark hadir untuk menggambarkan sisi selebritis dan kehidupan rumah tangga, sedang penggambaran proses kreatif dan penerimaan public hadir lewat sosok Jude Quinn. Billy the Kid dan Woody Guthrie merupakan sosok yang menginspirasi Bob Dylan. Begitupun dengan Arthur Rimbaud. Sedang Jack Rollins dihadirkan untuk menggambarkan proses pendewasaan, terutama dari segi religi.

Terus terang film I’m Not There merupakan sebuah film yang sukar untuk diikuti dan dinikmati. Selain gaya bertutur yang tidak linear, butuh modal referensi, khususnya hal – hal yang berkaitan dengan Bob Dylan untuk dapat masuk ke dalam cerita yang dihadirkan. Penonton tanpa referensi apapun akan kesulitan menerima film ini. Kita akan lebih bisa merasuk dengan nyawa cerita kalau kita berbekal pengetahuan siapa itu Woody Guthrie, Billy the Kid ataupun Arthur Rimbaud, karena nama – nama ini memang pernah ada dan berpengaruh terhadap pemikiran dan karya dari Bob Dylan.

Untungnya kita disuguhi oleh pameran acting yang memikat dari para actor maupun aktris yang terlibat dalam film ini. Penampilan Cate Blanchett, tanpa bermaksud mengecilkan pencapaian pemain yang lain, terlihat paling menonjol dan membekas di hati penonton. Dengan bahasa tubuh yang kuat, hilang sudah sosok Cate Blanchett. Dia seakan – akan melebur dengan karakter yang dia perankan, apalagi ditunjang dengan suara beratnya. Rambut yang acak – acakan semakin memunculkan sosok Bob Dylan dalam dirinya. Sebuah acting yang brillian. Kehadiran Julianne Moore dan Michelle Williams tidak asal numpang lewat. Jangan lewatkan penampilan dari Charlotte Gainsbourg yang mampu mencuri perhatian.

Berbeda dengan kisah biograpi lainnya yang menggunkan cara bertutur konvensional (alur maju mundur), film ini mampu menghadirkan sebuah tontonan yang istimewa berkat cara bertuturnya yang tidak lazim. Sedikit membingungkan, namun sayang buat untuk dilewatkan. Namun sekali lagi, bekali dirimu dengan pengetahuan yang cukup. 3,5/5

ST. TRINIAN'S


St. Trinian’s ini diangkat dari komik karya Ronald Searle yang pertama kali terbit pada tahun 1948 dan telah difilmkan sebanyak tujuh kali. Kisahnya seputar sekolah cewek berasrama. Jangan bandingkan dengan gambaran sekolah di buku – buku karya Enid Blyton yang banyak mengandung pesan moral. Bisa dibilang sekolah yang digambarkan dalam St. Trinian’s bagai sebuah anti tesis. Komiknya termasuk sadis dan kasar, apalagi para pelakunya para cewek. Didalamnya, kreator tak segan menggambarkan cewek yang terbunuh, berjudi, mabuk dan merokok.

Entah alasan apa yang menyebabkan Carnaby (Rupert Everett), ayah Annabelle (Talulah Riley), hingga memasukkan anak gadisnya ke St. Trinian. Yang dia ketahui, ayahnya sudah kenal dan akrab dengan kepala sekolah tersebut, Miss Camillia (Rupert Everett juga). Sejak awal Annabelle menolak keinginan ayahnya. Hal tersebut makin menguat ketika dia sampai di sekolah tersebut.

Annabelle yang santun lagi “bersih” dihadapkan pada rekan sekolah yang aneh bin ajaib. Belum lagi para pengajar yang eksentrik. Sulit bagi Annabelle untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut mengingat sekolah sebelumnya yang berbeda 180 derajat. Sampai pada suatu hari, datang rombongan dari sekolah Cheltenham Ladies College yang menantang bertanding hockey. Pertandingan tersebut disponsori oleh Menteri Pendidikan untuk membuktikan rumor yang beredar tentang betapa “seramnya” St. Trinian. Ternyata Menteri Pendidikan, Geoffrey (Colin Firth) mempunyai keterkaitan dengan Miss Camillia di masa lalu. Dan secara kebetulan putri Geoffrey, Verity (Lucy Punch), merupakan musuh bebuyutan dari Annabelle di sekolah sebelumnya. Pertandingan tersebut akhirnya dimenangkan oleh St. Trinian lewat pertandingan yang brutal dan tanpa mengindahkan nilai – nilai sportivitas.

Namun muncul masalah baru, karena ternyata St. Trinian diambang kebangkrutan yang mengancam kelangsungan sekolah tersebut. Maka dipersiapkanlah rencana untuk mengatasi masalah tersebut, yakni mencuri lukisan kondang karya Vermeer yang dipajang di Galeri Nasional, Girl With A Pearl Earring! Lagi - lagi sebuah kebetulan dihadirkan. Final lomba cerdas cermat antar sekolah rencananya akan diselenggarakan di galeri tersebut. Maka dimulailah dua misi anak – anak St. Trinians. Bagaimana mereka dapat menembus final dengan pola pengajaran yang di luar sekolah normal, serta bagaimana mereka menembus pengamanan lukisan Girl With A Pearl Earring yang ketat.

Menyikapi film ini tidak perlu serius – serius amat, karena sutradara Oliver Parker dan Barnaby Thompson mengemas film ini murni sebagai hiburan. Dan film ini memang sangat menarik. Selain karakter – karakter yang unik, film ini juga menampilkan adegan – adegan yang lumayan lucu. Adegan ketika pak menteri terperangkap di kamar cewek atau adegan melakukan inspeksi mendadak ke St. Trinian dengan membawa pers mampu memunculkan tawa penonton.

Apa yang dihadirkan di St. Trinian’s tak ubahnya seperti sebuah anti tesis pola pendidikan konvensional yang mengharuskan para murid menjadi pandai lewat kurikulum yang ditawarkan. Di St. Trinian, para muridnya bebas berkembang menurut minat dan bakat mereka, meski ujung – ujungnya menjadi kriminal sekalipun. Sebuah pendekatan yang munkin tidak akan bisa diterima oleh kaum konservatif. Kabarnya sekolah seperti ini menag ada di Inggris sana, namun tidak sebrutal yang ditampilkan dalam kisah St. Trinian ini.

Film ini sangat pop, karena didalamnya digambarkan kehidupan remaja cewek jaman sekarang berikut atributnya, seperti pemanfaatan You Tube dalam sebuah adegan. Belum lagi kostum dan make – up para gang St. Trinian yang semau gue namun tetap terlihat menarik. Film ini juga memasukkan referensi film – film kondang yang mempengaruhi pola pikir beberapa karakter cewek yang ada. Tak ketinggalan dimasukkannya hal – hal yang berkaitan dengan karya sastra kondang dari Inggris, Pride and Prejudice. Pengambaran Miss Camillia pun diidentikkan dengan Camillia Parker Bowles. Intinya, film ini British banget.

Secara keseluruhan, film ini enak buat dinikmati, terutama ketika pikiran sedang penat. Abaikan eksekusi cerita yang too easy to be true. Penampilan para ceweknya yang lumayan belum dikenal, mampu menghadirkan kesegaran tersendiri, terutama si Talulah Riley yang sekilas seperti Angelina Jolie versi belia. Film yang rencananya akan dibuatkan sekuelnya ini sangat cewek banget, karenanya sangat direkomendasikan buat para cewek, terutama bagi mereka yang berjiwa pemberontak. Belum lagi kehadiran lagu – lagu asyik dari Lily Allen, Sugababes maupun Girls Aloud. Sekedar saran, jangan campurkan apel segar dengan apel busuk. 2,75/5

CHARLIE WILSON’S WAR


Tidak semua orang menyukai hal berbau politik. Politik bagi sebagian orang besar terlalu sulit dipahami dan banyak praktek kotor di belakangnya. Padahal tanpa disadarai, setiap hari kita berpolitik, karena politik selalu identik dengan pencapaian sebuah tujuan. Sama halnya dengan film yang mengangkat dunia politik. Jarang (hampir tidak ada) film bertema politik berhasil merajai box office, karena gaya bertuturnya yang cenderung berat dan membosankan, meskipun banyak festival film yang menyukai film bertema politik.

Pun demikian, film bertema politik selalu dibuat dan wajib dibuat. Untuk lebih bisa diterima public, biasanya sineas yang menggarap film bertema politik mengambil pendekatan komedi, yang ujung – ujungnya lebih ke satire dengan berbagai sindiran sepanjang durasi film, terutama dalam menyoroti perilaku para actor – aktornya. Masih ingat Wag the Dog yang begitu pedas atau Primary Colors yang mengupas habis kebusukan sosok politikus?

Meskipun dikemas dengan pendekatan komedi, tetap saja dibutuhkan referensi yang cukup agar kita bisa masuk ke dalam cerita yang dihadirkan. Menyaksikan Charlie Wilson’s War yang dikemas secara ringan, masih tetap saja membuat kening berkerut. Film ini berkisah seputar usaha anggota konggres, Charlie Wilson, dalam usahanya membantu pejuan Mujahidin di Afghanistan dalam mengusir cengkeraman komunis (pada saat itu Uni Soviet). Dibantu oleh Joanne Herring (Julia Roberts), seorang wanita kaya, dan juga agen CIA, Gust Avrakotos (Phillip Seymour Hoffman), ketiganya bahu – membahu meng-golkan rencana mereka.

Bukan usaha yang mudah, mengingat Charlie seorang Yahudi, sehingga memunculkan kecurigaan dari pihak yang ingin dibantunya. Belum lagi keberadaan Afghanistan yang waktu itu dianggap kurang penting bagi kepentingan politik luar negeri AS, sehingga pemerintah AS terkesan enggan mengucurkan dana. Usaha mereka semakin sulit, karena pada saat bersamaan Charlie tersandung masalah pelecehan seksual.

Yang membuat menarik dari film ini adalah karakter dari ketiga tokoh utama film ini. Charli Wilson yang digambarkan flamboyant dan sangat suka wanita segar, namun juga seorang yang cerdas dan tukang lobi ulung. Gust yang agen CIA meski cerdas digambarkan licik dan semau gue.Sedang Joanne adalah seorang wanita yang kuat dengan koneksi super luas. Interaksi ketiganya menghadirkan tontonan yang unik, terutama ketika Gust mulai bergabung dan awalnya tidak disukai oleh Charlie dan Joanne.

Karakter – karakter yang kuat dan unik ini untungnya diperankan oleh actor dan aktris berkelas. Entah bagaimana nasib film ini kalau tidak didukung oleh mereka. Ketiganya pernah membawa pulang piala Oscar. Tom Hanks meskipun tidak mengejutkan, mampu tampil konstan dan menghibur. Dan rasanya baru kali ini dia mempertontonkan ketelanjangannya. Phillip Seymour Hoffman sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai actor watak. Sedang Julia Roberts, meski tidak istimewa, kehadirannya selalu membawa kesegaran tersendiri. Penampilan Amy Adams walau hanya sebagai pendamping, namun tetap penting.

Selain kehadiran actor dan aktris kelas Oscar, sebenarnya kekuatan utama dari film ini ada pada naskahnya. Meski bermuatan berat, film ini lumayan enak dinikmati. Sutradara mengarahkan film ini dengan alur yang cepat. Konsekuensinya, butuh konsentrasi lebih dalam menikmati film ini. Yang namanya film politik, banyak dialog – dialog panjang antar tokohnya. Entah penonton yang kurang pintar, atau naskahnya yang terlalu cerdas hingga pada beberapa bagian, penonton akan merasa kurang terhubung karena kurang paham dengan yang diperbincangkan.

Kekuatan film ini juga hadir lewat naskah yang menghadirkan kelucuan pada beberapa bagian. Kehadiran para “baladewa” Charlie yang kesemuanya perempuan segar dan cerdas serta naïf berhasil memancing senyum atau seperti ketika Charlie berdialog dengan PM Pakistan. Lucu sekaligus menohok (AS). Film ini dibuat memang untuk menyindir beberapa kebijakan politik luar negeri AS yang kadang kurang bertanggung jawab, seperti penyerbuan di Irak. Banyak sekali sindiran – sindiran yang dihadirkan dalam film ini terhadap Pemerintah AS. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika kita sudah berhasil melaksanakan sebuah politik tertentu lantas selesai sudah tugas kita? Inilah yang harus dijawab, terutama oleh Pemerintah AS yang sering kali menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain yang lebih serius. 3,25/5

THE GREAT DEBATERS


Film yang berkisah tentang orang kulit hitam cenderung meneriakkan kepedihan mereka akan diskriminasi yang mereka terima dan perjuangan mereka akan kesetaraan hak. Entah sudah berapa banyak film yang mengangkat tema seperti ini. Bagi penonton yang sudah bosan dengan kisah persamaan hak kaum kulit hitam, film ini mungkin akan dilewatkan begitu saja. Namun, pada kenyataannya film yang disutradarai oleh Denzel Washington ini adalah sebuah tontonan yang enak dan mulus untuk dinikmati, meski kita disuguhi adegan orang debat yang lumayan menyita durasi. Ya iyalah, judulnya saja The Great Debaters.

Wiley College merupakan salah satu sekolah kulit hitam yang lumayan bermutu dan tentu saja muridnya semua berkulit hitam. Sekolah ini atas usaha Melvin B. Tolson (Denzel Washington) bertekad membentuk tim debat yang kuat. Dari beberapa murid yang berminat, akhirnya dipilihlah 4 orang siswa : Henry Lowe (Nate Parker), James Farmer, Jr (Denzel Whitaker?), Samantha (Jurnee Smollett) serta Hamilton (Jermaine Williams).

Selanjutnya mereka berempat digodok oleh Tolson untuk menjadi tim debat yang kuat. Tak ketinggalan, Samanta yang satu – satunya cewek memunculkan percikan cinta dari anggota yang lain. Henry yang terbiasa hidup hidup dengan caranya sendiri, cenderung tidak menerima mentah dengan apa yang digariskan oleh Tolson. Sedangkan James, meski tidak bisa dipungkiri kecerdasannya, dengan usia yang masih 14 tahun mendapatkan porsi yang lumayan banyak dalam hal pengembangan karakter. Hubungannya yang kurang hangat dengan James Farmer, Sr (Forest Whitaker) menjadi modal penting di kemudian hari. Selain itu, pandangannya yang naïf dihadapkan dengan kenyataan yang menyesakkan yang menuntut kedewasaannya dalam menyikapi.

Dimulailah pertualangan tim debat Wiley Collage. Menyaksikan pertandingan yang mereka alami tak ubahnya menyaksikan sebuah film olahraga (sport movie). Disinilah kapasitas Denzel Washington sebagai sutradara diuji. Bagaimanan dia menghadirkan adegan perdebatan yang memikat dan lumayan menghadirkan ketegangan tersendiri. Perdebatan sendiri yang kadang terasa menjemukan untuk diikuti, namun lewat film ini perdebatan menjadi sebuah tontonan yang menarik. Belum lagi tema perdebatan yang dipilih sedemikian rupa. Untungnya Denzel Washington bermodalkan naskah yang rapat garapan Robert Eisele.

Seperti umumnya film perjuangan kaum kulit hitam, berbagai halangan menghampiri tim debat tadi. Keterlibatan Tolson dalam gerakan pekerja dan petani mendapatkan sorotan dari berbagai pihak yang kurang suka terhadap eksistensi kaum kulit hitam. Akibat persoalan ini, salah satu anggota tim debat memutuskan anggota keluar. Belum lagi konflik antar anggota tim debat yang mengancam kelangsungan tim itu sendiri. Halangan terberat mereka temui ketika dalam perjalanan mereka dihadang oleh sekelompok orang yang membakar orang kulit hitam tanpa alasan yang jelas.

Setelah semua tim debat dari sekolah kulit hitam berhasil mereka tundukkan, Tolson berusaha melawan tim debat dari tim kulit putih. Sebuah ide gila yang membuat gamang para anggota, namun pada akhirnya mereka menerima tantangan tersebut meski kini tinggal bertiga. Dan akhirnya datanglah tawaran untuk beradu debat dari Universitas Harvard yang kondang. Dari sini penonton disuguhi rangkaian adegan dengan tensi yang lumayan tinggi, karena Tolson mengambil sikap untuk tidak mendampingi anak asuhnya.

Meski penonton sudah mengetahui hasil akhirnya, namun pertarungan dua tim debat hebat tadi mampu hadir dengan menarik dengan tema yang sangat cocok dengan perjuangan kaum kulit hitam. Pada akhirnya kata – kata akan terasa lebih “tajam” dibandingkan dengan senjata sebagai alat perjuangan. Apalagi sebelumnya penonton disuguhi beberapa adegan yang mendukung kemenangan tim debat dari Wiley Collage. Kemenangan Wiley Collage terasa dibuat sedramatis mungkin, karena yang bertarung selain berkulit hitam juga karena yang satu berjenis kelamin perempuan dan satunya lagi pemuda berusia 14 tahun!

Kekuatan film ini memang terdapat pada naskahnya. Tidak mengherankan mengingat Oprah Winfrey berperan cukup besar di belakang layar. Penulis cerita cukup cerdik menyusun adegan demi adegan yang menggiring pemikiran penontonj. Begitupun dalam pemilihan tema debat. Namun bukan berarti tidak terdapat lubang dalam naskahnya. Tokoh Samantha kurang mendapatakan porsi yang cukup. Dia tiba – tiba hadir di Wiley Collage tanpa penjelasan yang cukup tentang latar belakangnya. Dari segi acting, tampak Denzel Washington dan Forest Whitaker memberi kesempatan kepada para bintang muda untuk unjuk gigi. Penampilan kedua bintang peraih Oscar ini tidak istimewa namun terasa pas. Nate Parker, Denzel Whitaker dan Jurnee Smollett bisa menjadi penerus mereka kedepannya.

Secara visual, film ini juga tidaklah terlalu istimewa, namun dalam beberapa adegan, Denzel Washington cukup piawai mengolah adegan dengan bahasa gambar yang tepat. Hasil akhir The Great Debaters setingkat lebih baik dibandingkan karya Denzel sebelumnya, Antwone Fisher. 3,5/5

Senin, 05 Mei 2008

THERE WILL BE BLOOD

Senin, 05 Mei 2008 1

Film There Will Be Blood menjadi actual di tengah kondisi meroketnya harga minyak. Lewat film yang diangkat dari novel OIL! karya Upton Sinclair ini kita diajak betapa berpengaruhnya minyak terhadap kehidupan manusia, terutama dalam hidup tokoh utama dari film ini, Daniel Plainview (Daniel Day-Lewis). Dari nobody yang tidak punya apa, berkat kerja keras yang tiada henti serta otak cerdasnya menjadi somebody yang menguasai sumber daya, baik sumber daya alam, modal maupun sumber daya manusia.

Dikisahkan Daniel memulai kejayaannya dari penggali batu bara dengan alat yang sederhana serta standar keselamatan yang rendah. Hidupnya mulai berubah ketika dia menemukan lading minyak yang cukup besar. Pada saat yang sama dia mendapatkan “anugerah” seorang anak, H.W. Plainview (Dillon Freasier).

Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bernama Paul Sunday (Paul Dano) yang memberitahukan ada tambang minyak di lahan ayahnya. Tanpa membuang waktu, Daniel segera melakukan negosiasi untuk menguasai lahan tersebut. Di tempat yang dituju Daniel bertemu dengan Eli Sunday (Paul Dano), saudara kembar dari Eli dan seorang pemimpin spiritual (pendeta). Sejak saat itu langkah Daniel menjadi tak terkendali dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan dan mempertahankan apa yang paling dicintainya di dunia ini: MINYAK!

Pertemuan antara Daniel dengan Eli menghadirkan sebuah hubungan yang sangat kontradiktif. Daniel yang dengan suara berat dan karakter yang sangat materialistis dihadapkan pada sosok Eli yang terkesan menafikkan kehidupan duniawi serta intonasi suara yang terkesan lemah, namun sangat bertenaga ketika melakukan khotbah. Tidak bisa dielakkan timbul gesekan ketika kedua karakter ini bertemu. Pertarungan klasik antara baik dan buruk selanjutnya menjadi suguhan utama cerita. Hingga pada akhir cerita kedua sisi tersebut terlibat dalam pertarungan yang brutal untuk menentukan pemenang

Tanpa bermaksud meminggirkan tokoh – tokoh lain yang ada dalam film ini, sosok Daniel dalam film ini terlihat begitu menonjol. Hal ini makin diperkuat dengan totalitas acting dari Daniel Day-Lewis yang tidak perlu diragukan lagi. Karakternya mengingatkan kita pada Hannibal Lecter di Silence of the Lambs, dingin dan kejam. Hanya saja Daniel dalam film ini tidak memangsa daging manusia. Kehadiran si kecil H.W. Plainview sedikit mampu meredam kekejaman Daniel, meskipun pada kenyataannya H.W. Plainview hanya dijadikan alat oleh Daniel untuk mencapai apa yang diinginkannya. Tak ada yang lebih penting dari minyak dalam hidup Daniel. Tak heran dia sulit menjadikan dirinya untuk percaya pada orang lain, yang membuat dirinya menjadi sosok yang kesepian.

Penulis cerita seakan ingin menunjukkan kepada kita contoh betapa minyak mampu merubah manusia menjadi sosok iblis yang kejam. Ketika minyak sudah merasuk di hati manusia, maka akan sulit untuk dibersihkan, bahkan oleh air yang sejuk sekalipun. Namun orang seperti itu adalah orang yang cacat sebenarnya. yang digambarkan dengan kepincangan yang dialami Daniel di awal karirnya. Cacat yang dialami oleh H.W. Plainview akibat sebuah kecelakaan merupakan sebuah hukuman sekaligus sindiran terhadap Daniel, karena pada kenyataannya H.W. Plainview lebih bisa mendengar dengan hati yang lebih bersih. Tidak seperti Daniel yang hidup dalam kubangan Lumpur dan minyak.

Ada satu hal yang menarik dalam film ini, yakni minimnya sosok perempuan yang berperan penting dalam film ini, bahkan hampir tidak ada. Perempuan digambarkan selintas lalu. Bahkan tidak tergambar di layar interaksi Daniel dengan perempuan. Sebuah hal yang sengaja dihadirkan untuk menunjukkan bahwa dunia minyak bukanlah dunia perempuan. Dan faktanya memang demikian. Dunia minyak terlalu keras untuk dijalani oleh perempuan.

Kekuatan film ini selain terletak pada kekuatan acting dari Daniel Day-Lewis, juga ada pada sinematografinya yang kuat. Sutradara Paul Thomas Anderson, memang termasuk jago dalam mengolah adegan dengan menghadirkan gambar – gambar sarat makna. Sutradara dalam film ini banyak menampilkan gambar – gambar yang selain indah seklaigus menarik minat penonton untuk menganalisa gambar yang dihadirkan.

Film ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan No Country For Old Men secara tema. Kedua film ini menampilkan manusia –manusia yang hidup di jaman yang menjunjung tinggi materialisme, menghadirkan kekejaman dan akhir yang tragis. Pada kenyataannya kedua film tersebut syuting pada lokasi yang berdekatan. Penilaian secara pribadi, film There Will Be Blood hadir lebih kuat dan actual dibandingkan No Country for Old Men.4,5/5


English


THERE WILL BE BLOOD

Film There Will Be Blood is become actual in the middle of the oil price that higher and higher. Based the novel OIL from Upton Sinclair we are about to see how oil is very influenced to the human live, escpecially to the main character in this film, Daniel Plainview (Daniel Day-Lewis). From zero to hero because of his hard work and his smart brain. He is able to take control of nature resources, human resources and capital resources.


Daniel start his glory from the coal digger with the simple equiptment and ofcourse with minimum safety. His live is begin to change when he found wide spread oil field. At the same time he get a children, H.W. Plainview (Dillon Freasier).


One day there is a young man call Paul Sunday (Paul Dano) who tell that there is a oil field that belong to his father. Without wasting time, Daniel is doing the negotiation to take charge the field. And then he met with Eli Sunday (Paul Dano), the twin brother from Eli and a spiritual leader (a priest). Since that moment Daniel become unstopable and using anything to get and keep something that he love the most : OIL.


The meet between Daniel and Eli is present a contradictif relationship. Daniel with the hard voice and very materialistic face with Eli that take the material live a side and the weaker voice, but very powerfull when he is sermoning. It can not be denied that there is a friction between both of them. The classic fight between good and bad is become the main course of this film. Until the end of the story the both side is involved with the brutal fight to find the winner.


Without try to ignore the other character in this film, Daniel’s character is shown well here. And it’s strenghten by the acting quality from Daniel Day-Lewis. His character is remind us of Hannibal Lecter on Silence of the Lambs, cold and cruel. It’s just Daniel isn’t eat the human flesh. The present of H.W. Plainview is able to reduce the cruelty of Daniel, even as matter a fact H.W. Plainview just become a tool by Daniel to get what he want. There is nothing more important in Daniel’s live except oil. No wonder he is little bit difficult to trust another people, and it makes him a lonely person.


The writer likely want to show to us that oil is able to change person to be come a devil. When oil is entering man’s heart, so it will be so difficult to clean, even by the fresh water. And this kind of person is handicapped in real, that describe with the cripple in the beginning of Daniel’s carreer. H.W. Plainview is handicapped because of the accident is a punishment to Daniel, because in the real world H.W. Plainview is able to hear more with the clean and pure heart. Not like Daniel that live in mud and oil.


There is one thing that interesting in this film, that is less of woman character that role in this film, even almost none. And there is no interaction description between Daniel and woman. A thing that likely want to show that oil’s world is not for woman. And the fact is like it is. The oil’s world is to though to role by woman.


The strenghten of the film is on the acting of Daniel Day-Lewis, also on the cinematography. The director Paul Thomas Anderson, is good to manage the scenes with the picture that full of meaning. There are a lot of beautiful pictures and it’s attract the audience to notice more.


The film is not much different with No Country For Old Men in theme. Both of it is shown the peoples that live in the time with materialism is everything. Present the cruelty with tragic ending. In personal point of view the film There Will Be Blood is much stronger and actual then No Country for Old Men. 4,5/5

NO COUNTRY FOR OLD MEN


Coen Bersaudara selalu menghasilkan film dengan gaya bertutur yang tidak lazim, serta penokohan yang ganjil dan unik, terutama tokoh utama. Film No Country for Old Men sebenarnya tidak berbeda jauh dari karya Coen Bersaudara sebelumnya semacam, Fargo, The Ladykillers, The Big Lebowsky atau O Brother, Where Art Thou. Yang membedakan adalah, bisa dibilang No Country for Old Men merupakan karya yang paling berdarah – darah dari mereka. Namun seperti film – film sebelumnya, film ini tetap menghadirkan sindiran – sindiran terhadap sisi kelam manusia. dan kali ini sindiran itu disampaikan lebih keras, hingga terasa sebagai sebuah tamparan.

Moss (Josh Brolin) pada suatu hari menemukan sekoper uang sejumlah $2 juta. Uang terswebut ternyata adalah uang haram milik bandar narkoba. Tanpa menyadari bahaya yang mengintainya, Moss berusaha mempertahankan harta temuan tersebut. Chigurh (Javier Bardem) diutus oleh sang Bandar untuk mendapatkan kembali uang tersebut. Chigurh adalah sosok pembunuh berdarah dingin yang memilih korbannya berdasarkan mood yang sedang menghampiri. Dia juga menjadi sasaran buruan dari Sherrif Bell (Tommy Lee Jones). Selanjutnya kita diajak untuk mengikuti intrik ketiga tokoh tersebut. Kita seperti dihadapkan pada sebuah kisah di hutan belantara. Ada pihak yang memburu dan ada pihak yang diburu.

Mulai disini kita disuguhi rangkaian adegan yang runut, penuh kejutan dan berdarah – darah, namun mengasyikkan. Perburuan tersebut menjadi menarik berkat karakter para tokohnya yang tidak lazim. Mulai dari Moss yang awalnya digambarkan mahir dan gemar berburu, tiba – tiba dihadapkan sebagai buruan. Chigurh dengan rambut anehnya yang melempar koin sebelum membunuh dengan senjata yang tidak biasa namun menghasilkan luka yang dahsyat, serta Bell yang ogah menarik pelatuk pistol dalam menjalankan aksinya dan selalu satu langkah di belakang pihak yang diburunya.

Kisah pemburu dan buruan mungkin sudah banyak diangkat di layar. Namun No Country for Old Men tetap tampil mengasyikkan. Kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi kepada para tokoh yang hadir di film ini, terutama ketika sudah berhadapan dengan Chigurh. Belum lagi beberapa sindiran yang kadang hadir di tengah – tengah kisah perburuan tadi. Dan jangan lewatkan pengolahan gambar yang dihadirkan. Musik yang minim makin menambah suram tontonan yang satu ini.

Meskipun di layar kita disuguhi adegan kekerasan secara simultan, sebenarnya Coen Bersaudara mencoba untuk menggugat kekerasan itu sendiri. Terkesan ironis memang, mengingat penggambaran eksekusi beberapa tokohnya. Film ini mencoba menyoroti berbagai kekerasan yang terjadi dewasa ini, yang kadang hadir demi alasan yang absurd. Betapa manusia sudah dibutakan oleh hal – hal yang bersifat materi. Betapa nilai – nilai lama (kebijakan dan kebajikan) tidak lagi mempunyai tempat di dunia yang makin keras ini. Adegan dimana Chigurh memberi uang kepada seorang anak remaja rasa – rasanya menjadi salah satu adegan terpenting dan kuat dalam film ini.

Kita juga disuguhi gambaran dimana hukum seakan – akan sudah kehilangan taringnya, karena masing – masing orang sudah menciptakan hukum sendiri. Sosok Sherrif yang sudah memasuki usia senja dan tampak kelelahan cukup untuk menggambarkan hal ini. Kontras dengan sosok Chigurh yang hadir begitu dingin dan kejam.

Sosok criminal dan pendosa tampaknya menjadi keahlian dari Coen Bersaudara. Hampir semua film yang mereka hasilkan menghadirkan tokoh – tokoh yang dibutakan oleh materi. Tokoh – tokoh yang rela melakukan apa saja demi sesuatu yang mengikis rasa kemanusiaan mereka. Sebelum pada akhirnya mereka menyadari betapa tidak ada artinya apa yang mereka kejar tersebut.

Salah satu kekuatan yang kerap hadir dari film karya Coen Bersaudara adalah permainan acting para pemainnya yang kuat. Entah formula apa yang dipakai oleh mereka, hingga pemain film yang tampil dalam film besutan Coen Bersaudara (kecuali dalam Intolerable Cruelty) selalu mampu menghadirkan penampilan terbaik mereka. Begitupun dalam No Country for Old Men. Javier Bardem, Josh Brolin dan Tommy Lee Jones mampu memberi suguhan acting yang nikmat. Kalaupun hanya Javier Bardem yang berhasil masuk Oscar, itu hanyalah masalah momentum. 4/5

SWEENEY TODD : THE DEMON BARBER OF FLEET STREET


Tim Burton + Jhonny Depp = film yang suram, gelap, ganjil, imajinatif dan menarik. Keduanya sering sekali bekerja sama dalam berbagai jenis film, dan kini mereka hadir lagi lewat film musical yang diangkat dari drama musical yang pernah menjadi hit di Broadway karya dari Stephen Sondheim dan Hugh Wheeler. Film ini menjadi pertemuan yang keenam dari kolaborasi Tim bUrton dan Jhonny Depp setelah Edward Scissorhands (1990), Ed Wood (1994), Sleepy Hollow (1999), Charlie and the Chocolate Factory (2005), dan Corpse Bride (2005).

Bukan Tim Burton namanya kalau tidak menyuguhkan tontonan yang lain daripada yang lain. Untuk sebuah film musical, film ini memang menawarkan aksi suara dan gerak para pemerannya, namun jangan mengharapkan ekspresi ceria dan tarian penuh keceriaan laiknya film musical. Bisa dibilang film Sweeney Todd ini merupakan film musical paling kelam dan berdarah.

Kisahnya seputar usaha Benjamin Barker (Jhonny Depp) dalam membalas semua penderitaan yang dilaluinya akibat perbuatan hakim tiran, Turpin (Alan Rickman). Dibantu wanita pembuat pie, Mrs. Lovett (Helena Bonham Carter), Benjamin yang telah merubah namanya menjadi Sweeney Todd mulai menyusun rencana agar Turpin masuk ke dalam perangkapnya. Kerja sama yang mereka lakukan tersebut mungkin terlihat tidak manusiawi, namun sangat menguntungkan keduanya.

Menyaksikan Sweeney Todd : The Demon Barber of Fleet Street seperti menyaksikan sebuah mimpi buruk. Kucuran darah, leher yang tersayat, tubuh manusia yang terlempar secara asal serta pie rasa manusia disuguhkan Tim Biurton secara simultan dan vulgar. Belum lagi lokasi yang suram dan gelap dan make – up yang seperti kurang darah. Pendekatan yang pas untuk menggambarkan hidup Sweeney Todd yang awalnya hidup bahagia bersama istrinya (digambarkan dengan indah), namun menjadi sebuah mimpi buruk ketika ambisi dari Turpin merusak segalanya. Sekali lagi, ditangan Tim Burton, rangkaian mimpi buruk tersebut mampu diolah menjadi sebuah tontonan yang menarik, meski tidak semua orang mampu menerima apa yang disajikan di layar.

Seperti biasa, Jhonny Depp mampu melakukan tugasnya dengan mulus, meski tidak istimewa. Usahanya untuk dapat bernyanyi sambil berakting bolehlah menjadi poin plus, meski dalam beberapa lagu, terutama lagu yang mengekspresikan kemarahannya, vokalnya terdengar kurang bertenaga. Alan Rickman tidak diragukan lagi kapasitasnya dalam memerankan tokoh kejam yang menyebalkan. Kehadiran Jayne Wisener sebagai Johana, anak dari Sweeney Todd, mampu menjadi katalis tersendiri. Justru penampilan singkat Sacha Baron Cohen yang mampu mencuri perhatian, walau “tonjolannya” agak sedikit menganggu pandangan.

Film ini walau disajikan penuh darah (jauhkan dari jangkauan anak-anak), sebenarnya mempunyai pesan yang bagus. Betapa rasa cinta mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Entah benar atau salah. Apa yang dilakukan oleh karakter – karakter dalam film ini tidak bisa dikotakkan menjadi benar atau salah. Semua diserahkan kepada penonton. Namun penulis cerita mengingatkan, bahwa langkah yang diambil, baik benar maupun salah, akan selalu mendapatkan balasan setimpal. Satu hal lagi yang dapat dipetik lewat film ini adalah bahwa dendam tidak akan membawa kebahagiaan, justru sebaliknya, dendam akan membuat hidup kita makin hancur.

Sepanjang film, meski digambarkan sebagai seorang tukang cukur, Sweeney Todd lebih disibukkan menggorok leher orang daripada merapikan rambut. Setelah korban pertama jatuh, Sweeney Todd tak beda jauh dengan vampire yang makin haus darah. Aksinya makin tidak terkendali hingga tibalah balasan setimpal untuknya. He’s got nothing! 3,5/5

PRICELESS ( HORS DE PRIX )


Beberapa tahun terakhir, film komedi romentis seakan tergusur oleh kehadiran film epic serta super hero adaptasi komik yang dikemas dengan dana besar untuk menghasilkan tontonan yang serba menggelegar serta penuh efek visual. Kalaupun ada film komedi romantis yang laris, itupun lebih karena muatan dialog dan adegan jorok didalamnya yang ditampilkan secara berlebihan. Sebuah pendekatan yang tidak semua orang nyaman untuk menontonnya.

Terus terang banyak pihak yang merindukan kehadiran sebuah film komedi romantis yang berfokus pada kekuatan cinta. Dan untunglah hadir film produksi Perancis ini. Priceless ini di Prancis sendiri mendapatkan sambutan yang hangat. Kisahnya sendiri sangat klise. Di dunia ini tidak semuanya bisa dibeli dengan uang, dan CINTA adalah salah satunya.

Irene (Audrey Tautou) adalah seorang wanita matre yang gemar menjerat para pria kaya. Tujuannya satu: memoroti harta mereka. Di sisi lain ada Jean (Gad Elmaleh) seorang pria manis dan lugu yang bekerja di sebuah hotel mewah. Jadi tidak mengherankan apabila dia menggunakan pakaian kerja yang bagus. Ketika keduanya bertemu, Irene mengira Jean adalah pria kaya. Maka berakhirlah pertemuan mereka di atas ranjang, padahal pada saat itu Irene sedang menginap bersama “mangsanya”.

Peristiwa tersebut rupanya membekas di hati masing – masing, meski dengan motif yang berbeda. Keduanya dipertemukan kembali setahun kemudian, dan berakhir (lagi) di ranjang, sampai keesokan harinya Irene menyadari siapa sebenarnya Jean. Sejak saat itu, hidup Irene yang mulanya nyaman, menjadi berantakan karena Jean selalu menghantui hidupnya. Untuk melampiaskan kekesalannya, Irene menguras habis harta Jean yang tidak seberapa. Disini kita melihat Irene sebagai sosok yang kejam.

Dalam keadaan terjepit, tanpa dinyana datang seorang wanita kesepian yang meminta Jean untuk menjadi “piaraannya”. Kepalang basah, Jean menyanggupi tawaran tersebut. Selanjutnya kita disuguhi kasi Jean dan Irene yang saling berlomba memoroti harta pasangan masing – masing. Disinilah kelucuan demi kelucuan dihadirkan oleh sutradara Pierre Salvadore yang juga menulis naskahnya bersama Benoi Graffin. Sudah ditebak, dalam prosesnya terjadi ikatan yang makin kuat di antara keduanya. dan penonton tinggal menunggu waktu keduanya bersatu di akhir film. That’s it!

Dalam sebuah film komedi romantis selain cerita yang memikat, ikatan yang kuat antara kedua tokoh utama wajib hukumnya. Tugas ini mampu dijalankan dengan baik oleh Audrey Tautou dan Gad Elmaleh. Sulit untuk tidak terpikat dengan kedua orang ini. Mereka sama – sama manis dan loveable. Penampilan Audrey Tautou makin manis berkat balutan gaun – gaun bagus yang menonjolkan bagian belakang tubuhnya. Manis tapi tidak seksi mengingat tubuhnya yang kurus dan bagian (maaf) dada yang tidak lagi kencang.

Film ini hadir untuk menyindir mereka yang silau oleh keindahan dunia hingga membutakan hati mereka. Mereka menjadi pribadi yang menyedihkan dan kesepian akibat kecintaan mereka kepada benda yang kalau ditelaah lebih dalam tidak membalas cinta mereka. Tapi jangan khawatir, karena pada akhirnya cinta yang menjadi pemenang. Film ini bukan film yang istimewa namun mampu menjadi obat rindu bagi penggemar film komedi romantis yang semakin dianak tirikan. Ada satu adegan yang mengesankan, yakni ketika Jean dan Irene jalan – jalan di pantai pada waktu malam hari. Lucu, romantis dan Bodoh! 2,75/5

 
GILA SINEMA. Design by Pocket