Selasa, 30 Juni 2009

ONE WEEK

Selasa, 30 Juni 2009 4


What would you do if you knew you only had one day or one week to live?

Ben Tyler (Joshua Jackson) mendapati dirinya menderita kanker stadium akut. Hanya memberitahukan kepada tunangannya, Samantha (Liane Balaban), dia memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian menyusuri Kanada. Tentu saja Samantha awalnya menentang ide tersebut, yang dengan rasionalnya menganjurkan Ben untuk melakukan pengobatan. Samantha juga mengajukan protes ketika Ben berkeputusan untuk tidak memberi tahu kondisinya pada kedua orangtuanya.
Dengan mengendarai motor yang menjadi impiannya, yang terpaksa dia redam karena Samantha tidak menyukainya, Ben mulai melakukan perjalanan. Seperti kebanyakan road movie, sepanjang perjalanan Ben mulai memikir ulang kehidupan yang dia jalani sebelumnya, tentang mimpi-mimpinya hingga berpikir ulang mengenai hubungannya dengan Samantha. Ben juga bertemu dengan orang-orang baru yang mampu membuka matanya akan dirinya dan hidupnya. Dan tentu saja, kita disuguhi banyak pemandangan indah sepanjang perjalanan. Pada akhirnya, seperti kebanyakan road movie, di akhir kisah Ben bisa berdamai dengan dirinya sendiri
Menyaksikan One Week olahan Michael McGowan, mau tidak mau teringat kepada The Bucket List. Keduanya sama-sama mengisahkan apa yang dilakukan seseorang ketika dihadapkan kenyataan hidupnya tidak lama lagi. Bedanya, Jack Nicholson dan Morgan Freeman melakukan hal-hal gila dan didukung dana yang lebih dari cukup, tokoh Ben yang diperankan Joshua Jackson lebih bertujuan mencari makna hidupnya, mengingat kehidupannya yang biasa-biasa saja.
Hasil akhirnya, meski terkesan main-main The Bucket List menjadi tontonan yang menghibur dan meninggalkan kesan berkat naskahnya yang lincah. Berbeda dengan One Week, yang terasa lebih realistis, namun membuat penonton terbawa suasana mellow sepanjang durasi. Meski terkesan realistis, sayangnya ada beberapa bagian yang sangat tidak masuk akal, seperti bagaimana bisa Ben mendapatkan kanker stadium empat tanpa pernah mengalami keluhan sebelumnya. Dan sepanjang perjalanan, jarang sekali scene yang menggambarkan kerentanan tubuh Ben akibat digerogoti kanker.


Sosok Ben terasa kurang meyakinkan dan terkesan egois hingga kurang bisa menyatu dengan karakter – karakter yang lain. Belum lagi permainan Joshua Jackson yang kurang bergairah dan datar (seperti biasa) makin membuat kita sebagai penonton sulit untuk bersimpati. Liane Balaban yang sebenarnya punya potensi bagus, karena porsinya yang terbatas kurang bisa tampil maksimal. Akibatnya chemistry-nya dengan Joshua Jackson terlihat kering.
Untungnya masih ada yang bisa dinikmati dari film yang lumayan sukses di Kanada ini, yakni berkat pemilihan musiknya yang asyik dan mendayu-dayu. Enak dikuping. Dan mata penonton akan dimanjakan dengan keindahan alam Kanada yang mungkin selama ini jarang kita lihat di layar. Ada satu adegan yang menurut Gilasinema cukup kuat menggambarkan apa yang sedang menimpa pada diri Ben yakni ketika sepedanya mengalami kerusakan. Seperti kerusakan yang menimpa tubuhnya, Ben dihadapkan pada pilihan terus melangkah maju atau “memperbaiki” kerusakan tersebut.
So, What would you do if you knew you only had one day or one week to live? Lewat narasi yang disuarakan oleh Campbell Scott, film ini menjawab “ TO STRIVE, TO SEEK, TO FIND AND NOT TO YIELD” 2,75/5

PESTA FILM SOLO : SCHEDULE



Rabu-Jumat, 1-3 Juli 2009
Teater Arena TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah)
Jl. Ir Sutami 57 Solo
14.00-22.WIB

Schedule :
Rabu, 1 Juli 2009
14.00-16.30 WIB
- Love Illusion
- One Day Before
- Asma Kinarya Japa
- Diorama
- Romantika Dukuh Paruk
- Dilarani
19.30-22.00 WIB
- Balada Karak
- Island For Sale
- Video Klip Karya SMK N 8 Solo
- Pesan Dari Langit
- Diskusi Pesan Dari Langit bersama X.Djo (filmmaker)

Kamis, 2 Juli 2009
14.00-16.30 WIB
- Di Balik Temaram
- Wagiman
- Bharata Yahud
- The Secret Of Placenta
- Pesan Dari Langit
- Petung
- Island For Sale
- Video Klip Karya SMK N 8 Solo
19.30-22.00 WIB
- Magenta
- The Real Indonesian Heroes
- Timor Leste : In The Shadow Of The Flag
- Diskusi Film "Timor Leste : In The Shadow Of The Flag" bersama Tonny Trimarsanto (filmmaker)

Jumat, 3 Juli 2009
14.00-16.30 WIB
- Keroncong I Love To Sing
- Magenta
- One Day Before
- The Real Indonesian Heroes
- Romantika Dukuh Paruk
19.30-22.00 WIB
- Ojo Wedi Dadi Abang
- Barata Yahud
- Dilarani
- Diksusi Film Dan Komunitas Film Indie bersama Dimas Jayasrana (programmer Purbalingga Film Festival) dan Joko Narimo (Matakaca)

For more info :
e-mail : kineklubfisipuns@ gmail.com
larashinta@gmail. com
contact : Aji (085643675987)
Sinta (085624240455)
Facebook : KineKlub Fisip Uns
Group : KINE KLUB FISIP UNS

Sabtu, 27 Juni 2009

3 DEKADE, 3 FILM

Sabtu, 27 Juni 2009 14

25 Juni 2009 kemarin, Gilasinema genap berusia 30 tahun menurut penanggalan Masehi. Di angka yang belum terlalu besar, tapi tidak juga kecil ini (tetep aja dah tuwir hehehe…) Gilasinema mengagendakan kegiatan demi memanjakan diri sendiri. Yang namanya penggila sinema, kemanjaan tadi tidak jauh dari sinema. Memang sukanya cuma itu sih. Maka, pada hari istimewa tersebut, Gilasinema memantapkan diri untuk melihat 3 film sekaligus di bioskop alias marathon nonton. Kegiatan dimulai jam 15.15 WIB hingga berakhir pukul 22.30 WIB dengan waktu istirahat selama 1 jam (19.15 – 20.15). Semoga Tuhan menjauhkan Gilasinema dari azab karena ibadah dilalaikan oleh film.

GARUDA DI DADAKU

Secara mengejutkan, diluar ekspektasi, Garuda di Dadaku menjadi sebuah sajian yang menghibur, berisi dan komplet emosinya. Gilasinema berhasil dibuat larut dan menikmati hingga film berakhir. Sutradara Ifa Isfansyah terlihat sangat terampil dan lincah mengolah gambar dan cerita olahan Salman Aristo, meski Garuda di Dadaku ini merupakan karya panjangnya yang pertama. Berbekal cerita yang sederhana dan rapat, Garuda di Dadaku sukses menjadi sebuah tontonan sekaligus tuntunan. Bahkan kalau boleh jujur, film ini setingkat lebih menghibur dan mengesankan dibandingkan Laskar Pelangi.
Sebagai sebuah tuntunan, Salman Aristo patut diberikan acungan jempol dengan keberhasilannya menyelipkan limpahan pesan yang disampaikan secara halus dan tidak menggurui. Lewat Garuda di Dadaku, penonton diajak untuk jangan berbohong, menghormati yang lebih tua, semangat fair play dan pantang menyerah, persahabatan dan masih banyak lagi. Dimasukkannya sedikit bumbu cinta monyet, makin memperkaya film ini.
Menyaksikan Garuda di Dadaku, penonton sukses diaduk-aduk emosinya. Sangat jarang film Indonesia yang berhasil menghadirkan tawa dan tangis pada saat bersamaan. Humor yang diselipkan terasa wajar dan benar-benar lucu tanpa berlebihan. Sedangkan beberapa adegan mengharukan sukses membuat beberapa penonton sesenggukan. Tak lupa Ifa dan Salman memasukkan unsure ketegangan yang membuat penonton gemas. Menyenangkan melihat reaksi penonton yang begitu ekspresif. Bahkan ada beberapa anak yang ikut bersorak-sorak ketika tokoh utama (Bayu) meraih kemenangan.
Kekuatan cerita, untungnya diimbangi dengan pemilihan cast yang sangat tepat dan padu. Chemistry para pemainnya sangat kuat dan meyakinkan. Emir Mahira dan Aldo Tansani mampu menjalankan tugasnya dengan amat sangat baik. Dua jempol deh buat divisi casting. Kedua bintang cilik tadi begitu mencuri perhatian dengan kenaturalan dan kepolosan aksi mereka. Bintang-bintang senior juga bermain bagus dan aman, terutama penampilan Ramzi yang sukses memancing tawa penonton.
Acungan jempol juga patut diberikan kepada Aksan dan Titi Syuman yang olahan musiknya mampu menggugah emosi. Yang belum melihat Garuda di Dadaku, segera ajak teman-teman beliamu. Buruuuuaaaaannn!!! 4/5

KING

Susah untuk tidak membandingkan King dengan Garuda di Dadaku, mengingat begitu banyak persamaan antara keduanya. Sama-sama berkisah tentang usaha seorang bocah menggapai impian, meski mendapat tentangan dari sosok pria matang, meski dalam King, sosok tersebut berstatus ayah, sedang dalam Garuda di Dadaku, pria itu merupakan kakek si bocah. Dalam King, Guntur (Rangga Raditya) ditinggalkan oleh ibunya, Bayu di Garuda di Dadaku telah ditinggalkan oleh ayahnya. Dan masih banyak persamaan lainnya (dimasukkannya produk tertentu dalam sebuah adegan). Satu hal mencolok yang membedakan keduanya adalah pemilihan setting tempat. Garuda di Dadaku bermain di area perkotaan, kisah King ditempatkan pada sebuah desa yang dikelilingi kehijauan alam.
Sayangnya, King tidak dibekali naskah yang mantap dan lincah layaknya Garuda di Dadaku. Pesan yang ingin disampaikan kadang terasa menggurui dan humor-humor yang diselipkan terasa kurang menggelitik. Akibatnya, King menjadi tontonan yang lebih mellow dibandingkan Garuda di Dadaku. Ari Sihasale sebagai sutradara juga kurang terampil mengolah adegan, seperti tidak dimasukkannya adegan perpisahan antara Rangga dengan bapaknya (Mamiek Prakoso) ketika dia akan mengikuti seleksi. Padahal, kalau adegan ini dihadirkan, akan bisa mengikat emosi penonton karena menunjukkan hubungan bapak anak yang saling mengasihi. Selain itu, adegan seleksi akhir kok terasa kurang gerget (ketegangannya).
Selain itu dialog-dialog yang dihadirkan terasa tersendat-sendat. Bahkan ada bagian yang menurut Gilasinema tidak nyambung dialognya, seperti ketika Guntur berandai-andai dirinya tidak lolos seleksi, ayahnya berkata “Kamu tetap anakku”, namun ditanggapi oleh Guntur dengan “Tapi Guntur akan tetap mengenang ibu”. Karena dialog-dialog yang terasa kurang mengalir inilah emosi penonton kurang terbawa.
Akibat lainnya, acting para pemainnya terasa kurang maksimal. Rangga Raditya sebagai pendatang baru memang bermain bagus, dan namun sayangnya pemain lain seakan kurang darah gara-gara naskahnya tadi. Penampilan si Bujang (lupa namanya) untungnya lumayan mampu mencairkan suasana. Dan menurut Gilasinema, kayaknya karakter yang muncul terlalu banyak deh. Coba lebih dimampatkan, pasti lebih terasa padu dan padat.
Kelebihan film ini mungkin ada pada sinematografinya. Mengambil setting tempat yang indah serta berbekal crane, film ini banyak menghadirkan gambar-gambar yang menyegarkan mata serta dinamis untuk beberapa adegan. Ari Sihasale juga banyak bereksperimen dalam pengambilan gambar hingga menghadirkan sudut pandang yang berbeda. Dan meski sama-sama ditangani oleh Aksan dan Titi Syuman, musik yang dihadirkan terasa kurang greget, meski lantunan Indonesia Raya di akhir cerita lumayan membuat merinding.
Meskipun demikian, sebagai film bulutangkis pertasma di dunia, King merupakan tontonan wajib yang sangat tidak pantas untuk dilewatkan. Kalau boleh kasih saran, jangan tonton film ini setelah Garuda di Dadaku kalau emosinya tidak mau kebanting. Ini masukan juga untuk para produser, mbok kalau mau rilis film dengan tema yang hampir mirip, dikomunikasikan dulu antar produser dan pengelola bioskop. Jadi kan bisa membuang kesan “banting” tadi, dan antar sineas Indonesia kan harusnya bisa saling dukung. Viva film Indonesia. 3,25/5

TRANSFORMER : REVENGE OF THE FALLEN

Menyaksikan film Michael Bay harus siap-siap dengan gempuran gambar-gambar penuh ledakan nan gempita dan kerusakan, diiringi musik-musik asyik, efek visual yang memukau, gambar matahari dan jalinan cerita yang ringan renyah layaknya rempeyek. Transformer jilid awal, meninggalkan kesan karena penggambaran perubahan benda-benda menjadi robot.
Bagaimana dengan Transformer : Revenge of the Fallen? Meski kali ini lebih banyak robot yang dihadirkan, sensasi tadi nyatanya tidak bisa hadir lagi. Padahal, inilah kekuatan utama dari Transformer, mengingat jalinan ceritanya yang seringan debu. Baru 15 menit film berjalan, Gilasinema sudah merasakan kegaringan dan kebosanan. Michael Bay layaknya seorang anak kecil yang sibuk “merusak” mainan yang diberikan kepadanya.
Mungkin karena terbiasa menikmati film serius dengan naskah yang berisi, menyaksikan Transformer : Revenge of the Fallen bak mendapatkan siksaan. Bukannya terhibur malah “terkubur” dalam kebosanan. Padahal sejak awal otak sudah di set. INI SUMMER MOVIE YANG MENITIKBERATKAN PADA HIBURAN. Tapi kok ya tetep gagal menyikapi film ini sebagai hiburan. Dongkol! Jadinya sepanjang durasi, malah sibuk menggerutu. Bosan menggerutu teman yang duduk disamping dan didepan, menjadi sasaran keusilan demi membunuh kebosanan tadi. Belum cukup, ditengah-tengah film ditinggal fesbuk-an dan sukses jatuh terlelap. (kalau yang ini mungkin karena factor kecapekan hehehe…)
Paling sebel ketika ada adegan cewek seksi yang ternyata robot juga. Lha kalo bisa menyamar jadi manusia, kenapa juga harus menyamar jadi benda-benda! Hasilnya tidak beda jauh dengan cyborg yang muncul di Terminator. Sebuah kesensualan yang dipaksakan dan tolol karena merusak konsep transformasi. Dan bagi yang suka menghujat film India, harusnya malu dong setelah melihat Transformer : Revenge of the Fallen. Plot cerita yang dihadirkan setali tiga kutang dengan plot yang sering hadir di film action produk Bolly. Tokoh utama (Optimus Prime) yang sekarat, entah dapat energi dari mana, tiba-tiba membabi buta membabat musuh dengan mudahnya. HUH!!!
Humor-humor yang dihadirkan juga banyak garingnya. Memang sih masih ada sekitar 25% humor yang lumayan bisa memancing senyum. Secara keseluruhan, filmnya akan sangat menghibur bagi anak-anak. Jadi mungkin karena factor umur, Gilasinema tidak bisa menikmati film ini. Yang pasti sih, FILM INI BUKAN UNTUKKU. 2/5


NB : terima kasih yang SEBESAR-BESARNYA untuk NICKY OLIVIA yang bersedia antri tiket demi menyukseskan 3 DEKADE, 3 FILM

Jumat, 26 Juni 2009

GILASINEMATEMATIS

Jumat, 26 Juni 2009 7

Berapa banyak sih waktu yang “terbuang” demi menikmati film dan memproklamirkan diri sebagai penggila sinema? Berangkat dari pertanyaan ini, Gilasinema tertarik mengadakan semacam introspeksi dengan mencatat seberapa banyak film yang dikonsumsi dalam kurun waktu 1 bulan, periode 25 Mei s/d 24 Juni 2009. Semacam penelitian ilmiah gitu hehehe…
Ternyata selama periode tersebut, Gilasinema “menghabiskan” 35 film. Kalau dirata-rata durasi film sepanjang 100 menit berarti, selama satu bulan tersebut, waktu yang dihabiskan sebagai berikut :

Lumayan juga ya. Iseng Gilasinema mencoba utak-atik untuk rentang waktu lebih panjang (1 tahun). Hitung kasar, selama setahun menghabiskan 360 film, dengan asumsi sebulan menikmati rata- rata 30 film. Mengapa 360? Yah biar enak aja ngitungnya hehehe….Lagian, untuk membentuk sebuah lingkaran kan butuh 360 derajat. (ada hubungannya gak sih?). Berikut hasil utak-atiknya :

Angka-angka tadi sudah representative atau belum untuk sebuah diagnosis kegilaan? Pendapat pribadi sih kayaknya sih belum hehehe…masih wajar-wajar saja kok. Untungnya kegemaran menikmati film sangat didukung dengan jam kerja yang lumayan enak. Satu lagi faktor pendorong yakni kegiatan menyetrika tiap dua hari sekali. Kegiatan ini bisa memakan waktu minimal 1,5 jam. Lumayan...dapat satu film hehehe...
Dan kegilaan tersebut tampaknya akan “sembuh” nanti saat sudah berumah tangga, karena calon yang ada sekarang kurang begitu suka dengan film dan hanya mau nonton film di bioskop kalau lampunya tidak dimatikan. AMPUN!!!
Berikut film-film yang ditonton sepanjang 25 Mei hingga 24 Juni 2009 :



NB : tidak berani menghitung cost yang terbuang akibat kegilaan tersebut hehehe…

Rabu, 24 Juni 2009

SORRY, IF I LOVE YOU ( SCUSA MA TI CHIAMO AMORE )

Rabu, 24 Juni 2009 7


Cinta memang buta dan tidak mengenal batas usia. Jadi sah-sah saja ketika Alex (Raoul Bova) menjalin hubungan percintaan dengan Niki (Michela Quattrociocche) yang usianya jauh dibawahnya. Di usia 37 tahun, Alex merana karena ditingalkan oleh ceweknya, Elena (Veronica Logan) yang menjauh demi cowok lain yang kebetulan menjadi pesaingnya di tempat kerja.
Melalui sebuah insiden, Alex dipertemukan dengan Niki, seorang gadis ceria yang sedang bergejolak dan sedang menikmati masa mudanya bersama tiga temannya yang tak kalah cantik sexy. Dari pertemuan yang penuh permusuhan (seperti biasa), perlahan (atau cepat?) terjalin hubungan cinta penuh nafsu antara keduanya. Tidak berjalan terlalu mulus tentu saja, karena selain beda karakter dan orientasi, Niki menjalani hubungan tersebut tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, meski pada akhirnya ibunya mengendus hubungan asmara tersebut
Muncul masalah ketika tiba-tiba Elena hadir lagi dalam kehidupan Alex. Setelah memikirkannya secara mendalam (?), Alex memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Niki. Padahal, Niki begitu menginspirasi Alex hingga berhasil memenangkan persaingan dengan lelaki yang membuat Elena menjauh sebelumnya. Tapi, yang namanya drama percintaan, tidak afdol dong kalau kedua tokoh utamanya tidak bersatu di akhir film.


Menyaksikan Sorry, If I Love You ini lumayan membuat Gilasinema terheran-heran. Mengapa? Ternyata film yang disambut heboh di Italia sana ini mengalir biasa saja dan klise. Chemistry dua bintang utamanya juga kurang begitu kuat. Padahal ikatan kimia ini merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan sebuah drama percintaan. Sub plot yang mengutak-atik persoalan persahabatan kok terkesan melebar ke mana-mana dan hanya sekedar membuat durasi makin panjang.
Kalau dicermati, rangkaian gambar dan cerita yang digulirkan ditujukan demi melegalkan hubungan cinta beda usia tadi. Padahal hubungan keduanya, sekali lagi, bukanlah sebuah kesalahan. Berbeda dengan di Amerika yang sangat melarang pria dewasa menjalin hubungan dengan cewek dibawah 18 tahun (mohon dibenarkan kalau salah).
Percintaan dua insane beda usia tadi meski legal, yang ada malah membuat penonton jengah. Penyebabnya tak lain karena dihadirkannya serangkaian adegan penuh nafsu antara Alex dan Niki. Jadinya persepsi penonton melihat hubungan keduanya lebih dilandasi nafsu dari pada rasa cinta dan sayang. Apalagi dengan karakter cewek yang diberi umur 17 tahun. Rasanya kok kurang pantas. Harusnya sih cukup kiss-kiss saja. Kalaupun beranjak ke ranjang, akan lebih nyaman kalau tidak perlu divisualisasikan. Coba deh cek lagi beberapa film romantis yang berhasil tampil memikat, sangat jarang dihadirkan adegan panas menggelora.
Tampilan fisik kedua bintangnya juga makin memperkuat kesan mesum tadi. Akibatnya, Niki jadi terlihat seperti remaja centil yang kegatelan liat pria matang nan menawan. Sedang Alex seperti om senang yang girang mendapat daging segar. Belum lagi bonus beberapa adegan yang mengekspos "daging-daging segar".


Menikmati sebuah drama percintaan ternyata sangat dipengaruhi budaya tempat penonton tinggal. Kisah cinta yang dihadirkan di film ini mungkin bisa sangat diterima di Italia sana karena budayanya yang (mungkin) lebih bebas. Dengan tema yang sama, kalau misalnya setting tempat dipindah ke Amerika, tentu jalan cerita akan jauh lebih kompleks dan kemungkinan memancing kontroversi.
Kalau di Indonesia? Bisa lebih seru tuh. Film bisa mengalir ke arah komedi seks, horor dengan kisah hantu gadis menuntut balas kepada om-om yang merenggut keperawanannya atau menjadi sebuah komedi satire yang menggigit. Apalagi kalau naskahnya dikerjakan oleh seseorng dengan talenta seperti Putu Wijaya.
Sorry, If I Love You mungkin masih bisa dinikmati oleh mereka yang demen dengan jalinan seperti ini. Apalagi bagi mereka yang sudah mengalami asyiknya menjalin hubungan dengan pria/wanita yang jauh lebih matang. Bagi pecinta wajah-wajah Italia, film garapan Federico Moccia ini sayang untuk dilewatkan. 2/5

Jumat, 19 Juni 2009

HOME

Jumat, 19 Juni 2009 2


Film dibuka dengan penjelasan ilmiah bagaimana kehidupan dihadirkan ke bumi. Glenn Close sebagai narrator (untuk versi Spanyol menggunakan suara Salma Hayek) berulang kali menegaskan betapa semua yang ada didalam bumi ini mempunyai satu keterkaitan yang erat, yang apabila salah satu ada yang goyah akan menganggu keseimbangan yang ada. Air, tanah dan gas mempunyai kaitan yang erat hingga kalau digambarkan akan menciptakan sebuah lingkaran. Yang namanya lingkaran, tidak ada awal dan tidak ada akhir, kecuali ada tangan jahil yang memutusnya.
Keseimbangan yang telah ada, menjadi terganggu ketika manusia dihadirkan ke bumi. Meski mempunyai sejarah yang jauh lebih singkat dibandingkan sejarah pembentukan bumi, manusia dengan AKALnya ternyata mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan alam. Dimulai dari pola hidup berburu dan berpindah-pindah tempat, beralih menetap dengan membuka lahan pertanian hingga ditemukannya sumber daya alam mineral (minyak, batubara dan sebagainya) yang revolusioner, yang membuat manusia lebih mudah dan giat mengeksploitasi apa yang terkandung didalamnya.



Masalahnya perubahan yang ada terlalu cepat untuk dikuti oleh alam, hingga alam tidak berkesempatan meremajakan dirinya. Manusia yang mengelola alampun sayangnya tidak mengimbanginya dengan perilaku balas budi, yang ada malah manusia semakin maruk dan serakah. Tak pelak keseimbanganpun terganggu, dan kalau tidak segera dilakukan langkah-langkah penyelamatan oleh semua pihak, kehancuran “rumah” hanya tinggal menunggu waktu.
Seperti kebanyakan film documenter mengenai alam lainnya (Earth misalnya), Home menyajikan gambar-gambar yang menggugah mata. Sutradara Yann Arthus-Bertrand banyak menyajikan gambar yang diambil dari udara. Sineas satu ini memang dikenal piawai dengan pengambilan gambar di udara. Pendekatan ini berhasil menampilkan lanskap mengagumkan dan menempatkan manusia sebagai sosok kecil layaknya rayap, yang sedikit demi sedikit menggerogti rumah tempat tinggalnya yang harusnya dirawat.



Pada beberapa bagian, film terkesan sangat anti dengan modernisasi, karena dinilai sebagai faktor pemicu cepatnya kerusakan alam yang terjadi. Penemuan mesin dan system perdagangan yang dianut, bukannya menekan biaya produksi, yang terjadi sebenarnya malah makin menguras apa yang terkandung dalam perut bumi. Belum lagi hasilnya yang hanya dinikmati segelintir orang, makin membuat apa yang seharusnya dilihat sebagai kemajuan, justru merupakan sebuah kemunduran yang destruktif. Manusia yang didukung ilmu pengetahuan, justru terlihat bodoh karenanya.
Bumi tempat manusia tinggal belumlah dilihat dan dipahami oleh penghuninya sebagai sebuah rumah. Tempat dimana mereka yang tinggal didalamnya peduli terhadap tempat mereka bernaung karena adanya kesadaran untuk merawatnya, hingga kemungkinan untuk roboh bisa dihindari. Karena kalau sampai rumah kita roboh, entah apa yang menimpa kita selanjutnya.



Yang menggelitik Gilasinema, film yang melibatkan lebih dari 40 negara ini (Indonesia difasilitasi oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya), pada kenyataannya di dukung oleh Pinault-Printemps-Redoute (PPR) yang bermarkas di Paris sono. PPR ini merupakan perusahaan multi nasional yang banyak bergerak di usaha retail, distribusi kendaraan dan barang-barang bermerek ternama (Yves Saint Laurent, Sergio Rossi, Boucheron, Bottega Veneta, Alexander McQueen , Stella McCartney , Balenciaga hingga Puma).
Ironis, karena beberapa usaha tersebut sangat mendorong perilaku konsumtif. Jangan-jangan film ini dibuat oleh kaum kapitalis dengan tujuan menggugah mereka yang peduli akan keseimbangan alam untuk segera bertindak, hingga mereka bisa ongkang-ongkang menghitung dolar yang berhasil diraup. Sudah terbiasa menerapkan prinsip ekonomi, dengan modal tidak begitu besar ($12 juta budget film ini) untuk mendapatkan hasil maksimal, plus bonus citra “produk peduli alam”. Ini sekedar “what if…” lho.. (curiga mulu bawaaanya hehehe..)



Namun optimisme wajib kita pelihara dan diaplikasikan dalam perbuatan nyata. Bisa kita mulai dengan hal-hal kecil seperti meminimalisir penggunaan materi yang sulit didaur ulang hingga menerapkan pola hidup sederhana (susah lho hidup sederhana di dunia yang makin menggoda ini). Atau mungkin bisa dimulai dengan menyaksikan film yang diproduseri Luc Besson ini dengan mengajak kerabat atau orang disekitar kita yang masih belia. 4/5

Rabu, 17 Juni 2009

PESTA FILM SOLO 2009 : LIHAT SAYA!

Rabu, 17 Juni 2009 2

Kine Klub Fisip UNS Surakarta mau mengadakan pemutaran film-film lokal karya sineas Solo pada tanggal 1 - 3 Juli 2009 jam 14.00 - 22.00 WIB, bertempat di Taman Budaya Jawa Tengah (Surakarta).


Buat yang tertarik memeriahkan acara ini dan merasa orang Solo, bisa mengirimkan karyanya ke di sekre KINE KLUB FISIP UNS, Gedung FISIP UNS, Jln. Ir. Sutami no.36 A Gedung 2 lantai 1
Kumpulkan karyamu sebelum tanggal 25 Mei 2009
Untuk info lebih lengkap bisa hub : Shinta (085624240455)


KINE KLUB FISIP UNS merupakan "rumah" dari Gilasinema selama menuntut ilmu disitu, dan setiap tahun rutin memutar film-film alternatif, dan kadang membedahnya dengan mengundang nara sumber yang dianggap penting.
Buat yang berdomisili di Solo dan sekitarnya atau darimanapun asalnya dan sedang liburan, mampir dooong....

Sabtu, 13 Juni 2009

GOOD

Sabtu, 13 Juni 2009 5


John Halder adalah seorang dosen yang juga merangkap penulis. Selain mengajar di kelas, dirumah dia disibukkan dengan mengurusi dua anaknya, karena kondisi istrinya yang tidak stabil. Ditambah kesabarannya mengurusi ibunya yang invalid, John Halder benar-benar seorang sosok yang baik hati. Semuanya berubah ketika dia menerbitkan sebuah karya yang controversial di jamannya, yakni mengangkat isu euthanasia.
Setelah penerbitan karyanya tersebut, John Halder didekati oleh partai yang saat itu sedang berkuasa, Nazi. Pada saat yang bersamaan dengan hal tersebut, hadir perempuan muda yang menggodanya, Anne (Jodie Whittaker). Berbagai fasilitas dan prestise yang menghampirinya sejak menjadi pengikut yang baik terhadap pemerintah yang berkuasa serta gairah perempuan muda, ternyata mampu membuat John Halder mengabaikan keluarganya. Kondisi ini mendapatkan kritikan keras dari sahabtanya yang seorang Yahudi, Maurice (Jason Isaacs). John Halder seakan gelap mata dan abai akan kenyataan yang ada, sampai dia mendapati aksi-aksi dari pemerintah (Nazi) yang tidak manusiawi serta membuat sahabatnya menjadi korban.
Nazi lagi!Nazi lagi! Tak terhitung sudah berapa banyak film bertema Nazi dibuat. Meski hadir dengan beragam tema dan sudut pandang, lama kelamaan yang timbul kebosanan. Ibarat orang makan, kalau terus disuapi ya lama-lama eneg. Untuk tahun 2009 ini saja (sampai Juni), Gilasinema telah menyaksikan beberapa film bertema Nazi. Mulai dari Defiance, The Reader, I Served the King of England hingga The Boy in the Stripped Pajamas.
Sudah bosan sebenarnya, hanya saja ketika mendapati nama Viggo Mortensen sebagai pemeran utama, rasa penasaran akan penampilannya mampu membuang rasa bosan tadi. Apalagi menjelang Oscar 2009 kemarin, beberapa kalangan menilai penampilan Viggo di film ini layak untuk dilirik oleh para juri. Benarkah? Tidak seperti yang diharapkan. Penampilan Viggo disini memang lain dari peran sebelumnya di History of a Violence atau Eastern Promises, karena karakternya digambarkan lebih soft dan educated., namun penampilannya disini terasa kurang greget, meski tidak bisa dibilang buruk. Justru Jason Isaacs yang mampu mencuri perhatian.

Mungkin ada pengaruh dari naskahnya yang kurang meyakinkan. Sebagai seorang terpelajar, aneh rasanya tokoh John Halder terlambat mengetahui sepak terjang Nazi. Naif, bodoh atau pura-pura buta tuli? Sebagai seorang akademis, rasanya keterpihakannya terasa terlalu cepat. Pertentangan batin yang dia rasakan juga kurang tergali. Hal ini membuat penonton sulit untuk bersimpati pada John Halder. Satu lagi yang mengganggu dari naskah yang diangkat dari naskah panggung olehan CP Taylor ini adalah minimnya ketegangan. Film terasa lempeng, bahkan ketika pencarian John Halder akan Maurice di camp konsentrasi pun jauh dari menegangkan.
Untungnya film ini sedikit terselamatkan dengan tema cerita yang tidak pernah usang, yakni masalah baik dan benar. Baik bagimu belum tentu baik bagiku. Benar bagimu belum tentu benar bagiku. Kalau kebaikan dan kebenaran yang muncul masih saja digugat dan diperdebatkan, berarti bukanlah sebuah kebaikan dan kebenaran yang hakiki, karena kebaikan dan kebenaran yang hakiki itu tidak bisa ditawar dan yang pasti tidak ada pihak yang dirugikan atau dirampas haknya.
Inilah yang tidak dipahami oleh John Halder. Entah karena kebodohannnya atau karena ingin keluar dari beban yang menghimpitnya, hingga dia tidak mampu melihat mana yang baik dan mana yang benar. Tokoh John Halder ini mengingatkan pada tokoh yang diperankan oleh Kate Winslet di The Reader. Namun dalam The Reader, sosok Hanna lebih bisa dimaafkan, karena dia digambarkan kurang terpelajar atau kurang pengetahuan.
Jangan bandingkan dengan karakter utama di I Served The King of England. Meski digambarkan pro Nazi, namun karena karakternya yang konyol dan benar-benar naïf, keterpihakannya tersebut justru terasa lucu, dan merupakan sebuah olok-olok yang cerdas (baca; sebuah parody). Apalagi penampilannya yang mirip Hitler ketika di pasangi kumis. Benar-benar menohok!
Berlabelkan GOOD, film garapan Vicente Amorim sayang sekali belum bisa menjadi sebuah good movie. Bagi yang bosan dengan film bertema Nazi, film ini bisa dilewatkan. Lebih baik tonton I Served the King of England saja yang lucu. Atau bersabar menunggu Inglorious Basterd-nya Quentin Tarantino. Namun kalau mengaku pecinta Viggo Mortensen, Good pastinya BAIK untuk ditonton. 3/5

Jumat, 12 Juni 2009

THE CLASS ( ENTRE LES MURS )

Jumat, 12 Juni 2009 13

Setelah saling memperkenalkan diri di ruang guru serta membahas beberapa murid yang perlu mendapatkan pendekatan khusus, François Marin (François Bégaudeau) memasuki ruang kelas dimana didalamnya banyak terdapat kaum pendatang yang umumnya masuk masyarakat kelas menegah ke bawah. Awalnya kita melihat François layaknya guru biasa yang banyak aturan dan komplain akan perilaku para siswa. Namun penilaian tersebut langsung berubah ketika ada murid yang menanyakan orientasi seksualnya! Dengan tanpa berlebihan, François meladeni hal tersebut.
Selanjutnya sepanjang durasi film, kita disuguhi interaksi François dengan para muridnya. Seakan tidak ada jarak antara guru dan murid. Gaya berpakaian para guru yang tidak mengintimidasi seperti yang bisa ditimbulkan oleh seragam guru di Indonesia, makin memperpendek jarak tersebut. Oleh François, murid dia tempatkan hampir sejajar dan memperlakukan mereka layaknya teman diskusi. Hampir sejajar disini maksudnya adalah para siswa diberi kebebasan dalam mengungkapkan apa yang ada di kepala mereka, namun ketika perilaku mereka dirasa mulai di luar jalur, apalagi sampai melakukan tindakan anarkis, François mulai turun tangan menuntun ke jalur yang semestinya. Ibarat pak kusir yang sedang bekerja gitu hehehe…
Dan tentu saja dengan majemuknya latar belakang para murid, gesekan wajar terjadi. Disinilah guru ditantang untuk mencari sebuah solusi yang idealnya demi kebaikan murid walau kadang terasa berat dan juga belum tentu terbaik bagi murid tersebut. Guru dalam film ini memang tidak terlalu diposisikan sebagai pihak penyelesai masalah. Guru (François) lebih memposisikan dirinya sebagai pembuka wawasan. Jadi guru tidak menghakimi pola pikir dan perilaku murid tapi menuntun murid untuk berpikir lebih logis.
Selain lingkungan rumah, sekolah merupakan salah satu tempat penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah bisa dibilang sebagai rumah kedua tempat bersosialisasi serta tempat transfer ilmu sebagai bekal menjalani hidup kedepannya. Fungsi pendidikan idelanya tidak dibebankan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Butuh kerjasama dari orang tua murid. Karenanya François perlu mengundang orang tua murid demi lebih mengenal siswanya.
Kepedulian yang ditunjukkan oleh guru dalam film ini terasa menyentuh dan inspiratif meski terkesan utopis. Sama seperti belahan Negara lainnya, bahkan di Negara sebesar Perancis sekalipun, gaji guru bisa dibilang pas-pasan. Namun dalam film ini, ditengah keterbatasan ekonomi, para guru menggalang dana ketika ada orang tua murid yang terancam dideportasi.


Guru dalam The Class tidak digambarkan sebagai sosok sempurna karena guru juga manusia. Begitupun dengan François yang “terpeleset, setelah di 2/3 durasi digambarkan sebagai sosok guru ideal. Kesalahan François meski tidak mendapatkan tindakan serius dari Komite Sekolah, sebenarnya telah mendapatkan hukuman dengan turunnya kredibilitas dan wibawa di mata anak didiknya, meski mungkin untuk sementara waktu. Pada adegan lain, ketidaksempurnaan guru digambarkan ketika salah satu guru merasa frustasi dengan perilaku muridnya.
The Class benar-benar mengajak penonton untuk melihat sebuah dunia kecil berbentuk kotak bernama KELAS. Entre les murs kalo diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti “Between the Walls”. Dunia dimana guru dan murid seakan terperangkap dalam sebuah ruangan (dalam film sekolah kadang terlihat seperti penjara) dan masing-masing pihak dituntut untuk berperilaku sesuai peran dan status masing-masing. Khusus untuk guru, kehidupan pribadi sengaja tidak digali seakan menegaskan kalau di sekolah ya tugas mereka mengajar.
Demi keakuratan gambar di tengah keterbatasan ruang, sutradara Laurent Cantet menempatkan 3 kamera di sudut-sudut tertentu. Satu kamera khusus menangkap gerak-gerik François, satu kamera menyorot perilaku siswa, sedang kamera satunya lagi “bertugas” menangkap momen-momen tak terduga. Berkat pendekatan ini The Class menjadi sebuah tontonan yang dinamis dan memikat. Applaus untuk Robin Campillo sang editor. Ruang yang terbatas ternyata tidak menghalangi hadirnya sebuah cerita yang menarik. Untuk mengurangi kebosanan mata, selain pemilihan warna yang cermat (kostum dan setting), diselipkan gambar-gambar yang menyoroti aktivitas murid saat istirahat
Kamera-kamera tadi seakan mewakili mata penonton hingga menjadikan The Class sebagai suguhan yang terasa nyata. Menyaksikan The Class tak beda jauh dengan melihat sebuah film documenter. Pendekatan ini mirip dengan yang ditunjukkan dalam American Teen. Hal ini diperkuat dengan sebagian besar karakter yang memerankan dirinya sendiri, kecuali untuk karakter Souliman ( Franck Keita ) dan Khoumba (Rachel Régulier). Kedua karakter ini tampaknya sengaja dihadirkan demi menambah unsure drama supaya film tidak jadi membosankan.


Dan dijamin The Class jauh dari membosankan. Ketika film menyoroti kasus yang menimpa Soulaiman, penonton dibuat cemas dan gemas akan nasibnya, hingga berharap semoga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang terbaik. Beberapa kelucuan juga hadir, terutama lewat perkataan lugas para murid, yang membuat film menjadi lebih segar. Paling senang ketika ada seorang murid yang mempresentasikan apa yang dia suka dan yang dia benci, karena salah satu yang dia benci adalah Materazzi. I HATE MATERAZZI!!!
Apa yang dihadirkan dalam The Class mungkin bukan gambaran paling ideal akan sebuah kelas. Namun tidak bisa dipungkiri (terutama Gilasinema), suasana kelas yang digambarkan The Class sangat menyenangkan. Siapa sih yang tidak suka kalau gurunya seperti François yang begitu demokratis, yang membuka kesempatan untuk saling tukar pikiran dan berusaha melihat sisi positf dari muridnya hingga membangun semangat dan harapan. Yang merasa sedih bukan karena muridnya mendapatkan nilai buruk, tapi ketika ada muridnya yang berkata “aku (merasa) tidak mendapatkan apa-apa”. Oouugh….! 4,5/5


NB : sebenarnya banyak sekali yang ingin Gilasinema “tumpahkan” disini, karena The Class sangat-sangat menarik untuk dibedah. Jadi kangen suasana apresiasi film jaman kuliah hehehe…

Rabu, 10 Juni 2009

PUBLIC ENEMY NO. 1 ( L’ENNEMI PUBLIC NO. 1 )

Rabu, 10 Juni 2009 2

Jacques Mesrine. Bisa jadi masih banyak yang asing dengan nama ini. Namun tidak bagi orang Perancis, karena nama yang satu ini sangat “menghantui” di era 1960-an hingga 1970-an. Bukan karena reputasinya yang bagus. Jacques Mesrine dikenal karena aksinya berkaitan dengan beberapa perampokan, penculikan dan penyelundupan senjata. Aksinya tersebut membuat dirinya “dianugerahi” gelar Musuh Masyarakat Nomer Satu.


Public Enemy No. 1 ini sebenarnya bagian kedua dari film yang menceritakan lika-liku aksi Mesrine tadi. Seperti halnya Che garapan Steven Soderbergh, filmnya di pecah menjadi dua karena durasi standar (2 jam) dirasa tidak cukup untuk memaparkan aksi tokohnya. Gilasinema terus terang belum melihat bagian yang pertama yang diberi title L'instinct de mort (Death Instinct), namun setelah melihat Public Enemy No. 1, rasanya keduanya bisa ditonton secara terpisah.
Public Enemy No. 1 dibuka dengan adegan Mesrine (Vincent Cassel) bersimbah darah akibat sebuah serangan brutal. Secara kilas balik, selanjutnya kita diajak untuk melihat berbagai aksi Mesrine. Aksi Mesrine merampok sebuah bank di tengah siang bolong oleh sutradara Jean-François Richet dikemas secara natural hingga terkesan nyata, tanpa mengurangi serunya aksi Mesrine tadi. Adegan ini juga mengingatkan pada adegan yang muncul di film aksi tempo dulu. Kesan klasik makin kuat dengan iringan musik dari Marco Beltrami dan Marcus Trumpp.


Mesrine berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Namun berkat bantuan kroninya, dia berhasil meloloskan diri ketika akan disidang dengan menyandera Pak Hakim. Kembali dalam aksi selanjutnya, Mesrine berhasil dilumpuhkan dan dimasukkan ke dalam penjara dengan pengamanan penuh. Di sini dia bertemu dengan criminal lain, François Besse (Mathieu Amalric) yang kemudia membantunya melarikan diri (lagi).
Pelarian ini menjadi peristiwa yang menghebohkan dan mendapatkan perhatian yang lebih dari media. Bersama Francois, Mesrine mengalami era “keemasan” dengan berulang kali berhasil melakukan perampokan dan aksi meloloskan diri. Popularitas Mesrine makin meningkat, dan Mesrine tampak menikmati posisinya. Namun perilaku Mesrine makin tak terkendali, puncaknya ketika dia memutuskan untuk menculik pengusaha kaya. Hal ini membuat hubungannya dengan François merenggang. Hal ini tidak menghentikan langkah Mesrine untuk “melebarkan sayap” dengan menjalin hubungan dengan para pemberontak. Meski François meninggalkannya, masih ada Sylvie Jeanjacquot (Ludivine Sagnier) yang setia disisinya hingga akhir hayatnya.
Kebuasan Mesrine mampu menelan korban lebih dari 30 jiwa. Aksi kekerasannya yang brutal terhadap wartawan yang tulisannya tidak dia sukai menuai banyak kecaman. Tampaknya kesabaran aparat yang berwenang (pemerintah) mulai menipis, hingga pada suatu hari direncanakan sebuah aksi demi melumpuhkan Mesrine. Penonton sudah tahu apa yang menimpa, karena nasibnya telah ditunjukkan di awal film.
Oleh sutradara Jean-François Richet (yang pernah menelorkan Assault on Precinct 13) dibantu Abdel Raouf Dafri dalam penulisan naskah, sosok Mesrine (seperti biasa) tidak hanya digambarkan seorang bajingan murni. Beberapa adegan menampilkan sosok Mesrine yang cinta keluarga, meski bukan suami yang setia, serta di bagian lain ditunjukkan Mesrine yang buas dan manipulatif sekalipun masih mempunyai belas kasihan. Namun penulis cerita tidak berusaha mengkultuskan sosok Mesrine, karena bagaimanapun sosok yang satu ini bukanlah sosok panutan, meski tidak bisa dipungkiri banyak yang memuja sosoknya.


Bagi pecinta film aksi, menyaksikan film ini mungkin akan sedikit merasa kecewa karena minimnya aksi yang dihadirkan, apalagi dengan pendekatan yang senatural mungkin. Kekuatan film ini memang bukan pada adegan aksi ataupun cerita, karena kekuatan utama film ini ada pada Vincent Cassel. Aktor yang beruntung mendapatkan Monica Belucci ini (benci!benci!benci!) benar-benar total memerankan Mesrine. Demi perannya, dia rela tubuhnya terlihat tambun, dan karakternya yang kadang baik dan simpatik, namun kadang buas menyebalkan mampu dia perankan dengan mulus hingga yang ada rasa kagum bukannya benci.
Vincent Cassel sangat beruntung mendapatkan peran ini. Mesrine dikenal sebagai sosok yang punya banyak wajah, karena seringkali berganti penampilan demi mengecoh korban ataupun untuk meloloskan diri dari kejaran polisi. Perubahan penampilan ini (terutama tatanan rambut) benar-benar merupakan tantangan tersendiri bagi Vincent Cassel. Divisi make up sukses merubah-rubah wajah Vincent Cassel hingga seringkali susah untuk dikenali. Coba saja perhatikan penampilannya ketika menyamar sebagai polisi. Dan betapa penampilannya ketika menemui anak gadisnya di penjara terlihat seksi, apalagi dengan kedipan mata yang menggoda. Tak heran, banyak cewek yang tergila-gila padanya.
Dengan jalinan cerita yang sedikit membosankan, film ini sangat terselamatkan oleh aksi Vincent Cassel tadi. Tidak heran gelar Aktor Terbaik di ajang Cesar Award berhasil dia bawa pulang. Selain Vincent Cassel, film ini menghadirkan Mathieu Amalric, yang meraih gelar Actor Terbaik Cesar Award tahun sebelumnya lewat The Diving Bell and the Butterfly, selain muncul sebagai musuh Bond di Quantum of Solace. Di bagian pertamanya, Vincent Cassel berbagi layar dengan actor kondang, Gérard Depardieu. 3,5/5

Senin, 08 Juni 2009

DRAG ME TO HELL

Senin, 08 Juni 2009 4


Hidup Christine Brown (Alison Lohman) tiba – tiba saja berubah menjadi neraka setelah pertemuannya dengan Sylvia Ganush (Lorna Raver). Perempuan tua tersebut memohon agar Christine membantu menyelamatkan tempat tinggalnya yang terancam disita. Permintaan tersebut sebenarnya bisa disanggupi oleh Christine, namun demi mengincar posisi kerja yang lebih tinggi serta pembuktian terhadap ibu cowoknya, dia menepiskan permohonan nenek tua itu.
Tidak terima kehidupannya dirampas, Sylvia Ganush menghujat dan mengancam Christine, yang sebenarnya merasa bersalah. Tanpa basa-basi Sylvia Ganush menyerang Christine di tempat parkir. Sekuen ini bisa di bilang sebagai salah satu pertempuran paling seru tahun ini. Sebelum berhasil meloloskan diri, Sylvia Ganush berhasil melempar kutukan kepada Christine yang hanya mempunyai waktu 3 hari untuk lepas dari cengkeraman api neraka.
Rasanya sudah lama sekali Holly tidak merilis film horror yang benar-benar horror dan berkualitas. Belakangan Holly sibuk merilik horor produk Asia dan juga terkesan miskin ide dengan makin rajin membuat ulang film horror klasik. Untung ada Sam Raimi yang menyelamatkan wajah film horror Holly lewat Drag Me To Hell. Menurut Gilasinema, film ini bisa dibilang merupakan salah satu film horror Holly terbaik sepanjang 10 tahun terakhir.
Sam Raimi (bersama Ivan Raimi) berhasil menyajikan tontonan yang benar-benar horror dengan naskah yang kuat dan berisi. Terlihat sekali, naskah mengalami proses penggodokan yang cukup panjang. Setiap hal yang disampaikan mempunyai makna. Ada alasan ketika tokoh utama diberi nama Christine (dengan panggilan Chris), dan juga kenapa ada adegan salib menimpa karakter tersebut. Christine juga digambarkan mempunyai pekerjaan yang berkaitan erat dengan materi (uang). Satu hal yang mampu mendorong manusia menghalalkan segala cara.
Dimasukkannya karakter Dr. Clayton 'Clay' Dalton (Justin Long) yang menguasai psikologi juga bukan sekedar tempelan semata. Begitupun adegan dengan ketika Christine mengalami mimisan yang sedikit berlebihan atau mendengarkan suara-suara mencekam yang menghadirkan suasana terror. Duo Raimi tersebut berhasil menghadirkan neraka yang sesungguhnya.


Neraka hadir sebagai wujud dari rasa bersalah yang dirasakan oleh Christine. Rasa bersalah tersebut divisualisasikan lewat serangkaian terror mengerikan yang diterima oleh Christine. Teror dari rasa bersalah ini pun bisa dipahami lewat kaca mata psikologi. Rasa bersalah muncul karena Christine memang melakukan kesalahan ganda. AMBISI dia meraih posisi kerja yang lebih tinggi membuatnya lupa diri hingga MERENGGUT HAK MILIK ORANG LAIN termasuk kehormatan orang tersebut dengan MEMPERMALUKANNYA di depan umum. Dan kalau dicermati, Christione menyimpan AMARAH dan DENDAM yang menjelang akhir dia ekspresikan dengan tindakan yang cukup brutal berbalut wajah licik dan dingin.
Dosa-dosa diatas tadi sudah cukup untuk mengirim Christine ke neraka. Satu-satunya jalan hanyalah meminta maaf. Namun permintaan maaf tersebut tidaklah berarti kalau tidak ditindaklanjuti dengan perilaku yang lebih baik. Pada akhirnya, siapa yang menanam, dia jualah yang menuai hasilnya.
Bagi para pecinta film horror, dijamin bakal terpuaskan dengan Drag Me To Hell ini. Sejak film dimulai kita disuguhi adegan demi adegan yang sangat meyakinkan dan sedikit mengingatkan pada film horror klasik semacam The Exorcist ataupun Rosemary’s Baby. Sam Raimi sukses menggedor jantung penonton dengan kejutan demi kejutan yang menghentak. Kejutan tersebut makin membuat penonton terkaget-kaget dan misuh-misuh berkat balutan musik menggelegar. Poin plus untuk Christopher Young.
Selain itu, Sam Raimi sukses menyandingkan horror dengan komedi pada satu sajian. Selipan humor yang dihadirkan sukses mencairkan suasana dan terasa pas hingga tidak terkesan membanyol. Namun pendekatan ini pastinya tidak semua penonton bisa menerimanya, hingga mungkin sedikt ilfil dengan kelucuan yang hadir di tengah suasana teror.


Penampilan Alison Lohman yang prima membuat film ini sayang untuk dilewatkan. Dia terlihat rela dan pasrah tubuhnya dibanting sana, banting sini hingga puncaknya harus bergelut dalam lumpur (seksi lho dia di adegan ini). Dan applause panjang pantas diberikan kepada Lorna Raver yang dengan wajah setannya berhasil menakuti Christine dan penonton. Dengan stapples di dahi, kuku runcing tak terawat, mata yang tidak sepadan serta gigi pasangan yang menjijikkan, Lorna Raver sukses menghadirkan sosok setan yang menyebalkan. Sedikit kelemahan pada film ini, yakni akhir cerita yang mudah ditebak. 3,75/5


Bloopers : adegan Christine makan es krim setelah gagal mengumpulkan $10.000. Awalnya terlihat rambutnya masuk ke dalam mangkuk es krim tersebut, namun ketika kamera berpindah, rambutnya berada jauh dari mangkuk.

Minggu, 07 Juni 2009

SYNECDOCHE, NEW YORK

Minggu, 07 Juni 2009 11


Kalau Agatha Christie merupakan nama yang ingin Gilasinema temui (wawancarai) di dunia roh, Charlie Kaufman adalah sosok yang merangsang (duh…pilihan katanya) Gilasinema untuk melongok isi kepalanya sekedar ingin tahu apa sih yang ada didalamnya hingga mampu menyajikan cerita-cerita yang kreatif dan orisinil. Being John Malkovich, Adaptation dan Eternal Sunshine of the Spotless Minds sungguh menggemaskan dan meninggalkan kesan mendalam. Kini hadir Synecdoche, New York yang sayang untuk dilewatkan.
Seperti karya sebelumnya, butuh perhatian dan pemahaman lebih dalam menikmati Synecdoche, New York. Pun demikian Gilasinema masih kesulitan untuk menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Charlie Kaufman. Dan memang, butuh lebih satu kali tonton untuk bisa sedikit demi sedikit mengurai maksud penulis “sinting” tersebut. Dan seperti biasa, Charlie Kaufman melekatkan karakter utamanya dengan pekerjaan di bidang seni.
Ada dua hal menonjol dalam kehidupan Caden Cotard (Philip Seymour Hoffman), kerisauan akan berbagai hal yang melemahkan tubuhnya (baca : penyakit) serta betapa hidupnya dikelilingi oleh banyak perempuan. Berbagai hal tidak beres memasuki dan merusak tubuhnya yang menyebabkan dirinya dilempar dari spesialis yang satu ke spesialis yang lain. Akibatnya, dia terkesan rewel karena terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu yang tidak mengenakkan tubuhnya.
Hidupnya seakan riuh dengan hadirnya banyak perempuan mulai dari istrinya yang juga seniman (diperankan Catherine Keener), anak perempuannya, Hazel (Samantha Morton) yang memujanya, aktris (Michelle Williams) yang dinikahinya setelah istrinya meninggalkannya dan masih banyak lagi. Bahkan pada akhirnya terpilih seorang perempuan (Dianne Wiest) untuk memerankan dirinya. Namun, tampaknya Caden tidak berbakat menjalin hubungan dengan lawan jenis, karena selalu berakhir kurang manis.
Ditengah riuhnya permasalahan serta karakter yang berseliweran (plus karakter misterius yang selalu mengikuti Caden), kita selanjutnya disuguhi kisah tentang obsesi Caden untuk mementaskan drama panggung berdasarkan kisah hidupnya. Sebuah proses yang membutuhkan waktu amat panjang dan susah untuk dipahami, karena setelahnya, Charlie Kaufman mengaburkan batas antara dunia rekaan dengan realitas. Meski sudah terbiasa dengan gayanya ini, tetap saja penonton mengernyitkan kening. Terus terang, dibandingkan ketiga judul diatas, Synecdoche, New York lebih sulit untuk dipahami.
Akhirnya muncul dialog yang sedikit membantu pemahaman Gilasinema, yakni ketika muncul dialog,

“None of those people is extras. They’re all leads in their own stories”.

Semuanya bermuara pada persoalan eksistensi manusia (individu), sebuah hal yang makin sulit diraih, ditengah banyaknya godaan yang membuat eksistensi mengabur menjadi bayang-bayang menyedihkan. Dan ketika masing-masing individu berusaha mempertahankan eksistensi masing-masing, kekacauan (chaos) tidak bisa dihindarkan akibat terjadinya gesekan kepentingan.
Pencarian eksistensi merupakan sebuah proses panjang, yang dimulai dengan pertanyaan akan makna hidup itu sendiri. Pencarian makna hanya akan bisa diresapi kalau kita bisa mengenali dan memahami diri kita sendiri dan menerimanya. Pada akhirnya semua tergantung kepada pilihan yang diambil.

“There are a million little strings attached to every choice you make. You can destroy your life every time you choose. …and they say there’s no fate, but there is, it’s what you create.

Caden sebagai pekerja teater pada akhirnya menyadari, apa yang dia lakukan merupakan proses pengenalan dan pemahaman akan hidupnya.
There's theater in life, obviously, and there's life in theater.

Hidup tak ubahnya sebuah seni (teater) dimana didalamnya terdapat sebuah proses kreatif yang membutuhkan pendalaman serta penuh improvisasi ditengah banyaknya aturan dan pertanyaan. Proses kreatif yang membuat kita menjadi MANUSIA.
Sekali lagi, Synecdoche, New York merupakan sebuah sajian yang tidak cukup ditonton satu kali, dan apa yang dihadirkan membuka peluang untuk multi tafsir. Banyak pertanyaan yang mungkin masih menggelanyut di benak kita usai menontonnya, namun tidak perlu kuatir, karena seperti yang Charlie Kaufman bilang pada sebuah wawancara:

“Well, it doesn’t speak to you. It speaks to other people. There are other things in the film that maybe, hopefully, will speak to you”


Bagi penggemar Charlie Kaufman, film ini sangat sayang untuk dilewatkan. Apalagi jajaran cast-nya yang teruji kredibilitasnya, yang pastinya menjanjikan suguhan acting yang memikat. Sekedar saran, tonton film ini dalam kondisi prima, karena selain materinya yang berat, durasinya juga lumayan panjang (dua jam lebih sedikit). Setelah menyaksikan Synecdoche, New York , Gilasinema makin bernafsu membedah kepala Charlie Kaufman, supaya dia merasakan kepusingan yang dialami penonton. Kepusingan yang mengasyikkan. 3,75/5

Selasa, 02 Juni 2009

OBSESSED

Selasa, 02 Juni 2009 4


Ternyata menjadi pria cakep, istri cantik, anak sehat dan pekerjaan mapan kadang bisa tidak mengenakkan. Itulah yang dirasakan oleh Derek (Idris Elba). Segala yang telah disebutkan tadi telah melekat pada kehidupannya. Hidup Derek makin terlihat sempurna dengan karakter yang baik hati, suka menolong dan tidak sombong.
Namun kesempurnaan hidup yang dia miliki dikacaukan oleh kehadiran Lisa (Ali Larter). Entah apa yang terjadi dengan hidup Lisa sebelumnya hingga dia amat sangat menginginkan Derek. Masalahnya Derek telah mempunyai istri yang seksi dan mencintainya, Sharon (Beyoncé Knowles). Perlahan, Lisa mulai memasang jerat yang selalu berhasil ditepis oleh Derek.
Namun lama kelamaan, polah Lisa semakin tidak terkontrol dan nekat. Lisa sempat sukses mengacaukan hubungan Derek dan Sharon, meski keduanya memutuskan untuk berbaikan lagi. Mengetahui hal ini Lisa kalap dan melakukan aksi yang bisa membahayakan anak Derek dan Sharon. Sebagai istri, Sharon mungkin masih bisa sabar, namun ketika anaknya dilibatkan dalam bahaya, diapun meledak. Puncaknya, terjadi pertarungan dua perempuan tangguh nan seksi tadi demi mempertahankan apa yang menjadi obsesi mereka.
Cerita yang dihadirkan oleh David Loughery ini bisa dibilang sangat klise dan basi. Kisah yang dihadirkan telah banyak dibuat sebelumnya. Yang paling memorable tentu saja Fatal Attraction yang melambungkan Glenn Close. Tidak ada kejutan dan konflik berarti dalam Obsessed ini. Untungnya sutradara Steve Hill cukup mampu mengolah adegan hingga tidak terasa terlalu membosankan, terutama setelah Sharon mengetahui aksi Lisa. Beberapa adegan cukup menghadirkan ketegangan. Lagu – lagu yang dihadirkan lumayan membangun mood dan pada beberapa bagian dikemas layaknya klip musik (jadi kayak film India, tapi tanpa goyang hehehe)
Namun hal tersebut nyatanya tidak mampu menutupi betapa buruknya naskah olahan David Loughery. terlalu banyak lubang yang mengganggu di sana sini. Obsessed tidak beda jauh dengan opera sabun yang penuh dengan konflik tidak penting serta eksekusi yang terkesan dangkal.
Entah apa yang ada di benak Beyonce menerima tawaran bermain dalam film ini, bahkan duduk di kursi produser eksekutif. Karakternya tidak terlalu menonjol dan terus terang kalah moncer di banding aksi “setan” dari Ali Larter. Pendalaman emosi terasa kurang yang sekali lagi disebabkan oleh lemahnya naskah menyebabkan acting Beyonce mengalami penurunan drastis, jika dibandingkan dengan aksinya di Dreamgirls. Usahanya untuk tidak bernyanyi seperti yang selalu dilakukannya di film sebelumnya untungnya patut mendapatkan apresiasi tersendiri.
Ali Larter yang tampil lumayan pun sebenarnya masih bisa lebih gila dan lebih seksi. Sayang hal tersebut kurang terakomodasi dengan baik. Dan sayang sekali, film ini kurang mengeksploitasi seksualitas para pemainnya. Idris Elba sebenarnya secara tampilan cukup meyakinkan sebagai sosok yang membuat para wanita terobsesi olehnya, namun mendekati akhir, karakternya dibuat melempem tak berdaya yang membuat penonton ilfil dengan karakter yang dia perankan.
Melempemnya karakter yang diperankan Idris Elba, tampaknya demi mengakomodasi pertarungan seru kedua pemeran utama wanitanya di akhir cerita. Pada bagian inilah, film ini pantas mendapatkan poin lebih. Asyik rasanya menyaksikan Ali Larter dan Beyonce bertarung habis-habisan, serasa menyaksikan Celebrity Deathmatch. Tak pelak muncul perasaan takjub akan primanya fisik mereka berdua. Ck….ck….ck…
Obsessed memang hanya layak disikapi sebagai sebuah hiburan semata, apalagi bagi mereka yang mengidolakan Beyonce dijamin terpuaskan dengan aksinya yang berbeda dibandingkan dalam film sebelumnya. Dengan jualan nama Beyonce, film ini sukses meraup laba hingga 3x lipat biaya produksi. Meski dikritik oleh banyak pihak ( Obsessed mendapat rating 0/4 dari Rolling Stone), penulis David Loughery kayaknya masih bakal lama karirnya, mengingat sebelumnya sukses komersial dengan Lakeview Terrace yang juga banyak dikritik.….2,25/5
 
GILA SINEMA. Design by Pocket