Jumat, 29 Januari 2010
SEMARAKNYA CURHAT SINEMA
Jumat, 29 Januari 2010
19
Beberapa hari kemarin Gilasinema melakukan semacam penelusuran demi menjawab rasa penasaran, ada berapa banyak sih blog/situs berbahasan Indonesia yang memilih film sebagai menu utama. Ternyata jumlahnya banyak juga. Ada sekitar 40 lebih dan tidak heran kalau jumlahnya mencapai ratusan blogger yang menuangkan curahan hati (reviu) mereka soal film. Mungkin kalau Gilasinema lebih sabar dalam melakukan penelusuran, akan lebih banyak lagi menjumpai blog yang isinya seputar film, dan Gilasinema tidak heran kalau jumlahnya mencapai ratusan. Jumlah tersebut belum termasuk situs film yang dikelola professional seperti www.flickmagazine.net.
Beberapa blog memang tidak terlalu memfokuskan isinya seputar film, karena mengkombinasikannya dengan berbagai hal mulai dari pengalaman lidah mereka, pengalaman kuping bahkan hasil pengamatan mereka terhadap lingkungan sekitar. Namun, meski tidak secara khusus menempatkan sinema sebagai menu utama, beberapa blog tersebut cukup sering menuangkan pendapat mereka setelah menonton sebuah film. Hal ini membuktikan, film sudah menjadi bagian yang cukup penting dalam hidup mereka.
Apakah keberadaan blog-blog tadi merupakan pesaing? Tidak perlu dipandang seperti itu sebenarnya, mengingat blog itu pada dasarnya personal sifatnya. Dan lagi, dengan banyaknya blog/situs bisa saling berbagi informasi dan pengetahuan antar penggila sinema, memperkaya referensi serta menambah teman baru. Namun bukan sebuah kesalahan juga kalau maraknya blog/situs film dipandang sebagai pesaing, dalam artian positif. Maksudnya, mampu memicu kita untuk terus belajar dan mengasah kemampuan menulis kita. Rasanya hal ini bukanlah hal yang buruk kok, justru malah konstruktif, karena dengan makin banyak belajar, ada banyak hal positif yang bisa kita dapatkan.
Karena penuh dengan sentuhan personal, masing-masing blog/situs tetap punya warna atau ciri (identitas) tersendiri, mulai dari tampilan atau gaya penulisan. Bedanya, ada beberapa blog yang sudah mempunyai warna dan ciri yang kuat, dan ada yang masih berusaha mencari. Segalanya memang butuh proses. Bahkan, Gilasinema sendiri yang dua tahun lebih nge-blog, selalu masih harus banyak belajar dari para blogger film yang lain. Beberapa blog film bahkan membuat Gilasinema minder dengan gaya penulisan yang cerdas, kaya, kocak, unik sekaligus sistematis dan yang paling penting, informatif serta enak dibaca. Salut dan kagum sekagum-kagumnya deh buat beberapa blog tersebut.
Pada akhirnya, maraknya blog/situs film patut kita syukuri, karena banyak manfaat yang bisa kita dapatkan. TERIMA KASIH buat mereka yang selalu menyempatkan waktu meng-update blog mereka dan juga kepada mereka yang menyempatkan saling berkunjung satu sama lain. Tidak ada keharusan berkomentar. Waktu, adalah sebuah pemberian paling berharga. Sekali lagi TERIMA KASIH.
KRISTEN WIIG : AKTRIS PALING SIBUK DI HOLLY
Kalau di Indonesia,Julia Perez menjadi aktris paling sibuk sepanjang tahun 2009 – 2010, di Holly sana ada Kristen Wiig yang merilis banyak film sepanjang tahun 2009 – 2010. Di tahun 2009 kemarin, paling tidak Kristen Wiig terlibat dalam 4 film dengan atensi penonton yang cukup baik, seperti Adventureland, Extract, Whip It dan yang paling sukses, Ice Age: Dawn of the Dinosaurs. Selain sibuk di dunia film layar lebar, Kristen Wiig juga menyapa penonton TV lewat Saturday Night Live. Kalau dicermati dari filmografinya, Kristen Wiig cenderung banyak bermain di genre komedi. Tidak mengherankan kalau di tahun 2009 kemarin Entertainment Weekly memasukkan Kristen Wiig sebagai salah satu dari 25 Funniest Women in Hollywood.
Di tahun 2010 ini, tidak tanggung-tanggung, Kristen Wiig bakal merilis 7 film sekaligus, berdasar data di IMDB. Berikut film-film yang bakal menghadirkan sosok atau suara dari Kristen Wiig :
ALL GOOD THINGS
Rencana rilis Maret dan film ini merupakan film drama pertama dari Kristen Wiig. Di film yang disutradarai oleh Andrew Jarecki ini, Kristen Wiig bakal beradu acting dengan nama-nama beken seperti Jeffrey Dean Morgan, Kirsten Dunst, Ryan Gosling, Frank Langella dan Philip Baker Hall.
HOW TO TRAIN YOUR DRAGON
Disini Kristen akan menyumbangkan suaranya bersama Jay Baruchel , Gerard Butler, America Ferrera , Craig Ferguson dan Jonah Hill. Dilihat dari premis ceritanya, film ini tampaknya bakal cukup sukses. Rilis 26 Maret 2010.
DATE NIGHT
Dua pekan setelah rilis How to Train Your Dragon, Kristen Wiig akan kembali beraksi dalam film komedi arahan Shawn Levy. Banyak nama-nama beken yang tampil dalam Date Night seperti Steve Carrel, Tina Fey, Mila Kunis, Mark Wahlberg, James Franco, Mark Rufallo, Ray Liotta dan Taraji P. Henson.
MacGRUBER
Selang dua pekan kemudian (lagi!), tepatnya 23 April 2010, bersama-sama dengan Val Kilmer, Bill Hader, Maya Rudolph dan Ryan Phillipe, Kristen Wiig akan terlibat dalam sebuah komedi aksi arahan Jorma Taccone, MacGruber.
DESPICABLE ME
Kristen Wiig tidak mau kalah dengan bintang-bintang lain dengan ikut menyemarakkan summer movie dengan terlibat dalam salah satu film animasi calon pengeruk dolar, Despicable Me. Untuk kali ketiga, Kristen Wiig menyumbangkan suaranya, bekerja sama dengan Steve Carrel (lagi), Jason Segel, Julie Andrews, Ken Jeong, Russel Brand dan Danny McBride.
PAUL
Merupakan film yang menghadirkan Kristen Wiig yang paling Gilasinema tunggu. Mengapa? Karena selain sebagai penulis cerita, duo kocak Simon Pegg dan Nick Frost akan kembali beraksi! Filmnya kayaknya bakal meriah karena juga akan menghadirkan Seth Rogen, Sigourney Weaver, Jeffrey Tambor dan Blythe Danner. Paul juga merupakan kerja sama untuk kedua kalinya antara Kristen Wiig dengan Bill Hader (MacGruber) dan Greg Mottola (Adventureland). Kemungkinan film ini bakal rilis di Inggris terlebih dahulu.
ASS BACKWARDS
Belum jelas kapan film dengan judul yang unik ini akan dirilis. Namun yang pasti, Kristen wig akan mendampingi Kate Hudson dan David Cross dalam film yang diarahkan oleh Chris Nelson ini.
Kristen Wiig mungkin tidak cantik dan peran-perannya bukanlah peran utama, namun dengan banyaknya proyek yang melibatkan dirinya, membuktikan bahwa dia memang ada kemampuan yang tidak bisa dianggap remeh. Proyek-proyak diatas juga membuktikan dia cukup dekat dan disukai oleh mereka yang lebih kondang. Dan kabarnya, Kristen Wiig bakal merilis film yang naskahnya merupakan hasil karyanya bersama Annie Mumolo dan akan diproduseri oleh koleganya, Judd Apatow. Wah…bakal jadi pesaing Tina Fey nih. Kita tunggu saja kiprah Kristen Wiig kedepannya.
Kamis, 28 Januari 2010
THE ROAD
Kamis, 28 Januari 2010
7
Diceritakan kembali, The Road mempunyai jalinan cerita yang amat sangat simple. The Road berkisah tentang perjalanan Ayah (Viggo Mortensen) dan Anak (Kodi Smit-McPhee) di masa setelah bumi mengalami kehancuran yang menelan korban hampir semua manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam perjalanan menuju tempat yang diyakini lebih baik, Ayah dan Anak tersebut harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari gerombolan yang memakan manusia lain buat bertahan hidup, perampas serta alam yang setiap saat bisa mencederai keduanya dan iklim yang tidak bersahabat. Perjalanan tersebut makin berat mengingat kondisi ayah yang kurang prima. Disela-sela perjalanan, kita disuguhi adegan kilas balik dimana sang Ibu (Charlize Theron) masih hidup, masa dimana bencana mulai membayangi yang membuat si Ibu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
The Road pada dasarnya merupakan sebuah kisah cinta antara Ayah dan Anak. Yang namanya kisah cinta tidak bakal dikenang kalau tidak dihadapkan dengan ujian, yang dalam The Road diwujudkan dengan kerusakan dan kehancuran bumi. Rasa cinta selain mendatangkan kebahagiaan nyatanya juga membangkitkan rasa takut kehilangan sesuatu yang dicintai. Ketakutan ini layaknya bayangan yang selalu mengikuti langkah. Karena rasa cinta terhadap anaknya, sang Ayah melakukan apa saja agar ketakutannya kehilangan Anak yang dia cintai tidaklah terwujud.
Rasa cinta membangkitkan ketakutan akan kehilangan. Selanjutnya, ketakutan membangkitkan keberanian dan kekuatan untuk bertahan dan berjuang. Pada tahap inilah kemudian muncul semacam gugatan moral, karena demi sesuatu yang dicintainya, kadang manusia tidak lagi berperilaku berlandaskan kemanusiaan. Dalam The Road, gugatan ini hadir ketika Ayah dan Anak bertemu dengan pria tua yang sakit-sakitan (Robert Duvall) dan pria miskin (Michael K. Williams). Kekerasan sang Ayah dikontraskan dengan kepolosan sikap si Anak.
The Road sungguh sebuah tontonan yang sangat depresif namun menggugah. Kehancuran dan kerusakan yang dihadirkan terasa nyata dan balutan warna-warna suram makin menguatkan kesan tersebut. Tampilan visual yang suram dan kelam, selain terasa depresif, uniknya juga menghadirkan keindahan tersendiri. Lihat saja adegan kebakaran yang terlihat cantik. Setting yang ”rusak” juga efektif menggugah rasa simpati penonton terhadap dua tokoh utamanya, hingga rasa cinta keduanya menjadi terasa sangat kuat. Untungnya, film ini memberikan ending yang mencerahkan.
Selain sajian visual yang ciamik, emosi The Road sangat terbantu oleh sinergi yang kuat antara Viggo Mortensen dengan Kodi Smit-McPhee. Sekali lagi, Viggo Mortensen membuktikan kapasitasnya sebagai seorang aktor, dengan selalu memilih peran-peran berat yang hebatnya selalu bisa dia interpretasikan dengan baik. Demi The Road dia rela menguruskan badan, dan kabarnya demi menghayati perannya, dia selama 3 bulan berjalan tanpa alas kaki dan tidak mandi sama sekali! Kodi Smit-McPhee untungnya belum tercemar kemilaunya Holly hingga masih bisa merefleksikan kepolosan bocah dengan baik. Charlize Theron, meski mendapat porsi yang sedikit, terlihat serius dalam memberikan performa terbaiknya, begitupun dengan Robert Duvall yang tampil amat sangat lusuh.
The Road bukannya tidak mengandung hal-hal yang mengganggu. Bagi sebagian penonton, mungkin The Road akan dilihat sebagai sebuah tontonan yang seksis dengan penggambaran karakter perempuan yang lemah dan sosok berkelamin pria yang begitu mendominasi layar bisa saja menguatkan anggapan ini. Kesan rasis bisa juga muncul dengan penggambaran pria kulit hitam miskin yang mencuri barang-barang milik Ayah dan Anak. Namun, dengan berpikir positif, asumsi-asumsi tadi bisa dengan mudah diabaikan. Sama halnya pengabaian akan penyebab rusaknya bumi dalam film ini yang sengaja tidak dijelaskan dengan gamblang.
The Road yang disutradarai oleh John Hillcoat ini merupakan salah satu film terbaik yang dirilis sepanjang tahun 2009 dan sangat tidak layak untuk dilewatkan. Namun sayangnya film ini mendapat sambutan yang tidak begitu meriah, baik dari para penikmat film (pengaruh jadwal rilis yang berubah-ubah?) maupun dari berbagai ajang penghargaan film yang sedang marak (kurang dipromosikan?). 4,25/5
Selasa, 26 Januari 2010
20 DI TAHUN 2004
Selasa, 26 Januari 2010
6
Tahun 2004 dan 2005 bisa dibilang masa kegelapan bagi Gilasinema. Banyak sekali film-film yang katanya bagus belum sempat Gilasinema tonton seperti The Aviator, Million Dollar Baby, Ray, The Motorcycle Diaries, The Machinist, Kinsey, Tae Guk Gi dan masih banyak lagi. Film-film seperti Super Size Me, Bad Education dan Twillight Samurai menjadi film-film yang sangat ingin Gilasinema tonton.
Untuk tahun ini, Before Sunset menjadi korban melapuknya ingatan. Yang terbayang dari film ini hanya sosok Julie Delphy yang terlihat jauh lebih kurus dibandingkan penampilannya dalam Before Sunrise. The Brown Bunny merupakan film paling egois yang pernah dibuat, sedangkan The Dreamers meninggalkan momen mesum di kepala :P
Shaolin Soccer, Dodgeball, 50 First Dates, The Notebook, The Polar Express, Lemony Snicket's A Series of Unfortunate Events, Eurotrip dan The Girl Next Door merupakan film-film yang lumayan memberikan hiburan.
20.MEAN GIRLS
Salah satu film remaja terbaik sepanjang sepuluh tahun terakhir. Sekolah memang kadang bagai belantara yang kejam.
19. SPANGLISH
Gilasinema selalu menyukai film-filmnya James L Brook, tak terkecuali dengan Spanglish ini. Asyik saja melihat interaksi antar tokohnya yang dinamis. Chemistry antara Adam Sandler dengan Paz Vega yang cuuuantik sungguh menghanyutkan dan untungnya hubungan keduanya digambarkan begitu dewasa. Adegan di restoran menjadi adegan favorit yang selalu terkenang.
18. BROKEN WINGS (KNAFAYIM SHVUROT)
Film drama memikat yang berkisah tentang bagaimana sebuah keluarga berusaha bertahan setelah ditinggal mati sang kepala keluarga.
17. A HOME AT THE END OF THE WORLD
Sebuah tragic comedy yang mencoba menawarkan satu bentuk baru akan keluarga. Sayang, endingnya terlalu klise, hingga apa yang ditawarkan rasanya tidak terlalu menarik untuk diterapkan. Penampilan Colin Farrel yang berani (kabarnya beberapa cewek sempat heboh pas screening) dan Robin Wright Penn yang bebas, serta humor-humor pahitnya membuat film ini cukup meninggalkan kesan.
16. THE PASSION OF THE CHRIST
Tidak miris melihat film ini? Berarti ada yang salah dengan rasa kemanusiaan anda.Jim Caviezel menyajikan salah satu penampilan acting paling total sepanjang sepuluh tahun terakhir.
15. OSAMA
Film yang sangat tajam dan terpercaya dalam menggambarkan kaum perempuan yang “terjebak” hidup dilingkungan yang amat sangat patriarkis.
14. COLLATERAL
Film ini meski berangkat dari ider yang sangat sederhana nyatanya berhasil menjelma menjadi sebuah tontonan yang sangat memikat dari awal hingga akhir. Ketegangannya sangat intens, plus dukungan kuat dari duo Tom Cruise dan Jamie Foxx. Penggunaan jenis kamera yang belum lazim (Viper FilmStream High-Definition Camera), efektif menghadirkan suasana malam yang kelam dan realis.
13. MARIA FULL OF GRACE
Film ini menyajikan ketegangan dengan bentuk yang jauh berbeda dari yang pernah dihadirkan dalam film lain. Rasa ngeri pasti muncul melihat kenekatan para perempuan merelakan tubuh mereka dijadikan “alat transportasi”. Penampilan Catalina Sandino Moreno sangat sayang untuk dilewatkan.
12. HOUSE OF FLYING DAGGERS
Zhang Yimou sukses membuat penonton cuek terhadap kisah yang dihadirkan dan lebih dibuat terpukau dengan penampakan visual yang penuh warna. Apa yang tersaji dilayar rasanya lebih memorable dibandingkan jalinan kisah cinta segitiga yang dituturkan. Dengan cantiknya, Zhang Yimou memadukan aneka warna dengan cantik, hingga kita seolah-olah melihat sebuah lukisan yang indah. Paling terkesan dengan adegan di hutan bamboo. Sejuk di mata, sejuk dihati.
11. FINDING NEVERLAND
Film penguras air mata memang, namun tidak bisa dipungkiri Finding Neverland adalah sebuah film yang indah, apalagi interaksi antara Jhonny Depp, Kate Winslet dan Freddie Highmore.
10. SAW
Biar banyak dibantai banyak kritikus film, Saw jilid awal ini mampu mengikat Gilasinema dengan dilemma moral yang dihadirkan didalamnya. Unsur misteri dan ketegangan tingkat tinggi menghadirkan sebuah sensasi tontonan tersendiri yang sukses melahirkan epigon-epigon tidak penting yang sukar menandingi film ini.
9. HOTEL RWANDA
Salah satu film yang mampu menyajikan kisah seputar tragedy kemanusiaan dengan sangat intens hingga sukses membawa penonton ke suasana pembantaian yang brutal. Dijamin, hati akan tergugah setelah melihat film ini, meski realisasinya hanya sebatas hujatan terhadap penistaan kemanusiaan.
8. THE INCREDIBLES
Salah satu produk Pixar dengan karakterisasi yang dalam pandangan Gilasinema, paling memukau. Lihat saja kemampuan super yang dimiliki para tokohnya disesuaikan dengan umur, peran dan status mereka.
7. NOBODY KNOWS ( DARE MO SHIRANAI )
Kisah yang amat menyesakkan tentang anak-anak yang tidak diakui keberadaannya. Mereka layaknya hantu yang keberadaannya antara ada dan tiada. Usaha bagaimana mereka bertahan hidup sungguh membuat miris, sekaligus tersenyum melihat aksi polos para bintang belia yang berakting sangat meyakinkan.
6. GODBYE LENIN!
Salah satu film komedi paling cerdas dan paling nyinyir yang pernah dibuat. Menyaksikan film ini membuat kita menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak terkungkung fanatisme sempit akan isme-isme yang sebenarnya ditujukan demi dunia yang lebih baik, namun kenyataannya justru memicu banyak konflik dengan banyak korban yang berjatuhan. BODOH!
5. FAHRENHEIT 9/11
Kritikan Michael Moore yang makin pedas dan tajam, serta selera humor yang bagus nyatanya terbukti ampuh memikat banyak orang hingga berhasil menjadi film documenter terlaris sepanjang masa.
4. SIDEWAYS
Film ini menjadi satu dari sedikit film yang mampu membuat Gilasinema melakukan hal yang sama layaknya yang dilakukan tokoh didalamnya. Menyaksikan film ini membuat Gilasinema mengkhayalkan sebuah perjalanan yang seru, indah penuh warna dan emosi sekaligus inspiratif. Meski kisah yang ditawarkan terkesan tidak penting, berkat penggarapan yang bagus, Sideways sukses menjalin ikatan dengan penonton (Gilasinema).
3. THE SEA INSIDE (MAR ADENTRO)
Gilasinema sangat menyukai film yang bermuatan gugatan moral. The Sea Inside menyajikan gugatan moral dengan amat sangat tajam. Ketika banyak orang memperjuangkan hak untuk hidup, tokoh yang diperankan dengan amat sangat bagus oleh Javier Bardem justru memperjuangkan yang sebaliknya. Ketika seseorang mempunyai hak untuk hidup, apakah dia juga mempunyai hak untuk mengakhiri hidupnya? Kisah luar biasa yang disajikan dengan amat memikat oleh Alejandro Amenábar.
2. ETERNAL SUNSHINE OF THE SPOTLESS MIND
Entah sudah berapa banyak judul yang mengangkat persoalan cinta, namun setiap saat masih saja muncul kisah cinta yang dituturkan dengan cara berbeda hingga mampu meninggalkan kesan mendalam. Eternal Sunshine of the Spotless Mind sungguh sebuah kisah cinta yang cerdas dan orisinil, meski tema soal memori cinta telah banyak diangkat sebelumnya. O, Charlie Kauffman, sungguh ingin aku membedah kepalamu dan melihat apa gerangan yang ada diotakmu hingga bisa secerdas itu.
1. DOGVILLE
Banyak yang menilai film ini sangat anti Amerika, namun bagi Gilasinema yang orang desa, kisah yang dihadirkan dalam Dogville jamak terjadi diberbagai daerah. Meski sangat eksperimental, Dogville secara akurat menelanjangi masyarakat yang diselimuti kemunafikan meski mempunyai control social yang amat ketat. Lars von Trier memang liar, namun dalam keliarannya dia mampu menyajikan tontonan yang kuat secara sosiologis.
Sabtu, 23 Januari 2010
RUNNING TURTLE ( GEOBUGI DALLINDA )
Sabtu, 23 Januari 2010
5
Meski seorang polisi, Jo Pil-seong (Kim Yoon-seok) bukanlah sosok yang disegani. Atasannya senantiasa meremehkan potensi dan kinerjanya. Dirumah, Jo Pil-seong tidak sanggup menghadapi istrinya yang tidak menghormatinya karena merasa tidak dnafkahi dengan cukup. Ditengah lilitan persoalan ekonomi, Jo Pil-seong harus menerima kenyataan pahit mendapat skorsing karena suatu hal. Ditengah himpitan tersebut, Jo Pil-seong menguras tabungan keluarga untuk ikut taruhan adu banteng.
Jo Pil-seong patut bergembira mengingat dia berhasil memenangkan taruhan dengan nominal yang cukup besar. Namun awan gelap tampaknya masih enggan meninggalkannya. Gara-gara perilaku temannya yang brengsek, Jo Pil-seong harus berhadapan dengan buron berbahaya, Song Gi-tae (Jung Kyung-ho). Persinggungan tersebut harusnya menjadi urusan pihak berwajib, namun selanjutnya menjadi urusan pribadi antar keduanya setelah Song Gi-tae merampas hasil kemenangan Jo Pil-seong dalam adu banteng.
Situasi tampaknya juga enggan berpihak pada Jo Pil-seong hingga dengan kemampuan bela dirinya yang dibawah standar, kesialan demi kesialan justru menghampirinya, hingga beberapa jarinya harus menjadi korban. Masalah yang dihadapi Jo Pil-seong tidak menjadi ringan ketika hadir pemuda yang begitu mengidolakan Song Gi-tae dan juga kehadiran dari kepolisian pusat. Jo Pil-seong yang harusnya mendapat dukungan penuh, justru malah dianggap menjadi penghalang. Untungnya, Jo Pil-seong didukung oleh teman-temannya yang loyal. Pada akhirnya semua harus diselesaikan di arena adu benteng yang dapat dijadikan sarana oleh Jo Pil-seong untuk mengembalikan kewibawaannya. Mampukah?
Pada saat perilisannya, Running Turtle ditonton lebih dari 3 juta orang. Jumlah penonton ini menempatkan Running Turtle sebagai film Korea terlaris nomer 5, mengalahkan Mother dan Thirst. Apa sih istimewanya film ini dibandingkan dua film tersebut? Dalam pandangan Gilasinema, Running Turtle terasa jauh lebih realis. Bahkan, kisahnya bisa saja terjadi di Indonesia. Kebetulan Gilasinema sering mendengarkan curhat istri seorang polisi, yang meski nasibnya tidak sama persis dengan Jo Pil-seong, namun paling tidak memberi gambaran kehidupan seorang polisi di dunia nyata, hingga Gilasinema bisa menerima dengan baik kisah yang dihadirkan dalam Running Turtle.
Kesan realis makin kuat dengan adegan aksi yang ditata sangat bersahaja tanpa balutan koreografi tarung yang mengundang decak kagum. Tokoh protagonis yang berkemampuan biasa saja, mempunyai peran kuat dalam menghadirkan kisah yang dekat dengan kehidupan nyata. Namun, bagi mereka yang kurang terbiasa dengan film Korea, akan menilai Running Turtle sebagai sebuah tontonan yang serba tanggung. Susah juga memasukkan film ini dalam genre film tertentu. Dikatakan drama aksi rasanya kurang tepat mengingat adegan aksinya tidaklah spektakuler. Dimasukkannya beberapa lelucon, tidak lantas menjadikan film ini sebagai sebuah film komedi. Apalagi hadirnya beberapa humor pahit seperti ketika Jo Pil-seong mendapati pakaian dalam robek-robek yang dikenakan istrinya. Namun, sekali lagi, Gilasinema justru menganggap hal-hal tanggung tadi sebagai pondasi bagi kisahnya hingga terasa realistis.
Ada satu segi dalam film ini yang bagi Gilasinema terasa aneh namun unik, yaitu segi musik latarnya. Musiknya seakan tidak menyatu dengan adegan hingga terkesan kehadirannya bukan untuk menguatkan suatu adegan. Pokoknya aneh deh. Menjelang akhir, ada satu krtikan yang tampaknya ingin disampaikan oleh sutradara Lee Yeon-woo yang sekaligus merangkap sebagai penulis cerita, yaitu kurangnya perhatian terhadap para polisi, terutama bagi mereka yang berada di level bawah. Yang ada, mereka yang mempunyai posisi penting justru saling gontok-gontokan. Hmmm....tidak asing dengan hal ini? 3,75/5
Kamis, 21 Januari 2010
FROM SHORT TO LONG : A MOVIE ERECTION
Kamis, 21 Januari 2010
2
Bukan sebuah rahasia umum kalau Holly dinilai banyak kalangan mengalami kemandegan ide dengan makin banyaknya film sekuel dan remake. Coba cek film-film yang rilis tahun 2010 ini. Disitu ada banyak sekali film yang merupakan reka ulang dari film yang telah rilis sebelumnya seperti The Wolfman, The Crazies, Clash of the Titans dan masih banyak lagi. Tanpa malu-malu, Holly juga membuat ulang film-film sukses dari Negara lain, Let Me In contohnya.
Gilasinema tidak bermaksud mengajak memasuki area mesum lewat judul diatas. Gilasinema hanya mencoba memaparkan sebuah lahan ide baru yang sebenarnya tidak kalah dasyat dalam menghasilkan sebuah tontonan bermutu. Kecenderungan memanjangkan yang pendek sebenarnya sudah mulai muncul dan tampaknya kedepannya akan makin banyak film yang diadaptasi dari materi berupa film pendek.
Masih ingat dong dengan kesuksesan tak terduga dari District 9. Dengan dana kurang dari $40 juta film tersebut berhasil meraup pendapatan kotor lebih dari 6X lipat biaya produksi. Seperti kita ketahui, film tersebut merupakan pengembangan dari film pendek berjudul Alive in Joburg (2005) yang disutradarai oleh Neill Blomkamp dan diproduseri Sharlto Copley. Selain District 9, film-film lain yang merupakan pengembangan dari film pendek adalah Grace, 9 dan Battle of Terra. Ketiga film tersebut mungkin tidak terlalu berhasil secara komersil, bahkan Grace dan Battle of Terra bisa dibilang merupakan proyek merugi meski mendapat apresiasi positif dari para kritikus. Sedang 9 mendapatkan atensi yang cukup baik dari penonton maupun dari kritikus. 9 sendiri merupakan pemanjangan dari film berjudul sama yang berhasil masuk nominasi Oscar di tahun 2005. Tidak mengherankan nama-nama besar seperti Tim Burton, Timur Bekmambetov, Elijah Wood, John C. Reilly, Jennifer Connelly, Christopher Plummer, dan Danny Elfman ikut mendukung proyek yang disutradarai Shane Acker ini.
Menilik beberapa tahun kebelakang, Saw mengejutkan banyak pihak dengan sukses menjadi film horor paling kuat sepanjang 10 tahun terakhir. Yang dimaksud dengan kuat disini adalah kemampuan Saw merangkul penggemar fanatik. Siapa yang mengira, Saw bisa menembus seri ke enam. Bahkan di tahun 2010 ini bakal dirilis seri ke tujuh dengan embel-embel 3D! Mungkin sudah banyak yang tahu kalau Saw merupakan pengembangan film berjudul sama yang berdurasi hanya 9 menit 30 detik! Penggemar Saw menyebut materi asli ini sebagai Saw 0,5. Mau contoh lain? Le Voyage du Ballon Rouge, sebuah film Perancis yang rilis 2008 dan dibintangi oleh Juliette Binoche merupakan pengembangan dari film pendek berdurasi 34 menit berjudul The Red Balloon yang dibuat pada tahun 1956.
Bagaimana kedepannya? Gilasinema yakin akan banyak PH yang tertarik mengembangkan film pendek menjadi film panjang. Di tahun 2010 ini patut ditunggu Machete yang mendasarkan pada promo palsu di film Grindhouse. Indonesia tidak mau ketinggalan dengan Rumah Dara yang sebentar lagi bakal rilis dan merupakan pengembangan dari film pendek berjudul Dara kreasi Mo Brothers. Dan yang patut ditunggu, Sam Raimi rupanya tertarik mengikuti langkah Peter Jackson yang berhasil ”mengentaskan” Neill Blomkamp dengan menjadi produser film yang (sementara) berjudul Panic Attack! yang merupakan pengembangan dari film pendek berdurasi 4 menitan berjudul Ataque de Pánico! yang disutradarai Fede Álvarez (Uruguay). Fede Álvarez dipercaya menggarap versi panjang dengan suntikan sekitar $30 juta. Bandingkan biaya produksi versi pendek yang katanya cuma menghabiskan sekitar $300!
Mengembangkan film pendek menjadi film panjang tidaklah mudah. Layaknya ereksi, agar mampu menghadirkan sesuatu yang tegak nan kokoh meyakinkan serta memuaskan, terlebih dahulu harus mengoptimalkan sisi psikis maupun fisik. Satu tahap yang paling penting adalah dalam pengembangan naskah.. Menyusun kisah yang utuh, hukum sebab akibat yang mantap serta sub plot yang meyakinkan bolehlah dimasukkan sebagai sisi psikis untuk membangun rasa percaya diri. Namun jangan sampai terlalu percaya diri hingga terkesan hyper ereksi layaknya Saw yang berkembang mencapai 6 seri. Bayangkan, dari cuma 9,5 menit, berkembang menjadi 540 menit (dengan asumsi 1 seri = 90 menit). Menghadapi sesuatu yang berlebihan tentunya malah bikin capek dong.
Selanjutnya tinggal memaksimalkan kinerja fisik agar hasilnya makin sempurna dan WOW seperti desain produksi yang dipertimbangkan masak-masak, budget yang cukup, pemilihan pemain, serta hal-hal teknis lainnya yang mampu menopang sisi psikis yang sudah diusahakan untuk kuat. Pastinya, dibutuhkan sinergi yang bagus dari kedua sisi tersebut dalam menghadirkan kepuasan. Maksudnya, kepuasan penikmat film gitu.
Sekali lagi, film pendek bisa dijadikan sumber ide yang cukup menjanjikan. Kalau para produser film di Indonesia bisa melihat peluang ini, bisa dipastikan dunia sinema Indoensia tidak melulu sibuk menghadirkan kuntil, pocong, dada dan paha serta humor yang (maunya) lucu. Gilasinema yakin, ada ratusan film pendek dengan ide kisah yang segar dan cukup laku untuk dijual. Buat para kreator film pendek, karya yang dia buat bisa diperlakukan layaknya pilot project lho. Jadi tak ada salahnya menawarkan idenya dalam bentuk film pendek terlebih dahulu. Siapa tahu dengan presentasi yang menarik, ada produser yang tertarik. Mari memanjangkan yang pendek.
Selasa, 19 Januari 2010
TRUCKER
Selasa, 19 Januari 2010
0
Perempuan itu hakekatnya bagaimana sih? Peran yang bagaimana yang benar bagi seorang perempuan. Menjadi ibu rumah tangga yang disibukkan permasalahan domestic dengan mengesampingkan segala hasratnya atau menjadi sosok berdikari yang bisa melakukan hal-hal yang lazim digeluti para lelaki dan bebas mengejar mimpinya? Tak bisakah perempuan perempuan menggabungkan dua peran diatas?
Trucker sekali lagi mengangkat persoalan eksistensi perempuan. Di era dimana tuntutan persamaan peran semakin mengemuka, persoalan eksistensi perempuan ternyata butuh banyak sekali film untuk menumbuhkan kesadaraan mengenai kesetaraan gender. Bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan lawan jenisnya. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan baru, ketika perempuan disibukkan dengan perjuangan haknya, bagaimana dengan kewajibannya. Hak dan kewajiban bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Namun kadang kala karena terlalu asyik di satu sisi, membuat sisi yang lain menjadi terlupakan.
Diane Ford (Michelle Monaghan) memilih menjadi sopir truk karena pekerjaan ini dianggap lebih mencerminkan dirinya sebagai perempuan independent dibandingkan dengan pekerjaan sebagai pelayan atau perawat. Apalagi truk yang dia kendarai merupakan miliknya pribadi. Bagi Gilasinema, alasan ini agak sedikit kurang kuat. Apa bedanya mengoperasikan truk milik pribadi dengan menjadi pelayan di warung yang dikelola sendiri? Toh, keduanya sama-sama melayani orang lain.
Pilihan pekerjaan sebagai supir truk memungkinkan Diane bekerja sendiri, dan bisa memilih pasangan seksual tanpa pasangan ketika dia menginginkannya. Sekian tahun berada di jalan, membentuk Diane menjadi pribadi yang keras dan egois. Sutradara James Mottern memberi gambaran karakter Diane dengan efisien di adegan pembuka. Lewat adegan persetubuhan tersebut, terpampang dengan jelas bagaimana Diane cenderung nyaman semuanya berada di bawah kendalinya.
Namun naskah tidak membiarkan sosok Diane menikmati kebebasannya terlalu lama dengan menghadirkan Peter (Jimmy Bennett) anak kandungnya yang dia tinggalkan tidak lama setelah dilahirkan. Penonton pastinya sudah bisa menebak bagaimana selanjutnya cerita akan digulirkan. Pergesekan peran mulai menghantui hidup Diane. Sebenarnya, gesekan tersebut tidak perlu muncul terlalu tajam andaikan Peter tidak dimodali dengan tutur kata yang kasar dan penuh kemarahan. Bahkan, untuk ukuran anak berumur 11 – 12 tahun, apa yang keluar dari mulutnya terlalu dewasa, hingga terkesan berlebihan.
Seperti kebanyakan film independen, Trucker tidak memberikan konklusi yang jelas di akhir kisah. Kita hanya disuguhi sebuah rekonsiliasi antara Diane dengan Peter. Penonton dibiarkan menyimpulkan sendiri bagaimana peran ideal bagi seorang perempuan setelah hampir sepanjang durasi kita diperlihatkan berbagai konsekuensi dari sebuah pilihan. James Mottern tidak menempatkan sosok Diane layaknya terdakwa yang mendapatkan penghakiman. Kenyataannya, banyak sekali perempuan yang bekerja di sektor yang lazim dikerjakan lelaki. Ada yang berhasil menjalankan multi peran dengan baik, namun tak bisa dipungkiri, tak sedikit yang gagal mengkombinasikan berbagai peran yang melekat padanya.
Bagi penonton yang memandang perempuan seharusnya lebih banyak berkecimpung di dunia domestik, mungkin akan sulit sekali menikmati Trucker ini. Pada beberapa bagian, diperlihatkan perlakuan Diane pada lelaki. Selain adegan pembuka, adegan ketika Diane melangkahi temannya yang mabuk, Runner (Nathan Fillion), hingga kakinya menyenggol kepala lelaki tersebut mungkin akan terasa sangat kasar dan menghina. Sosok lelaki dalam film ini juga digambarkan tidak ada yang beres, mulai dari yang pesakitan, penurut hingga manipulatif.
Trucker memang tidak dibekali dengan naskah yang cukup meyakinkan, namun film ini ditopang oleh dua hal penting. Pertama, aksi para pemainnya yang bagus, terutama Michelle Monaghan dan Jimmy Bennett. Dibandingkan dengan pemenang Aktris Terbaik Kategori Film Drama di Golden Globe 2010, Monaghan menyajkan performa yang lebih menawan. Dia benar-benar mengemudikan sendiri truknya lho. Jimmy Bennett meski usia masih belia, justru melakonkan sosok Peter dengan baik. Lihat saja adegan dia bersama Len (Benjamin Bratt), ayahnya, yang terasa menggetarkan.
Penopang kedua film Trucker adalah sinematografinya yang memikat dan enak dimata. James Mottern dengan piawainya memanfaatkan pencahayaan alami untuk menghadirkan gambar-gambar yang cukup mengesankan. Dengan cukup banyaknya tampilan luar ruang, menjadikan film ini tidak terasa membosankan dan tidak jatuh ke aura suram. Musiknya, meski terdengar klise untuk sebuah film indie (bujet film ini kabarnya cuma $1,5 juta), cukup okelah ditelinga dan mampu mengiringi adegan demi adegan dengan baik.
Gilasinema dulu pernah melihat tayangan di tv yang menghadirkan sosok perempuan pengemudi truk pengangkut pasir. Kenapa belum ada sineas Indonesia yang berniat mengangkat kisah perempuan tersebut ya? Rasanya, bakal menjanjikan suguhan yang menarik asal naskahnya diolah dengan baik dengan disertai riset yang mendalam.3,25/5
Senin, 18 Januari 2010
TAKE OFF ( GUKGA DAEPYO )
Senin, 18 Januari 2010
1
Ketika dirilis, Take Off berhasil menempatkan diri di posisi dua film terlaris Korea di tahun 2009 dibawah Haeundae dan berhasil mengalahkan pendapatan film – film heboh produk Holly semacam Transformers: Revenge of the Fallen , 2012, Terminator Salvation dan Harry Potter and the Half Blood Prince. Keberhasilan Take Off merengkuh banyak penonton tidak bisa dilepaskan dari berhasilnya sutradara Yong-hwa Kim dalam mengangkat isu nasionalisme dan patriotisme, selain menawarkan sesuatu yang tampaknya belum banyak diangkat yakni olah raga lompat ski (sky jump). Gilasinema sendiri belum pernah melihat sport movie yang mengangkat lompat ski. Hanya sempat melihatnya di acara semacam extreme sport.
Meski berembel – embel berdasarkan kisah nyata, Kisahnya sendiri sebenarnya sangatlah klise, dengan pakem cerita layaknya sport movie lainnya. Para pecundang dengan berbagai masalah dikumpulkan menjadi satu tim, kemudian muncul gesekan dan juga tantangan, namun di akhir kisah mereka digambarkan menjadi pemenang. Namun, untungnya di tangan sutradara yang pernah menghasilkan 200 Pounds Beauty, Take Off menjadi sport movie yang sedikit berbeda dengan dimasukkannya konflik dan humor khas Korea serta memberi kejutan dengan ending yang diluar dugaan.
Dengan durasi yang lebih dari 2 jam, Take Off sedikit membosankan dengan pengenalan karakter yang hampir 30 menit. Namun setelah 30 menit tersebut, kita mulai disuguhi momen-momen menarik ketika para anggota tim tersebut mulai dilatih dengan cara-cara yang terlihat aneh yang justru berhasil memancing tawa penonton. Cara-cara aneh tersebut ternyata tidak untuk sekedar memancing tawa, karena pada akhirnya penonton dibuat paham mengapa pelatihannya seperti itu. Untuk memaniskan suasana, dihadirkan sosok perempuan yang merupakan anak dari si pelatih. Si gadis ini sangatlah manipulatif hingga kita dibuat tersenyum melihat tokoh yang menjadi korbannya. Untungnya, kehadiran pemanis ini bukanlah tempelan semata karena kehadirannya menjadi penting ketika situasi genting melanda tim lompat ski.
Sutradara Yong-hwa Kim, yang sekaligus merangkap sebagai penulis naskah, patut diacungi jempol berkat keberhasilannya mempermainkan emosi penonton. Gilasinema sendiri dibuat takjub sekaligus gemas dengan kelihaiannya menyelipkan humor di tengah-tengah sebuah adegan yang serius. Jadi teringat dengan pendekatan Sam Raimi yang sukses menghadirkan senyum diantara adegan horor. Dan karena ini film Korea, tidak lengkap rasanya tanpa adegan-adegan penguras air mata yang mungkin akan terasa sangat berlebihan bagi penonton di luar Korea. Kadang, kita jadi disuguhi tontonan layaknya film produk Bolly. Dan memang, menyaksikan Take Off, Gilasinema (sekali lagi) teringat dengan film produk Bolly bejudul Chakde India!
Gilasinema seringkali menggelengkan kepala tanda takjub setiapkali selesai melihat film produk Korea Selatan, terutama sekali film-film hebohnya. Perkembangan sinema disana nyata luar biasa pesat sekali yang ditunjukkan dengan tampilan visual film-filmnya, seperti yang terlihat di Haeundae, The Host atau The Good, The Bad and The Weird. Take Off semakin menambah kekaguman betapa Korea Selatan berhasil mengadopsi Holly dengan baik sekali,dilihat dari segi penceritaan ataupun efek visual. Take Off menyajikan adegan-adegan lompat ski yang menawan, dan terlihat sekali di beberapa bagian sangat terbantu dengan efek visual yang cukup rapi. Adegan-adegan lompat ski yang dihadirkan rasanya mampu membuat beberapa penonton ingin ikutan melompat lebih tinggi.
Take Off tidaklah terlalu memfokuskan kepada kemenangan seperti kebanyakan sport movie. Jiwa Patriotisme dan Nasionalisme lebih dikedepankan dengan kerja keras yang ditunjukkan olah para anggota tim. Dan rasanya tidak perlu mempertanyakan patriotisme dan nasionalisme seseorang yang telah berjuang keras demi mengangkat harkat dan martabat negaranya. Intinya, Atlet yang berprestasi adalah seorang pahlawan yang karenanya paatut mendapatkan penghargaan yang semestinya. Selain kedua isu tadi, sekali lagi Take Off membuktikan, olahraga bisa dijadikan sarana sebuah negara untuk lebih dihargai oleh negara lain. Tema seperti ini bisa didapatkan juga di film Invictus. Take Off sangat sayang sekali untuk dilewatkan dan nantikan endingnya yang cukup berbeda. 3,5/5
Sabtu, 16 Januari 2010
SIAPA MAU DVD PINTU TERLARANG?
Sabtu, 16 Januari 2010
11
Kabar gembira buat penggemar film PINTU TERLARANG. Gilasinema akan memberikan 1 buah DVD Original Pintu Terlarang kepada 1 orang yang beruntung. Kondisi DVD masih bagus meski plastiknya telah dibuka,karena belum pernah diputar sama sekali. Buat yang berminat, tunggu quiz-nya di bulan Februari nanti dan mohon maaf, quiz hanya berlaku buat mereka yang berdomisili di Indonesia. Sebagai petunjuk, cermati berita seputar award season. TERIMA KASIH :D
IDENTITAS
Pantaskah film Identitas menjadi yang terbaik di ajang FFI 2009? Pertanyaan ini langsung menggelayut tatkala Gilasinema selesai menonton film ini. Identitas bagi Gilasinema sungguh sebuah film yang mengganggu, rasa dan estetis. Sulit untuk menempatkan Identitas sebagai film yang bagus, namun tak layak juga dikategorikan sebagai film buruk. Menyaksikan Identitas seperti mendengarkan seseorang sedang curhat. Yang namanya orang curhat selalu menampilkan satu sisi kebenaran dan esensi dari curhat itu sendiri adalah mencari dukungan akan kebenaran idenya hingga tidak memberi ruang penghakiman dari si pendengar.
Identitas merupakan curhat kreatornya akan bobroknya system kesehatan di negeri kita. Ketika di rumah sakit, entah itu milik pemerintah atau swasta. manusia sudah merosot derajatnya menjadi komoditas, hingga membuka berbagai macam peluang bisnis mulai dari bisinis pelayanan kesehatan, jasa pemakaman, penjualan organ hingga bisnis kepuasan ragawi. Sehat menjadi hal yang eksklusif karena hanya kalangan tertentu saja yang bisa mendapatkan pelayanan terbaik.
Rumah sakit dalam Identitas menjadi tempat yang kotor, dalam artian sebenarnya maupun kiasan serta riuh karena dipenuhi orang-orang dengan berbagai macam kepentingan. Tentu saja hal ini membutuhkan sosok antagonis biang carut marutnya pelayanan kesehatan, yang dalam Identitas, sekali lagi dibebankan pada para pembuat kebijakan yang dinilai piawai menebar janji namun seringkali amnesia dalam realisasi.
Lewat tokoh Adam (Tio Pakusadewo) yang berprofesi memandikan mayat, kita diajak untuk “berwisata” menyaksikan segala kebobrokan tadi. Karena sering bergaul dengan mayat, Adam menjadi sosok asing dilingkungan tempat tinggalnya yang digambarkan penuh dengan orang-orang hipokrit yang sibuk berjualan. Namun anehnya, di luar tempat tinggalnya, Adam bisa dengan mudahnya menjalin kontak dengan orang lain, apalagi dengan perempuan keturunan Tionghoa (Leony) yang menjual tubuhnya pada pria penikmat hubungan kelamin, untuk mendapatkan biaya perawatan ayahnya.
Gara- gara persinggungan Adam dengan perempuan tersebut, tiba-tiba saja curhat beralih ke persoalan identitas. Di sesi curhat bagian kedua ini, si pencurhat mencoba menjungkir balikkan stereotype yang berlaku di masyarakat. Yang paling kentara tentu saja penggambaran tokoh keturunan Tionghoa yang digambarkan miskin. Lihat saja si pemilik warung atau sosok yang diperankan Leony yang saking melaratnya tidak mampu membeli alas kaki, yang (mungkin) bisa juga untuk memberi gambaran tak adanya proteksi terhadap kaum (yang dianggap) minoritas. Meski kenyataannya banyak dijumpai warga keturunan yang kurang beruntung, namun sudah terbentuk pandangan mereka dipandang sebagai kaum mapan.
Identitas berusaha mengkritisi pemaknaan jati diri seseorang yang hanya mendapat pengakuan oleh Negara kalau ada bukti otentik yang mendukungnya. Identitas seseorang dinilai dari apa yang tercantum dalam kertas yang dilegalisasi oleh pihak berwenang. Kalau syarat ini tidak bisa dipenuhi, orang tersebut dianggap tidak eksis, dan malangnya bisa dianggap melanggar hukum. Bukannya mereka tidak ingin melegalkan identitas mereka, namun birokrasi yang tidak ramah dan manusiawi membuat mereka mundur. Dampaknya, ketika meninggal pun mereka tidak bisa mendapatkan pemakaman yang layak.
Kenyataannya, identitas itu sesuatu yang sangat fleksibel, yang bisa ditentukan oleh banyak hal, salah satunya adalah batas geografis. Warga keturunan Tionghoa dikondisikan sebagai warga minoritas di Indonesia, namun kalau dilihat secara luas, mereka warga terbesar di dunia ini dilihat dari jumlahnya. Indikator dalam penentuan identitas pastinya menimbulkan perdebatan panjang dan pastinya akan lebih mudah ketika manusia dipandang sebagai manusia.
Kembali ke persoalan curhat tadi. Sebenarnya apa yang dicurhatkan materinya sangatlah menarik, namun karena disampaikan dengan terlalu banyak gugatan, sebagai pendengar curhat kita jadi bertanya-tanya, ini maunya apa sih? Apalagi dalam berkeluh kesah diselipkan humor-humor yang hanya bisa diterima kalangan tertentu saja. Dimasukkannya berbagai macam ornamen semakin membuat kita sulit menterjemahkan maksud cerita.
Selain gugatan yang membabi buta, kta dibuat tidak nyaman dengan persentasi audio visual yang tidak konsisten. Dialog pemainnya kadang merupakan hasil pengisian suara di studio, namun di beberapa adegan merupakan hasil rekam langsung pas syuting. Tidak asyiknya, dengan dialog yang amat teatrikal, pengisian suara lewat studio tersebut malah mengikis emosi karena terdengar tidak natural. Pengambilan gambar dalam durasi cukup lama tanpa putus patutlah dihargai, namun lain kali kalau bisa bayangan kameramen jangan sampai ikut nampang. Patut diacungi jempol mereka yang mengurusi bagian artistik atas keseriusan mereka dalam memberi gambaran kondisi rumah sakit yang ruwet bin kacau.
Seperti diungkapkan diatas, menyaksikan Identitas layaknya mendengar sebuah curhat. Luapan keluh kesah itu sangatlah personal, karenanya tidak mengherankan kalau Identitas terkesan egois. Kreatornya seakan tidak menghiraukan tanggapan audien karena bisa saja itu bukanlah sesuatu yang penting bagi mereka. Sulit bagi penonton untuk bersimpati pada kisah yang dituturkan hingga tidak peduli dengan pesan yang ingin disampaikan. Kreator tampaknya sudah cukup puas uneg-unegnya sudah tercurahkan dan hirau pesan mengena sasaran atau tidak. Kok seperti masturbasi ya?
Kabarnya Identitas merupakan bagian pertama dari sebuah trilogy. Kalau hal ini benar adanya, alangkah bijaksananya apabila para kreatornya membuat dua film selanjutnya lebih ramah pada penonton. 3/5
Kamis, 14 Januari 2010
THIRST ( BAKJWI )
Kamis, 14 Januari 2010
2
Apa jadinya seorang Pendeta berubah menjadi vampire? Tak ada yang meragukan dedikasi Sang-hyeon (Kang-ho Song) sebagai Pendeta. Saking berdedikasinya, dia mengikhlaskan dirinya menjadi obyek eksperimen demi kemanusiaan. Namun dari niat mulia inilah hidup Sang-hyeon menjadi jungkir balik, dari sosok yang harusnya mengarahkan umat ke jalan yang benar justru amat membutuhkan darah segar buat bertahan hidup.
Di tengah kegundahannya, dia bertemu dengan Tae-ju (Ok-bin Kim) yang hidupnya tersia-siakan hingga tidak mempunyai keyakinan terhadap apa yang namanya agama. Hampir setiap hari Tae-ju mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari suami dan ibu mertuanya. Hal ini menimbulkan simpati pada diri Sang-hyeon dan tidak butuh waktu lama keduanya terlibat dalam hubungan terlarang dan berbahaya, mengingat Sang-hyeon adalah seorang pria penyuka darah.
Sejak persinggungannya dengan Tae-ju, perilaku Sang-hyeon benar-benar tidak mencerminkan perannya sebagai seorang Pendeta. Dia menjadi pencuri, pembohong dan diliputi kecemburuan hingga menjadi penzinah. Puncaknya, adalah ketika Sang-hyeon memutuskan mengakhiri hidup suami Tae-ju. Berubahlah Pendeta itu menjadi seorang Pendosa. Baru kemudian Sang-hyeon menemukan kebenaran kalau Tae-ju telah memodifikasi penderitaannya.
Dengan landasan iman yang kuat, meski mengalamai kegoyahan, rasa bersalah menyelimuti Sang-hyeon. Tae-ju hidupnya juga tidak lebih tenang karena senantiasa dihantui sosok suaminya. Sutradara Chan-wook Park menggambarkan “terror” rasa bersalah ini dengan baik, terutama adegan “threesome” yang bisa dirasa lucu. Selanjutnya, kisahnya tiba-tiba dibelokkan menjadi kisah perseteruan antara adam dan hawa tatkala karena keterpaksaan, Sang-hyeon menjadikan Tae-ju layaknya dirinya meski awalnya menolak dengan keras ketika Tae-ju memohon untuk ”ditulari”.
Perseteruan muncul karena Tae-ju yang makin buas dan membabi buta. Mungkin karena tidak mempunyai landasan iman yang kuat yang membuat Tae-ju bertransformasi menjadi iblis yang selalu haus darah. Berbeda dengan Sang-hyeon yang masih saja bergelut dengan dirinya sendiri, Tae-ju begitu menikmati perwujudan barunya. Tidak ingin jatuh lebih banyak korban, Sang-hyeon memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Kisahnya sedikit mengingatkan pada kisah Frankenstein.
Satu hal yang membuat Gilasinema malas menikmati film vampire, yakni selalu berlandaskan kisah cinta terlarang yang dibuat (sok) mendayu-dayu dan selalu terlihat (terlalu) berusaha meyakinkan penonton bahwa sah adanya cinta antara vampire dengan manusia. Sosok vampire selalu digambarkan elegan dan charming. Thirst sangat bisa dinikmati Gilasinema berkat penyajiannya yang sangat jauh berbeda dibandingkan kisah vampire kebanyakan. Memang masih menampilkan kisah cinta terlarang, namun apa yang tersaji dilayar terasa liar dan Chan-wook Park berhasil menghadirkan momen-momen tak terlupakan (adegan minum darah dengan selang sangat lucu dan orisinil). Apalagi dengan pertarungan peran dalam diri Sang-hyeon menjadikan Thirst unggul dibanding kisah vampire lainnya. Sutradara Chan-wook Park juga menghadirkan tampilan visual yang memikat. Paling suka dengan adegan kejar-kejaran antara Sang-hyeon dan Tae-ju diatas gedung.
Penampilan dua bintangnya juga bagus. Ok-bin Kim yang filmografinya belum begitu banyak, dalam Thirst berani melakonkan adegan-adegan panas dengan mulus. Perubahan karakternya dari penderita menjadi sosok buas juga bisa diinterpretasikan dengan baik. Gilasinema dikejutkan dengan penampilan Kang-ho Song di salah satu adegan. Kaget melihat aktor senior ini berani mempertontonkan ketelanjangan yang frontal. Secara keseluruhan, meski ceritanya mengambil plot novel Thérèse Raquin, Thirst merupakan tontonan segar yang apik meski lumayan banyak menampilkan adegan dewasa dan berdarah-darah. 4/5
TEBAK PEMENANG GOLDEN GLOBE 2010
Picture, Drama:
"The Hurt Locker,"
Picture, Musical or Comedy:
"The Hangover,"
Actor, Drama:
Colin Firth, "A Single Man";
Actress, Drama:
Carey Mulligan, "An Education";
Director:
Kathryn Bigelow, "The Hurt Locker";
Actor, Musical or Comedy:
Matt Damon, "The Informant!";
Actress, Musical or Comedy:
Meryl Streep, "Julie & Julia."
Supporting Actor:
Christoph Waltz, "Inglourious Basterds."
Supporting Actress:
Mo'Nique, "Precious: Based on the Novel 'Push' by Sapphire";
Foreign Language:
"The White Ribbon."
Animated Film:
"Coraline,"
Screenplay:
Jason Reitman, "Up in the Air";
Original Score:
James Horner, "Avatar";
Original Song:
"The Weary Kind (Theme from 'Crazy Heart')" (written by Ryan Bingham, T Bone Burnett), "Crazy Heart";
Rabu, 13 Januari 2010
IN THE YEAR OF WOMAN
Rabu, 13 Januari 2010
2
Selain kembalinya alien dan berjayanya animasi, tahun 2009 juga diiwarnai satu hal menarik, yakni makin kukuhnya posisi perempuan di dunia perfilman Holly. Tahun 2009 banyak dimeriahkan dengan banyaknya sutradara wanita yang merilis film, bahkan ada nama disebut-sebut bakal menjadi contender kuat untuk meraih gelar Sutradara Terbaik di ajang Oscar nanti. Tidak semuanya berhasil memang, namun paling tidak kehadiran mereka mampu menyemarakkan dunia perfilman dan sedikit mengikis pandangan terhadap Holly yang kurang permisif terhadap sineas perempuan.
Ajang sekaliber Oscar nyatanya baru memberi kesempatan kepada 3 sutradara perempuan untuk masuk nominasi sepanjang lebih dari 80 kali penyelenggaraan. Mereka adalah Lina Wertmüller (Seven Beauties), Jane Campion (The Piano) dan Sofia Coppola (Lost In Translation), kalah dengan FFI yang sudah berani memberikan Piala Citra kepada Mouly Surya (Fiksi.). Dunia perfilman Indonesia patut bangga karena sineas wanita sudah diakui kualitasnya. Nominasi FFI 2008 untuk kategori Sutradara Terbaik bisa dijadikan bukti.
Dari hasil investigasi Gilasinema (duh….), berikut para sutradara wanita yang di tahun 2009 kemarin meluncurkan karyanya :
Anne Fletcher (The Proposal)
Anne Fontaine (Coco avant Chanel)
Betty Thomas (Alvin and the Chipmunks: The Squeakuel), istrinya Daniel Day-Lewis
Cherien Dabis (Amreeka)
Christine Jeffs (Sunshine Cleaning )
Drew Barrymore (Whip It!)
Jane Campion (Bright Star)
Karyn Kusama (Jennifer’s Body)
Kathryn Bigelow (The Hurt Locker)
Lone Scherfig (An Education)
Lynn Shelton (Humpday)
Mira Nair (Amelia)
Nancy Mayers (It’s Complicated)
Nia Vardalos (I Hate Valentine's Day)
Nora Ephron (Julie & Julia)
Rebecca Miller (The Private Lives of Pippa Lee)
Sophie Barthes (Cold Souls)
Vicky Jenson (Post Grad)
Natalie Portman pantas juga dimasukkan ke dalam daftar mengingat dirinya mulai belajar mengarahkan film di salah satu kisah dalam New York, I Love You. Nama – nama seperti Kathryn Bigelow, Lone Scherfig dan Nora Ephron diramalkan bakal lumayan bertaji di ajang Oscar 2010 nanti. Kita tunggu saja.
Selain makin banyaknya sutradara perempuan, tahun 2009 juga banyak banyak dirilis film-film yang berkisah tentang perempuan. Genre animasi yang kebanyakan menggambarakan dunia (anak-anak) laki-laki mulai melakukan sedikit pergeseran dengan hadirnya 3 film animasi yang protagonisnya perempuan, yakni Coraline, The Princes and The Frog dan Monsters vs. Aliens. Kalau memang tahun 2009 merupakan tahunnya perempuan, Gilasinema menjagokan Coraline untuk meraih Oscar di kategori Animasi Terbaik. Kapan ya, Pixar membuat cerita yang protagonisnya cewek?
Untuk tahun 2010,dari data yang Gilasinema peroleh, sutradara perempuan yang hadir tidak sebanyak di tahun 2009. Mungkin karena banyak film yang jadwal rilisnya belum pasti. Berikut beberapa sutradara perempuan yang bakal merilis film di tahun 2010 ini :
Massy Tadjedin (Tell Me)
Floria Sigismondi(The Runaways)
Julie Anne Robinson (The Last Song)
Nanette Burstein (Going the Distance)
Elizabeth Allen (Ramona and Beezus)
Andrea Arnold (Fish Tank)
Sofia Coppola (Somewhere)
Langganan:
Postingan (Atom)