Kamis, 28 Januari 2010
THE ROAD
Kamis, 28 Januari 2010
Diceritakan kembali, The Road mempunyai jalinan cerita yang amat sangat simple. The Road berkisah tentang perjalanan Ayah (Viggo Mortensen) dan Anak (Kodi Smit-McPhee) di masa setelah bumi mengalami kehancuran yang menelan korban hampir semua manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam perjalanan menuju tempat yang diyakini lebih baik, Ayah dan Anak tersebut harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari gerombolan yang memakan manusia lain buat bertahan hidup, perampas serta alam yang setiap saat bisa mencederai keduanya dan iklim yang tidak bersahabat. Perjalanan tersebut makin berat mengingat kondisi ayah yang kurang prima. Disela-sela perjalanan, kita disuguhi adegan kilas balik dimana sang Ibu (Charlize Theron) masih hidup, masa dimana bencana mulai membayangi yang membuat si Ibu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
The Road pada dasarnya merupakan sebuah kisah cinta antara Ayah dan Anak. Yang namanya kisah cinta tidak bakal dikenang kalau tidak dihadapkan dengan ujian, yang dalam The Road diwujudkan dengan kerusakan dan kehancuran bumi. Rasa cinta selain mendatangkan kebahagiaan nyatanya juga membangkitkan rasa takut kehilangan sesuatu yang dicintai. Ketakutan ini layaknya bayangan yang selalu mengikuti langkah. Karena rasa cinta terhadap anaknya, sang Ayah melakukan apa saja agar ketakutannya kehilangan Anak yang dia cintai tidaklah terwujud.
Rasa cinta membangkitkan ketakutan akan kehilangan. Selanjutnya, ketakutan membangkitkan keberanian dan kekuatan untuk bertahan dan berjuang. Pada tahap inilah kemudian muncul semacam gugatan moral, karena demi sesuatu yang dicintainya, kadang manusia tidak lagi berperilaku berlandaskan kemanusiaan. Dalam The Road, gugatan ini hadir ketika Ayah dan Anak bertemu dengan pria tua yang sakit-sakitan (Robert Duvall) dan pria miskin (Michael K. Williams). Kekerasan sang Ayah dikontraskan dengan kepolosan sikap si Anak.
The Road sungguh sebuah tontonan yang sangat depresif namun menggugah. Kehancuran dan kerusakan yang dihadirkan terasa nyata dan balutan warna-warna suram makin menguatkan kesan tersebut. Tampilan visual yang suram dan kelam, selain terasa depresif, uniknya juga menghadirkan keindahan tersendiri. Lihat saja adegan kebakaran yang terlihat cantik. Setting yang ”rusak” juga efektif menggugah rasa simpati penonton terhadap dua tokoh utamanya, hingga rasa cinta keduanya menjadi terasa sangat kuat. Untungnya, film ini memberikan ending yang mencerahkan.
Selain sajian visual yang ciamik, emosi The Road sangat terbantu oleh sinergi yang kuat antara Viggo Mortensen dengan Kodi Smit-McPhee. Sekali lagi, Viggo Mortensen membuktikan kapasitasnya sebagai seorang aktor, dengan selalu memilih peran-peran berat yang hebatnya selalu bisa dia interpretasikan dengan baik. Demi The Road dia rela menguruskan badan, dan kabarnya demi menghayati perannya, dia selama 3 bulan berjalan tanpa alas kaki dan tidak mandi sama sekali! Kodi Smit-McPhee untungnya belum tercemar kemilaunya Holly hingga masih bisa merefleksikan kepolosan bocah dengan baik. Charlize Theron, meski mendapat porsi yang sedikit, terlihat serius dalam memberikan performa terbaiknya, begitupun dengan Robert Duvall yang tampil amat sangat lusuh.
The Road bukannya tidak mengandung hal-hal yang mengganggu. Bagi sebagian penonton, mungkin The Road akan dilihat sebagai sebuah tontonan yang seksis dengan penggambaran karakter perempuan yang lemah dan sosok berkelamin pria yang begitu mendominasi layar bisa saja menguatkan anggapan ini. Kesan rasis bisa juga muncul dengan penggambaran pria kulit hitam miskin yang mencuri barang-barang milik Ayah dan Anak. Namun, dengan berpikir positif, asumsi-asumsi tadi bisa dengan mudah diabaikan. Sama halnya pengabaian akan penyebab rusaknya bumi dalam film ini yang sengaja tidak dijelaskan dengan gamblang.
The Road yang disutradarai oleh John Hillcoat ini merupakan salah satu film terbaik yang dirilis sepanjang tahun 2009 dan sangat tidak layak untuk dilewatkan. Namun sayangnya film ini mendapat sambutan yang tidak begitu meriah, baik dari para penikmat film (pengaruh jadwal rilis yang berubah-ubah?) maupun dari berbagai ajang penghargaan film yang sedang marak (kurang dipromosikan?). 4,25/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
wah saya belom nonton tuw mas..tapi liat resensinya kalo ini diangkat dari sebuah buku jadi pengen nonton.....
padahal dari segi muatan cerita agak mengarah ke ajang festival tapi kok kurang dilirik ya ama ajang penghargaan..
Iya sayang sekali. Produsernya kurang nge-push kali
film ini keren :)
reviewnya bagus sekali..
saya suka sama tone nya deh mas pas liat di trailer.. jadi makin pengen nonton
belum nonton nih, tp emang udah ngebet juga dengan film ini.. :)
"Namun, dengan berpikir positif, asumsi-asumsi tadi bisa dengan mudah diabaikan" Saya suka kalimat ini mas, nonton untuk hiburan, buang dulu asumsi2 macam itu, kalo dari beberapa review yang saya baca film ini emang ok banget. mau nonton tar malem hehe
Memang mantep nih film.saya suka ceritanya yang simple.somehow,saya berpikir bahwa novel2 Cormack McCarthy itu emang pantes ya dijadiin film dengan alasan utama : Novelnya kaya akan visual yg memang inti dari film.menurut saya sih gitu :)
Posting Komentar