Sabtu, 10 Oktober 2009
JERMAL
Sabtu, 10 Oktober 2009
Lama tidak mengenal sosok ayah, Jaya (Iqbal S. Manurung) dipaksa oleh keadaan ditinggal oleh ibunya yang wafat, untuk menemui sosok lelaki yang ternyata mengingkari keberadaan anaknya. Johar (Didi Petet) lebih dari 10 tahun tinggal di tengah-tengah laut, tepatnya pada sebuah jermal, yakni perangkap pasang surut (tidal trap) yang merupakan ciri khas alat penangkapan yang terdapat di perairan Sumatera bagian Utara. Lama tidak hidup di lingkungan normal membentuk pribadi Johar yang keras dan apatis.
Dilingkungan yang benar-benar baru, Jaya mengalami semacam gegar budaya, dimana sebelumnya hidup di daratan (digambarkan dengan jangkrik yang sangat dia jaga), kini dia harus tinggal di atas lautan. Jaya menjadi bulan-bulanan anak-anak yang menjadi pekerja disitu. Jaya yang sebelumnya diasuh dengan pendekatan feminim, harus berhadapan dengan gaya hidup maskulin. Awalnya, Jaya hanya bisa pasrah dengan perlakuan tersebut, namun lama-lama, Jaya bermetafora layaknya mereka, bahkan lebih kuat dan ditunjang dengan kecerdasannya, karena mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang lain.
Batu kalau ditetesi air, lama-lama akan berubah bentuk juga. Itulah yang terjadi pada Johar. Perubahan itu terjadi ketika Johar terpaksa membaca surat-surat yang dikirimkan oleh ibu Jaya. Johar yang menyadari kesalahannya mencoba memperbaiki hubungannya dengan Jaya yang mulai membencinya. Keinginan Johar tersebut diperkuat dengan kesadaran akan perubahan Jaya yang menjadi beringas layaknya dia dulu. Bisakah antara dua lelaki beda usia dan karakter ini pada akhirnya terjalin hubungan bapak anak? Lelaki yang bagaimana sih yang bisa disebut sebagai lelaki sejati?
Gilasinema berani mentasbihkan Jermal ini sebagai salah satu film terbaik Indonesia yang dirilis sepanjang tahun 2009 ini. Meski tampaknya didukung dana yang tidak besar, para kreator film ini berhasil menyajikan tontonan yang memikat dan berisi. Dengan cerdasnya, untuk mengakali budget yang terbatas, para penulis cerita menitikberatkan pada isu hubungan bapak-anak ketimbang isu pekerja anak di bawah umur. Jalinan cerita yang dipilih memungkinkan untuk menghadirkan pemain seminim mungkin.
Namun bukan berarti persoalan pekerja anak dipinggirkan. Beberapa kali patroli polisi dihadirkan dengan maksud mengungkap hal tersebut, meski segera berlalu. Mungkin kenyataannya memang begitu. Dan meski tidak diutarakan dengan gamblang, banyaknya pekerja anak di jermal disebabkan kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.
Yang menarik dari film ini adalah bagaimana sosok Jaya bertransformasi. Ketika pertama kali datang ke jermal tersebut, Jaya digambarkan agak gemulai namun secara perlahan sosoknya menjadi lebih berani melawan kesewenang-wenangan. Secara perlahan pula dia bisa diterima oleh anak-anak yang lain berkat kemampuannya menulis. Proses adaptasi ini mengalami puncaknya ketika Jaya menerima kematian jangkrik kesayangannya.
Karakter Johar tidak kalah menarik. Penolakannya pada kehidupan luar digambarkan dengan cara tidurnya. Johar hanya bisa tidur ketika memakai penyumbat telinga (yang selalu berkurang diambil Jaya), lampu dimatikan dan wajahnya ditutup kain. Dan ada satu sekuen kuat yang menggambarkan niat Johar memperbaiki kesalahan yang dia buat yakni bagaimana dia berusaha menyatukan kembali surat yang telah dia sobek-sobek.
Jermal mengingatkan pada film-film Jepang yang minim dialog dan pemain, hingga kadang terasa sunyi. Namun, Jermal tak lupa menyajikan beberapa adegan menyentuh dan lucu. Adegan ketika Jaya dan Johar ddudk berdampingan di akhir film menjadi bagian yang paling menyentuh. Adegan lucu hadir, terutama ketika Jaya menuliskan surat curahan teman-temannya, atau ketika Jaya berak di tempat penampungan air khusus untuk Johar, meski tindakannya ini pada akhirnya malah mengenai dirinya sendiri yang pasti membuat penonton trenyuh. Dan lewat Jermal, sekali lagi ditegaskan kekuatan dari pena.
Dengan lokasi yang monoton Jermal berpotensi membuat bosan para penonton. Film ini mungkin juga terasa ”kering” mengingat tidak ada satupun sosok perempuan yang dihadirkan. Tak mengherankan kalau film ini hanya bertahan 2-3 hari ketika ditayangkan di bioskop. Itupun tidak semua bioskop memutar film ini. Gilasinema sendiri harus rela menunggu sampai VCD/DVD nya resmi dirilis, meski di internet sudah bisa mudah didapatkan.
Menyedihkan sekali film sebagus ini diacuhkan oleh penonton. Jangan salahkan para produser kalau mereka lebih sibuk membuat film kuntil atau pocong serta komedi seks yang tidak memberikan apa-apa, karena memang penontonnya lebih tertarik dengan jenis tontonan seperti itu. Dan ngomong-ngomong soal Oscar, rasanya Jermal lebih qualified untuk diikutsertakan ketimbang Jamila dan Sang Presiden. Bukan berrati Jamila dan Sang Presiden jelek, namun dengan Setting ceritanya yang unik dan kental nuansa lokal, namun penyajiannya yang tetap bisa diterima global, Jermal mempunyai nilai lebih. Kalau Gilasinema jadi menteri yang membawahi film (dengan sedikit senyum tentu saja), pasti akan mensponsori film ini di ajang festival-festival film beken. 4,25/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
8 komentar:
udah ada dvdnya ya mas?
Tapi film ini kalah sama Jamila dan Sang President untuk ngewakilin indonesia di oscar. saya tidak mengerti. belum nonton jamila juga. hehehe.
Yosh, setuju ama review dari GilaSinema. Film ini bagus. Ada campuran lucu dan sedihnya. Endingnya juga ditutup dengan bagus. :D
@Awya : udah rilis kok. Kayaknya Indonesia gak kayak negara laen ya kalo soal pengiriman film ke Oscar. Negara laen kayaknya urusan beginian dibantu oleh semacam Dewan atau Komite Film gitu. Jadi ada peran aktif dari pemerintah dalam memajukan industri kreatif. Tidak cukup hanya dengan pujian (ini nyindir bapaknya heheheh...). Mohon dibenarkan kalau salah.
@Weww : Toss dulu :D
Mm, jamila dipilih oleh Himpunan Pembuat Film yg biasanya milih film bwt oscar. Ktnya si dr voting. Dan nomineenya Babi Buta yg ingin terbang, jermal, dan pintu terlarang.
Tp biasanya si mereka yg punya duit untuk campaign yg diutamakan. Haha.
Kans jamila kecil kyknya ya.
Waaah....makasih ya koreksinya. Baru tau ku kalo ada Himpunan Pembuat Film. Pintu Terlarang memang pantesnya di festival khusus horor/fantasy saja. Jamila dipilih mungkin karena ada Raam Punjabi di baliknya (suudzon hehehehe,,,,,)
ceritan dunk mas tentang kehidupan di jeralnya terus sama kehidupan msyarakat sumatranya yang anak-anak di bawah umurnya itu lebih mementingkan bekerja daripada sekolah........aku dapat tugas referensi novel Jermal nih
emang, sampe sekarang jermal itu masih ada yah????
rus kenapa sih,walaupun undang-undang perlindungan anak itu ada, tapi kok msih ad aj anak2 yang kerja di Jermal??
@mimin : coba aja di search di google, banyak kok tulisan soal jermal
@bolu : mungkin jumlahnya tidak banyak, namun kenyatannya jermal masih ada. Salah satunya yang menjadi lokasi syuting film ini. Untuk masalah penegakan hukum perlu dibutuhkan peran aktif semua pihak, dan permasalahan buruh anak biasanya terkait dengan banyak hal antara lain kemiskinan dan kebodohan. Ujung-ujungnya ya mengarah pada kebijakan pembangunan dari pemerintah
Posting Komentar