Sabtu, 27 Februari 2010
20 DI TAHUN 2005
Sabtu, 27 Februari 2010
7
Saatnya 20 film pilihan Gilasinema yang rilis tahun 2005, setelah cukup lama tidak menyusun list beginian. Jeda ini disebabkan karena banyak sekali film-film rilisan tahun 2005 yang belum Gilasinema tonton dan beberapa judul perlu ditonton ulang biar lebih mantap. The Chronicles of Narnia, King Kong, Madagascar, Constantine, Memoirs of a Geisha adalah beberapa judul terkenal yang belum Gilasinema tonton dan belum ada ketertarikan buat menontonnya. Namun, film-film seperti Turtles Can Fly, Oldboy, The Squid and the Whale, Mrs. Henderson Presents, Match Point, Capote, Good Night, and Good Luck, The Constant Gardener dan Syriana sangat ingin Gilasinema tonton. Munich dan Jarhead pernah menontonnya namun tidak selesai, Junebug yang dipuji banyak kritikus film belum bisa Gilasinema lihat keistimewaannya, bahkan acting Amy Adams sekalipun. Saw II masih cukup terjaga kualitasnya dan harusnya tidak berlanjut lagi, sedangkan Wedding Crashers, The Amityville Horror, The Sisterhood of the Traveling Pants, Because of Winn-Dixie dan Into the Blue tidak mengecewakan sebagai sebuah hiburan.
20. 9 SONGS
Michael Winterbottom itu seperti Lars von Trier yang tahu bagaimana membuat karya controversial. Dengan durasi pendek, Michael menyajikan gaya percintaan sepasang anak muda terkini dengan apa adanya. Maksudnya, benar-benar apa adanya. Ada nuansa romantisme, pencarian sekaligus makna yang hilang dalam hubungan dua insane tersebut
19. TIM BURTON’S CORPE BRIDE
Seperti karya Tim Burton lainnya, Corpse Bride menyajikan sebuah kisah dan visual yang ganjil, imajinatif serta cantik meski tetap menyimpan sebuiah kengerian. Selipan humor khas Tim Burton kadang terasa lucu namun juga membuat merinding
18. THE 40-YEAR-OLD VIRGIN
Meski durasinya terlalu panjang dan kadang terasa membosankan, The 40-Year-Old Virgin tidak bisa dipungkiri adalah sebuah film komedi yang lucu dan berpengaruh, karena setelahnya diikuti dengan beberapa judul dengan pendekatan serupa, yakni dialog-dialog serta visual yang kata orang “jorok”.
17. THE EDUKATORS
Film ini bisa menjadi sebuah referensi yang bagus buat para muda yang senang menyuarakan protes. Dengan nyinyirnya, Hans Weingartner menanyakan, apakah setelah mapan kamu akan tetap kritis, apalagi kalau kamu ada keluaraga yang membutuhkan tanggung jawabmu. Apakah akan selalu bisa mempertahankan sikap anti kemapanan? Idealisme itu butuh konsistensi. Kisah yang berbau-bau politis ini dibalut kisah cinta segitiga yang sayangnya sedikit membuat film kadang out of focus.
16. MILLIONS
Lewat sosok anak kecil (Alex Etel), Danny Boyle lewat Millions memasuki wilayah religi di tengah dunia yang makin mendewakan materi. Hasilnya adalah sebuah film yang lucu, segar, imajinatif dan kritis.
15. WALK THE LINE
Ceritanya sebenarnya klise seperti kebanyakan biopic lainnya, namun film ini tetap mempunyai daya tarik sendiri berkat lagu-lagunya yang asyik dan ditampilkan dengan meyakinkan oleh Joaquin Phoenix. Reese Witherspoon? Kok kayaknya aktingnya tidak istimewa ya
14. THE CHORUS
Kisahnya sebenarnya tidaklah istimewa. Namun tetap saja film garapan Christophe Barratier ini patut dipuji berkat keberhasilannya mengikat emosi penonton dengan baik. Nuansa gambar yang kecoklatan serta penampilan bintang-bintang cilik yang bersinergi dengan bagusnya dengan Gérard Jugnot sukses membuat penonton (Gilasinema) jatuh hati dengan film ini hingga tidak bosan melihatnya berulang kali.
13. TRANSAMERICA
Salah satu film dengan tema transgender terbaik yang pernah dibuat Holly. Pada satu sisi film ini terasa amat lucu namun disisi lain kita merasakan kegetiran yang amat pahit. Seperti halnya kaum transgender itu sendiri, film ini menyajikan sebuah tontonan yang sangat ironis. Peran yang dimainkan Felicity Huffman menurut Gilasinema merupakan sebuah peran yang amat sulit, rumit dan membingungkan yang bisa dipresentasikan dengan baik olehnya. Bahkan, Gilasinema memilih penampilan Felicity Huffman dalam film ini sebagai penampilan terbaik oleh aktris dalam rentang waktu 2000 – 2009.
12. SIN CITY
Tampilan visualnya yang memukau mata berhasil membuat penonton abai akan ceritanya yang sebenarnya tidak bisa dibilang bagus dan rapat serta miskin emosi. Namun creatordi balik film Sin City berhasil membuat penonton seakan sedang menikmati komik yang bergerakbergerak. Film ini menjadi special karena berani tampil beda ditengah gempuran adaptasi komik yang digarap dengan pendekatan yang hampir sama.
11. HUSTLE AND FLOW
Film arahan Craig Brewer ini cukup realis dalam menggambarkan usaha seorang pria rendah dalam usaha meniti karir di jalur musik. Di layar kita disuguhi gambaran hidup yang keras kaum pinggiran (kulit hitam) yang mungkin terasa vulgar dan kasar. Namun siapa yang mengira dari tempat sekelam itu muncul sebuah karya yang cukup enak dinikmati. Terrence Howard tampil sangat bagus sebagai germo kasar. "It's Hard out Here for a Pimp" sungguh enak di kuping. Crazy Heart-nya bias dibilang versi country Hustle and Flow.
10. PRIDE AND PREJUDICE
Kisah klasik nenek moyang rom com ini digarap apik oleh Joe Wright dan didukung penampilan memikat dari Keira Knightley dan Matthew Macfadyen hingga kisah klasik ini menjadi tetap segar dan masih asyik dinikmati.
9. BROTHERS
Film yang ditahun 2009 diremake dan dibintangi Jake Gyllenhal, Tobey Maguire dan Natalie Portman ini menghadirkan banyak kontra didalamnya layaknya dua bersaudara dalam satu keluarga. Kepiawaian Susanne Bier dalam menggarap sebuah dalam keluarga sungguh patut diacungi jempol. After the Wedding menjadi salah satu buktinya. Penggunaan filter memang menghasilkan gambar-gambar kelabu meski terselip warna terang didalamnya, namun film ini entah mengapa terlihat indah. Apalagi dengan tampilan gambar di penghujung cerita yang indaaaah banget.
8. A HISTORY OF VIOLENCE
Sesuai judulnya, film ini menggambarkan dengan baik sejarah kekerasan dimana siapa yang kuat dia yang bakal bertahan. Itu saja.
7. THE NEW WORLD
Film yang sangat puitis yang sayangnya berpotensi membosankan bagi banyak penonton. Terrence Malick, dalam pandangan Gilasinema, berhasil menggambarkan dengan bagus apa itu The New World yakni ketika dua dunia (nilai) bertemu, maka akan tercipta sebuah dunia baru meski dalam prosesnya akan sangat menyakitkan karena sarat dengan pertentangan. Apakah dunia baru ini sesuatu yang lebih baik atau lebih buruk, diserahkan pada individu-individu yang hidup didalamnya dengan alam yang menjadi saksinya. Penampilan Q'Orianka Kilcher terasa mistis dan alami.
6. DOWNFALL
Menyaksikan film ini kita seakan diajak memasuki sebuah ruang terbatas dimana banyak hal didalamnya. Mulai dari harapan dan keputusasaan, keberanian – ketakutan, kepongahan – kehancuran, pengkhiatanan – kesetiaan, pemujaan – pemurtadan, kebahagiaan – kesedihan, kemenangan – kekalahan, suka cita – tragedi, persatuan - perpecahan dan masih banyak lagi. Semua hal tadi membuat Downfall merupakan sajian yang padat memuaskan sekaligus menyesakkan. Adegan setelah ”peniduran” anak-anak Hitler menjadi adegan paling kejam yang pernah Gilasinema lihat. Bruno Ganz tampil amat sangat memikat sekali sebagai Hitler dan seperti Felicity Huffman dalam Transamerica, Bruno Ganz pantas masuk list penampilan terbaik oleh actor dalam kurun waktu 2000 – 2009.
5. CRASH
Film yang penuh dengan khotbah yang pastinya bisa membuat sebagian penonton merasa muak. Terlalu banyak yang ingin disampaikan. Paul Haggis dengan kejamnya memaksa penonton untuk menerima berbagai “tabrakan” yang terjadi antar tokoh yang dihadirkan. Hebatnya, film ini berhasil mengikat penonton untuk bertahan hingga film berakhir. Adegan si tukang kunci selalu sukses membuat air mata Gilasinema menggenang (berlebihan). Namun, rasa kesal senantiasa muncul tiap kali Ludacris dihadirkan. Keunggulan film ini terletak pada aktualitas kisahnya pasca tragedy 9/11. Bagaimana stigma membentuk pola pikir hingga diwujudkan dalam penghakiman tanpa ampun. Dalam Crash, dunia serasa dipadatkan hingga menyesakkan.
4. ME AND YOU AND EVERYONE WE KNOW
Baca ulasannya disini.
3. BROKEBACK MOUNTAIN
Rasanya tidak ada film yang mengangkat isu gay yang sefenomenal Brokeback Mountain. Saking fenomenalnya, Gilasinema ingat komik Benny & Mice sempat terkena demam Brokeback Mountain. Ang Lee secara “kejam” menelanjangi konsep maskulinitas. Didukung barisan cast muda yang bakal menjadi besar yang bermain kuat serta petikan gitar Gustavo Santaolalla, Brokeback terasa syahdu sekaligus mengiris hati. Brokeback Mountain bisa dibilang versi tragis dari The Wedding Banquet. Kisah cinta Ennis del Mar (Heath Ledger) dengan Jack Twist (Jake Gyllenhaal) seakan menegaskan salah satu peribahasa Jawa “tresno jalaran saka kulina”.
2. ENRON : THE SMARTEST GUYS IN THE ROOM
"This is not a political documentary. It is a crime story” demikian kata Roger Ebert yang menurut Gilasinema amat tepat dalam menggambarkan film ini. Enron: The Smartest Guys in the Room adalah sebuah olok-olok kejam dan kasar terhadap orang-orang pintar yang memanfaatkan kepintaran mereka untuk memanipulasi orang lain. Sebuah film yang amat sangat provokatif dan bisa membangkitkan kamu marah dan menghujat mereka yang korup. Lagu-lagu yang dihadirkan berhasil mempertajam kritikan. Ulasan lengkapnya bisa kamu baca disini.
1. CACHE (HIDDEN)
Wow! Wow! Wow! Itulah reaksi Gilasinema setelah menyaksikan Caché untuk kali kedua. Seperti judulnya, film yang terkesan biasa secara visual ini menyimpan sebuah cerita yang dahsyat dan tajam, serta beberapa adegan yang mengejutkan. Setelah menyaksikan film ini kita akan melihat betapa konyolnya kemarahan, dendam, perselisihan, perang atau apapun itu wujudnya yang sejenis. Kita jadi berpikir, mungkinkah segala perselisihan di dunia ini disebabkan oleh sesuatu yang amat kekanak-kanakan. Film ini juga menyoroti kepongahan orang-orang berpendidikan serta bagaimana media berperan dalam menyebarkan informasi yang tidak utuh dan apa adanya.. Opening title unik dan adegan pembukanya merupakan sebuah pengantar yang bagus sekali.
HACHIKO : A DOG’S STORY
20 tahun lebih Gilasinema mengkonsumsi sinema, baru Hachiko yang berhasil membuat Gilasinema menangis sesenggukan selama sekitar setengah jam. Mungkin berlebihan, namun kalau kamu pernah memelihara anjing atau tidak antipati terhadap anjing, rasanya bakal bisa tersentuh oleh film ini. Hachiko sebenarnya hanyalah berkisah tentang kesetian anjing terhadap tuannya, seperti tagline film ini “A true story of faith, devotion and undying love.’ Namun, kisah biasa ini di tangan sutradara asal Swedia, Lasse Hallström, menjadi sangat menyentuh berkat penggambaran interaksi yang intens antara Richard Gere dengan anjing pemeran Hachi. Interaksi keduanya mungkin terasa lamban dan membosankan, namun justru menjadi pengikat emosi yang kuat.
Sekali lagi, kalau kamu tidak anti anjing dan pengen tontonan yang membuat menangis, maka Hachiko sangat Gilasinema rekomendasikan. Sayangnya film ini direct to video hingga kiprahnya langsung tenggelam. Di Jepang, kisah Hachiko ini katanya sangat terkenal sampai dibuatkan patung segala. Tiap 8 Maret diadakan perayaan untuk mengenang Hachiko yang melambangkan kesetiaan tingkat tinggi. Dan lagi, film ini kan arahan Lasse Hallström yang sebelumnya menghasilkan What's Eating Gilbert Grape, The Cider House Rules, Chocolat, The Shipping News, An Unfinished Life, Casanova dan The Hoax. Tahun 2010 ini dia cukup sukses dengan Dear John dan bakal segera merilis The Danish Girl yang dibintangi Nicole Kidman dan Gwyneth Paltrow. Tontan saja deh 4/5
HACHIKO JUGA ADA DI:
TUKANG REVIEW
MOVIEGEEK NOTES
Kamis, 25 Februari 2010
PEMENANG POLLING I HORROR
Kamis, 25 Februari 2010
2
Terima kasih banyak kepada semua yang telah mengikuti polling I Horror dan selamat kepada 2 partisipan yang beruntung mendapatkan DVD original persembahan Gilasinema. Buat yang belum beruntung, jangan kuatir karena Gilasinema telah menyiapkan program yang sama di bulan Maret nanti dan Gilasinema akan mempersembahkan DVD Original sebuah judul film yang banyak dipilih kritikus film sebagai salah satu yang terbaik sepanjang 10 tahun terakhir. Nanti ikutan lagi ya.Yang sudah menang masih bisa ikutan kok. Untuk hasil polling I Horror, hasilnya akan terpampang di bulan Maret nanti. Berikut 2 nama yang beruntung dalam polling II Horror. Mohon dikirimkan alamat lengkap (kalau berkenan beserta nomer telepon untuk memudahkan petugas jasa pengiriman) ke gilasinema@yahoo.com dan DVD akan dikirim awal Maret. Sekali lagi, selamat dan terima kasih.
1.Yuwanto Joe (DVD Mamma Mia!)
2.Misterious Man / Weww (DVD Definitely, Maybe)
Untuk Quiz Oscar 2010, masih ada waktu 3 hari buat yang ingin berpartisipasi. Nama-nama yang telah mengirimkan sampai tanggal 24 Februari 2010 :
Gabby Hakim
Raisya Elias
Inayah Agustin
Ryan Aja
Eka Nugraha
Sadena Febriana
MOAN
Firas Bakrie
Lady Matsumoto
Satrio Nindyo Istiko
Gunawan Triantoro
Rabu, 24 Februari 2010
PAA
Rabu, 24 Februari 2010
20
Menyaksikan film – film rilisan tahun 2009 kemarin, Gilasinema jadi kepikiran, kenapa ya film tidak dimasukkan sebagai salah satu keajaiban dunia. Dalam film segalanya bisa terjadi. Bumi diluluh lantakkan dalam 2012, keindahan Pandora dalam Avatar, seorang gadis atuh cinta dengan makhluk-makhluk aneh di New Moon, kakek tua yang berkelana dengan balon bisa dilihat dalam Up, wajah Sophie Marceu dan Monica Belucci yang diobrak-abrik dalam Don’t Look Back dan masih banyak lagi. Paa menjadi salah satu bukti kalau film itu sebuah keajaiban. Bayangkan saja, dalam film ini Abhisek Bachchan berperan sebagai anak dari Abhisek Bachchan! Semua tahu kalau didunia nyata Abhisek Bachchan merupakan anak dari Amitabh Bachchan.
Paa berkisah tentang Auro (Amitabh Bachchan) seorang bocah berusia 12 tahun yang karena kelainan genetic bernama progeria mempunyai penampakan layaknya orang berumur 60 tahun. Meski secara fisik dibilang tidak normal menurut ukuran orang banyak, Auro cukup beruntung karena dikelilingi orang-orang yang bisa menerima dirinya apa adanya. Gara-gara sebuah insiden yang cukup lucu, Auro bertemu dengan Perdana Menteri Amol Arte (Abhishek Bachchan) yang masih muda dan idealis. Cakep lagi! (bangun tidur saja tetap terlihat cakep dan tidak terlihat leleran minyak diwajahnya). Sudah bisa ditebak, Pak Perdana Menteri ini adalah ayah kandung dari Auro. Kok bisa? Dulu waktu muda, ibu Auro (Vidya Balan) dan Amol Arte (Abhishek Bachchan) terlibat percintaan nan menggebu hingga tidak sempat pakai pengaman pada saat berhubungan badan. Amol Arte enggan meneruskan hubungan karena ingin fokus mengejar cita-citanya.
Idealnya, kisah selanjutnya bakal fokus pada bagaimana Auro mendekatkan diri pada Pak Perdana Menteri setelah tahu kenyataan yang sesungguhnya. Namun oleh R. Balakrishnan, kita sejenak diajak untuk melihat kiprah Amol Arte sebagai sosok politikus muda yang idealis ditengah persaingan antar politikus yang penuh kebusukan. Amol Arte ingin menunjukkan bahwa politik itu tidak semestinya menggunakan cara – cara kotor. Belum cukup, R. Balakrishnan juga menghujat peran media dalam membentuk citra politik. Setelah dirasa cukup, R. Balakrishnan kembali mengajak kita mengikuti kisah Auro dan Amol untuk kemudian diarahkan pada akhir kisah yang dramatis layaknya film Bolly kebanyakan.
Dibandingkan dengan The Curious Case of Benjamin Button dan Orphan, Paa sebenarnya mempunyai penjelasan yang lebih masuk akal soal kelainan genetik yang menimpa tokoh utamanya. Dengan kekuatannya ini, harusnya Paa bisa menjadi sebuah tontonan yang meyakinkan. Namun, dengan tagline ”A Very rare father – son, son – father story”, film ini tidak berusaha menceritakan bagaimana seorang penderita progeria bertahan hidup dengan intens dan lebih menitikberatkan pada hubungan Auro dengan Amol Arte. Hal ini memang diakui oleh R. Balakrishnan dalam sebuah wawancara, "My main aim was not to make a film on progeria. My main motive behind making ‘Paa’ was to reverse the roles of Amitabh and Abhishek”. Sebenarnya hal tersebut sah-sah saja kalau selipan kiprah politik dari Amol Arte tidaklah terlalu banyak. Sayang sekali.
Paa pada saat perilisannya disambut dengan amat sangat meriah. Tarian monyet yang ditunjukkan oleh Auro dalam film ini banyak ditiru oleh anak-anak. Diluar Bolly, Paa kalah tenar dengan 3 Idiots yang dirilis setelahnya. Di Indonesia sendiri, saat diputar disambut sepi oleh penonton. Daya tarik utama Paa tidak lain adalah performa Amitabh Bachchan yang dipuji para kritikus film Bolly sebagai penampilan Amitabh paling bagus sepanjang karirnya. Amitabh Bachchan dinilai berhasil memerankan bocah berumur 12 tahun ketika dirinya berusia 67 tahun! Lewat perannya ini, Amitabh banyak meraih penghargaan menyisihkan performa Aamir Khan (3 Idiots) dan Shahid Kapoor (Kaminey). Penampilan Vidya Balan juga patut dipuji. Sosok ibu yang sangat penyayang mampu dia perankan dengan bagus hingga tercipta chemistry yang kuat dengan Amitabh Bachchan. Aktris cantik ini sebelumnya dikenal lewat Cheeni Kum yang juga diarahkan R. Balakrishnan. Abhisek? Tidak terlalu istimewa, tapi buat para kaum hawa, penampilannya berbalut pakaian warna putih lumayanlah buat penyegar. Kehadiran Paresh Rawal benar-benar tidak penting.
Paa berhasil masuk Guinness Book Of World Records untuk film pertama yang menampilkan pertukaran peran ayah – anak, actor paling tua yang memerankan seorang bocah serta aktris berumur 31 tahun (Vidya Balan) yang melakonkan ibu dari anak yang diperankan actor berumur 67 tahun. Keajaiban pertukaran peran ayah-anak sangat terbantu dengan dukungan make-up dan efek visual yang rapi. Untuk urusan make-up, Amitabh Bachchan harus rela wajahnya “diobok-obok” minimal selama 4 jam, untuk kemudian diolah Gigital Imaging layaknya The Curious Case of Benjamin Button. Tampilan efek visual dalam Paa tidak terlepas dari pengawasan Christien Tinsley yang sebelumnya terlibat dalam pengerjaan efek visual film I Am Legend, selain terlibat dalam urusan make-up di film-film kondang seperti Nutty Professor II: The Klumps (2000), How the Grinch Stole Christmas (2000), Master and Commander: The Far Side of the World (2003), The Passion of the Christ (2004), Memoirs of a Geisha (2005), Letters from Iwo Jima (2006), No Country for Old Men (2007), The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford (2007) dan yang akan segera rilis, Jonah Hex. Paa juga menghadirkan opening credit yang cukup unik, yakni dbacakan oleh Jaya Bachchan. Jauh sebelumnya, tepatnya di tahun 1972, Amitabh Bachchan melakukan hal yang sama di film Bawarchi yang dibintangi Jaya Bachchan! Paa rencananya akan diikuti dengan Maa. Jaya Bachchan sedang dirayu R. Balakrishnan untuk berperan didalamnya. 3,5/5
Selasa, 23 Februari 2010
UP IN THE AIR
Selasa, 23 Februari 2010
16
UP IN THE AIR merupakan sebuah film cerdas yang menggambarkan dengan bagus sekali persoalan pilihan hidup yang didasarkan pada bagaimana seorang manusia (Ryan Bingham) memandang nilai hubungan antar manusia (value of human connection). Kenapa Ryan Bingham enggan menjalin hubungan mendalam dengan manusia lain? Karena dalam pandanngannya, tidak ada timbal balik yang setimpal menurut ukurannya ketika berhubungan dengan manusia lain. Jadi, bukan sesuatu yang aneh ketika dia lebih berkomitmen kepada institusi tempat dia mendapatkan segala fasilitas dan kenyamanan duniawi. Sikap Ryan Bingham ini tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan para “pedagang’ yang sukses meracuni otak manusia dengan gaya hidup konsumtif. Mereka dengan gencarnya membentuk pencitraan diri lewat berbagai trik dagang. Bagaimana mereka mengedepankan gaya dibandingkan makna. Ketika Ryan Bingham dan Alex (Vera Farmiga) membandingkan kartu-kartu mereka, menjadi penggambaran yang amat nyinyir soal hal ini. Belum lagi soal tujuan yang ingin dicapai oleh Ryan yang sangat absurd. Meaningless. Ryan (dan kita) terperangkap dalam dunia yang menghargai manusia pada pencapaian kuantitatif. Kebanggaan yang semu.
Ryan Bingham bukannya tidak ingin beralih haluan. Ketika dia sudah memutuskan untuk menjalin hubungan mendalam dengan manusia lain (Alex), dia mendapati sebuah kenyataan pahit yang (kembali) membuatnya enggan menjalin hubungan mendalam dengan manusia lain. Ryan Bingham lebih memilih berkomitmen pada institusi meskipun sadar suatu saat kesetiaannya bakal dikhianati, lewat penghentian kerja. Suatu ironi memang karena Ryan Bingham mempunyai tugas utama menyampaikan kabar buruk buat para pekerja. Namun, paling tidak Ryan telah mempersiapkan diri menghadapi “penyingkiran”. Berbeda ketika menjalin hubungan dengan manusia lain, kita tidak pernah tahu kapan akan mengalami patah hati. Pribadi seperti Ryan, meski pandai berimprovisasi dalam pekerjaannya, tidak menyukai kejutan.
Banyak ironi yang dihadirkan dalam Up in the Air. Pada awalnya, Jason Reitman menggiring persepsi penonton kalau tak ada yang lebih berharga dari pada keluarga, menjelang akhir persepsi tersebut dijungkirbalikkan dengan status Alex yang sebenarnya. Sebuah pengkhianatan yang menyakitkan. Tidak hanya bagi Ryan, tetapi juga bagi penonton. Aksi sedu sedan dari Natalie Keener (Anna Kendrick) ketika diputus cowoknya lewat pesan text sungguh sangat ironis, mengingatl dia yang memperkenalkan cara efektif dan efisien memecat pegawai secara online. Ketika Ryan terobsesi dengan pencapaian jarak dan sering bepergian, saudara perempuannya cukup puas dengan menitipkan replica demi sebuah pose palsu. Dan betapa ironisnya ketika Ryan berkhotbah soal komitmen pada calon suami adiknya. Ironi terbesar adalah ketika kita sebagai penonton tidak bisa sepenuhnya menghakimi Ryan sebagai manusia tk punya hati, namun justru rasa iba yang muncul karena Ryan merupakan sosok yang patut dikasihani. Dia seperti terjebak dalam pola hidup yang membuatnya tidak bisa terikat dengan manusia lain. Mengambang layaknya udara. Rasa iba ini makin kuat berkat penampilan George Clooney yang memikat. Rasanya penampilannya sebagai Ryan Bingham merupakan salah satu penampilan terbaiknya. Agak stereotype memang, namun entah mengapa kali ini efeknya terasa sangat kuat.
Bagi Gilasinema, Up in the Air mencoba mengangkat persoalan komitmen, kepercayaan, kesetiaan dan kejujuran ditengah dunia dimana konsumerisme dan materialisme hadir mengepung disemua lini. Hal ini didukung dengan perkembangan teknologi komunikasi yang merevolusi cara-cara berkomunikasi. Manusia berinteraksi tanpa perlu terhubung secara emosi (bingung tho?). KOMITMEN. Kata ini tampaknya menjadi momok menakutkan bagi manusia yang hidup di era dimana sangat mendewakan eksistensi. Komitmen telah mengalami perubahan wujud dan pemaknaan. Kini komitmen manusia lebih sering diarahkan pada dedikasi pada pekerjaan dimana efisiensi dan mobilitas (karena moving is living) menjadi sebuah keharusan. Semakin efisien dan semakin kamu cepat bergerak, maka kinerja kamu pantas diapresiasi dan akan membuat pemilik modal tersenyum lebar karena prinsip ekonomi bisa dijalankan dengan baik. Itulah yang namanya komitmen. Orang menikah dengan pekerjaan dan status.
Karena dituntut untuk selalu efisien dan bergerak cepat, kamu harus meminimalisir hambatan/beban yang bisa memperlambat kinerja serta selalu berinovasi mencari cara untuk menekan biaya. Efisiensi dan mobilitas mensyaratkan interaksi antar manusia tanpa melibatkan hati. Oleh Ryan Bingham (George Clooney) persoalan efisiensi dan mobilitas ini diibaratkan seperti seberapa besar dan berat tas yang kamu bawa. Lihat saja aksi Ryan Bingham dengan travel bag-nya. Suatu komitmen membutuhkan KESETIAAN yang berlandaskan KEPERCAYAAN. Yang namanya kepercayaan, harus dirajut dari benang-benang KEJUJURAN. Tanpa kejujuran, manusia hanya akan saling menyakiti. Ryan Bingham memilih untuk setia pada institusi bukannya kepada manusia karena dia merasa nyaman dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya serta timbal balik yang sesuai menurutnya.
Up in the Air merupakan salah satu film terbaik yang dirilis Holly sepanjang tahun 2009 kemarin. Naskahnya begitu cerdas dan nyinyir. Barisan cast-nya bermain prima dan saling menguatkan. Jason Reitman seperti biasa, piawai mengatur ritme cerita hingga film dengan banyak muatan ini tidak terasa berat dan membosankan. Gilasinema sudah menonton film ini dua kali dan belum dibuat bosan. Bahkan, saking terpikat dengan cerita yang diadaptasi dari novel karangan Water Kirn ini, Gilasinema sampai membaca naskahnya. Gilasinema menangkap aura klasik dalam film ini. Segalanya terasa pas dan bakal masih bisa dinikmati sampai beberapa puluh tahun kedepan. 4,5/5
Minggu, 21 Februari 2010
BAHWA CINTA ITU ADA
Minggu, 21 Februari 2010
0
Bahwa Cinta itu Ada diangkat dari novel karya Dermawan Wibisono berjudul Gading-Gading Ganesha (3G) yang dirilis oleh Penerbit Mizan. Film ini bercerita tentang perjalanan hidup beberapa mahasiswa/i di sebuah kampus di Bandung (ITB), yaitu Slamet (Ariyo Wahab), Fuad (Alex Abbad), Gungun (Dennis Adishwara), Poltak (Restu Sinaga), Benny (Rizky Hanggomo) dan Ria (Eva Asmarani). Mereka berteman sejak pertama kali masuk kuliah sampai akhirnya lulus dan melanjutkan hidup mereka. Ria, si bintang kampus menjadi pujaan di antara mereka. Slamet yang memendam cintanya pada Ria, merasa selalu kalah dalam hal mendekati Ria ketimbang Benny yang asal Jakarta dengan sifat percaya dirinya yang tinggi. Mereka melalui suka duka kuliah bersama-sama dengan karakter yang berbeda dalam menghadapi kehidupan perkuliahan, pertemanan dan percintaan. Mereka bertemu kembali 20 tahun kemudian dengan sisa cinta yang masih ada.
Film ini tampaknya bakal menyajikan suatu tontonan yang menarik dan cukup berbeda dibandingkan dengan film Indonesia kebanyakan meski mengangkat tema klasik, yakni cinta. Melihat ada nama Sujiwo Tejo di posisi sutradara, membangkitkan rasa penasaran akan seperti apa hasilnya nanti. Setelah dikepung dengan film-film olahan Nayato, rasanya Bahwa Cinta Itu Ada bakal menghadirkan kesegaran tersendiri. Pemilihan lokasi yang tidak melulu di Jakarta (Sawahlunto, Sumatera Barat) juga berpotensi memberi kesegaran pada mata, begitupun dengan balutan musik olahan Vicky Sianipar. Melihat posternya, lucu juga melihat Dennis Adishwara didandani ala bapak-bapak.
Namun diantara berbagai hal menarik diatas, tanpa bermaksud meremehkan nama-nama besar seperti Slamet Raharjo dan Marini, ada satu nama pendukung yang membuat Gilasinema merasa Bahwa Cinta Itu Ada sayang untuk dilewatkan, yakni hadirnya Nurul Arifin! Gilasinema tidak tahu apakah Nurul Arifin hadir hanya sekedar cameo atau melakonkan peran yang cukup penting. Kangen juga melihat aksi Nurul Arifin di layar. Terakhir melihat aksinya kalau tidak salah di film Surat Untuk Bidadari. Hmmm...kita tunggu saja kiprah film Bahwa Cinta Itu Ada yang rencananya bakal rilis 4 Maret 2010 nanti. Buat yang pengen mendapatkan tiketnya, bisa ikutan kuisnya di twitter http://twitter.com/3G_Cinta yang sudah digelar sejak 19 Februari 2010 kemaren dan akan berlangsung hingga 24 Februari 2010. Selain berkesempatan mendapatkan tiket gratis nonton Gala Premier, kamu juga berkesempatan mendapatkan Hape ESIA.
Sabtu, 20 Februari 2010
HARAP MAKLUM, ADA ARISAN BRONDONG
Sabtu, 20 Februari 2010
10
”Menikmati film Indonesia itu jangan bermodalkan ekspektasi yang berlebihan”, begitu pesan yang sering Gilasinema terima dari teman yang pekerjaannya melaporkan perkembangan film nasional. Pesan tersebut kembali ditekankan manakala Gilasinema keluar sebelum waktunya (bukan ED lho) saat menonton Arisan Brondong. Terus terang Gilasinema sebal dengan pesan dari teman tersebut, bukan dengan si pemberi pesan. Arisan Brondong merupakan film pertama yang Gilasinema tonton di bioskop di tahun 2010 ini. Membaca premisnya, Gilasinema membayangkan bakal mendapatkan suguhan yang lumayan segar layaknya Kawin Kontrak karenanya cukup layak ditonton di bioskop dengan tiket seharga Rp. 15.000,00 (meski sedikit ini uang lho dan didapat dari bekerja). Gilasinema berusaha keras untuk tidak membandingkan Arisan Brondong dengan Quickie Express. Jadi, ketika Kawin Kontrak menjadi patokan, rasanya ekspektasi Gilasinema tidak terlalu tinggi kan?!
Kenapa Gilasinema sebal dengan pesan dari teman tadi? Karena pesan tersebut seakan mensyaratkan adanya pemakluman terhadap film produk dalam negeri. Harap maklum kalau kualitasnya begitu – begitu saja dan jangan terlalu kritis menyikapi kisah yang disajikan oleh para sineas Indonesia. Namun, sampai kapan pemakluman itu harus kita persembahkan? Pemakluman itu butuh kesabaran, dan kesabaran itu ada batasnya. Ketika menghadapi anak kita yang nakalnya minta ampun, apa harus kita maklumi terus dengan perkataan ”ah...namanya juga anak-anak” Kalau film Indonesia selalu kita maklumi kualitasnya, kapan perfilman Indonesia bisa maju? Kalau kenakalan seorang anak terus kita maklumi, kapan anak tersebut bisa tumbuh dewasa?
Kembali pada Arisan Brondong. Film ini sebenarnya punya ide cerita yang nakal dan berpotensi menjadi sebuah tontonan yang segar. Apalagi ada Helfi Kardit yang duduk di kursi sutradara. Gilasinema sempat mempunyai pengharapan terhadap sutradara satu ini ketika menghasilkan Lantai 13 dan Mengaku Rasul yang menurut Gilasinema cukup pantas ditonton untuk ukuran film Indonesia (hey....bukankah ini sebuah bentuk pemakluman?). Sayang sekali, dalam penggarapannya, Helfi Kardit seolah ingin menghadirkan sebuah tontonan yang memadukan drama dan komedi. Maksud ini justru membuat Arisan Brondong menjadi sajian yang serba tanggung. Sentuhan drama memaksa penulis cerita untuk memasukkan pesan moral yang mementahkan humor-humor yang dihadirkan sebelumnya. Kelucuan menjadi terasa garing ketika kemudian ada drama yang terkesan dipaksakan dan mudah ditebak. Gilasinema memahami (lagi-lagi ini sebuah pemakluman), tidak mudah bagi penulis cerita untuk menghadirkan komedi seks dengan sasaran penonton remaja. Meleset sedikit bisa dihujat menyebarkn gaya hidup seks bebas. Tapi kok hambatan ini bisa dilalui dengan mulus pada Kawin Kontrak ya?
(Terpaksa, terpaksa, terpaksa) Gilasinema membandingkan Arisan Brondong dengan Quickie Express karena tidak bisa dipungkiri benang merah cerita kedua film ini begitu mirip. Quickie Express terlihat lebih total dalam menghadirkan keliaran-keliaran hingga terkesan lebih dinamis. Keberhasilan Quickie Express dalam menghadirkan hiburan terletak pada tidak terlihatnya usaha penyampaian pesan moral pada penonton. Tidak ada kesan penghakiman terhadap Profesi yang dijalani trio Aming, Tora dan Lukman. Pada Arisan Brondong, penyesalan yang diperlihatkan oleh salah satu pemuda justru membuat muak. Arisan Brondong bisa dibilang versi junior dari Quickie Express. Dengan kata lain, Quickie Express merupakan senior dari Arisan Brondong. Yang namanya yunior, harap dimaklumi (tuh kan pemakluman lagi) kalo belum bisa menyaingi yang lebih senior. Tapi rasanya si yunior bakalan mendapatkan apresiasi melimpah bila bisa mengalahkan, paling tidak mengimbangi, yang senior. Tapi sekali lagi, HARAP MAKLUM, namanya juga yunior.
Oke, mari kita membuat (banyak) pemakluman dan sedikit merendahkan standar apresiasi kita. Eh....(dengan gaya ibu-ibu rumpi) Arisan Brondong cukup menghibur lho jeung. Beberapa humor yang bagi Gilasinema cukup menyesakkan, ternyata cukup berhasil membuat penonton di belakang Gilasinema terbahak-bahak lho. (Hmmm....Berarti ada yang salah dengan selera humor Gilasinema). Jangan lewatkan adegan wax bulu dada ala The 40-Year-Old Virgin. Penampilan Bella Saphira sunggguh sangat berbeda dibandingkan peran-peran dia sebelumnya. Meski kadang terkesan berlebihan dan dibuat-buat, Bella Saphira terlihat cukup serius menjalankan tugasnya lho, hingga sosok tante girang bisa dia representasikan dengan cukup baik. Ferly Putra anaknya imut juga, jadi gak heran kalau para tante girang dibuat gemas olehnya. Andi Soraya? Sutralah bo, untuk peran binal, mana ada aktris yang lebih baik dari dia. Erika yang aktris bokep Jepang itu sangat menggairahkan, dan Heather Storm ternyata liar juga. Bikin gemesss...gemesss...gemessss.Sebagai puncak pemakluman, Gilasinema tidak akan memberikan rating pada Arisan Brondong. Sekian PEMAKLUMAN dari Gilasinema. Terima kasih.
PUASSSS?!
COMING SOON : LETTERS TO GOD
Film ini mengisahkan Tyler Doherty (Tanner Maguire) seorang bocah berusia 8 tahun yang mengidap penyakit kanker. Ditengah perjuangannya bertahan hidup, Tyler mengirimkan surat kepada Tuhan. Brady McDaniels (Jeffrey S.S. Johnson) sebagai tukang pos awalnya bingung mau diapakan surat-surat tersebut hingga kemudian memutuskan untuk membaca surat-surat Tyler kepada Tuhan. Bisa diduga, surat-surat tersebut memberikan pencerahan bagi pembacanya.
Letters to God tampaknya bakal menjadi film penguras air mata, melihat dari premis ceritanya. Bagi yang suka dengan film-film model Simon Birch atau Pay it Forward, film ini patut ditunggu kehadirannya. Dibandingkan dengan film-film summer yang penuh gelegar, terus terang Gilasinema lebih tertarik dengan film-film sejenis Letters to God, tapi bukan berarti anti summer movie lho. Meski klise, kadang tontonan semacam Letters to God ini sangatlah inspiratif.
Film ini bukanlah proyek besar mengingat budgetnya hanya sekitar $3,5 juta dan didukung nama-nama yang masih asing bagi para penggila sinema. Pernah mendegar nama David Nixon yang mengarahkan film ini? Letters to God merupakan film layar lebar kedua yang dia tangani setelah Makin Waves yang dirilis tahun 1998. Sebelumnya dia juga terlibat dalam Fireproof (2008) dan Facing the Giants (2006) sebagai produser dan asisten sutradara. Dari jajaran pemain, tidak ada nama-nama beken didalamnya. Tanner Maguire sebelumnya lebih banyak berkiprah di layar kaca. Aksinya bisa dilihat di sitcom How I Met Your Mother sebagai Barney Stinson muda. Letters to God rencananya baru akan dirilis di Holly pada 9 April 2010 mendatang.
Rabu, 17 Februari 2010
QUIZ / POLLING ALERT!
Rabu, 17 Februari 2010
4
Halo...halo...halo...sudahkah kamu berpartisipasi dalam quiz/polling yang Gilasinema selenggarakan? Kalau belum, buruan ikutan. Untuk I HORROR POLLING masih akan dibuka sampai 20 Februari 2010, jadi masih ada waktu 3 hari buat kamu mengirimkan daftar film-film horor Indonesia yang menurut kamu cukup baik atau cukup seram. Ada DVD Original Mamma Mia! dan Definitely,Maybe buat partisipan yang beruntung. Ternyata oh ternyata, polling ini cukup menyusahkan buat sebagian penggila sinema. Tampaknya film horror Indonesia belum layak ditonton oleh semua kalangan. Hmmm...kapan film Indonesia bisa maju ya?
Buat yang merasa sudah mengirim namun belum tercantum disini, mungkin bisa mengirimkan lagi daftarnya ke gilasinema@yahoo.com. Terima kasih buat yang telah mengirimkan daftarnya. Berikut nama-nama yang telah mengirimkan daftar I Horror favorit mereka per 17 Februari 2010 jam 14.00 WIB :
1. Yuwanto Joe
2. Misterious Man
3. Ryan Aja
4. Firas Bakrie
Sedangkan nama-nama dibawah ini adalah nama-nama sementara yang telah mengirimkan prediksi pemenang Oscar 2010. Sekali lagi, buat yang telah merasa mengirim namun namanya belum terpampang bisa mengirimkan ke gilasinema@yahoo.com dan ditunggu hingga 28 Februari 2010. Terima kasih buat mereka yang telah mengirimkan prediksi pemenang Oscar 2010 dan berkesempatan mendapatkan DVD Original Mammma Mia juga selain DVD Original Pintu terlarang dan satu judul yang masih dipertimbangkan hehehe....
1. Gabby Hakim
2. Raisya Elias
3. Inayah Agustin
4. Ryan Aja
5. Eka Nugraha
6. Dna Angel
7. Moan
8. Firas Bakrie
9. Lady Matsumoto
TRAIL OF THE PANDA (XIONG MAO HUI JIA LU)
Pernah menonton The Fox and The Child dan menyukainya? Maka Trail of the Panda ini sayang untuk dilewatkan. Meski jenis hewannya yang berbeda, Trail of the Panda mau tidak mau mengingatkan pada The Fox and The Child. Selain protagonisnya yang masih berumur belia, banyak scene-scene di dalam hutan serta kehadiran narrator membuat kemiripan sulit untuk dibantah. Bedanya hanya jenis kelamin saja serta bahasa dan Negara yang menjadi setting cerita.
Xiaolu (Daichi Harashima) yang sebatang kara terpaksa harus tinggal bersama Lao Chen (Zheng Qi) yang cenderung bersifat keras, meski tidak bisa dibilang kejam. Sejak ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, Xiaolu banyak menutup mulut hingga dikira bisu oleh Lao Chen. Kehidupan Xiaolu berubah ketika Lao Chen induk panda bersama dua orang anaknya. Kemunculan panda tersebut diinformasikan kepada Feng (Feng Li), seorang ilmuwan yang tertarik untuk mempelajari panda. Kedua pria dewasa tersebut memutuskan untuk menangkap salah satu anak panda. Kesempatan itu datang ketika salah satu anak panda terpisah dari ibunya. Untung anakan panda tersebut bisa lolos meski harus terluka.
Secara tidak sengaja Xiaolu menemukan anakan panda tersebut dan berusaha menyelamatkannya. Tentu saja niat mulia tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena dua pria dewasa tadi tetap mengincar anakan panda tersebut. Situasi tampaknya (dibuat) bersahabat pada Xiaolu, ketika Lao Chen dan Feng memutuskan untuk pergi berburu ke atas (gunung) selama dua minggu. Setelah kepergian dua pria dewasa tersebut, Xiaolu bebas merawat dan bermain dengan anakan panda yang dia beri nama Pang Pang. Dan tampaknya Xiaolu bukanlah bocah gunung yang bodoh, karena dia melatih anakan panda tersebut agar lebih siap hidup bebas setelah benar-benar pulih nantinya. Agar cerita lebih menarik, kedua pria dewasa (dibuat) kembali sebelum waktunya dan mereka mendapati Pang Pang yang tidur dengan damai disisi Xiaolu. Bagaimanakah nasib Pang Pang selanjutnya?
Kalau kamu mendambakan sebuah tontonan yang memberi ketegangan yang cukup serta dramatis, maka Trail of the Panda bukanlah pilihan tepat. Dibandingkan dengan The Fox and The Child, Trail of the Panda kalah jauh dalam menghadirkan sebuah tontonan yang memikat emosi. Kisahnya dituturkan dengan bersahaja tanpa letupan berarti, dan dengan setting yang sebagian besar didalam hutan, Trail of the Panda tidaklah menghadirkan tampilan visual alam yang apik layaknya yang dihadirkan dalam film-film bertema serupa. Aksi penyelamatan Xiaolu yang seharusnya bisa sangat tegang disajikan dengan lempeng-lempeng saja. Untungnya, masih bisa dinikmati dan cukup bisa menghadirkan senyum, terutama ketika Xiaolu mencoba memberi makan atau melatih Pang Pang memanjat pohon. Interaksi dua makhluk tersebut terlihat cukup kuat. Ah….andai saja Disney banyak ikut campur dalam film ini.
Dengan beberapa ketidakpuasan tadi, Trail of the Panda tetaplah sebuah tontonan yang sayang untuk dilewatkan. Film ini seperti halnya The Fox and The Child bisa dimasukkan dalam kategori tontonan sekaligus tuntunan yang sangat aman dikonsumsi anak-anak. Bagus juga untuk menumbuhkan kesadaran akan perilaku ramah lingkungan. Satu keunggulan film ini dibandingkan The Fox and The Child yakni dalam Trail of The Panda sosok binatangnya yang jauhhh lebih imut dan menggemaskan. Panda gitu loh. Jadi pengen melihara (dampak negative setelah melihat film ini?!) 3,25/5
Info : film ini sudah bisa didapatkan di movie rental dekat rumah anda.
Selasa, 16 Februari 2010
THE BEAST STALKER
Selasa, 16 Februari 2010
4
Sebagai polisi muda yang penuh dengan dediksi dan idealime, Tong (Nicholas Tse) tidak mentolerir ketidakdisiplinan. Meski misi berjalan dengan baik, jangan harap anak buahnya bisa lolos dari semprotan emosinya ketika menemui kelemahan pada suatu operasi. Sayang, situasi kadang sulit bersahabat dengan mereka yang berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Pada sebuah operasi penangkapan Cheung Yat-Tung (Philip Keung) , tanpa sengaja Tong membuat seorang gadis kecil terbunuh. Insiden ini selain membuat rekan Tong terluka dan mengalami kecacatan, juga menyebabkan rasa bersalah yang mendalam pada diri Tong.
Tiga bulan kemudian, saudara gadis kecil tersebut, Ling (Suet-yin Wong), diculik sebagai jaminan Cheung bisa terlepas dari jeratan hukum. Kebetulan ibu Ling, Ann Ko (Zhang Jingchu), adalah Jaksa yang menangani kasus Cheung. Tidak ingin kejadian yang sama terulang dan sebagai sarana penebusan rasa bersalah, Tong bekerja keras demi membebaskan Ling meski mendapatkan tantangan dari Ann yang menganggap Tong sebagai sosok pembawa sial. Maksud mulia dari Tong tidak menjadi mudah ketika dia tidak lagi mempunyai anak buah, bahkan pada satu kesempatan sempat terjadi konfrontasi dengan mantan anak buahnya.
Si penculik, Hong Jing (Nick Cheung), juga bukanlah lawan yang mudah ditaklukan meski penglihatannya tidak sempurna setelah sebuah insiden yang juga menyebabkan istri tercintanya invalid. Hong Jing bekerja berdasarkan perintah dari yang membayarnya dan tidak melibatkan nurani sedikitpun. Dia siap menghabisi Ling kapanpun perintah itu datang. Selanjutnya kita disuguhi aksi perburuan Tong terhadap Hong Jing yang memikat ditengah ramai dan padatnya kota untuk kemudian puncak ketegangan hadir disebuah tempat yang kusam dan suram. Ketegangan adegan ini sedikit mengingatkan pada ketegangan yang dihadirkan di adegan pemuncak pada Silence of the Lambs atau The Chaser.
The Beast Stalker mungkin menghadirkan banyak scene-scene klise, namun kadang sesuatu yang klise kalau disajikan dengan pendekatan yang memikat tetap mampu menghadirkan sebuah sensasi rasa yang kuat. Berkat sentuhan Dante Lam yang apik, Gilasinema dibuat terpaku sepanjang durasi. Tensi cerita terjaga dengan baik dan unsure dramanya meski kadang terkesan corny untungnya tidak sampai membuat muak. Pergerakan kameranya cukup lincah dan secara detail menangkap keruwetan serta keramaian kota yang didukung dengan editing yang rapi. Pemilihan setting efektif dalam menghadirkan ketegangan yang cukup berbeda dengan film sejenis, bukan sekedar tempelan.
Dan jangan lewatkan car crash scene yang menurut Gilasinema menjadi salah satu car crash scene yang terbaik yang pernah Gilasinema tonton. Adegan ini sebenarnya merupakan salah satu kunci yang membuat jelas mengapa tragedy menyelimuti tokoh-tokoh yang dihadirkan. Sedikit mengingatkan pada Amores Perros atau 21 Grams. Rasanya film ini pantas saja kalau diberi title CRASH. Nicholas Tse bermain cukup bagus. Siapa yng tidak tersentuh dengan lolongan kesedihannya menjelang akhir film? Namun applaus pantas diberikan pada Nick Cheung yang berhasil menampilkan sosok penjahat yang dingin, kejam, tangguh sekaligus sayang istri. Pada adegan kilas balik, tergambar jelas alasan dia begitu mencintai istrinya. Rasa cintanya terhadap istri ini mampu memperhalus sifat jahat yang dia idap. Di banyak adegan, Dante Lam memberikan gambaran betapa ponsel menjadi bagian yang mulai susah dihilangkan dalam kehidupan manusia. Ponsel dalam film ini bisa sangat fungsional, namun juga terkadang menghadirkan sebuah peristiwa tragis. Jadi, gunakan ponsel dengan bijak. 4,25/5
Sabtu, 13 Februari 2010
14 KISAH ROMANTIS
Sabtu, 13 Februari 2010
15
Setiap decade, dunia sinema selalu menghadirkan kisah romantis yang patut dikenang. Dari ratusan sinema romantis yang pernah Gilasinema tonton rilisan tahun 2000 s/d 2009, Gilasinema memilih 14 judul yang menurut Gilasinema pantas patut untuk dikenang. Judul – judul yang Gilasinema pilih, rasanya cukup mewakili aneka rupa romantisme. Sangat subyektif memang karena persepsi akan kata “romantis” bisa sangat berbeda pada masing-masing orang. Romantis bagiku belum tentu romantis bagimu. Dengan amat sangat menyesal sekali harus menyingkirkan Bridget Jones’s Diary. Film ini sangat romantis, namun rasanya film ini lebih menekankan pada isu penerimaan diri.
9 SONGS
Sah-sah saja banyak orang mencemooh 9 Songs sebagai sebuah tontonan amoral dan rendah, layaknya tontonan pemuas syahwat. Namun, bagi Gilasinema 9 Songs cukup berhasil memberikan gambaran romantisme anak manusia di dunia yang menjunjung tinggi gaya hidup hedon. Terus terang, Gilasinema menyukai keintiman yang ditunjukkan Kieran O'Brien dan Margo Stilley, kecuali yang pake ikat-ikat atau injak-injak. Kayaknya asyik bertelanjang ria bersama pasangan di setiap sudut rumah hehehehe….BEBAS.
(500) DAYS OF SUMMER
Richard McGonagle sebagai narrator boleh menegaskan film ini bukanlah sebuah “love story” yang diperkuat dengan endingnya yang tidak bisa dibilang happy ending. Namun, interaksi penuh keintiman antara Tom Hansen dan Summer Finn di hampir sepanjang durasi mampu menyeret penonton ke dalam sebuah dunia yang pekat dengan aura cinta. Siapa yang tidak ikut terbuai dengan adegan rumah – rumahan atau tarian ala Enchanted? Benar-benar penggambaran yang manis tentang hari – hari penuh cinta, hingga terasa memabukkan untuk membuat lupa salah satu konsekuensi dari jatuh cinta, yakni patah hati.
ADA APA DENGAN CINTA?
Rasanya film ini pantas dinobatkan sebagai salah satu film cinta terbaik yang pernah dibuat Indonesia. Pesona Rangga dan Cinta mampu memikat jutaan remaja, hingga banyak yang hafal dialognya. Film ini sukses mendekatkan puisi kepada remaja dan soundtracknya bakal tetap abadi. Adegan menengok ke belakang dan tarian Cinta beserta teman-temannya menjadi adegan-adegan yang bakal susah dilupakan. Film ini juga berani menghadirkan adegan ciuman bibir yang sebelumnya ditabukan dalam film remaja Indonesia.
AMELIE
Tidak sepenuhnya tepat disebut sebagai sebuah film romantis, mengingat porsi kisah cinta Amélie yang tidak begitu banyak. Namun bagaimana Amélie menjalani kehidupan yang penuh warna sungguh menghadirkan romantisme tersendiri. Bagaimana dia mempunyai pengaruh terhadap orang – orang disekitarnya dan cintanya yang malu-malu pada pria bernama Nino, sukses membangkitkan harapan penonton demi hidup yang lebih indah bagi Amélie. Peran Yann Tiersen sangat tidak pantas diacuhkan, karena dengan musik olahannya, emosi penonton bisa terikat dan terbangun dengan kuat.
DEFINITELY, MAYBE
Cinta itu memang misteri, kita tidak pernah tahu pada siapa dan kapan akan melabuhkan hati. Definitely, Maybe mengemas ide ini dengan baik hingga membuat penonton gemas, terutama di paruh akhir, namun dibuat tersenyum lega pada akhirnya. Ada sedikit persamaan dengan (500) Days of Summer, selain sama- sama ada tokoh Summer yang membuat sang cowok mengalami patah hati, juga proses penerimaan akan kegagalan dalam menemukan cinta sejati.
ETERNAL SUNSHINE OF THE SPOTLESS MIND
Cinta dan kenangan menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Apalah artinya kisah cinta kalau kisah itu tidak meninggalkan kesan yang menjadi kenangan. Kekuatan cinta bisa diukur dari seberapa kuat sebuah kenangan membekas dalam ingatan. Lewat Eternal Sunshine of the Spotless Mind, Michel Gondry dan Charlie Kaufman membuktikan kisah cinta bisa menjadi sebuah santapan sedap, cerdas sekaligus menyehatkan.
LOVE ACTUALLY
Film yang paling ambisius dalam memaparkan rupa – rupa cinta dan hebatnya cukup berhasil. Banyak film yang mencoba pendekatan serupa, namun rasanya belum ada yang mampu mendekati keberhasilan Richard Curtis dalam menghadirkan kisah cinta penuh warna, inspiratif sekaligus adiktif.
MY SASSY GIRL
Kisah cinta dua insan dengan karakter yang bertolak belakang selalu asyik buat dinikmati, apalagi kalau menghadirkan chemistry yang kuat. Untuk urusan kisah cinta seperti ini, rasanya film Korea lebih unggul dibandingkan dengan film dari Negara lain. Lihat saja drama seri Korea yang memperoleh rating tinggi seperti Coffee Prince atau Brilliant Legacy (Shining Inheritance). Kisah kocak nan romantis yang hadir di My Sassy Girl mampu memikat banyak hati. Tak heran Holly dan Bolly tertarik membuat ulang kisah cinta Gyeon-woo (Cha Tae-Hyun dan the Girl (Jun Ji-hyun). Jangan lupa, lagu I Believe tetap enak didengar sampai sekarang.
ONCE
Sebuah hubungan platonis kadang terasa jauh lebih romantis ketimbang hubungan percintaan dengan bumbu sentuhan fisik. Apa yang dihadirkan dalam Once menjadi gambaran yang pas akan sebuah hubungan yang dewasa, Tidak ada ekspresi yang menggebu-gebu dan menyadari batas yang ada sebagai wujud saling menjaga, menghormati dan menghargai satu sama lain. Hubungan yang menggemaskan ini, kiranya akan lebih membekas di hati. Balutan lagu-lagunya yang ok mampu membuat kita terhanyut. Film sederhana namun menghadirkan chemistry yang sangat kuat dari Glen Hansard dan Markéta Irglová.
THE PRINCESS AND THE FROG
Setelah sekian lama disuguhi animasi 3D, romantisme kalsik ala Disney kembali hadir lewat The Princess and the Frog. Naskahnya cukup segar dengan merekonstruksi dongeng Pangeran Katak dan makin segar dengan balutan musik jazz swing olahan Randy Newman. Lewat film ini, kita ditunjukkan kalau romantisme bisa hadir dalam wujud apapun. Romantisme tidak hanya milik mereka yang mempunyai tampilan menawan, makhluk sejelek apapun layak untuk dibuatkan kisah romantis.
SAATHIYA
Bollywood gudangnya kisah cinta penuh haru biru dan sering kali terlihat norak. Dari banyaknya kisah cinta yang ditawarkan Bolly, Saathiya meninggalkan kesan mendalam bagi Gilasinema. Kisahnya cukup realistis dan sukses membuat emosi penonton naik turun. Saathiya menghadirkan chemistry yang meyakinkan antara Rani Mukerji dengan Vivek Oberoi. Balutan musik olahan A. R. Rahman, seperti biasa membuat film semakin memikat.
SERENDIPITY
Salah satu kisah cinta favorit Gilasinema sepanjang masa. Buat mereka yang tidak suka dengan fairy tale, Serendipity bakal menjadi sebuah tontonan yang memuakkan. Namun, adakalanya untuk sejenak, kita lari dari realita dan memasuki dunia penuh reka. Toh, Serendipity mengkombinasikan dengan adil antara takdir dengan usaha. Adegan lift menjadi alah satu adegan yang mendebarkan bagi Gilasinema. Dan meski sudah tahu bagaimana kisah akan berakhir, Gilasinema tetap saja dibuat berdebar menunggu kedua tokoh utama bersatu di penghujung film.
TALK TO HER
Kerelaan Benigno Martín (Javier Cámara) dan Marco Zuluaga (Darío Grandinetti) untuk senantiasa menunggui dan tidak segan mengajak “berdialog” perempuan yang mereka puja, sungguh sebuah perwujudan cinta yang manis, hingga pada akhirnya berubah menjadi pahit karena terlalu manis. Film ini mengajak kita untuk lebih komunikatif dengan pasangan. Bicralah, sebelum semuany terlambat.
WALL•E
Selain berkisah tentang lingkungan dan humanisme, Wall – E dibumbui dengan kisah cinta yang amat menggugah. Robot dalam film ini digambarkan bak manusia yang merupakan makhluk social yang membutuhkan manusia/robot lain. Lihat saja usaha keras dari Wall – E untuk selalu berada di sisi Eve, hingga tak gentar menghadapi berbagai rintangan. Sangat inspiratif. Bahkan robot yang sangat terprogram seperti Eve, pada akhirnya luluh. Wall – E dan Eve menghadirkan chemistry kuat. So romantic!
Langganan:
Postingan (Atom)