Senin, 29 Desember 2008

MENIKMATI DUA FILM DOKUMENTER KARYA ALEX GIBNEY

Senin, 29 Desember 2008


Alex Gibney mungkin masih sangat asing di telinga pecinta film. Bukan sebuah hal yang aneh mengingat Alex Gibney lebih memusatkan penciptaan karya film di jalur dokumenter. Tidak bisa dipungkiri, film dokumenter tidak mempunyai penikmat sebanyak film fiksi, karena cap membosankan yang menempel pada film dokumenter. Padahal, kalau kita mau meluangkan sedikit waktu, ada banyak sekali film dokumenter yang enak dinikmati dan bisa memperkaya perspektif kita. Alex Gibney ini meski anak seorang veteran perang AS, dalam setiap karyanya selalu berisi protes keras terhadap kebijakan politik yang diambil pemerintah AS (George W Bush). Taxi to the Dark Side mampu membawa pulang Piala Oscar untuk Film Dokumenter Terbaik, sedangkan Enron : The Smartest Guys in the Room meski tidak menang, tapi setidaknya mampu menembus nominasi Oscar 2006.

TAXI TO THE DARK SIDE
Dilawar adalah seorang pemuda desa yang bersala dari sebuah desa bernama Yakubi di Afghanistan. Mencoba menjadi sopir taksi untuk membantu orang tuanya, namun hidupnya berakhir tragis ketika pada suatu hari dia mengantarkan tiga penumpangnya. Keluarganya cemas karena Dilawar tidak kembali pulang malam harinya. Ternyata Dilawar pulang ke penjara Bagram karena dicurigai oleh pasukan AS sebagai antek teroris (Osama bin Laden). Di penjara tersebut, Dilawar mengalami penyiksaan demi penyiksaan yang menyebabkan kematiannya lima hari kemudian. Peristiwa ini empat luput dari perhatian kalau saja tidak ada wartawan yang mengusut kematian Dilawar yang dirasa mencurigakan.
Kekerasan yang terjadi di penjara Bagram hanyalah merupakan salam pembuka dari Alex Gibney, untuk membuktikan bahwa AS merupakan salah satu kriminal hak asasi manusia, karena selanjutnya kita diantarkan untuk menyaksikan kekerasan demi kekerasan, yang berbalut alasan interogasi, di penjara Abu Ghraib pasca runtuhnya pemerintahan Saddam Husein di Irak. Memasuki segmen ini, kita disuguhi gambar - gambar yang mungkin terkesan vulgar dan sadis, namun itulah faktanya.
Film kemudian dilanjutkan dengan investigasi (tanpa penyiksaan) Alex Gibney tentang kekerasan yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut serta apa langkah yang diambil kepada mereka yang dianggap bersalah. Tentu saja pemerintah AS tidak merasa bersalah, dan menimpakan semua tanggung jawab tersebut kepada prajurit muda kurang pengalaman yang tidak dibekali modal yang cukup untuk terjun di medan perang kecuali bagaimana mematikan musuh. Bahkan dalam perang pun sebenarnya punya aturan main (salah satunya dalam Konvensi Jenewa). Namun tampaknya, pemerintah AS (Bush) berpedoman pada pepatah “all fair in love and war”, hingga menghalalkan segala cara, termasuk kekejaman tak terperi untuk melemahkan musuh.
Selain itu, kita juga diajak untuk mengulik sejarah interogasi, serta bagaimana teknik interogasi yang lebih layak. Mereka-mereka yang digunakan tameng oleh pemerintah dihadirkan oleh Gibney yang menyatakan penyesalannya atas aksi kekejaman yang mereka lakukan. Betapa mereka sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi. Frustasi dan tidak siap mental terhadap situasi perang yang mereka hadapi, mengingat betapa mudanya mereka ketika dikirim ke medan perang menjadi alasan mereka.
Kita juda diajak “berwisata” ke penjara di Teluk Guantanamo. Tempat dimana pemerintah AS “menyimpan” beberapa orang yang dianggap teroris, termasuk tiga orang yang menjadi penumpang taksi yang dikemudikan Dilawar. Pemerintah AS mengklaim bahwa penjara di Teluk Guantanamo sebagai penjara yang manusia, namun siapa yang tahu kondisi sebenarnya di dalamnya, mengingat media tidak boleh masuk meliput. Bagaimana bisa manusiawi, lha wong yang masuk saja asal comot. Itu saja sudah melanggar hak asasi manusia. Taxi to the Dark Side benar-benar mengantar kita menuju sisi gelap pemerintah AS yang selalu mengumandangkan dirinya sebagai polisi hak asasi manusia, tanpa peduli bahwa merekalah penjahat perang sesungguhnya. 3,75/5

ENRON : THE SMARTEST GUYS IN THE ROOM
Enron yang berdiri pertama kali di Texas pada tahun 1985, merupakan salah satu raksasa di dunia jual beli sember daya energi, terutama gas alam. Selain itu, Enron juga melakukan ekspansi usaha di bidang pengolahan bubuk kayu untuk kertas, listrik sampai bermain di bidang komunikasi. Dengan pekerja mencapai 22.000 orang, Enron dilaporkan mempunyai asset sebesar 101 milyar dolar pada tahun 2000! Majalah Fortune menempatkan Enron sebagai "America's Most Innovative Company" selama 6 tahun berturut-turut.
Pada 2 Desember 2001 Enron dinyatakan bangkrut. Berbagai skandal mengikis kejayaan Enron. Ternyata selama ini Enron melakukan semacam kebohongan public mengenai aset mereka. Banyak pihak yang terseret dalam kejatuhan Enron yang sering disamakan dengan tragedy tenggelamnya Titanic. Enron yang sebelumnya bergelar "America's Most Innovative Company" jatuh ke tempat paling hina karena selanjutnya menjadi symbol “willful corporate fraud and corruption”. Tragis!
Film ini mengajak kita untuk mengenal lebih dekat orang – orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejatuhan Enron, seperti Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling. Mereka – mereka yang dianggap cerdas serta berprestasi, serta pandai bermain “sulap” hingga mampu membuat banyak pihak terkesima dengan pesona semu yang mereka tawarkan. Penggunaan judul Enron: The Smartest Guys in the Room seolah menjadi semacam olok-olok terhadap mereka, karena ternyata mereka hanyalah sekumpulan manusia tolol tidak berguna. The Dumbest Guys in the Room.
Dihadirkannya masa lalu orang-orang “pintar” tadi dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa seringkali kejeniusan bisa membawa bencana kalau tidak dibalut dengan kepribadian yang kuat. Ketamakan seringkali menjerumuskan manusia ke jurang yang paling dalam. Kebodohan yang seringkali hinggap pada hampir semua manusia, bahkan yang paling jenius sekalipun. Kebodohan ini tampaknya akan terus terulang. Resesi global akibat skandal kredit perumahan di AS sebagai bukti bahwa kita belum sepenuhnya lepas dari kebodohan dan ketamakan.
Dibandingkan dengan Taxi to the Dark Side, film Enron: The Smartest Guys in the Room, terus terang agak sedikit sulit diikuti, terutama bagi mereka yang kurang tertarik dengan berita-berita ekonomi. Namun untungnya Alex Gibney mampu mengemasnya dengan sedikit lebih ringan, hingga meski kadang sedikit membuat kantuk, penonton mencoba untuk bertahan hingga akhir. Balutan lagu-lagu yang lumayan akrab di kuping seperti lagunya The Cardigans dan Phantom Planet serta Cole Porter, cukup membantu sekaligus membangun sebuah ironi dengan apa yang dihadirkan gambar di layar. Film ini dibuka dengan gambar yang cukup menggelitik. Dilayar tampak sebuah gereja yang ada tulisan “Jesus Saves”. Di belakang gereja tersebut berdiri dengan menjulang gedung Enron. Kalau kita cermati, film documenter produk Holly seringkali menyelipkan potongan film-film kondang. Tidak hanya Alex Gibney, Michael Moore pun seringkali menyelipkannya dalam setiap karyanya. 3,5/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket