Senin, 15 Desember 2008

THE VISITOR

Senin, 15 Desember 2008


Tidak mudah menjadi pendatang di suatu wilayah tertentu. Mereka selalu dipandang dengan tatapan curiga, dituntut untuk tunduk terhadap aturan yang berlaku, dan kalau perlu secara ekonomi tidak melebihi sukses warga asli/pribumi. Masih ingat kasus kerusuhan etnis yang melanda Indonesia di tahun 2007? Meski banyak yang beranggapan hal tersebut muncul akibat ada penggeraknya, tidak bisa dipungkiri kesuksesan kaum mereka yang dianggap bukan pribumi memicu rasa iri. Hal ini makin dikuatkan dengan anggapan kaum pendatang yang sulit berbaur. Beban kaum pendatang makin berat apabila mereka sudah mempunyai stigma yang buruk berkaitan dengan sejarah buruk yang ditinggalkan oleh pendahulu mereka.
Mengambil setting di New York yang penduduknya sangat plural, film ini menceritakan kisah Prof. Walter Vale (Richard Jenkins) yang hidupnya berubah setelah bertemu dengan pasangan asing, Tarek (Haaz Sleiman) yang berdarah Siria dan Zainab (Danai Jekesai Gurira) yang asli Senegal. Keduanya muslim dan menempati apartemen yang telah bertahun-tahun ditinggal oleh Walter, karena dirinya bekerja dan menghabiskan hidupnya yang membosankan di Connecticut sebagai pengajar. Entah karena kebaikan hati Walter atau karena untuk mengisi hidupnya yang monoton, bukannya mengusir dua orang asing tadi, Walter malah mengijinkan mereka untuk tinggal sementara samapai mereka menemukan tempat tinggal yang baru.
Pada awalnya terjadi hubungan yang canggung diantara ketiganya, terutama Zainab yang terlihat selalu menatap dengan pandangan curiga dan cenderung membatasi diri. Berbeda dengan Tarek yang begitu simpatik. Hubungan Walter dan Tarek makin erat berkat alat musik yang dimainkan oleh Tarek yakni Jembe, semacam kendang kalau di Indonesia. Seperti halnya irama yang dinamis yang dihasilkan oleh Jembe, begitupun dengan hidup Walter selanjutnya. Seolah-olah dirinya lebih bergairah menjalani hidup. Lebih banyak warna dalam hidupnya
Hidup Walter makin kompleks, ketika Tarek ditangkap pihak yang berwenang hanya berdasar kecurigaan tak berdasar dan hanya karena tampilan fisiknya yang tidak jauh beda dengan mereka yang dianggap teroris oleh Amerika. Walter yang seorang berpikiran terbuka tentu saja protes dengan hal tersebut, namun tidak digubris mengingat posisinya yang lemah. Belum lagi dihadapkan dengan kenyataan kalau Tarek bukanlah pendatang yang legal, sehingga dia harus ditahan oleh pihak imigrasi.
Merasa temannya dalam masalah, Walter berusaha membantu mengeluarkan Walter dari tahanan mengingat Zainab yang juga illegal, tidak bisa berbuat apa-apa. Satu lagi orang asing memasuki hidup Walter , ketika ibu Tarek, Mouna (Hiam Abbass), datang berkunjung. Walter yang baik hati dengan iklhlas meluangkan waktu untuk membantu, mulai dari menjenguk Tarek tiap ada kesempatan, sampai dengan menemukan pengacara bagi Tarek. Intinya, Walter menjadi semacam penghubung Tarek dengan dunia luar.
The Visitor tak pelak menjadi sebuah tontonan sederhana yang puitis. Sungguh indah menyaksikan interaksi antar manusia yang tidak saling mengenal sebelumnya. Bagaimana mereka saling mengisi satu sama lain hingga hidup menjadi lebih kaya dan berwarna. Karakter- karakter yang ada begitu simpatik, bahkan Zainab pun perlahan-lahan mulai cair. Sutradara dan penulis cerita, Thomas McCharty, terlihat berusaha mengajak penonton untuk melihat sisi postif dari orang yang dianggap “yang lain”. Mengajak kita untuk menggunakan cara pandang yang “out of the box”. Buang jauh-jauh pola pikir stereotype dan adalah suatu yang bodoh ketika kita mulai memberi stigma tertentu kepada orang lain.
Meski terlihat bersahaja, film ini sebenarnya merupakan sebuah protes keras terhadap kebijakan pemerintah AS terhadap kaum pendatang, terutama mereka yang beragama Islam. Setelah tragedy 9/11, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat cenderung mendeskreditkan kaump pendatang, terutama mereka yang berdarah Arab. Penduduk pun setali tiga uang dengan memberikan stigma teroris terhadap mereka. Padahal tidak semuanya seperti itu. Kalau kita mau mengenal “yang lain” lebih dalam banyak hal menarik yang bisa kita dapatkan.
Cerita film ini makin kuat dengan pemilihan setting yang tepat yakni New York yang dikenal dengan gateway for immigration. Kota yang satu ini memang dikenal dengan banyaknya kaum pendatang yang tinggal di sana. Dari data penduduk tahun 2004 menunjukkan bahwa hampir seperempat jumlah penduduk adalah kaum pendatang dari berbagai etnis. Bisa dibayangkan betapa riuhnya New York yang kalau tidak dipelihara dengan baik tentu akan muncul gesekan-gesekan.
Film ini juga seakan menegaskan kalau musik adalah bahasa universal yang mampu menyatukan berbagai kalangan. Persahabatan Walter dan Tarek dimulai dari ketertarikan Walter ketika melihat Tarek memainkan Jembe. Setelahnya, Tarek mengajak Walter memasuki komunitas pemain musik yang berasal dari bermacam etnis. It’s so lovely. Musik juga digunakan sutradara sebagai sarana menunjukkan perubahahan irama hidup dari Walter. Sebelum menemukan gairah baru yang lebih menggebu dan dinamis bak bunyi yang dihasilkan oleh Jembe, Hidup Walter yang lempeng dan damai dihadirkan dengan iringan dentingan piano.
Richard Jenkins bermain bagus sekali sebagai Walter. Perhatikan bagaimana Richard Jenkins mengolah tubuhnya menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Tidak hanya dari bahasa tubuh, satu hal yang terlihat luar bisa dari akting Richard Jenkins adalah dari “permainan” matanya. Kalau dicermati, matanya lama kelamat terlihat lebih bersinar. Pemilihan Haaz Sleiman sebagai Tarek cukup tepat. Rasa-rasanya tidak ada penonton yang tidak akan bersimpati dengan sosok Tarek ini.
Film yang manis ini sangat sayang untuk dilewatkan. Mungkin setelah melihat film ini mampu mengubah cara pandang kita terhadap mereka “yang lain.” Tidak perlu menghakimi seseorang tanpa kita berusaha untuk mengenal lebih jauh. Intinya sih ambil sisi positif dari orang tersebut, dan hidup kita akan makin kaya. Begitu banyak pendatang yang hadir dalam hidup kita, hingga sayang untuk diabaikan begitu saja. Tidak perlu menempatkan mereka sebagai “yang lain”, karena bisa saja kita adalah “yang lain” itu sendiri. 4/5

2 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, film bagus nih. nyari bajakannya ah...

Anonim mengatakan...

Film gesekan etnis selalu menarik, apalagi dicampur sama aroma agama. Harus segera dicari download-annya di torrent....

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket