Senin, 29 Desember 2008
MENIKMATI DUA FILM DOKUMENTER KARYA ALEX GIBNEY
Senin, 29 Desember 2008
0
Alex Gibney mungkin masih sangat asing di telinga pecinta film. Bukan sebuah hal yang aneh mengingat Alex Gibney lebih memusatkan penciptaan karya film di jalur dokumenter. Tidak bisa dipungkiri, film dokumenter tidak mempunyai penikmat sebanyak film fiksi, karena cap membosankan yang menempel pada film dokumenter. Padahal, kalau kita mau meluangkan sedikit waktu, ada banyak sekali film dokumenter yang enak dinikmati dan bisa memperkaya perspektif kita. Alex Gibney ini meski anak seorang veteran perang AS, dalam setiap karyanya selalu berisi protes keras terhadap kebijakan politik yang diambil pemerintah AS (George W Bush). Taxi to the Dark Side mampu membawa pulang Piala Oscar untuk Film Dokumenter Terbaik, sedangkan Enron : The Smartest Guys in the Room meski tidak menang, tapi setidaknya mampu menembus nominasi Oscar 2006.
TAXI TO THE DARK SIDE
Dilawar adalah seorang pemuda desa yang bersala dari sebuah desa bernama Yakubi di Afghanistan. Mencoba menjadi sopir taksi untuk membantu orang tuanya, namun hidupnya berakhir tragis ketika pada suatu hari dia mengantarkan tiga penumpangnya. Keluarganya cemas karena Dilawar tidak kembali pulang malam harinya. Ternyata Dilawar pulang ke penjara Bagram karena dicurigai oleh pasukan AS sebagai antek teroris (Osama bin Laden). Di penjara tersebut, Dilawar mengalami penyiksaan demi penyiksaan yang menyebabkan kematiannya lima hari kemudian. Peristiwa ini empat luput dari perhatian kalau saja tidak ada wartawan yang mengusut kematian Dilawar yang dirasa mencurigakan.
Kekerasan yang terjadi di penjara Bagram hanyalah merupakan salam pembuka dari Alex Gibney, untuk membuktikan bahwa AS merupakan salah satu kriminal hak asasi manusia, karena selanjutnya kita diantarkan untuk menyaksikan kekerasan demi kekerasan, yang berbalut alasan interogasi, di penjara Abu Ghraib pasca runtuhnya pemerintahan Saddam Husein di Irak. Memasuki segmen ini, kita disuguhi gambar - gambar yang mungkin terkesan vulgar dan sadis, namun itulah faktanya.
Film kemudian dilanjutkan dengan investigasi (tanpa penyiksaan) Alex Gibney tentang kekerasan yang terjadi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut serta apa langkah yang diambil kepada mereka yang dianggap bersalah. Tentu saja pemerintah AS tidak merasa bersalah, dan menimpakan semua tanggung jawab tersebut kepada prajurit muda kurang pengalaman yang tidak dibekali modal yang cukup untuk terjun di medan perang kecuali bagaimana mematikan musuh. Bahkan dalam perang pun sebenarnya punya aturan main (salah satunya dalam Konvensi Jenewa). Namun tampaknya, pemerintah AS (Bush) berpedoman pada pepatah “all fair in love and war”, hingga menghalalkan segala cara, termasuk kekejaman tak terperi untuk melemahkan musuh.
Selain itu, kita juga diajak untuk mengulik sejarah interogasi, serta bagaimana teknik interogasi yang lebih layak. Mereka-mereka yang digunakan tameng oleh pemerintah dihadirkan oleh Gibney yang menyatakan penyesalannya atas aksi kekejaman yang mereka lakukan. Betapa mereka sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi. Frustasi dan tidak siap mental terhadap situasi perang yang mereka hadapi, mengingat betapa mudanya mereka ketika dikirim ke medan perang menjadi alasan mereka.
Kita juda diajak “berwisata” ke penjara di Teluk Guantanamo. Tempat dimana pemerintah AS “menyimpan” beberapa orang yang dianggap teroris, termasuk tiga orang yang menjadi penumpang taksi yang dikemudikan Dilawar. Pemerintah AS mengklaim bahwa penjara di Teluk Guantanamo sebagai penjara yang manusia, namun siapa yang tahu kondisi sebenarnya di dalamnya, mengingat media tidak boleh masuk meliput. Bagaimana bisa manusiawi, lha wong yang masuk saja asal comot. Itu saja sudah melanggar hak asasi manusia. Taxi to the Dark Side benar-benar mengantar kita menuju sisi gelap pemerintah AS yang selalu mengumandangkan dirinya sebagai polisi hak asasi manusia, tanpa peduli bahwa merekalah penjahat perang sesungguhnya. 3,75/5
ENRON : THE SMARTEST GUYS IN THE ROOM
Enron yang berdiri pertama kali di Texas pada tahun 1985, merupakan salah satu raksasa di dunia jual beli sember daya energi, terutama gas alam. Selain itu, Enron juga melakukan ekspansi usaha di bidang pengolahan bubuk kayu untuk kertas, listrik sampai bermain di bidang komunikasi. Dengan pekerja mencapai 22.000 orang, Enron dilaporkan mempunyai asset sebesar 101 milyar dolar pada tahun 2000! Majalah Fortune menempatkan Enron sebagai "America's Most Innovative Company" selama 6 tahun berturut-turut.
Pada 2 Desember 2001 Enron dinyatakan bangkrut. Berbagai skandal mengikis kejayaan Enron. Ternyata selama ini Enron melakukan semacam kebohongan public mengenai aset mereka. Banyak pihak yang terseret dalam kejatuhan Enron yang sering disamakan dengan tragedy tenggelamnya Titanic. Enron yang sebelumnya bergelar "America's Most Innovative Company" jatuh ke tempat paling hina karena selanjutnya menjadi symbol “willful corporate fraud and corruption”. Tragis!
Film ini mengajak kita untuk mengenal lebih dekat orang – orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejatuhan Enron, seperti Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling. Mereka – mereka yang dianggap cerdas serta berprestasi, serta pandai bermain “sulap” hingga mampu membuat banyak pihak terkesima dengan pesona semu yang mereka tawarkan. Penggunaan judul Enron: The Smartest Guys in the Room seolah menjadi semacam olok-olok terhadap mereka, karena ternyata mereka hanyalah sekumpulan manusia tolol tidak berguna. The Dumbest Guys in the Room.
Dihadirkannya masa lalu orang-orang “pintar” tadi dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa seringkali kejeniusan bisa membawa bencana kalau tidak dibalut dengan kepribadian yang kuat. Ketamakan seringkali menjerumuskan manusia ke jurang yang paling dalam. Kebodohan yang seringkali hinggap pada hampir semua manusia, bahkan yang paling jenius sekalipun. Kebodohan ini tampaknya akan terus terulang. Resesi global akibat skandal kredit perumahan di AS sebagai bukti bahwa kita belum sepenuhnya lepas dari kebodohan dan ketamakan.
Dibandingkan dengan Taxi to the Dark Side, film Enron: The Smartest Guys in the Room, terus terang agak sedikit sulit diikuti, terutama bagi mereka yang kurang tertarik dengan berita-berita ekonomi. Namun untungnya Alex Gibney mampu mengemasnya dengan sedikit lebih ringan, hingga meski kadang sedikit membuat kantuk, penonton mencoba untuk bertahan hingga akhir. Balutan lagu-lagu yang lumayan akrab di kuping seperti lagunya The Cardigans dan Phantom Planet serta Cole Porter, cukup membantu sekaligus membangun sebuah ironi dengan apa yang dihadirkan gambar di layar. Film ini dibuka dengan gambar yang cukup menggelitik. Dilayar tampak sebuah gereja yang ada tulisan “Jesus Saves”. Di belakang gereja tersebut berdiri dengan menjulang gedung Enron. Kalau kita cermati, film documenter produk Holly seringkali menyelipkan potongan film-film kondang. Tidak hanya Alex Gibney, Michael Moore pun seringkali menyelipkannya dalam setiap karyanya. 3,5/5
PINEAPPLE EXPRESS
Dale (Seth Rogen) dan Saul (James Franco) adalah dua orang pemuda yang dipertemukan oleh satu hal : ganja. Saul didini di posisi sebagai penjual ganja yang hidupnya banyak dihabiskan di dalam sebuah apartemen sempit, tempat dia melakukan transaksi jual beli ganja termasuk dengan Dale. Sedang Dale sendiri digambarkan sedang bekerja sebagai semacam kurir surat dan hobi mendengarkan radio hingga bercita-cita berkecimpung didalamnya.
Pada suatu hari, Saul memperkenalkan jenis ganja baru kepada Dale, yakni Pineapple Express yang mempunyai efek dahsyat dibandingkan ganja yang telah beredar luas sebelumnya, bahkan hanya sekedar mencium baunya. Sial bagi Dale, karena gara-gara ganja tadi, dia harus berurusan dengan pimpinan genk.Ceritanya ketika dia hendak mengantarkan surat kepada Ted (Gary Cole), dia menjadi saksi pembunuhan yang dilakukan oleh Ted terhadap salah satu anggota gank China dibantu oleh polisi wanita, Carol (Rosie Perez).
Jejak Dale segera diketahui karena tanpa disadari Dale meninggalkan lintingan ganja yang sedang dia hisap. Ted yang tahu, bahwa hanya Saul dan Red (Danny R. McBride) yang mempunyai ganja jenis Pineapple Express ini mulai memburu mereka. Red bisa diatasi dengan mudah, sedang Saul yang mau tidak mau ikut terlibat, bersama-sama Dale berusaha meyelamatkan jiwa mereka.
Kekacauan demi kekacauan kemudian tidak henti menghampiri Dale dan Saul. Dalam keadaan teler, mereka harus mencari cara untuk lepas dari bahaya. Terlibat pengejaran yang seru antara kedua belah pihak. Situasi yang dihadapi Dale makin pelik ketika nyawa ceweknya yang masih SMA ikut-ikutan terancam bahaya. Belum lagi keberadaan genk China yang terus membayangi. Beberapa kali Dale dan Saul berhasil lolos dari bahaya meski keduanya secara otak jauh dari “cerdas”. Dalam prosesnya, terjalin hubungan yang “intim” diantara keduanya.
Menyaksikan komedi karya Seth Rogen, kita harus sudah berbekal pemikiran tidak akan mendapatkan apa- apa selain dagelan ketololan demi ketololan, yang dibalut dengan bahasa kotor dan kasar. Berbeda dengan karya sebelumnya semacam Knocked Up dan Superbad, kali ini Seth Rogen tidak masuk ke wilayah selangkangan, jadi jangan harap filmnya akan mengumbar ketelanjangan, meski actor yang satu ini suka mengekspos tubuhnya yang tambun. Dan seperti Superbad, film ini juga mengangkat romantisme persahabatan dua orang cowok, hingga pada beberapa adegan terkesan so gay
Secara keseluruhan, Pineapple Express memang lumayan menghibur dengan humor-humor kurang penting, namun hasil akhirnya sebuah menjadi film yang nanggung. Harusnya film ini bisa lebih gila-gilaan lagi dalam menyajikan humor dan adegan aksinya. Seth Rogen dan soulmatenya, Evan Goldberg terkesan bingung dalam menggabungkan komedi dan aksi. Beberapa adegan mempunyai potensi yang besar untuk menjadi sebuah adegan yang memorable, seperti saat adegan car chase atau bagian klimaks. Muncul harapan kedepannya akan muncul film yang merupakan penyempurnaan dari film ini. Dan kalau bisa humor-humor yang ada lebih bisa diterima penonton luar AS. Film-film Seth Rogen seringkali berbalut humor yang terlalu berasa AS, makanya filmnya lebih menarik perhatian di pasaran domestic. Penggemarnya di dunia internasional juga belum luas, meski dia disebut-sebut comedian yang mungkin menggantikan Adam Sandler atau Ben Stiller.
James Franco tampil mengejutkan dengan dialog dan bahasa tubuhnya yang bodor abis. Terlihat sekali dia menikmati peran yang dia bawakan. Padahal peran Saul awalnya bakal dilakonkan oleh Seth Rogen, untung kemudian dirubah. Ada banyak potensi yang belum dia keluarkan. Kalau dia pintar memilih peran, tidak mengherankan kalau kedepannya dia bisa menjadi actor besar. Di kursi penyutradaraan, David Gordon Green tampaknya akan mempunyai tempat yang mapan di Holly. Sebelumnya dia dipuji dengan komedi sureali Lars and the Real Girl.
Lalu apa sih yang dimaksud dengan Pineapple Express sendiri? Setelah dicari-cari artinya, ternyata Pineapple Express mengarah kepada sebuah fenomena alam, yakni keadaan dimana hujan turun dengan deras, dan juga disertai badai yang lumayan destruktif. Mungkin Pineapple Express disini digunakan untuk menggambarkan kekuatan ganja yang dihisap dan dampak kekakacauan yang ditimbulkannya. Intinya sih jauhi ganja dan obat terlarang lainnya. Sampai film ini berakhir, terus terang menyisakan pertanyaan. Apa sih maksud prolog di awal film? Ketololan? 2,75/5
Kamis, 25 Desember 2008
CRONICA DE UNA FUGA (CHRONICLE OF AN ESCAPE / BUENOS AIRES, 1977 )
Kamis, 25 Desember 2008
0
Di tahun In 1977, Claudio Tamburrini (Rodrigo de la Serna) hanyalah seorang pemuda yang gemar bermain bola dan ikut sebuah klub bola kecil yang hidupnya berubah drastis, ketika pulang dia ditangkap (tepatnya diculik ) oleh segerombolan orang yang diketahui sebagai pasukan rahasia dari pemerintah Argentina yang pada waktu itu sedang berkuasa. Tidak diketahui secara jelas alasan apa yang mendasari penangkapan tersebut. Dengan mata tertutup, Claudio dibawa di sebuah tempat bernama Sere Mansion untuk mendapatkan “penanganan” lebih lanjut.
Di tempat ini, Claudio beserta tahanan lainnya mengalami siksaan demi siksaan demi mengorek informasi berkaitan dengan kaum yang dinilai membangkanga pada saat itu. Suatu hal yang mustahil didapatkan, mengingat kebanyakan yang tidak tahu dan tidak terlibat sama sekali. Disekap dalam ruangan dengan perlakuan yang jauh dari kesan manusiawi, mereka mendapati kenyataan kalau mereka bisa saja dibunuh kapan saja.
Setelah kurang lebih empat bulan menghadapi siksaan demi siksaan secara simultan, Claudio beserta tahanan lainnya menyusun rencana untuk meloloskan diri. Dengan tanpa berbalut sehelai benangpun, karena mereka diikat telanjang, pada suatu malam ditengah guyuran hujan lebat, mereka melaksanakan aksi pelarian tersebut. Berhasilkah mereka?
Film ini mendasarkan cerita pada otobiografi Claudio Tamburrini yang berjudul Pase libre – la fuga de la Mansion Seré. Untuk memperkuat cerita, Adrián Caetano samapai harus menyambangi Claudio yang menetap di Stockholm. Dan biar lebih otentik, mereka juga meminta bantuan dari salah satu teman pelarian Claudio, Guillermo Fernández. Sekedar informasi, pada pertengahan 1970-an, Argentina mengalami sebuah kekacauan politik. Kekacauan tersebut memuncak setelah militer melakukan kudeta pada 24 Maret 1976. Junta militer dengan membabi buta menyingkirkan merek yang dianggap mengancam. Banyak korban berjatuhan, terutama hilang. Ada yang mencatat korban mencapai 30.000 jiwa. Peristiwa ini dikenal dengan nama Dirty War.
Secara keseluruhan, film ini tidaklah istimewa. Dengan kisah yang sebenarnya luar biasa, sayangnya sutradara mengemasnya menjadi sebuah tontonan standar dan kurang kuat segi dramanya. Penonton terlalu banyak disuguhi adegan di rumah tempat penyiksaan berlangsung. Film akan lebih dramatis kalau misalnya juga diberi sub plot mengenai keluarga yang “ditinggalkan”. Bahasa gambar yang dihadirkan juga terlalu biasa. Dengan tema yang hampir mirip, film Hunger jauh lebih dramatis dan lebih menohok. Kalau Chronicle of an Escape lebih merupakan sebuah rekonstuksi, Hunger hadir dengan bahasa gambar yang seolah-olah menyuarakan sebuah jeritan (protes). Untungnya Chronicle of an Escape menghadirkan sebuah adegan pelarian yang cukup memancing ketegangan. Bayangkan usaha pelarian diri mereka ditengah penjagaan ketat, guyuran hujan lebat dan telanjang pula!
Namun, kelemahan film ini seperti yang diungkapkan diatas bukan alasan untuk melewatkan film ini. Terutama bagi mereka pecinta film “based on true story” yang paling tidak bisa menambah sedikit pengetahuan kita mengenai sejarah sebuah negara yang kebanyakan mempunyai sejarah yang kelam. Sekali lagi, film ini juga perlu ada untuk mengingatkan kepada kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. 3,25/5
Sabtu, 20 Desember 2008
HUNGER
Sabtu, 20 Desember 2008
0
Kata “hunger” kalau kita cari di dalam kamus merujuk pada situasi kelaparan, kurang makan serta kurang gizi, serta seringkali diidentikkan dengan tragedy busung lapar yang sering terjadi di wilayah-wilayah sulit pangan dan miskin, seperti yang jamak di Negara dunia ketiga, terutama Negara-negara yang berada di kawasan Africa. Namun fillm Hunger karya debut dari sutradara Steve McQueen ini merujuk pada peristiwa aksi protes yang terjadi pada tahun 1981, tepatnya di Irlandia.
Aksi protes berawal dari tahun 1976, ketika tahanan bernama Kieran Nugent memulai melakukan aksi protes dengan menolak semua fasilitas yang diberikan oleh Inggris terhadap mereka aktivis Irish Republican Army (IRA) dan Irish National Liberation Army (INLA) di penjara. Mereka menolak disamakan dengan tahanan lainnya, karena mereka beranggapan apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah tindak criminal. Mereka menolak menggunakan seragam tahanan danmeilih telanjang daripada memakai seragam tersebut, menolak melakukan aktivitas yang dijadwalkan, menuntut hak untuk berhubungan dengan tahan politik lain serta hak untuk mendpatkan akses ilmu serta rekreasi, menuntut satu pengunjung, satu surat dan satu parsel setiap minggu serta menuntut keringanan hukuman.
Mereka mempertajam aksi mereka dengan melakukan aksi yang dikenal dengan “dirty protest”. Mereka menolak mandi, mengotori sel mereka dengan tinja dan makanan basi, membuang urine mereka di sepanjang lorong sel serta menolak sel mereka dibersihkan. Aksi ini ternyata tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah Inggris.
27 October 1980, tahanan yang bernama HM Prison Maze memulai “hunger strike” atau apa yang dikenal dengan aksi mogok makan. Ditengah perang urat syaraf antara kedua belah pihak, aksi mogok makan mulai menelan korban. Hal ini membuat pemerintah Inggris sedikit melunak, dan mengakhiri aksi mogok para tahanan setelah berjalan selama 53 hari.
Namun tenyata pemerintah Inggris (Margaret Thatcher yang berhati besi) mengingkarinya dan kukuh dengan anggapan bahwa mereka tetaplah sebagai criminal. We are not prepared to consider special category status for certain groups of people serving sentences for crime. Crime is crime is crime, it is not political", demikian Thatcher beralasan. Bobby Sands yang merupakan aktivis adri IRA, pada 1 Maret 1981 memulai aksi mogok makan yang kedua demi menekan Thatcher. Aksi ini mulai mendapatkan atensi yang besar dari berbagai pihak.
Masing – masing pihak kukuh dengan apa yang menjadi pilihan sikap mereka. Sampai dengan meninggalnya Bobby Sands pada 5 Mei 1981, dan diikuti dengan meningggalnya beberapa tahanan lainnya, Pemerintah Inggris tetap tidak sudi memenuhi tuntutan dari para tahahan. There was never a deal, there was never a "take it or leave it" option at all". Meski demikian, aksi dari tahanan tadi mendapatkan simpati luas yang membuat Pemerintah Inggris mendapatkan sorotan.
Lewat film Hunger ini, sutradara berhasil menyajikan aksi diatas tadi dengan bahasa gambar yang memikat. Sebuah sajian sinematik yang amat kuat. Kita disuguhi kehidupan penjara yang yang kotor, jorok dan bertabur kekerasan. Bagaimana para tahanan hanya menggunakan selembar kain untuk menutupi tubuh, “menghiasi” dinding sel dengan tinja, mengalirkan air seni mereka sepanjang lorong sel hinnga kreativitas yang muncul sebagai akibat kekangan yang kuat.
Kita juga disuguhi gambar, betapa tersiksanya mereka para tahanan, ketika secara paksa mereka “dimandikan” serta sel yang bersih. Kelaparan yang bagi banyak orang merupakan wujud dari kondisi yang lemah, lewat aksinya, para tahanan justru menempatkan kondisi lapar sebagi sebuah “senjata” untuk melawan. Di tengah film kita disuguhi diskusi menarik dan panjang tanpa jeda (17 menit!) antara pendeta dengan Bobby Sands. Acungan dua jempol bagi Michael Fassbender yang berperan sebagai Bobby Sands, meski baru mendapatkan perhatian setelah setengah durasi film. Dia begitu total dalam memainkan perannya. Perhatikan perubahan fisiknya hingga akhir film. Sungguh menyedihkan dan menimbulkan simpati.
Secara keseluruhan, film Hunger tampaknya dihadirkan sebagai sebuah olok-olok bagi pemerintah Inggris. Olok-olok disini ditampilkan lewat gambaran kontras antara sipir penjara dengan para tahanan. Awal film kita diajak untuk melihat sipir penjara yang hidup dirumah yang bersih yang sedang mencuci tangannya yang luka yang membuatnya meringis, makan dengan santun dan meninggalkan rumah dengan diam dan dingin. Selanjutnya digambarkan betapa dia bukanlah sosok yang bersahabat, bahkan dengan hewan lemah, tertekan ketika memberikan hukuman dan menemui ajal yang tragis ketika menguinjungi ibunya dipanti jompo.
Bandingkan dengan para tahanan yang tinggal dalam ruang sempit, kumuh dan jorok, menganggap binatang kecil sebagai sesuatu yang berharga, keluarga yang mencintainya, kekuatan yang muncul ketika melakukan perlawanan yang diperlihatkan lewat sorot mata serta menghadapi ajal dengan kebanggaan. Sungguh sebuah penggambaran yang ironis. 4,25/5
3 DOA 3 CINTA
Yang paling dirindukan oleh Huda (Nicholas Saputra) adalah ibunya yang sudah enam tahun tidak dia pernah dia lihat. Sedang bagi Syahid (Yoga Bagus), satu hal yang paling dia cintai di dunia ini selain Allah adalah ayahnya yang terbaring sakit di rumah sakit akibat gagal ginjal. Rian (Yoga Pratama) lain lagi, dia sangat terobsesi dengan yang namanya film. Ketiganya dipersatukan dalam lingkup pondok pesantren Al Ikhlas pimpinan Kiai yang resah karena tidak kunjung diberi anak laki-laki sebagai penerus kelangsungan pondok pesantren tersebut.
Ketiga pemuda tadi mempunyai mimpi, dan selau berdoa agar mimpi mereka dapat terwujud. Huda ingin mencari ibunya, Syahid ingin ayahnya segera sembuh dan Rian berkeinginan membuat film. Ketiganya mempunyai pojok favorit, dimana mereka menuliskan mimpi dan harapan mereka di tembok kusam.
Dalam usaha mewujudkan doa dari mimpi mereka tersebut, mereka dihadapkan dengan pribadi lain yang mempunyai jalan hidup dan mimpi yang jauh berbeda serta nilai – nilai yang kadang berseberangan dengan apa yang mereka dapatkan di pondok. Huda bertemu dengan penyanyi dangdut kelas teri, Dona Satelit (Dian Sastrowardojo yang bersedia membantu dengan sejumlah uang. Rian mendapatkan pengalaman dari pemutar layar tancep (Butet Kertaradjasa), sedangkan Syahid mulai terlibat dalam sebuah gerakan Islam garis keras yang berusaha merekrut pasukan jihad yang siap mati syahid demi Islam.
Yang namanya mimpi dan harapan kadang tidak sejalan dengan realita. Seperti kata orang bijak “manusia hanya bisa berencana, namun keputusan akhir tetap di tangan Tuhan’. Begitulah yang harus dihadapi oleh ketiga pemuda tadi. Huda harus mendapati kenyataan bahwa ibunya telah meningggal dunia dengan masa lalu yang kelam, Rian yang kecewa ketika ibunya memutuskan menikah lagi sedang ayahnya belum genap satu tahun meninggal dunia, sedang Syahid dilanda dilemma ketika mendapati bahwa orang yang selama ini dia pikir sebagai pihak yang patut dimusnahkan, justru berbaik hati memberikan bantuan.
Dengan mengambil setting utama di sebuah pondok pesantren, cerita tiga doa tadi mengantar kita untuk “melongok” sejenak mengikuti berbagai kisah di sebuah pondok pesanten (tradisional). Tentu tidak semua pondok pesantren terlihat seperti apa yang dihadirkan oleh sutradara Nurman Hakim di layar yang mendasarkan pada scenario garapan Agni Ariatama. Justru lewat film inilah, kita disadarkan betapa banyak dimensi yang bisa kita lihat didalamnya. Sutradara dan penulis cerita terlihat sekali ingin memperlihatkan banyak hal, mulai dari isu poligami, terorisme hingga isu homoseksualitas serta banyak isu lainnya dan tetntu saja Islam yang ramah dan damai.
Dan untungnya, meski terkesan “serakah” karena ingin memperlihatkan banyak hal, cerita yang dihadirkan lumayan focus dan menarik. Sineas yang berada di balik pembuatan film ini terlihat sekali ingin “mengobrak-abrik” hal-hal yang berbau stereotype dan klise. Mereka seakan-akan berusaha “mencuci” stigma yang seringkali tidak mepunyai alasan yang kuat. Manusia disini dilihat sebagai sosok abu-abu, manusia yang mempunyai banyak sisi, karena manusia adalah makhluk yang paling dinamis.
Maunya sih setelah melihat film ini, akita kan berpikiran lebih terbuka, terutama terhadap perbedaan yang ada. Tidak mudah menghakimi, karena yang berhak untuk itu hanyalah Allah yang Maha Adil dan Pemaaf. Salut untuk mereka yang berhasil menghadirkan film ini. Harapannya setelah kemunculan film ini, akan lebih banyak lagi film yang mengambil setting cerita di pondok pesantren. Beberapa sub plot dalam film ini bisa dijadikan kisah tersendiri secara lebih mendalam dan detail. Kalau mau yang sensional dan bakal menimbulkan kontroversi, coba deh angkat isu homoseksualitas yang tidak bisa dipungkiri, memang benar – benar ada.
Film ini makin enak dinikmati berkat diselipkannya beberapa adegan – adegan lucu yang sukses mengundang tawa. Mereka yang tahun ini sibuk mengeluarkan komedi seks yang dangkal harusnya malu melihat betapa kreatifnya sineas dari film ini dalam membangun suasana yang komedik. Kelucuan tidak harus muncul dari wilayah sekitar selangkangan. Bahklan dari sebuah ritual pun mampu memunculkan senyum. Penyuntingan yang rapi dan dinamis dari sastha Sunu serta musik olahan Djaduk makin memperkuat emosi dari film ini. Tata cahaya yang kuat di beberapa adegan juga menjadi nilai plus tersendiri, meski ada beberapa adegan dimana bayangan kru ikut main.
Tidak bisa dipungkiri, selain cerita, kekuatan utama dari film ini adalah betapa tepatnya pemilihan pemain, dan semua pemain mampu menampilkan kekuatan masing – masing. Kalau di Indonesia ada semacam Screen Actors Guild Award seperti halnya di Holly, film ini sangat layak membawa pulang Best Assamble. Pemilihan casting orang tua dan anak terlihat sekali dilakukan dengan serius, hingga hubungan yang terjadi di layar terasa realistis dan tiddak aneh. Nicholas Saputra meski sedikit ketuaan untuk anak 17 tahun, berusaha menampilkan sisi polos layaknya remaja dan lumayan berhasil. Belum lagi dengan logat jawanya yang mengejutkan.
Yoga Pratama mampu tampil lepas dan segar, sedangkan Yoga Bagus bermain bagus. Kalau boleh jujur, peran yang dia mainkan, bisa jadi merupakan karakter tersulit dalam film ini. Peran Syahid menuntut pemerannya untuk terampil mengolah bahasa tubuh dan juga bahasa mata yang kuat. Dan untuk pendatang baru, penampilan Yoga Bagus bisa dikatakan memuaskan. Bukti bahwa untuk menjadi actor yang bagus tidak perlu ditunjang fisik yang rupawan. Dian Sastro dengan segala kegenitan dan kenorakannya namun menyimpan duka, mampu menjadi sceen stealer. Kehadirannya selalu menghadirkan warna dan sensasi tersendiri. Terlihat sekali dia berusaha total. Apalagi dia menyanyikan sendiri lagu yang dihadirkan, lengkap dengan goyang sensual nan seronok. Ditambah bodynya yang montok, Titi Kamal mah Lewaaaaaaat…..!
Tema cerita yang menarik, scenario yang rapat. didukung dengan pengerjaan yang serius serta cast yang tepat nan kuat, apa lagi yang kurang? Mungkin bagi sebagian penonton akan terasa membosankan karena kurang tajamnya konflik yang dihadirkan. Justru disinilah kekuatan dari film ini dengan memilih cara bertutur yang bersahaja. Makanya buruan segera ke bioskop menyaksikan film ini, karena film semacam ini malah “terancam” segera turun layar hanya setelah 2 – 3 hari tayang. Padahal tema yang diangkat. terlihat unik dan menarik bagi penonton luar, terutama oleh festival film internasional. Jadi jangan sampai menyesal. 3,5/5
Kamis, 18 Desember 2008
THE BAD, THE GOOD AND THE WEIRD (JOHEUNNOM NABBEUNNOM ISANGHANNOM)
Kamis, 18 Desember 2008
4
The Bad adalah seorang bandit kejam yang bisa menjalankan sebuah misi kejahatan asal bayarannya cocok. The Good sosok penegak keadilan yang tangguh dengan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. The Weird? Meski terkesan konyol dan slebor, sosom yang satu ini tidak bisa dianggap remeh, karena ternyata dia adalah seorang perampok yang licin, dan sekali – kali bisa kejam meski digambarkan amat sayang dengan neneknya.
Ketiganya terlibat pergelutan yang seru gara – gara sebuah peta yang diyakini akan menunjukkan letak gundukan harta karun tak ternilai dan berpengaruh terhadap eksistensi Negara. The Bad dibayar untuk mendapatkan peta tersebut, The Good ditugasi untuk meastikan peta tersebut jatuh ke tangan yang tepat. The Weird? Bisa dibilang dia terjebak dalam usaha perebutan peta tersebut, ketika dia memutuskan untuk merampok kereta yang membawa peta tadi. terdapat visualisasi menarik yang menggambarkan peristiwa tersebut yakni, ketika kumpulan burung gagak berebut sepotong bangkai, datang elang dengan elegannya merampas bangkai tersebut.
Untuk selanjutnya silahkan nikmati sendiri film seru ini, karena memang film ini memang lebih asyik disaksikan di layar, terutama di layar lebar. Dari judul mungkin terlintas sebuah film koboi yang dulu diperankan Clint Eastwood, The Bad, The Good and The Ugly. Film The Bad, The Good and The Weird memang sebelas dua belas dengan film Clint Eatwood tadi. Namun jangan membayangkan kisahnya terjadi di dataran Texas dan sekitarnya, karena film yang satu ini mengambil setting di Korea!
Film Koboi rasa Korea? Terdengar aneh dan tidak pas seperti halnya acara Country Road di TVRI yang pernah masuk sebagai salah satu acara aneh oleh salah satu stasiun TV di AS sana. Justru karena keanehannya inilah, film ini sangat sayang untuk dilewatkan. Malah kalau boleh jujur, film ini sangaaat menghibur dan jauh lebih baik dibandingkan beberapa judul film koboi produk Holly. Adegan tembak – tembakannya jauh lebih seru dan lebih lama. Spektakuler. Dibalut dalam lanskap gurun yang luas, pertarungan menjadi terlihat lebih megah. Penataan kamera dan penataan laganya pada beberapa bagian menghasilkan gambar – gambar yang mengejutkan, yang belum dilihat di film lain. Inovatif dan kreatif.
Meski bergenre koboi, karena merupakan produk Korea Selatan, dimasukkanlah berbagai “rasa khas” Negara tersebut. Musik yang mencoba memadukan mudik asli Korea selatan dengan musik country menjadi sajian asyik untuk telinga. Tata rambut yang bak boy band Asia semacam F4, membuat penampilan The Bad makin gaya, dan untungnya tidak jatuh ke gaya metro seksual. Dan tidak lengkap rasanya kalau film produk Korea Selatan tanpa bumbu komedi khas Negara tersebut yang mungkin agak sulit memancing tawa (atau sekedar senyum ) penonton di luar Korea Selatan. Meski dibalut komedi, tidak lantas menjadikan film ini menjadi film koboi yang lembek karena beberapa bagian dalam film ini menghadirkan kekejaman yang berdarah-darah.
Film produk Korea Selatan, entah mengapa pada beberapa bagian, terutama di ¾ durasi film, menjadi bagian yang membosankan. Di bagian ini film berjalan terasa lebih lamban, dan sedikit memanjangkan adegan yang kurang penting. Untungnya memasuki ¼ durasi akhir, film berjalan dengan seru lagi. Amat sangat seru. Pertempuran banyak pihak di gurun, bisa jadi merupakan adegan aksi paling keren sepanjang tahun 2008. Gila – gilaan deh pokoknya. Adegan pertempuran ini dihadirkan dengan olahan kamera yang amat atraktif. Dan entah mengapa menyaksikan adegan seru di gurun ini terlintas bayangan, disebelah ada Quentin Tarantino yang bertepuk tangan dengan riuhnya layaknya seorang bocah dapat mainan yang diidamkan
Adegan pertempuran di gurun menuntun kita ke adegan berikutnya, dimana ketiga tokoh utama dipertemukan dalam sebuah “arena” untuk menetukan siapa yang terbaik diantara ketiganya. Dan disini terkuak kalau ada sebuah sejarah yang menghubungkan antara The Bad dengan The Weird. Di “arena” jugalah terkuak tempat apa sebenarnya yang dimaksud oleh peta yang menjadi rebutan. Bagi penggila sinema, tentu sudah bisa menebak lokasi apa sebenarnya yang dimaksud dalam peta.
The Bad, The Good and The Weird tidak hanya mendapatkan sambutan meriah di Korea Selatan saja. Di ajang Cannes 2008 kemarin, film ini juga mendapatkan apresiasi yang sangat positif. Bukti bahwa perfilman Korea Selatan sudah mendapatkan pengakuan di dunia internasional. Sukses di Cannes ini sekan melanjutkan kesuksesan film Secret Sunshine di Cannes 2007 yang berhasil membawa pulang Aktis Terbaik. Film ini juga makin mengukuhkan Kang-ho Song di jajaran atas actor Korea Selatan. Film-filmnya selalu ditanggapi positf, baik dari segi penonton maupun dari kritikus film. Mulai dari The Host, The Show Must Go On hingga May 18.
The Bad, The Good and The Weird adalah sebuah tontonan yang sangat direkomendasikan karena unsure keunikan dan hiburannya yang cukup tinggi. Sayang banget untuk dilewatkan. Di Amerika, film ini rencananya baru akan dirilis pertengahan tahun 2009. 3,75/5
THE DUCHESS
Georgiana, Duchess of Devonshire, merupakan sosok wanita yang kondang di era 1780-an. Tidak hanya di kenal sebagai seorang yang sangat bergaya (fashionable) tetapi juga sosok yang cerdas dan aktif. Georgiana terkenal dengan berbagai aktivitasnya di dunia politik. Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat dia hidup di era yang masih menempatkan perempuan masih dipandang sebelah mata. Satu hal lagi yang menonjol pada diri Georgiana adalah kesukaannya bermain di meja judi. Tidak heran kalau kenyataannya dia berteman dengan Marie Antoinette yang tak kalah eksentrik.
Georgiana mendapatkan gelar Duchess of Devonshire setelah menikah dengan Duke of Devonshire pada 6 Juni 1774. Pada saat dia menikah, usianya belum genap tujuh belas tahun! Bukan pernikahan yang membahagiakan mengingat The Duke punya banyak affair dengan wanita, termasuk dengan sahabat yang ditolong oleh Georgiana, Lady Elizabeth Foster. Bahkan keduanya memutuskan untuk menikah setelah Georgianan meninggal dunia. Georgiana sendiri tidak bisa dibilang bersih dari skandal. Perselingkuhannya dengan Charles Grey, hingga membuahkan seorang anak perempuan, Eliza Courtney.
Film The Duchess ini mengangkat apa yang sebenarnya terjadi di balik kehidupan Georgiana sebagai Duchess of Devonshire. Tentang pernikahannya yang tidak bahagia, mengapa dia tetap menampung sahabatnya sekaligus selingkuhan suaminya sampai dengan apa yang terjadi dengan kisah cinta terlarangnya dengan Charles Grey. Georgiana meninggal dunia di usia yang bisa dibilang masih muda, yakni di usia 48 tahun pada tanggal 30 Maret 1806, meninggalkan 2 anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Mencermati kisah hidup Georgiana, mau tidak mau terlintas kisah hidup Putri Diana yang tragis. Sama-sama terjebak dalam sebuah pernikahan semua meski bergelimang harta dan tahta yang tentu saja memberinya berbagai hak ekslusif yang tidak semua orang bisa menikmatinya. sebagai pelarian, kedua perempuan ini banyakaktif di luar rumah, hingga banyak mendapatkan simpati. Yang membedakan dari keduanya adalah, kalau Georgiana menikah dengan orang yang sebenarnya tidak dia cintai, dan dikhianati karena suaminya benar-benar brengsek, hingga menggunakan alasan ketidakmampuan Georgiana memberikan anak laki-laki sebagai pembenaran. Pada Putri Diana, kehidupan rumah tangganya “dihantui” oleh baying-bayang cinta pertama dari si suami.
The Duchess seperti umumnya film di era korset ketat, berkutat mengenai masalah peran dan status. Sulit memang hidup di lingkungan dimana control social dijalankan dengan amat sangat ketat. Tak pelak kondisi ini menuntut individu yang tinggal didalamnya untuk mampu “berperan” dengan baik tanpa cela, meski terasa menyakitkan sekalipun. Banyak actor dan aktris hebat di lingkungan ini, yang selalu berjalan dengan tegak meski dengan memakai topeng kepalsuan. Posisi Duchess yang banyak diincar kaum hawa di jamannya, ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Yang terjadi tak ubahnya terjebak dalam sebuah sangkar emas yang meski terlihat indah, namun menimbulkan kekangan yang menderitakan.
Dibandingkan dengan Elizabeth atau Marie Antoinette, Georgiana bisa dibilang kalah pamor. Karenanya, bagi yang kurang tahu sejara hidupnya akan sulit untuk berempati dengan apa yang terjadi dengan Georgiana di layar. Apa yang menimpa Georgiana seolah-olah menjadi harga yang harus dibayar dari pilihan yang dia ambil, yakni menikaho seorang Duke. Mungkin ini yang ingin disampaikan oleh sutradara Saul Bibb yang mendasarkan kisah film pada biography yang ditulis oleh Amanda Foreman, bahwa status tidak menjamin kebahagiaan.
Keira Knightley dan korset ketat? Rasa-rasanya aktris yang satu ini sudah terlalu sering bermain film dengan kostum seperti ini. Bahkan di trilogy Pirates of The Caribbean pun dia berpenampilan seperti itu. Terus terang bosan juga melihatnya. Bukan karena kating dia buruk, hanya bosan saja. Ada baiknya dia mencoba peran yang lebih “kini”. Kalau mau jujur, secara fisik dia juga kurang pas memerankan perempuan di era korset ketat, mengiungat bodynya yang tipis (maaf kalau jadi main fisik). Karena berdasar pengetahuan, di era tersebut, perempuan yang cantik adalah perempuan yang montok. Hingga ketika menggunakan korset, dadanya begitu menonjol indah
Di The Duchess, penampilan Keira Knighley makin aneh dengan tatanan rambut yang terkesan “berkelebihan” alias “berkepunjulen”. Memang sih dia seorang fashionista, tapi apa memang harus semenjulang itu rambutnya. Untung busana yang dipakai Keira sedikit membantu menjadi lebih enak dilihat. Penampilan Ralph Fiennes justru mampu mencuri perhatian. Dia sangat pas sekali berperan sebagi pria dingin, egomaniak, tukang selingkuh dan selalu berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan dengan cara apapun, kalau perlu dengan mengancam istrinya sendiri. Ini pria memang benar-benar bangsat. makin bangsat ketika dia tidak merasa bersalah sedikitpun. Ralph Fiennes sukses membuat penonton membenci peran yang dia mainkan
Bagi penggemar Keira Knighley, mungkin tidak akan melewatkan film ini. Dalam salah satu scene dia berani tampil topless. Meski tidak se-memorable scene Halle Berry di Swordfish, tapi bolehlah sebagai bonus. Sekedar informasi, ternyata Putri Diana setelah ditelusuri, ada hubungannya dengan Georgiana ini lho. 3,25/5
Senin, 15 Desember 2008
THE VISITOR
Senin, 15 Desember 2008
2
Tidak mudah menjadi pendatang di suatu wilayah tertentu. Mereka selalu dipandang dengan tatapan curiga, dituntut untuk tunduk terhadap aturan yang berlaku, dan kalau perlu secara ekonomi tidak melebihi sukses warga asli/pribumi. Masih ingat kasus kerusuhan etnis yang melanda Indonesia di tahun 2007? Meski banyak yang beranggapan hal tersebut muncul akibat ada penggeraknya, tidak bisa dipungkiri kesuksesan kaum mereka yang dianggap bukan pribumi memicu rasa iri. Hal ini makin dikuatkan dengan anggapan kaum pendatang yang sulit berbaur. Beban kaum pendatang makin berat apabila mereka sudah mempunyai stigma yang buruk berkaitan dengan sejarah buruk yang ditinggalkan oleh pendahulu mereka.
Mengambil setting di New York yang penduduknya sangat plural, film ini menceritakan kisah Prof. Walter Vale (Richard Jenkins) yang hidupnya berubah setelah bertemu dengan pasangan asing, Tarek (Haaz Sleiman) yang berdarah Siria dan Zainab (Danai Jekesai Gurira) yang asli Senegal. Keduanya muslim dan menempati apartemen yang telah bertahun-tahun ditinggal oleh Walter, karena dirinya bekerja dan menghabiskan hidupnya yang membosankan di Connecticut sebagai pengajar. Entah karena kebaikan hati Walter atau karena untuk mengisi hidupnya yang monoton, bukannya mengusir dua orang asing tadi, Walter malah mengijinkan mereka untuk tinggal sementara samapai mereka menemukan tempat tinggal yang baru.
Pada awalnya terjadi hubungan yang canggung diantara ketiganya, terutama Zainab yang terlihat selalu menatap dengan pandangan curiga dan cenderung membatasi diri. Berbeda dengan Tarek yang begitu simpatik. Hubungan Walter dan Tarek makin erat berkat alat musik yang dimainkan oleh Tarek yakni Jembe, semacam kendang kalau di Indonesia. Seperti halnya irama yang dinamis yang dihasilkan oleh Jembe, begitupun dengan hidup Walter selanjutnya. Seolah-olah dirinya lebih bergairah menjalani hidup. Lebih banyak warna dalam hidupnya
Hidup Walter makin kompleks, ketika Tarek ditangkap pihak yang berwenang hanya berdasar kecurigaan tak berdasar dan hanya karena tampilan fisiknya yang tidak jauh beda dengan mereka yang dianggap teroris oleh Amerika. Walter yang seorang berpikiran terbuka tentu saja protes dengan hal tersebut, namun tidak digubris mengingat posisinya yang lemah. Belum lagi dihadapkan dengan kenyataan kalau Tarek bukanlah pendatang yang legal, sehingga dia harus ditahan oleh pihak imigrasi.
Merasa temannya dalam masalah, Walter berusaha membantu mengeluarkan Walter dari tahanan mengingat Zainab yang juga illegal, tidak bisa berbuat apa-apa. Satu lagi orang asing memasuki hidup Walter , ketika ibu Tarek, Mouna (Hiam Abbass), datang berkunjung. Walter yang baik hati dengan iklhlas meluangkan waktu untuk membantu, mulai dari menjenguk Tarek tiap ada kesempatan, sampai dengan menemukan pengacara bagi Tarek. Intinya, Walter menjadi semacam penghubung Tarek dengan dunia luar.
The Visitor tak pelak menjadi sebuah tontonan sederhana yang puitis. Sungguh indah menyaksikan interaksi antar manusia yang tidak saling mengenal sebelumnya. Bagaimana mereka saling mengisi satu sama lain hingga hidup menjadi lebih kaya dan berwarna. Karakter- karakter yang ada begitu simpatik, bahkan Zainab pun perlahan-lahan mulai cair. Sutradara dan penulis cerita, Thomas McCharty, terlihat berusaha mengajak penonton untuk melihat sisi postif dari orang yang dianggap “yang lain”. Mengajak kita untuk menggunakan cara pandang yang “out of the box”. Buang jauh-jauh pola pikir stereotype dan adalah suatu yang bodoh ketika kita mulai memberi stigma tertentu kepada orang lain.
Meski terlihat bersahaja, film ini sebenarnya merupakan sebuah protes keras terhadap kebijakan pemerintah AS terhadap kaum pendatang, terutama mereka yang beragama Islam. Setelah tragedy 9/11, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat cenderung mendeskreditkan kaump pendatang, terutama mereka yang berdarah Arab. Penduduk pun setali tiga uang dengan memberikan stigma teroris terhadap mereka. Padahal tidak semuanya seperti itu. Kalau kita mau mengenal “yang lain” lebih dalam banyak hal menarik yang bisa kita dapatkan.
Cerita film ini makin kuat dengan pemilihan setting yang tepat yakni New York yang dikenal dengan gateway for immigration. Kota yang satu ini memang dikenal dengan banyaknya kaum pendatang yang tinggal di sana. Dari data penduduk tahun 2004 menunjukkan bahwa hampir seperempat jumlah penduduk adalah kaum pendatang dari berbagai etnis. Bisa dibayangkan betapa riuhnya New York yang kalau tidak dipelihara dengan baik tentu akan muncul gesekan-gesekan.
Film ini juga seakan menegaskan kalau musik adalah bahasa universal yang mampu menyatukan berbagai kalangan. Persahabatan Walter dan Tarek dimulai dari ketertarikan Walter ketika melihat Tarek memainkan Jembe. Setelahnya, Tarek mengajak Walter memasuki komunitas pemain musik yang berasal dari bermacam etnis. It’s so lovely. Musik juga digunakan sutradara sebagai sarana menunjukkan perubahahan irama hidup dari Walter. Sebelum menemukan gairah baru yang lebih menggebu dan dinamis bak bunyi yang dihasilkan oleh Jembe, Hidup Walter yang lempeng dan damai dihadirkan dengan iringan dentingan piano.
Richard Jenkins bermain bagus sekali sebagai Walter. Perhatikan bagaimana Richard Jenkins mengolah tubuhnya menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Tidak hanya dari bahasa tubuh, satu hal yang terlihat luar bisa dari akting Richard Jenkins adalah dari “permainan” matanya. Kalau dicermati, matanya lama kelamat terlihat lebih bersinar. Pemilihan Haaz Sleiman sebagai Tarek cukup tepat. Rasa-rasanya tidak ada penonton yang tidak akan bersimpati dengan sosok Tarek ini.
Film yang manis ini sangat sayang untuk dilewatkan. Mungkin setelah melihat film ini mampu mengubah cara pandang kita terhadap mereka “yang lain.” Tidak perlu menghakimi seseorang tanpa kita berusaha untuk mengenal lebih jauh. Intinya sih ambil sisi positif dari orang tersebut, dan hidup kita akan makin kaya. Begitu banyak pendatang yang hadir dalam hidup kita, hingga sayang untuk diabaikan begitu saja. Tidak perlu menempatkan mereka sebagai “yang lain”, karena bisa saja kita adalah “yang lain” itu sendiri. 4/5
LES CHANSONS D’AMOUR (LOVE SONGS)
Tiga orang manusia tinggal bersama dalam sebuah apartemen. Mereka adalah Ismael (Louis Garrel), Julie (Ludivine Sagnier) dan Alice (Clotilde Hesme). Pengertian tinggal bersama disini diartikan dengan tinggal dalam satu kamar. Tiga nyawa dalam satu ranjang. Heran? Ketiganya memang terlibat dalam sebuah hubungan yang bagi kebanyakan orang dikatakan tidak biasa atau ganjil. Mereka adalah pasangan kekasih, (meski aneh menggunakan kata “pasangan” karena melibatkan tiga orang).
Tidak diperlihatkan rasa cemburu diantara mereka. Dilayar digambarkan betapa hangatnya hubungan mereka, meski kadang terkesan lucu juga ya bisa membina hubungan seperti itu. Di ranjang dengan ukuran terbatas, mereka bisa mendiskusikan banyak hal dan juga bisa melakukan aktivitas seksual secara bebas. Bisa cowok-cewek, cewek-cewek atau cewek-cowok-cewek. Dalam sebuah adegan terlihat ketika Julie dan Alice sedang bercumbu, dengan santainya Ismael membaca buku!
Meski sedikit mendapatkan tantangan dari keluarga Julie, namun Ismael bisa diterima dengan sangat baik ditengah keluarga Julie. Semuanya berubah ketika Julie secara mendadak meninggal dunia. Meski terpukul, semua yang ditinggalkan harus tetap menjalani hidup. Dari semuanya, Ismael yang terlihat paling merasa kehilangan. Disetiap tempat dan waktu bayangan Julie selalu hadir. Tidak ada yang bisa menghibur Ismael bahkan Alice sekalipun.
Hidup Ismael makin rumit ketika dia harus pindah ke tempat seorang pemuda adik dari teman Alice. Pemuda tersebut bernama Erwann (Grégoire Leprince-Ringuet), Karena ternyata Erwann ini menaruh hati dengan Ismael dan secara intens menggodanya. Dengan cerdas, Erwann sedikit memanfaatkan rapuhnya jiwa Ismael. Tentu saja Ismael yang masih dalam masa berkabung bingung ditempatkan situasi ini mengingat tidak bisa dipungkiri kehadiran Erwann mampu membawa nuansa tersendiri, belum lagi dengan keterikatannya dengan keluarga almarhum Julie.
Pernahkah mendapati sebuah kejadian dimana ketika diputar sebuah lagu, ada yang komentar “Ini kan lagu kita”. Memang tidak bisa dipungkiri hampir semua orang mempunyai semacam lagu soundtrack dalam kisah cinta mereka. Bisa merupakan lagu kenangan dengan pasangan yang saling kasmaran, ataupun lagu yang dianggap mewakili perasaan insan yang sedang patah hati, kesepian, kangen ataupun ketika sedang marah dengan pasangan. Lagu yang sebenarnya bukan ciptaan sendiri itu tiba-tiba menjadi sebuah hak milik ketika dianggap mewakili perasaan pendengarnya, meski ada juga lagu yang merupakan curahan hati pencipta lagu asli.
Love Songs hadir dengan pendekatan yang berbeda, bahkan bisa dibilang unik. Di luar garis cerita yang juga terkesan ajaib bagi penikmat film disini, film ini memilih bentuk musical dalam bertutur. Bukan jenis film musical dimana tokoh-tokohnya bernyanyi dengan tata koreografi yang matang. Disini para tokohnya bersenandung dalam mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Baik dalam masa kasmaran, patah hati kehilangan, kangen atau bahkan untuk menggoda orang yang dicintai. Dalam sebuah kisah cinta, setiap peristiwa mempunyai sebuah lagu pengiring. Karena dibawakan dengan gaya bersenandung, agak sedikit aneh dikuping, namun terkesan lebih jujur, apa adanya dan sedikit gombal, serta terasa norak pada beberapa bagian.
Love Songs mungkin akan terasa sulit diterima oleh penonton konvensional, apalagi dengan akhir cerita yang dipilih. Namun bagi mereka yang berjiwa bebas dan easy going sebagaimana tokoh – tokoh yang terlibat dalam kisah cinta di film ini, Love Songs mampu membawa kesegaran tersendiri. Sutradara Christophe Honoré seakan ingin berpesan, apapun yang terjadi, nikmati saja dan tidak perlu banyak pertimbangan. Just let it flow. sebuah film alternative yang sayang untuk dilewatkan. 3,5/5
BE KIND REWIND
Kreativitas senantiasa hadir ketika kita dihadapkan pada keterbatasan. Manusia, tidak bisa dipungkiri adalah makhluk yang paling kreatif. Eksploitasi yang tanpa henti terhadap bumi dimana kita tinggal menjadi bukti betapa kreatifnya manusia. Namun sayangnya, sebuah tindakan kreatif tidak selamanya mendatangkan akibat yang positiif
Mike (Mos Def) adalah pemuda kulit hitam yang polos serta jujur dan bercita-cita membuat film. Hal ini berkebalikan dengan temannya, Jerry (Jack Black). Seperti halnya beberapa karakter yang pernah diperankan oleh Jack Black, Jerry disini digambarkan begitu tengilnya, trouble maker dan kaya akan ide yang tidak penting. Mike bekerja di sebuah rental video kepunyaan Elroy Fletcher (Danny Glover). Usaha Elroy memang terkesan ketinggalan jaman, namun nyatanya masih mempunyai pelanggan yang loyal, meski dalam jumlah terbatas.
Bahkan orang yang baik sekalipun mempunyai musuh, begitupun dengan Elroy. Sudah beberapa kali dia ditawari untuk menutup tempat usahanya dengan sejumlah uang oleh sebuah pengembang. Namun Elroy enggan dengan tawaran tersebut. Karena ada suatu urusan di luar kota, Elroy melimpahkan tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya kepada Mike, dengan satu pesan khusus, jauhkan Lewis dari tempat tersebut.
Mike yang polos bertekad menjalankan tugas sederhana tersebut sebaik mungkin. Tugas yang terlihat mudah tersebut, nyatanya menjadi sebuah tugas penuh tantangan, mengingat usaha Jerry yang tak kunjung berhenti. Sampai sebuah peristiwa tragis (lucu bagi penonton) yang menyebabkan Jerry kehilangan kesadaran. Kejadian tersebut menjadi bencana bagi Mike karena ketika Jerry memasuki tempat rental semua film mengalami kerusakan.
Demi pelanggan yang loyal dan juga demi masa depan rental film tersebut, yang berarti juga kelangsungan hidup Elroy, Jerry yang “gila” lagi-lagi mengemukakan ide gila. Kenapa tidak membuat film sendiri dengan mengambil plot utama film – film kondang seperti Driving Miss Daisy, Robocop, King Kong dan beberapa judul film kondang lainnya. Tak dinyana, film hasil interpretasi ulang mereka disukai oleh banyak orang, dan makin banyak yang datang ke tempat rental film tersebut. Hal ini membawa konsekuensi Mike dan Jerry harus berusaha lebih keras. Kehadiran Alma (Melonie Diaz)yang bercita – cila menjadi aktris kondang (seperti umumnya remaja cewek) makin mempersolid kerja mereka. Disinilah letak kelucuan dari film ini, bagaimana usaha Mike dan Jerry menghasilkan film – film dengan segala keterbatasan.
Yang namanya masalah selalu menghampiri manusia, tidak peduli situasinya seperti apa. Di tengah puncak kesuksesan rental film milik Elroy, datang gugatan dari studio besar berkaitan dengan pelanggaran hak cipta. Sebuah tuntutan yang amat serius di era yang makin menghargai kekayaan intelektual. Belum lagi masalah dari pengembang yang tetap agresif dalam usahanya menggusur Elroy dari lingkungan tersebut. Masalah baru berarti kretivitas baru. Dan itulah yang dilakukan Mike dan Jerry untuk keluar dari masalah tersebut. dan untungnya mereka dibantu oleh banyak pihak yang bersimpati.
Be Kind Rewind tak pelak menjadi salah satu film lucu namun berisi sepanjang tahun 2008. Michael Gondry yang sebelumnya menghasilkan naskah brillian, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, mampu menghadirkan kelucuan yang berbeda dibandingkan film komedi termutakhir produk Hollywood (dan Indonesia) yang terkesan frustasi mengangkat isu seputar selangkangan sebagai sumber kelucuan. Sayangnya tidak semua bisa menikmati kelucuan yang ada, terutama bagi mereka yang kurang familier dengan judul-judul yang dikerjakan ulang oleh Mike dan Jerry.
Sub plot yang dihadirkan pun mampu memperkuat jalinan cerita. Kehadiran Alma sebagai satu-satunya cewek, tidak menjadikan cerita mengalir menjadi kisah cinta picisan dengan merusak persahabatan Mike dan Jerry. Justru makin memperkaya persahabatan diantara ketiganya. Mos Def mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Dan untungnya karakter Mike, keluar dari stereotype orang berkulit hitam yang seringkali digambarkan banyak tingkah dan banyak omong. Jack Black yang sebenarnya mempunyai kemampuan untuk keluar dari karakter tengil dan usil, tetap mampu menjaga potensinya sebagai comedian paling lucu kedepannya.
Lewat film ini, sutradara seakan mengajak kita untuk selalu berfikir kreatif dalam menghadapi masalah tanpa menyebabkan masalah bagi orang lain. Kalau cara yang kita ambil tidak mempan, ada baiknya kita mencari alternative pemecahan masalah lainnya, atau kalau perlu mengubah cara pandang kita. So….BE KIND REWIND! 3,5/5
Sabtu, 13 Desember 2008
MALAM ANUGERAH FFI 2008
Sabtu, 13 Desember 2008
3
ST 12? Kening berkerut ketika menyaksikan band yang satu ini membuka acara malam anugerah FFI 2008. Bingung mencari keterkaitan antara FFI 2008 dengan ST 12 mengingat lagu-lagu ST 12 tidak ikut serta dalam satupun film Indonesia yang dirilis di tahun 2008 (mohon dibenarkan kalau salah). Umumnya sebuah movie award, musik/lagu yang dihadirkan di panggung umumnya berasal dari musik/lagu yang mengisi sebuah film. Kehadiran ST 12 sedikit menimbulkan kekhawatiran akan bagaimana acara selanjutnya.
Gita Gutawa tampil selanjutnya dengan suara melengking yang terengah-engah dan keseleo, dan diteruskan dengan aksi The Changcuters. Baru kemudian pembawa acara, Andika Pratama dan Cathy Sharon mulai membuka acara yang untungnya tidak menampilkan pidato menjemukan dari pejabat yang hadir. Setelah pembukaan kita disuguhi adegan red carpet yang ditampilkan melompat-lompat dan tanpa rasa karenba editing yang kasar. Garing pol dan wagu. Pemandu acara mewawancari Menteri yang Selalu tersenyum karena selalu berwisata. Bapak menteri ini menjawab dengan gaya seorang pembawa acara membuka saebuah acara. Kemudian dilanjutkan dengan Gubernur Jabar yang dengan yakin menyebutkan film Loetoeng Kasarung sebagai film produk nasional pertama karena diproduksi pada tahun 26 (maksudnya tahun 1926 kan pak). Dede Yusuf hadir dengan komentar yang bak politisi melakukan kampanye.
Akhirnya piala mulai dibagi-bagi. Pada babak pertama, piala dibagikan untuk pemenang Film Cerita Pendek Terbaik dan Film Dokumenter Terbaik. Tidak ada winner speech pada babak ini, seakan-akan mereka yang menang tidak punya rasa terima kasih. Doel Sumbang hadir bersama Tata Dewi Dewi menyanyikan Kalau Bulan Bisa Ngomong. Kamera mulai menyoroti para mereka yang hadir. Mulai dari Ozzy Syahputra, Marini Zumarnis hingga ….Ari Tulang!? Tidak tampak dilayar mereka yang selama ini setia hadir di layar bioskop semacam Luna Maya, Tora Sudiro, Dian Sastrowardoyo, dan lain-lain. Yang banyak adalah wajah – wajah asing, dan ibu – ibu berkerudung.
Pada babak kedua dibagikan 3 piala, yakni tata Musik (Zeke Khaseli /Fiksi), Tata Suara (Satrio Budiono / May) dan Penyuntingan (Yoga Krispatama - Claudia/Jasmine). Sekali lagi tak ada winner speech. Dan sedikit membuat miris, pemenang Tata Suara hadir di panggung dengan penampilan sangat kasual, seperti orang jalan-jalan di mall. Setelahnya sekali lagi, The Changcuters menyanyikan satu buah lagu.
Babak ketiga dibagi lagi tiga piala lagi yakni untuk kategori Tata Artistik (Budi Riyanto / Under the Tree), Tata Sinematografi (Ical Tanjung / May) dan Skenario Asli (Joko Anwar & Mouly Surya / Fiksi). Para pemenang lagi-lagi tidak diberikan kesempatan untuk memberikan sekedar ucapan terima kasih.
Setelah penampilan Gita Gutawa, dimulailah pembagian piala di babak keempat. Pada babak ini, piala diberikan untuk pemenang kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Aryani Kriegenburg Willems / Under the Tree), Pemeran Pendukung Pria (Yoga Pratama / 3 Doa 3 Cinta) dan Pemeran Utama Wanita (Fahrani / Radit & Jani). Pada babak ini, FFI 2008 mulai memberikan kejutan demi kejutan. Dimulai dengan kemenangan Aryani, Yoga Pratama yang entah darimana tiba-tiba tampil mengejutkan sampai Fahrani yang berhasil memupus prediksi banyak orang. Pada babak ini para peraih piala mulai diberi kesempatan untuk memberikan pidato kemenangan mereka. Pada babak ini hadir momen terbaik sepanjang acara berlangsung yakni ketika Aryani menyampaikan pidatonya dengan amat sangat ekspresif, hingga terasa emosional. Sayang sekali Fahrani tidak bisa hadir langsung untuk menerima piala.
Setelah penampilan ST 12 yang sekali lagi terasa aneh, Babak Kelima hadir tetap dengan beberapa kejutan dan akhir yang terasa konyol. Vino G. Sebastian secara mengejutkan menyingkirkan Aming, Mouly Surya berhasil menjegal kompetitornya yang lebih dijagokan semacam Garin Nugroho dan Viva Westi untuk membawa pulang Sutradara Terbaik. Sayang sekali dia mengidap masalah kesulitan bicara hingga menyia-nyiakan podium yang telah disediakan. Paling tidak untuk sekedar berkata “bayi ternyata memang membawa rejeki tersendiri”.Kejutan terbesar tentu saja adalah kemenangan film Fiksi sebagai Film Terbaik.
Disinilah momen terkonyol hadir. Untuk sebuah acara puncak, rasa-rasanya pemilihan Agus Kuncoro dan Tamara Blezinki (dengan dandanan yang aneh dan tidak cantik) rasanya kurang tepat. Kurang pamor gitu. Belum lagi dengan repotnya para penari membawa piala. Terus terang tidak bisa menahan tawa ketika pemenang film terbaik berjalan menghampiri piala. Sebagai pemenang harusnya, pialalah yang menghampiri pemenang. Jadi membayangkan "tingkah" wartawan yang berusaha mendapatkan foto mereka. Tertawa makin keras ketika pemenang membawa serta rombongan yang diantaranya terlihat berjalan sambil mengunyah sesuatu (kacang kaleee…), padahal didepan mereka ada Pak menteri Yang Selalu tersenyum Karena Selalu Berwisata. Sekali lagi Mouly Surya enggan mengeluarkan suara.
Secara keseluruhan, terdapat beberapa catatan yang lumayan menganggu. Pemilihan artis pengisi yang hendaknya disesuaikan dengan acara. Mungkin kalau ada Kategori Lagu Terbaik, acara akan berjalan lebih utuh dengan tampilnya para nominator. Konsep panggung yang agak janggal yang menempatkan pembaca nominasi sekaligus pemberi piala setingkat lebih tinggi daripada posisi yang menerima piala. Tidak enak dilihatnya. Karena terlihat jomplang dan kesan yang menang posisinya lebih rendah.
Paling parah adalah tidak adanya winner speech dari kategori teknis. Sungguh malang nasib mereka yang bekerja dibelakang layar, padahal tanpa kehadiran mereka, sebuah film tidak akan utuh. Dan yang pasti mereka tentu adalah insan yang tahu dan ingin mengucapkan terima kasih terhadap orang-orang yang dianggap berjasa bagi mereka. Dan momen ini sebenarnya sangat penting untuk menghadirkan sebuah dramatisasi acara sehingga sebuah acara itu mempunyai sebuah emosi dan lebih memikat dilihat.
Acara makin garing dengan minimnya bintang – bintang yang ada. Tidak terlihat kesan wah untuk sebuah acara yang bisa dibilang sebagai puncak pesta orang-orang film. Masak, untuk baca nominasi panitia sampai harus minta bantuan beberapa nama yang sebenarnya sih kurang begitu penting. Bukan WNI lagi. Belum lagi kehadiran para Miss Celebrity. Secara penampilan, mereka yang hadir juga kurang begitu mencerminkan sebuah pesta. Bahkan menerima piala dengan memakai kaos! Jangan dibandingkan dengan Academy Award deh. Jauh pisan. Panitia perlu mengatur lagi soal pidato kemenangan, kehadiran bintang dan penampilan mereka kalau perlu juga diatur.
Secara singkat Malam Anugrah FFI 2008 dapat disimpulkan sebagai berikut, Awal yang aneh, penuh kejutan namun tidak meriah dan diakhiri dengan konyol”
Selasa, 02 Desember 2008
FESTIVAL FILM INDONESIAN 2008
Selasa, 02 Desember 2008
3
FFI datang lagi dengan semangat baru. Hal ini terlihat dari film – film yang masuk nominasi, meski di beberapa kategori terdapat kejutan seperti masuknya Pevita Pearce di Aktris Terbaik dan Rachmania di bagian Sutradara Terbaik. Kejutan terbesar mungkin adalah Ayat-Ayat Cinta yang hanya meraih 1 nominasi! Memang secara keseluruhan, film ini terkesan tidak utuh.Tanggung. Mungkin akan banyak penggemar film yang kecewa. Namun secara keseluruhan sih cukup puas dengan nama – nama yang masuk nominasi.
Fakta menarik adalah dari sekian banyak judul yang didaftarkan (kalau tidak salah 55 judul), hanya 13 judul film yang mendapatkan nominasi. Dapat disimpulkan persaingan belum seru, meski mungkin bakalan ketat.
Fakta juga bahwa di Indonesia masih langka film yang bagus, baik secara kualitas maupun secara kuantitas.
Berikut semacam sedikit prediksi akan hasil FFI 2008. Sebuah prediksi yang bodoh dan sia-sia karena belum melihat semua film yang masuk
Film:
Dari lima film yang terpilih terus terang baru 2 film yang sudah dilihat yakni Claudia/Jasmine dan Fiksi sehingga belum tepat rasanya menetapkan pilihan. Ingin lihat May, keburu turun dari layar karena tidak ada yang menonton. 3 Doa 3 Cinta dan Under The Tree belum rilis. Hal yang aneh. Berpijak pada penyelenggaraan Academy Award yang salah satu syaratnya adalah film yang ikut kompetisi harus sudah diputar di bioskop meski di layar terbatas sekalipun dalam rentang waktu 1 Januari s/d 31 Desember. Itulah kenapa awal tahun merupakan musim award disana.
Lalu siapa kira-kira yang bakal membawa pulang kategori film terbaik? Claudia /Jasmine unggul dari segi penceritaan yang terjaga hingga enak dinikmati. Fiksi mantap berkat visual serta pemain pendukungnya yang ciamik. Kelemahan Fiksi terdapat pada eksekusi cerita yang kurang meyakinkan. Premis cerita 3 Doa 3 Cinta cukup menggoda dan film ini sudah mampir di festival film di luar negeri yang mungkin bisa menjadi nilai plus. May unggul di setting cerita yang berani. Under the Tree membawa nama besar Garin Nugroho. Tampaknya dikategori ini May, 3 Doa 3 Cinta dan Under the Tree akan bersaing dengan ketat, dan bisa jadi “pertempuran tersebut akan dimenangkan oleh MAY. Mengapa? Karena film ini memperoleh nominasi terbanyak (11 nominasi dari 12 kategori yang ada). Perhatikan di nominasi scenario asli. Idealnya sih cerita terbaik mendapatkan film terbaik juga. Under the tree disini kalah karena tidak ikut bersaing di kategori Cerita Asli.
Skenario Cerita Asli:
Sperti dikemukakan diatas film terbaik idealnya ceritanya juga terbaik. May diperkirakan akan menang juga di kategori ini. Kalau kalah? Tentu akan menjadi sebuah keanehan. Tapi kalao diperhatikan award-award-an yang cenderung bagi rata, bisa saja di kategori ini 3 Doa 3 Cinta berhasil mencuri kemenangan. Namun perkiraan terkuat tetap pada MAY.
Penyutradaraan:
Satu cowok dikeroyok 4 cewek. Tentu bukan pertarungan yang seimbang. Tapi jangan salah, karena cowok itu adalah Garin Nugroho. Sineas yang satu ini film-filmnya selalu dipuji (karena tidak tahu maksud filmnya sih, jadi ya cari aman dengan memujinya hehehe). Punya reputasi internasional dan lama tidak mendapatkan award dari dalam negeri. Upi dan Viva Westi bisa menjadi ancaman. tapi pilihan tetap pada GARIN NUGROHO meski aneh juga kalao filmnya tidak menang
Pemeran Utama Pria:
Bertarung bintang-bintang muda. sayang sekali Ray Sahetapy tidak terpilih menjadi nominasi lewat aksi menawannya di Mengaku Rasul. Dari lima nama yang ada Aming, Nicholas Saputra dan Vino G. Bastian merupakan kandidat terkuat. Aming tampil bagus di Doa yang mengancam, meski belum konsisten dalam beberapa bagian. Vino G. Sebastian yang terlihat mantap di Radit dan Jani. Nicholas Saputra? Dia kan sudah pernah menang, jadi kecil kemungkinan dia akan menang (alasan yang bodoh hehehe). Mungkin lain kali, karena di FFI 2008 juri akan memihak kepada AMING.
Pemeran Utama Wanita:
Fahrani bagus. Ladya Cheryl sukses. Pevita Pearce mengejutkan meski kalau dipikir-pikir, masuknya dia dalam nominasi mungkin karena tidak ada pilihan lain. Jadi saya menjagokan AYU LAKSMI saja (wes gak nyambung blas)
Pemeran Pendukung Pria:
Dwi Sasono hanya pelengkap di Otomatis Romantis. Lukman sardi selalu berhasil berperan apa saja dan sepertinya spesialis peran pembantu. Oka Antara bisa jadi kambing hitam yang bisa mengejutkan. Tio Pakusadewo matang karena pengalaman. Yoga Pratama belum terlalu familier. Sepertinya LUKMAN SARDI bakal menang lagi. Tapi hati – hati dengan OKA ANTARA.
Pemeran Pendukung Wanita:
Ira Maya Sopha posrsinya terlalu sedikit dan masih lebih bagus penampilannya di Quickie Express, Aryani Kriegenburg Willems masih asing, Tuti Kirana kemungkinan bisa menjadi kandidat kuat. Tizza Radia mampu mebuat Claudia/Jasmine menjadi lebih segar dengan karakternya yang heboh, sedangkan Poppy Sovia porsinya di The Butterfly sebenarnya sudah setaraf Peran Utama mengingat porsinya yang sangat besar, dan kebetulan saya suka dengan aktingnya disitu. Agak sedikit kecewa dengan tidak masuknya Carissa Putri. Kali ini saya menjagokan POPPY SOVIA.
Tata Sinematografi:
Ical Tanjung lumayan mendapat pujian dimedia berkaitan dengan keberhasilannya menghadirkan suasana 1998. Kehadirannya juga memperkuat cerita Radit&Jani. Nayato memang top di segi teknis. Yunus Pasolang membuat Fiksi menjadi sebuah cerita rekaan yang cukup meyakinkan. Karena ICAL TANJUNG dinominasikan lewat dua film, maka kemungkinan dia untuk menang menjadi lebih besar, terutama lewat MAY.
Tata Artistik:
Film Garin Nugroho selau dinilai mempunyai nilai artistic yang lebih dibandingkan film Indonesia lainnya, jadi tidak mengherankan kalau nanti BUDI RIYANTO bakal menang.
Penyuntingan:
Terkesan dengan Yoga Krispatama yang membuat Claudia/Jasmine terasa sangat dinamis. Namun WAWAN I WIBOWO yang mungkin bakal menang.
Tata Musik:
Kayaknya KADEK SUARDANA dan WIWIK SOEDARNO bakal mengulang prestasi Opera Jawa dengan musik etniknya.
Tata Suara:
Untuk memperkuat kemenangan May, maka SATRIO BUDIONO yang bakal menang. (ini benar-benar sebuah prediksi yang BODOH)
Sekedar tambahan:
Kenapa tidak ada kategori Lagu Terbaik? Padahal kategori ini bakalan seru karena akan ada persaingan antara Melly, The Changcuters, Naif dan Iwan Fals. Sayang sekali.
Untuk kedepannya FFI mungkin bisa menambahkan ketegori Pendatang Baru Terbaik. Kategori ini penting untuk memacu munculnya bintang-bintang baru, sehingga tidak terjadi kebosanan karena yang main itu-itu terus.
Perlu gak sih ditambah dengan kategori Film Horor Terbaik atau Film Komedi (Seks) Terbaik? Mengingat kedua jenis film tersebut mempunyai jumlah penonton yang banyak, sehingga FFI bisa mengakomodasi keinginan banyak pihak. Dan mungkin akan mendorong produser untuk membuat Film Horor Terbaik atau Film Komedi (Seks) Terbaik yang lebih baik.
Langganan:
Postingan (Atom)