Sabtu, 25 April 2009
OSAMA
Sabtu, 25 April 2009
Enak mana sih, jadi perempuan atau jadi lelaki? Bagi sebagian kalangan, menjadi perempuan dilihat lebih mengenakkan dibandingkan menjadi lelaki, namun sebagian lagi berpikiran sebaliknya. Bahkan, kalau boleh jujur, ada sebagian pihak yang merasa iri dengan kehidupan lawan jenisnya. Namun setelah menyaksikan Osama, segala pemikiran tadi ada baiknya disingkirkan terlebih dahulu.
Gadis kecil itu (Marina Golbahari) tinggal bersama ibu (Zubaida Sahar) dan neneknya (Hamida Refah). Tidak ada keberadaan lelaki di rumah mereka, karena telah “ditelan” oleh konflik yang rutin terjadi di Afganista. Sungguh berat hidup sebagai perempuan yang hidup di bawah rezim (Taliban) dimana gerak perempuan sangat dibatasi. Bahkan untuk berbahagia di hari perkawinan pun tabu hukumnya. Ingin berontak? Tinggal pilih sanksi yang bakal dijatuhkan, penjara atau siksa. Atau mau yang lebih buruk, yakni hukuman mati!
Masalahnya, tidak berbeda dengan jenis kelamin yang lain, ketiganya butuh makan demi bertahan hidup. Tapi bagaimana bisa makan kalau untuk keluar rumah saja mereka dilarang? Timbul ide si gadis kecil dirubah penampilan menjadi layaknya lelaki demi mendapatkan pekerjaan. Menyandang nama Osama, gadis kecil itu terlibat pada sebuah jalan kehidupan yang mendebarkan berkaitan dengan identitas barunya.
Sebagai “lelaki’, Osama “berhak” keluar rumah dengan bebas dan bisa mengikuti pelajaran disekolah. Sebagai konsekuensinya, Osama harus berusaha keras untuk menjadi “lelaki” yang benar. Mulai harus bisa memanjat pohon, bekerja keras demi sesuap nasi hingga dipersiapkan sebagai tentara demi diterjunkan di medan perang. Belum lagi dengan beberapa tuntutan berkaitan dengan ritual agama yang dianut. Semuanya terasa menyiksa Osama Namun demi alasan bertahan hidup, dia terpaksa menjalani peran tersebut.
Tidak butuh waktu lama, penyamaran yang dilakukan Osama pada akhirnya terbongkar juga. Dan gadis belia itu “dihadiahi” hukuman mati. Untung bagi Osama, karena masih ada Mullah baik hati yang menyelamatkannya nyawanya dengan meminangnya sebagai istri. Benarkah sebuah keuntungan? Karena ternyata perkawinan yang seharusnya membuahkan kebahagiaan, justru “penjara” yang Osama dapatkan. Dengan tanpa rasa bersalah, si Mullah memberi kebebasan kepada Osama untuk memilih sendiri kunci dari “penjara” tersebut!
Osama dirilis pada tahun 2003 dan banyak meraih banyak penghargaan, termasuk Golden Globe 2004 untuk kategori Best Foreign Language Film. Meski demikian, ide utama dari film ini rasanya masih relevan dengan kondisi sekarang, karena di sebuah belahan dunia, apa yang menimpa Osama masih banyak ditemukan. Perempuan masih dipandang sebagai kelas dua, karenanya keberadaan mereka dianggap kurang penting, dan berperan layaknya budak (lelaki). Padahal, tentunya Tuhan tidak bermaksud demikian ketika menciptakan perempuan. Dengan dalih agama (dan kadang cinta) para lelaki membatasi gerak perempuan. Kalau diberi kesempatan yang sama, sebenarnya perempuan mempunyai kemampuan yang sama, justru akan melengkapi kekurangan yang ada pada lelaki. Seperti kata Jerry Maguire “You complete me”.
Film Osama, oleh sutradara Siddiq Barmak, disajikan dengan gambar-gambar sederhana. Namun kalau diperhatikan, gambar-gambar sederhana tersebut sangat kuat, hingga mampu menggugah penonton. Perhatikan adegan dimana seorang Taliban yang memanggul senjata menghardik perempuan. Adegan ini terasa intimidatif namun menggelitik. Apakah lelaki akan merasa dirinya kuat tanpa senjata ditangannya? Adegan dimana Osama dikejar-kejar para murid lelaki terasa mengiris, karena Osama layaknya sebuah binatang buruan. Jangan lupakan gambaran rumah si Mullah yang menghadirkan suasana horror dan mencekam layaknya sebuah penjara. Meski temanya berat, film ini sangat enak dinikmati berkat durasi yang tidak berlebihan (kurang dari 90 menit).
Di sela-sela “terror” yang harus dihadapi Osama, Siddiq Barmak tidak lupa menyelipkan beberapa adegan yang lumayan mengundang senyum (kecut). Adegan ketika Osama mengikuti sholat berjamaah terasa lucu, meski menghadirkan rasa kuatir di hati penonton, kalau-kalau penyamaran Osama bakal terungkap. Puncak kelucuan tergambar ketika Mullah mengajarkan bagaimana mandi besar yang benar. Dua hal menggelitik tadi, tidak bisa dipungkiri bisa menjadi sebuah ide film tersendiri yang Gilasinema yakin bakal menarik hasilnya.
Kembali kepada pertanyaan diawal tadi, enak jadi perempuan tadi atau jadi lelaki? Jawabannya, bertolak dari kisah hidup Osama, berhenti mempertanyakan hal tersebut, karena ada yang lebih penting dari pertanyaan tersebut. Bagamana menciptakan system yang benar, dimana perempuan dan lelaki bisa hidup selayaknya dan sama, tanpa mengingkari takdir masing-masing pihak. Toh, Tuhan tidak menilai manusia berdasarkan jenis kelamin, tapi lebih kepada amal kebajikannya. Bukan begitu Pak Kyai? 4/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
aww film Timur Tengah. me likey..
coba nonton Turtles Can Fly deh :)
Iya nih, banyak yang rekomendasikan Turtle can Fly, tapi belum nemu :)
d rental juga dah da ko (turtles can fly)
klo dah nonton q pengen tau commentny....
q sendiri masih susah nangkep ide ny....
Posting Komentar