Senin, 20 April 2009
LORNA’S SILENCE (LE SILENCE DE LORNA)
Senin, 20 April 2009
Tidak mudah menjadi Lorna (Arta Dobroshi). Demi mendapatkan hidup yang lebih baik di Belgia bersama kekasihnya, Sokol (Alban Ukaj), Lorna harus menikah dengan seorang pecandu akut, Claudy (Jérémie Renier). Lorna dan Sokol keluar dari Negara asal mereka, Albania. Berbeda dengan Lorna yang menikah demi mendapatkan kewarganegaraan, Claudy bersedia menikah dengan Lorna demi segepok uang untuk mencukupi kebutuhannya akan barang haram. Pernikahan tersebut diatur sepenuhnya oleh seorang pria semacam “agen” para penyelundup, Fabio (Fabrizio Rongione).
Menikah dengan seorang pecandu, bukanlah sebuah hal yang mudah. Lorna ibarat seorang ibu yang terpaksa sabar menanggapi rengekan si anak kecil (Claudy). Penonton memang tidak diberi penjelasan gamblang mengenai hukum perkawinan (campur) di Belgia, namun dengan menikahnya Lorna dengan Claudy, tidak butuh waktu lama bagi Lorna untuk menjadi warga negara Belgia. Masalahnya, Fabio yang serakah mempunyai rencana yang lain. Setelah susah payah mencari cara yang “benar” untuk menyingkirkan Claudy, Fabio memaksa Lorna untuk menikah dengan seorang pria Rusia, Andrei (Anton Yakovlev ), sebelum mempersatukan Lorna dengan Kokol.
Lorna yang tahu Claudy meninggal dengan tidak wajar, hanya bisa pasrah dalam diam. Apalagi Kokol yang terus menyudutkannya. Pertemuan dengan Andrei meninggalkan kesan yang tidak mengenakkan di hati Lorna. Hidup Lorna makin pelik ketika mendapati dirinya hamil berkat hubungannya dengan Claudy. Meski menjalani pernikahan pura-pura tanpa cinta, perlahan tumbuh perasaan suka dalam diri Lorna terhadap Claudy. Lorna yang panic, berencana menggugurkan janin yang berada dalam rahimnya, namun kemudian membatalkannya. Sayang, kehamilan tersebut pada akhirnya diketahui oleh Andrei dan Fabio yang memaksa Lorna untuk melakukan aborsi. Pada saat yang sama, Lorna menyadari betapa egoisnya Sokol. Apakah Lorna tetap mau melakukan apa yang dimau oleh para lelaki tadi?
Menyaksikan film garapan Jean-Pierre Dardenne dan Luc Dardenne dibutuhkan kesabaran tersendiri. Meski bermodalkan cerita yang mempunyai potensi menjadi sebuah tontonan menegangkan, Dardenne Bersaudara membungkusnya dengan bersahaja dan tidak berlebihan. Apalagi pemakaian hand held camera yang membuat kesan lebih realis, hingga diharapkan membuat emosi penonton larut dengan cerita yang dihadirkan. Dampaknya, Lorna’s Silence akan terasa membosankan bagi sebagian penonton yang belum terbiasa dengan pendekatan ini.
Penonton di Indonesia pastinya masih asing dengan Dardenne Bersaudara ini. Padahal, di Eropa sana, kedua orang ini termasuk sineas yang disegani. Dardenne Bersaudara termasuk sineas yang disayangi oleh Festival Film Cannes (selain Gus Van Sant tentu saja). Dua Palem Emas bisa menjadi bukti hal tersebut. Lorna’s Silence sendiri berhasil membawa pulang Skenario Terbaik di Cannes 2008 kemarin. Kebetulan Gilasinema pernah menyaksikan karya Dardenne Bersaudara sebelumnya yakni The Child / L’Enfant yang berjaya di Cannes 2005. Terdapat kemiripan antara Lorna’s Silence dan The Child. Gaya bertuturnya hampir mirip dan keduanya mempunyai potensi menjadi tontonan yang menegangkan. Dari kedua film tersebut, terlihat Dardenne Bersaudara mempunyai minat yang besar terhadap kaum pinggiran di Belgia. Kedua film tadi terasa humanis. Kemiripan lain antara The Child dan Lorna’s Silence adalah dalam sebuah scene, terlihat menggunakan setting tempat yang sama.
Dalam Lorna’s Silence, Dardenne Bersaudara kembali mengajak Jérémie Renier. Sebelumnya, mereka telah bekerja sama di The Child. Penampilan Jérémie Renier di Lorna’s Silence meski cuma sebentar mampu mencuri perhatian dan meninggalkan kesan. Penampilannya yang kurus dan lusuh terasa meyakinkan sebagai seorang pecandu. Penampilan Jérémie Renier di The Child memang lusuh namun terlihat lebih berisi. Jangan bandingkan dengan penampilannya di The Pornographer yang jauh lebih bersih. Arta Dobroshi sebagai Lorna memang tidak buruk, namun harusnya bisa lebih menggigit. Pada beberapa bagian, penampilannya terasa datar. Atau memang itu yang diinginkan oleh Dardenne Bersaudara?
Lorna’s Silence sekali lagi memberikan gambaran betapa perempuan masih digambarkan belum mempunyai kesetaraan tempat dengan kaum lelaki. Padahal, tanpa malu-malu, para lelaki (dalam film ini) menggunakan perempuan demi mencapai tujuan mereka. Perempuan ibarat alat yang secara egois dimanfaatkan oleh lelaki. Kalau perempuan menyadari posisinya, mereka bisa membalikkan keadaan tersebut. Inilah yang disadari oleh Lorna, betapa para lelaki yang ada disekitarnya sebenarnya begitu tergantung pada dirinya. Kediaman Lorna memang tidak diwujudkan pada keenggannya untuk berbicara banyak, namun lebih kepada misteri apa sebenarnya yang dia rasakan dan apa yang dia pikirkan. Karenanya, tidak pernah bisa ditebak, langkah apa yang selanjutnya akan dia ambil.
Sisi lain yang menarik dari Lorna’s Silence adalah persoalan kawin campur. Rasanya tema ini masih sangat jarang diangkat ke layar lebar. Dengan makin riuhnya pergerakan manusia dewasa ini, harusnya banyak hal menarik yang bisa diangkat dari perkawinan campur ini. Tema pergesekan budaya selalu menarik untuk diangkat, belum lagi dengan celah yang bisa diakali berkaitan dengan hukum perkawinan disuatu wilayah (Negara). Uni Eropa tampaknya mulai mulai menyadari hal ini. Tidak hanya persoalan kawin campur, dengan makin terbukanya suatu wilayah (Negara) tentu banyak menghasilkan sumber cerita baru yang menarik. Bagaimana dengan Indonesia yang makin banyak warganya melakukan perkawinan campur dan berbatasan dengan banyak Negara? 3,75/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
mau dong film nya...dapet nemu dimana nih om??
Dimana-mana dah ada banyak lho
Nih Link-nya. Join dengan HJ-Split :)
Subtitle http://subscene.com/subtitles/lornas-silence-le-silence-de-lorna
Posting Komentar