Minggu, 01 Februari 2009
MILK
Minggu, 01 Februari 2009
Harvey Bernard Milk dikenal sebagai politikus pertama yang mengaku sebagai gay dan berani mengikuti pemilihan secara terbuka. Sebagai yang pertama (perintis), meski mungkin banyak politikus yang mempunyai orientasi serupa, tentu dibutuhkan perjuangan luar biasa untuk bisa eksis dan bertahan. Perjuangan tersebut tentu saja menarik untuk disimak, karena biasanya Kisah seorang perintis selalu berisi peristiwa-peristiwa luar biasa dan inspiratif. Apalagi Milk ini dmasukkan sebagai salah satu tokoh "Time 100 Heroes and Icons of the 20th Century".
Sebagai seorang yang pertama dengan orientasi yang dianggap menyimpang tentu saja banyak pihak yang akan berusaha menghambat langkah. Bolehlah mereka yang menentang itu disebut sebagai kaum konservatif, meski mereka kadang juga tidak begitu konservatif amat. Mungkin untuk beberapa hal tertentu. Mereka yang berjuang umumnya merupakan kaum minoritas yang termarjinalkan dengan berbagai kekerasan menghampiri, baik fisik maupun psikis, sedangkan mereka yang menentang berada di pihak mayoritas.
Film ini dibuka dengan sangat efektif. Digambarkan betapa kaum gay mendapatkan perlakuan tidak semestinya, terutama oleh pihak yang harusnya melindungi warga dari tindak kekerasan (polisi). Namun Milk tidak (akan) mengumbar penderitaan kaum gay akibat penindasan, justru berbagai perlakuan tersebut mendorong Milk untuk menunjukkan kekuatannya untuk memperjuangkan kaum yang terpinggirkan.
Selanjutnya kita diajak melihat sepak terjang dari Harvey Milk yang benar-benar dari bawah. Meski banyak batu terjal ditemui, namun tidak menyurutkan langkah Milk dan kroninya. Untuk memperkuat jalinan cerita (drama), didalamnya perlu dimasukkan pernik-pernik kehidupan pribadi dari si Milk tadi. Pada awalnya dia menjalin hubungan dengan Scott Smith (James Franco). Hubungan keduanya berjalan dengan intim dan intens, sampai pada akhirnya Scott tidak kuasa lagi menyamakan langkah dengan Milk, dia memutuskan untuk mundur. Pada saat inilah muncul Jack Lira (Diego Luna) yang labil, yang makin memperkuat drama dalam perjalanan hidup si politikus gay.
Bagi “penderita” homophobia, perlu ditegaskan meski film ini banyak memuat hal-hal berbau Homoseksual, esensi film ini tidaklah sedangkal itu. Film ini merupakan film politik, salah satu yang terbaik malah. Kalau mengambil jalan hidup Milk, itu hanya sebagai bungkus untuk menyajikan tontonan yang menarik dan penuh drama. Bagi yang ingin terjun didunia politik, film ini bisa menjadi sebuah pembelajaran yang amat penting. Bagi aktivis pejuang kaum minoritas, film ini bisa dijadikan bekal yang lumayan berharga.
Dalam film besutan Gus Van Sant berdasar naskah Dustin Lance Black ini, kita diajak untuk melihat perjuangan kaum marjinal yang terorganisir. Mulai dari pengumpulan pendukung (kampanye), menciptakan jargon politik, orasi politik hingga bagaimana mereka menggunakan media untuk mempertajam aksi mereka. Terkadang mereka juga melakukan lobi dan manuver politik yang agak terkesan kotor, namun menunjukkan kecerdasan mereka. Perjuangan mereka kadang terkesan begitu agresife, namun tahu kapan harus memperhalus aksi mereka. Bagaimana meraih tujuan lewat organisasi yang solid, merupakan satu hal yang bisa kita dapat setelah menyaksikan Milk. Sebuah pengetahuan berharga yang sayang untuk dilewatkan.
Perjuangan Harvey Milk akan tidak berhasil kalau dia tidak didukung oleh tim yang solid. Namun tim yang solid tidak akan terbentuk tanpa adanya kepercayaan akan kekuatan pemimpin mereka. Inilah kehebatan Milk. bagaimana dia bisa membuat orang-orang percaya dengan apa yang dia perjuangkan. Tim yang solid pulalah yang membuat film ini menjadi sebuah tontonan memikat nan komplit, meski jujur, bukanlah sebuah tontonan yang luar biasa, karena sebelumnya telah banyak diangkat kisah perjuangan kaum marjinal.
Di bawah arahan Gus Van sant, Milk menjadi sebuah tontonan yang utuh. Elemen-elemen dalam film hadir saling menguatkan. Mulai dari cerita dan dialog yang berisi, barisan bintang pendukung yang kuat, divisi artistic yang mampu menghadirkan atmosfer tahun 1960-an hingga 1970-an dan diperkuat sinematografi yang mantap, hingga editing yang lincah yang membuat film sarat muatan politis ini lebih enak dinikmati. Salute untuk Gus Van Sant yang mampu membuat bintang-bintang muda seperti Emile Hirsch dan Diego Luna makin terasah aktingnya.
Penampilan Sean Penn dinilai banyak orang sebagai sebuah penampilan yang brillian, namun penampilan James Franco sebagai Scott mampu mencuri perhatian. Dibandingkan Josh Brolin, penampilannya lebih meninggalkan kesan. James Franco dan Sean Penn mampu membangun chemistry yang cukup meyakinkan dan tidak sungkan-sungkan “bergelut” di ranjang, sesuatu hal yang makin disikapi santai oleh actor Holly belakangan. James Franco sukses menampilkan sosok yang mencintai, namun terpaksa mundur demi kemajuan orang yang dicintainya meski rasa cinta belum luntur (aduh….!!!).
Yang namanya film, tentu saja ada beberapa fakta yang harus direduksi, agar sosok yang dihadirkan mampu menginspirasi penonton. Kalau mengikuti kisah Harvey Milk, tentu akan menemui beberapa hal yang tidak dihadirkan dalam film ini. Jadinya, film ini terkesan mengkultuskan sosok Harvey Milk. Sekali lagi sejarah mempunyai banyak wajah (versi).
Harvey Milk meninggal karena dibunuh oleh Dan White (Josh Brolin). Sekali lagi film dengan tokoh gay didalamnya, mendapatkan akhir tragis. Mengapa Harvey Milk meninggal? Karena dia mengucapkan “I’ll be back”, padahal di tengah film dia menegaskan aksinya dengan kalimat “never turn back” lewat kaos yang dia pakai. Kalimat ““I’ll be back”, merupakan kalimat kutukan. Masih ingat film Scream? (hehehe…joke’s on you). Harvey Milk meninggal karena ego pribadi yang tidak dewasa dan bebal, serta tidak tahu bagaimana mencapai apa yang menjadi tujuannya yang juga tidak dipahaminya.
Buat mereka yang akan maju memperjuangkan hak mereka yang tertindas ada satu tips penting dari Harvey Milk. “I cannot prevent anyone from getting angry, or mad, or frustrated. I can only hope that they'll turn that anger and frustration and madness into something positive, so that two, three, four, five hundred will step forward, so the gay doctors will come out, the gay lawyers, the gay judges, gay bankers, gay architects ... I hope that every professional gay will say 'enough', come forward and tell everybody, wear a sign, let the world know. Maybe that will help.” Intinya sih kenali dirimu terlebih dahulu untuk kemudian berdamai dengannya sebelum kamu berjuang. Pesan ini rasanya cukup universal.
Di tengah eforia “change”, dampak kampanye Obama (mungkinkah dia terinspirasi perjuangan Harvey Milk?), film ini bisa menjadi sandungan untuk film lain dalam memperebutkan predikat Film Terbaik di ajang Oscar 2009. Homoseksualitas memang belum mempunyai sejarah manis di kategori ini, meski hubungan sejenis jamak terjadi di Hollywood. Ingat dong dialog yang diucapkan Robert Downey, Jr di film Tropic Thunder dimana Ben Stiller bertindak sebagai sutradara dan penulis naskah.
“Man…everyone’s gay once in a while. This is Hollywood!” 4,25/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
saya gak suka sama gambar dalam film ini. monoton aja dilihatnya. banyak orang terus di antara gedung2 bertingkat. tapi ya bagaiamana mau lagi. settingnya kan harus seperti itu. saya belum habis film nontonnya.
Kalo diperhatikan, meski terkesan monoton, komposisi pemain, pencahayaan, setting serta penggunaan warnanya cukup oke lho.
Nyaman banget dimata.
Bagi yang gak biasa liat film full of celoteh, memang bisa sangat membosankan
salam kenal
gw baca tulisan lo tentang film slumdog millionaire beberapa minggu yang lalu. tapi bahasan film itu di tv baru beberapa hari yang lalu
salut banget.
emang nontonnya dimana sih?
bukan bajakan kan?
Lebih panas mana nih? Brokeback mountain atau Milk? :D
@desperatedessert :
Pasti Bajakan dong :)
Dengan lokasi tinggal di kota keciiiil, akses bioskop yang sulit serta hausnya akan film - film yang menurutku bagus, maka peran bajakan sangat aku apresiasi tinggi :0
Tapi kalo film dan lagu Indonesia nggak kok :)
@Yusahrizal :
Panasan Brokeback Mountaindonk, soalnya lebih dekat ke matahari.
Milk juga panas sih, apalagi kalo airnya dari termos langsung dan tidak diangin-anginkan dulu :)
Gua baru nonton nih film kemaren. Gua setuju ama lu. Gua bingung kok Josh Brolin bisa dinominasikan aktor pembantu terbaik. Gua disini malah lebih suka aktingnya James Franco dan pacarnya si Milk yang satu lagi, siapa namanya? bener2 feminim. hehe. Tapi gua salut dengan Sean Penn. mimik mukanya, gerakan tangannya hmmm...
Tapi jujur, agak membosankan di bagian awal.
Posting Komentar