Sabtu, 29 Mei 2010

ST. TRINIAN’S 2 : THE LEGEND OF FRITTON’S GOLD : PETUALANGAN CEWEK – CEWEK BENGAL ALA DA VINCI CODE DAN NATIONAL TREASURE

Sabtu, 29 Mei 2010 4

Roxy: Don't you think this whole idea is a wee bit unfeasible?
Annabelle Fritton: This is St. Trinian's. We don't know the meaning of the word, unfeasible.

Tahun 2007 kemarin saya lumayan terhibur dengan St. Trinian's yang menghadirkan aksi para cewek Bengal nan kreatif dalam menyelamatkan sekolah mereka. Bagi saya, kisah cewek-cewek lincah selalu menghadirkan hiburan tersendiri, meski kualitas filmnya tidaklah istimewa. Saat gelaran Cannes 2008, diumumkan kalau St. Trinians 2 bakal dirilis 18 Desember 2009. Waah…langsung St. Trinian's 2 masuk dalam daftar film yang saya tunggu. Berbekal sub judul The Legend of Fritton's Gold, St. Trinian's 2 menjanjikan sajian yang lebih seru dan lebih gila-gilaan dibandingkan seri pertamanya. Pendekatan ini seringkali dipakai di banyak sekuel macam Transformer 2 atau Iron Man 2. Muncul kekhawatiran, akankah unsure fun-nya bakal berkurang seperti film sekuel lainnya?


Kalau di seri pertama, Annabelle Fritton (Talulah Riley) disibukkan dengan usahanya menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, kali ini dia harus menyesuaikan diri dengan posisi barunya sebagai Ketua OSIS. Bukan perkara mudah mengingat karakter anak-anak St. Trinian yang cenderung tidak lazim di mata masyarakat. Belum lagi, Annabelle merasa tidak punya kemampuan sehebat pendahulunya, Kelly Jones (Gemma Arterton) yang sedang sibuk dengan tugas barunya setelah lulus dari St. Trinian. Gesekan – gesekan kecil terjadi antar kelompok murid, namun semuanya wajib bekerja sama ketika terjadi insiden penyerbuan setelah anak-anak menemukan cincin dan Annabelle enggan melepaskannya dengan harga yang ditawarkan oleh Pomfrey (David Tennant).


Film yang awalnya dibuka dengan adegan yang mengingatkan pada Pirates of The Caribbean ini selanjutnya menyajikan berbagai aksi anak-anak St. Trinian dalam mencari pasangan cincin yang mereka temukan di ruang perpustakaan. Kalau dua cincin tersebut dipersatukan, akan mengungkapkan lokasi dimana tersimpan harta karun yang bakal mengguncang dunia sastra. Kenapa dunia sastra? Tunggu saja jawabannya di akhir film yang bakal membuat dirimu terkejut sekaligus tersenyum atau bahkan tertawa, meski terkesan maksa. Proses penyatuan dua cincin tersebut tak kalah seru dengan aksi Robert Langdon (The Da Vinci Code) atau Benjamin Franklin Gates (National Treasure). Dikemas dengan balutan komedi tentu saja. Kepala sekolah, Miss Camilla Fritton (Rupert Everett) sang inisiator pencarian cincin juga tidak tinggal diam dan ikut membantu dengan mendekati mantan kekasihnya, Geoffrey Thwaites (Colin Firth). Yang terpenting, Annabelle berhasil menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin.


Timbul sedikit kekecewaan setelah menyaksikan St. Trinian's 2 : The Legend of Fritton's Gold ini. Filmnya sih masih seru, namun sensasi fun-nya mengalami pengendoran, begitupun dengan sensasi ketegangannya. Di seri pertama, kita sebagai penonton di buat tegang karena usaha para penghuni St. Trinian ditujukan demi kelangsungan hidup sekolah mereka. Lha kalau di seri kedua ini, usaha pengungkapan harta karun lebih terasa unsure main-mainnya. Bukan sebuah kesalahan, hanya saja sedikit mengurangi nilai perjuangan mereka. Di seri pertama, greget perlawanan terhadap system lebih terasa. Nah, kalau seri keduanya ini lebih pada perjuangan yang terkesan seksis.


Namun, bagi saya kelemahan seperti yang diungkap diatas tetap tidak menghalangi saya untuk menantikan seri ketiganya yang rencananya bakal dirilis tahun ini (St. Trinian's 2 dirilis resmi di Inggris pada akhir tahun 2009). Mengapa? Film-film model beginian selalu menghadirkan cewek-cewek asyik yang polah tingkahnya cukup menghibur bagi saya hehehe…. Talulah Riley yang sebelumnya juga hadir di The Boat That Rocked masih terlihat cantik. Dia ternyata juga ikut nimbrung di Inception lho. Tampaknya karir dia bisa makin bersinar kedepannya. St. Trinians 2 juga menghadirkan Sarah Harding pentolan Girls Aloud. Meski sekilas, penampilan Gemma Arterton cukup ok juga.


Tidak hanya para cowok, penonton cewek pun pastinya bakal suka dengan gerombolan St. Trinian yang pemberontak dengan dandanan aneh-aneh yang terlihat keren dan unik. Bisa dicontoh tuh. Harta karun yang ditemukan bisa jadi membuat sebagian penonton cewek bertepuk tangan. Seperti seri pertamanya, St. Trinian's 2 juga menghadirkan musik-musik asyik khas British. Nikmati juga dialog-dialognya yang nakal dengan dialek British yang asyik di kuping. St. Trinian's 2 ditangani oleh duo Oliver Parker dan Barnaby Thompson yang juga mengarahkan seri pertamanya. Sekedar informasi, Oliver Parker ini adalah orang yang menghasilkan Othello (1995), An Ideal Husband (1999), The Importance of Being Earnest (2002), Dorian Gray (2009) dan yang akan rilis tahun depan, Johnny English 2 (2011). 2,5/5


Zoe: There's no reason to be scared of death. 'Cause death is, you know, like life, but all of the crap gets taken out. Like poverty and fascism and Miley Cyrus.

Jumat, 28 Mei 2010

ALICE DOESN’T LIVE HERE ANYMORE : PERSEMBAHAN TERMANIS MARTIN SCORSESE

Jumat, 28 Mei 2010 12

Martin Scorsese selama ini banyak menghasilkan film seputar dunia lelaki, hingga kesan keras senantiasa hadir dalam film-filmnya. Tidak banyak yang tahu kalau diawal karirnya sebagai sutradara, Martin Scorsese pernah menghasilkan film yang sangat perempuan dan bahkan mendapatkan banyak apresiasi positif, baik dari para kritikus film maupun dari beberapa festival film, termasuk Cannes! Judul film yang dimaksud adalah Alice Doesn't Live Here Anymore yang dirilis akhir tahun 1974. Martin Scorsese rasanya pantas berterima kasih pada Francis Coppola karena gara-gara rekomendasinya, Ellen Burstyn yang diberi kuasa oleh Warner Bros untuk memilih sutradara yang tepat, menunjuk Martin Scorsese setelah menyaksikan Mean Streets.


Alice Doesn't Live Here Anymore mempunyai kisah yang sederhana. Alice Hyatt (Ellen Burstyn) terpaksa harus kembali ke kampung halaman ketika secara tiba-tiba, suaminya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Sepeninggal suaminya, Alice hanya mempunyai sedikit dana dan masih harus mengurusi anak semata wayangnya, Tommy (Alfred Lutter). Menempuh perjalanan yang panjang, Alice berhenti sejenak di beberapa kota untuk mendapatkan uang. Sejak kecil Alice bercita-cita sebagai penyanyi. Cita-cita tersebut sempat terlupakan ketika Alice menikah. Kini dia berusaha meraih cita-cita tersebut. Masalahnya, kehidupan itu kadang tidak mudah dan kenyataan tidak seindah impian. Ada saja hambatan yang menghampiri. Ditengah usahanya tersebut, Alice bertemu dengan pria-pria yang sedikit mempersulit langkah dan membebaninya dengan pilihan yang bisa menghancurkan mimpinya dan janji terhadap ana yang sangat dia cintai.


Meski terkesan sangat sederhana, Alice Doesn't Live Here Anymore cukup berhasil menghadirkan sosok perempuan di masa dimana gerakan perempuan akan persamaan hak mulai menggejala di mana-mana. Hal tersebut diwakili dengan apik dengan karakterisasi dari si Alice. Sosok Alice digambarkan sedikit teatrikal, namun bertenaga serta berani mangambil pilihan sendiri. Jiwa bebas dari Alice digambarkan lewat sikap optimis dan tidak terseret kedukaan serta kalimat-kalimat lugas yang meluncur bebas dari mulutnya. Meski demikian, sosok Alice tidak digambarkan radikal karena ada sang anak sebagai katalis aksinya. Selain itu, Alice juga digambarkan layaknya manusia kebanyakan, tanpa memandang jenis kelamin, yang membutuhkan cinta dalam hidupnya. Resikonya, ending yang dipilih terkesan kompromis dan cenderung terlalu cepat. Namun, rasanya pilihan endingnya sudah cukup bijaksana dan menggambarkan salah satu alternative pilihan ideal dan manis.


Daya tarik film ini menurut saya, selain karakter Alice yang loveable, juga berkat hubungan Alice dan Tommy, sang anak, yang begitu cair dan tanpa batas. Interaksi keduanya senantiasa menghadirkan senyum dan tawa. Lihat saja bagaimana Alice mengusili Tommy, begitupun sebaliknya. Perdebatan diantara keduanya kadang terkesan kurang ajar dan menabrak batas-batas kelaziman hubungan ibu dan anak. Sebagai seorang pemain baru, penampilan Alfred Lutter yang didapat setelah mengaudisi lebih dari 300 anak sungguh sangat mengesankan. O iya, selain itu ada Jodie Foster lho. Disini dia terlihat ganteng dan tokoh yang dia perankan, mulutnya tidak kalah lugas dengan mulut si Alice. Bahkan, dalam salah satu adegan, kata-kata yang keluar dari mulut Audrey yang diperankan oleh Jodie Foster tersebut membuat Alice terperangah.


Film tentang perempuan seringkali menempatkan sosok pria sebagai si brengsek. Tidak demikian dengan Alice Doesn't Live Here Anymore. Memang ada sosok pria yang kasar dan keras terhadap perempuan seperti Ben (Harvey Keitel) yang mengejar Alice meski sudah beristri, namun film ini juga ada David (Kris Kristofferson) yang tidak egois dengan berani minta maaf serta ada juga Mel (Vic Tayback) pria pemilik restoran yang sangat toleran, bahkan tidak berdaya menghadapi salah satu pegawainya, Flo (Diane Ladd). Sosok Flo ini mewakili citra perempuan seksi namun independen. Dengan karakter yang sama-sama bebas, Flo bisa menjadi teman terbaik bagi Alice. Perempuan memang idealnya saling dukung satu sama lain. 4/5

Selasa, 25 Mei 2010

THE GRUFFALO : KESETIAAN ADAPTASI

Selasa, 25 Mei 2010 3

Demi menenangkan kedua anaknya, seekor induk tupai (Helena Bonham Carter) menceritakan sebuah kisah tikus (James Corden) yang sedang berjalan-jalan di dalam hutan. Dalam rantai makanan, tikus termasuk ke dalam mata rantai terbawah hingga tidak mengherankan kalau perjalanan tersebut terasa sangat membahayakan nyawa si tikus. Benar saja, belum jauh perjalanan si tikus, dia sudah harus berhadapan dengan rubah (Tom Wilkinson). Demi bertahan hidup, tikus mengarang cerita kalau dia akan bertemu dengan sosok yang dari penggambarannya, mampu membuat si rubah segan untuk melahap si tikus. Cara serupa tikus pakai ketika bertemu dengan burung hantu (John Hurt) dan ular (Rob Brydon). Ketika merasa sudah merasa terbebas dan aman, tikus dikejutkan sosok yang wujudnya persis dengan ilustrasi kebohongan sebelumnya (disuarakan Robbie Coltrane)! Kelangsungan hidup tikus makin terancam ketika ketiga makhluk pemangsa yang dia temui sepanjang perjalanan menyadari mereka telah dikelabui. Cara apa yang akan dipakai tikus untuk bisa bertahan hidup?


Cerita The Gruffalo sangatlah pendek dan singkat mengingat materi aslinya berupa buku anak-anak yang hanya terdiri dari sekitar 700 kata kreasi Julia Donaldson dan Axel Scheffler. Ceritanya sangat sederhana dan menghadirkan pengulangan-pengulangan dialog. Maklum, buku The Gruffalo ditujukan untuk anak usia di bawah lima tahun. Dengan durasi hanya sekitar 30 menit, duo Max Lang dan Jakob Schuh berusaha untuk setia dengan materi aslinya. Pendekatan ini mungkin dimaksudkan agar The Gruffalo bisa dinikmati oleh anak-anak, terutama oleh mereka yang merupakan penggemar fanatik. Jumlahnya tidak main-main lho. Bukunya mampu menyihir lebih dari 10 juta pembaca dan juga diedarkan di lebih dari 31 negara.


Selain dibuat versi animasi, kisah The Gruffalo juga dibuatkan pertunjukkan musikal dan pernak-pernik yang menampilkan figur Gruffalo. Saat ditayangkan tepat pada perayaan Natal 2009 di BBC, The Gruffalo ditonton lebih dari 8 juta penonton/rumah/televisi. The Gruffalo juga sukses menjadi salah satu unggulan dalam BAFTA Film Award 2010 untuk kategori Best Short Animation.


Kesetiaan para kreator The Gruffalo terhadap materi aslinya patut di apresiasi positif karena kadang sebuah improvisasi bisa merusak kekuatan materi asli. Namun disatu sisi, hal tersebut bisa dilihat sebagai ketakutan melakukan langkah-langkah kreatif, yakni bagaimana menjadikan materi asli yang sudah bagus menjadi semakin berkilau. Spike Jonze saya anggap berhasil ketika menjabarkan Where the Wild Things Are menjadi kisah panjang yang menarik dengan tetap menjaga roh cerita asli didalamnya. Kisah dalam buku The Gruffalo meski singkat dan padat, membuka banyak kemungkinan menarik dalam pengembangan cerita. Perjalanan si tikus di dalam hutan belantara menjanjikan petualangan seru yang mendebarkan sekaligus kaya nilai. Setelah menyaksikan film ini, saya mengharapkan kedepannya bakal ada The Gruffalo versi panjang layaknya Where the Wild Things Are. Kayaknya khayalan ini suatu saat bisa terwujud.


Untuk sementara, nikmati saja dulu The Gruffalo versi pendek ini. Nikmati sumbangan suara aktor/aktris beken dari Inggris, terutama suara Helena Bonham Carter yang sangat menyejukkan. Kalau kamu punya kerabat bocah (anak/ponakan/cucu dll), The Gruffalo bisa dipilih sebagai tontonan buat mereka. Aman dan menghibur. Meski tidak sehalus garapan Pixar, para animator di Magic Light Pictures rasanya cukup berhasil menghadirkan tampilan visual yang memikat. Pemilihan warnanya sangat nyaman di mata. Telinga kita juga bakal dibuai oleh musik yang diaransemen oleh René Aubry. Sebagai bonus, ada behind the scenes yang sedikit mengupas proses produksi. 4/5



Catatan : sebelum menerima hujatan, perlu saya tegaskan kalau saya tidak tahu sama sekali tikus menjadi tokoh utama dalam film animasi pendek ini. Tertarik nonton karena cover terlihat memikat.

Minggu, 23 Mei 2010

MAO’S LAST DANCER : CITA CINTA CUNXIN

Minggu, 23 Mei 2010 0

Once upon a time…inside a deep, dark well, there live a frog
This frog could only see the opening of the well.
One day, a toad arrived at the top of the well
The toad saw the frog and said to the frog
“Come up and have a look. The world up here is huge and bright”




Li Cunxin (Chi Cao) sejak kecil tidak pernah menyadari kalau dirinya mempunyai bakat menjadi seorang penari balet. Bahkan, ketika ditanya akan menjadi apa nantinya, dengan polos dan bangganya, bocah desa ini menjawab ingin menjadi tentara bagi Cina. Namun, di luar kuasanya, pintu demi pintu yang mengarahkannya untuk menjadi salah satu penari balet terbaik di dunia terbuka bagi dirinya. Tanpa mengetahui alasan yang sebenarnya, Li Cunxin terpilih untuk melakukan seleksi di Beijing dan berhasil menyisihkan buanyak anak lain. Selanjutnya, meski bukanlah yang terbaik, Li Cunxin terpilih untuk mewakili China dalam memperdalam balet di Amerika dan tinggal menunggu waktu untuk baginya menjadi seorang bintang.


Perjalanan Li Cunxin bukannya tanpa aral. Seperti halnya film dengan tema from zero to hero lainnya, sang tokoh utama harus melewati beberapa ujian. Dalam Mao’s Last Dancer, ujian terbesar yang menghampiri Li Cunxin hadir ketika dia harus melawan negaranya gara-gara jatuh cinta dengan cewek keturunan Amerika. Kisah cinta tersebut menjadi masalah besar mengingat perbedaan pandangan politik yang sangat kontras antara Cina dengan Amerika Serikat. Pilihan yang menghampiri Li Cunxin tidaklah mudah karena ada hubungannya dengan nasib orang tuanya yang lama tidak ditemuinya.
Menyaksikan film yang diangkat dari kisah orang kondang yang sukses kadang terasa sangat inspiratif, namun kalau tidak digarap dengan apik bisa-bisa malah akan terkesan biasa-biasa saja karena polanya sudah bisa ditebak. Sutradara Bruce Beresford yang sebelumnya membuat Double Joepardy dan Driving Miss Daisy, sayangnya mengemas Mao’s Last Dancer dengan biasa saja hingga filmnya terasa datar. Kisahnya sebenarnya mengandung potensi konflik yang cukup menjanjikan, mulai dari bagaimana usaha Li Cunxin agar bisa menari balet dengan bagus hingga persoalan politis yang menghadangnya.


Konflik batin Li Cunxin kurang tereskpos secara dramatis. Atau hal ini untuk menunjukkan kalau hidup harus jalan terus? Adegan penyanderaan Li Cunxin terkesan biasa-biasa saja dan proses “perlawanan’ Li Cunxin terhadap Negara asalnya juga terkesan kurang gigih. Kegagapan Li Cunxin yang harus hidup di Negara bebas setelah sebelumnya hidup dengan doktrin-doktrin sosialisme juga tidak disajikan secara mendalam. Dampaknya, penonton (saya) susah untuk ikut bersimpati pada beban berat yang menghampiri si tokoh utama. Rasanya kok kisah Li Cunxin jadi kurang menarik untuk dijadikan sebuah film.


Selain penampilan Chi Cao dan Bruce Greenwood, barisan cast pendukung bermain jauh dari kesan istimewa. Saya terkesan dengan penampilan Bruce Greenwood yang secara mengejutkan mampu tampil gemulai. Diluar tidak istimewanya film ini, untungnya kita bisa sedikit dimanjakan dengan sajian tarian balet dengan iringan musik cantik yang meski bisa dihadirkan dengan angle-angle yang lebih variatif, divisualkan dengan cukup memikat. Itupun kalau kamu bisa menikmati balet dan tidak terganggu dengan pria bercelana ketat. Tarian di bawah gunung di akhir film justru menjadi adegan termanis bagi saya. Salah satu pelajaran penting dari film ini adalah kadang kita butuh orang lain untuk membantu kita mengenali dan mengembangkan bakat kita. Jadi, jangan sia-siakan tawaran menarik yang menghampiri kita. Siapa tahu itu menjadi gerbang kesuksesan bagi kita kedepannya. Tentu saja harus juga diimbangi semangat juang yang tinggi dari diri kita sendiri serta keterbukaan dalam menerima hal-hal baru yang positif. 3,5/5


Sabtu, 22 Mei 2010

MAN SOM HATAR KVINNOR ( THE GIRL WITH THE DRAGON TATTOO ) : KETIKA JUDUL BERKHIANAT

Sabtu, 22 Mei 2010 4

Apa yang ada di benak kamu saat membaca sebuah judul film? Pastinya langsung membayangkan apa gerangan isi dari film tersebut. Judul film itu idealnya dibuat semenarik mungkin, namun tanpa melakukan penipuan terhadap penonton. Tidak harus tepat sesuai dengan bayangan penonton, namun patut dicatat, rasanya akan terasa sebagai sebuah pengkhianatan kalau judul yang dicantumkan di poster tidak mencerminkan keseluruhan isi filmnya. Kasus termutakhir adalah Menculik Miyabi yang hanya menampilkan sekelumit Miyabi dan dari premis ceritanya, akan lebih tepat kalau di beri judul Salah Culik. Sebelumnya, Inglorious Basterds melakukan hal serupa demi hitungan bisnis. Kalau dicermati, Inglorious Basterds rasanya lebih tepat diberi judul Once Upon A Time ... In Nazi Occupied France yang malah dijadikan judul salah satu bab didalamnya. Judul adalah elemen pertama yang akan memandu penonton dalam memahami isi sebuah film. Ketidaktepatan pemilihan judul, selalu membuat saya kecewa hingga menurunkan kualitas film yang dimaksud di mata saya.


Män Som Hatar Kvinnor dirilis untuk pasar internasional dengan judul The Girl with The Dragon Tattoo. Ada alasan kenapa saya lebih suka menggunakan judul aslinya. Män Som Hatar Kvinnor mengisahkan sepak terjang Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist) dan Lisbeth Salander (Noomi Rapace) dalam mengungkap misteri hilangnya salah satu anggota keluarga terpandang 40 tahun yang lalu. Keduanya sebenarnya tidaklah bekerja sama, bahkan Lisbeth awalnya diberi tugas untuk melakukan penelitian terhadap kehidupan Mikael Blomkvist, namun entah mengapa pada perkembangannya Lisbeth tertarik untuk membantu Mikael Blomkvist. Keduanya mempunyai persamaan, yakni mempunyai satu peristiwa yang menyulitkan gerak mereka. Kalau Mikail direpotkan dengan aksi membongkar penyimpangan dana, Lisbeth yang dinilai mempunyai masalah kejiwaan, harus menghadapi pengawasnya yang memanfaatkannya secara seksual.


Secara keseluruhan, Män Som Hatar Kvinnor sangatlah asyik buat dinikmati, terutama buat mereka pecinta kisah misteri. Materi cerita yang berasal dari novel karangan Stieg Larsson menghadirkan beberapa unsure yang lazim hadir dalam kisah misteri seperti pembunuhan para wanita dengan sadis serta perilaku seks menyimpang. Hmmm...terdengar seperti B Movie? Mungkin. Namun, rasanya sutradara Niels Arden Oplev cukup berhasil menjaga irama cerita hingga kisahnya lumayan asyik diikuti meski endingnya sangatlah klise. Kenikmatan saya ketika menonton film ini terganggu ketika di otak saya terpatri judul The Girl with the Dragon Tattoo. Dengan judul seperti itu, saya mengharapkan sebuah penampilan yang dominan dari si pemeran wanita, terutama dalam hal penggalian karakter. Kenyataannya, kehadiran Lisbeth tidaklah lebih banyak dari karakter Mikail, meski Lisbeth selalu datang sebagai penyelamat.


Saya heran, dengan judul The Girl with the Dragon Tattto harusnya kisahnya lebih banyak berpusat pada si Lisbeth, terutama mengenai latar belakang kehidupannya. Lisbeth dikisahkan melakukan kekerasan terhadap ayahnya, namun tidak ada visualisasi kekerasan sang ayah demi meyakinkan penonton untuk bersimpati hingga orientasi seksual dari Lisbeth terasa hambar. Selain itu, tidak ada penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana dia bisa begitu hebat sebagai seorang hacker, kecuali interaksinya dengan hacker lain yang juga tidak jelas bagaimana keduanya bisa bekerja sama. Yang paling fatal, dengan judul The Girl with the Dragon Tattoo, tidak ada satupun adegan yang menguatkan kenapa dia mempunyai tato naga dipunggungnya dan berpenampilan ala anak punk. Tatonya sendiri juga jarang sekali disorot kamera. Jadi, dalam pandangan saya, judul The Girl with the Dragon Tatto dipakai hanya demi terlihat lebih keren dan menjual. Pemilihan judul The Girl with the Dragon Tattoo yang tidak mencerminkan isi filmnya, membuat saya tidak bisa dibuat kagum dengan aksi Naomi Rapace yang dipuji banyak orang.


Saya lebih bisa menerima film ini ketika dipakaikan judul Män Som Hatar Kvinnor yang artinya, didapat dari Mbak Wiki tentu saja, adalah Men Who Hate Women. Kasus yang coba diungkap oleh Mikail dan Lisbeth ada kaitannya dengan kekerasan pria terhadap wanita. Selain itu, hidup dari Lisbeth juga dikelilingi oleh pria-pria yang keras terhadap para wanita. Dengan judul Män Som Hatar Kvinnor/ Men Who Hate Women saya lebih bisa memahami mengapa Lisbeth menjalin hubungan dengan perempuan, mengapa Lisbeth terasa begitu emosional terhadap si pelaku pembunuhan berantai dan mengapa Lisbeth pada suatu malam mengangkangi Mikail. Selipan isu Nazi dipakai buat mengacaukan tebakan penonton, serta kasus Mikail melawan perusahaan besar, hadir masih sebatas di permukaan. Soal kasus Mikail ini, mungkin akan digali lebih dalam di film selanjutnya. Män Som Hatar Kvinnor memang merupakan bagian pertama dari Millenium Trilogy.


Bagi yang suka kisah misteri ala Agatha Christie, Män Som Hatar Kvinnor tentu sayang untuk dilewatkan. Ketika menyaksikan film ini, terus terang saya seakan menyaksikan sebuah kisah yang diadaptasi dari novel karangan penulis yang paling saya gilai tersebut. Bagaimana Mikail menganalisa kasus serta melakukan investigasi di lokasi, mengingatkan pada gaya Poirot. Suka juga dengan Crimson Rivers? Meski tidak terlalu menegangkan, Män Som Hatar Kvinnor tidak kalah asyik dengan film yang menampilkan Jean Reno tersebut. Dengan karakterisasi serta dandanan yang terlihat keren, para cewek ada kemungkinan terpikat dengan aksi Noomi Rapace. Kalau boleh menyarankan, jangan terpaku dengan judul The Girl with the Dragon Tattoo ketika menyaksikan film ini dan alangkah lebih baik kalau berpegangan pada judul aslinya. Pendekatan serupa juga disarankan ketika menikmati dua kisah Lisbeth selanjutnya. 3,75 (dengan judul The Girl with The Dragon Tattoo : 3,25/5)



Wanita bertato naga juga ada di :
LABIRIN FILM
AT THE MOVIES

Kamis, 20 Mei 2010

WISH : KENAKALAN ITU SEBUAH PROSES

Kamis, 20 Mei 2010 2

Menyaksikan Wish arahan Lee Seong-han sedikit mengingatkan saya pada Mean Girls-nya Lindsay Lohan. Seperti halnya karakter yang diperankan oleh Lindsay Lohan, Jjang-gu seakan memasuki sebuah dunia asing ketika memasuki SMA khusus cowok. Untung bagi Jjang-gu, ternyata ada wajah yang dia kenal hingga tidak menjadi obyek arogansi senior. Yang namanya sekolah khusus cowok, tidak seru kalau tidak ada gank yang berkuasa di sekolah. Mereka biasanya menerapkan aturan yang wajib dipatuhi oleh semua, terutama mereka para siswa baru.


Jjang-gu digambarkan tidak terlalu berminat masuk gank tersebut. Namun, secara perlahan dan seakan merupakan sebuah proses alamiah, Jjang-gu bergabung dengan gank tersebut. Dalam prosesnya, Jjang-gu terlibat dengan berbagai masalah yang membuatnya mendapat peringatan dan hukuman dari sekolah. Bahkan, Jjang-gu sempat mendekam dalam tahanan. Sebenarnya Jjang-gu bukanlah berasal dari keluarga berantakan seperti umumnya penggambaran anak nakal di film remaja bermasalah. Jjang-gu mempunyai ayah yang cenderung diam melihat berbagai aksinya serta ibu yang sangat perhatian.
Lalu kenapa Jjang-gu bisa terlibat dengan berbagai masalah? Selain lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan sangatlah berpengaruh dalam membentuk pribadi anak, apalagi di usia yang masih muda dan labil. Lingkup pergaulan itu bisa sangat menyenangkan, namun bisa juga amat menekan. Masuknya Jjang-gu dalam gank bisa jadi merupakan sebuah bentuk adaptasi demi bisa bertahan dan eksis. Perilaku Jjang-gu bukan lagi merupakan perilaku individu tapi lebih pada perilaku kelompok yang mendewakan solidaritas. Masih ingat dengan film Virgin?


Masuknya Jjang-gu ke dalam gank bisa juga disebabkan minimnya sarana aktualisasi diri. Dalam Wish, tidak terlihat kegiatan Jjang-gu di luar sekolah yang bersifat positif. Bahkan, Jjang-gu dengan ekspresi datarnya terlihat tidak mempunyai minat apapun. Selain itu, meski tidak digambarkan dengan gamblang, saya merasakan kefrustasian Jjang-gu akibat tidak bisa menjadi anak yang tidak menyusahkan orang tuanya seperti kakak-kakaknya. Rasa frustasi seperti ini kadang bisa mendorong seorang remaja nekat menerjunkan diri ke dalam masalah. Sutradara Lee Seong-han tidak lantas memberi label buruk terhadap para remaja yang bergabung dalam sebuah gank. Lee Seong-han lebih melihat hal tersebut sebagai sebuah proses yang lazim dilalui oleh para remaja. Meninggalnya ayah Jjang-gu tidak membuat Jjang-gu menarik diri dari pergaulan, hanya saja dia menyikapinya dengan lebih bertanggung jawab.


Bagi banyak penonton, Wish akan terasa sangat membosankan. Proses Lee Seong-han menjadi anak gank disajikan dengan sangat halus, dan dihiasi humor yang sulit memancing senyum. Saya sendiri merasa aneh dengan hampir tidak adanya adegan kekerasan, mengingat tema gank senantiasa identik dengan bentrok fisik. Mungkin ada pesan anti kekerasan yang ingin disampaikan oleh Lee Seong-han. Entahlah. Namun, Wish ini bisa jadi sebuah tontonan yang bisa menginspirasi para remaja (cowok) agar lebih bijaksana dalam bertindak. Dan seperti kebanyakan film Korea, diselipkan adegan yang cukup mampu membangkitkan rasa haru yang untungnya tidak berlebihan. 3,5/5

Jumat, 07 Mei 2010

A PROPHET ( UN PROPHETE )

Jumat, 07 Mei 2010 4

Belum genap berusia 2 dekade, Malik El Djebena (Tahar Rahim) dihadapkan pada kenyataan harus hidup di dalam penjara selama 6 tahun. Di dalam lingkungan yang cenderung membentuk kelompok agar bisa bertahan hidup, Malik dengan polosnya cenderung menyendiri. Kehidupannya dalam penjara mengalami perubahan saat seorang pimpinan mafia keturunan Korsika, César Luciani (Niels Arestrup) memanfaatkan dirinya yang merupakan keturunan Arab untuk melakukan sebuah misi kejam. Sebagai imbalan, Malik akan mendapatkan perlindungan selama di penjara. Rasa aman di dalam penjara merupakan sesuatu yang mahal, mengingat sipir penjara kalah berkuasa dengan para criminal besar yang memiliki banyak uang.


Meski dihinggapi rasa bersalah, Malik terpaksa melaksanakan misi tersebut yang diawali dengan pelatihan yang akan membuat mulut penonton berdesir. Eksekusi dari misi tersebut juga terlihat mengejutkan. Setelahnya, Malik menjadi semacam antek dari Luciani. Kesempatan besar datang ketika orang-orang yang berada di sekitar Luciani memperoleh kebebasan. Kesempatan demi kesempatan bagus menghampiri Malik yang untungnya bisa dia manfaatkan dengan bagus. Pada berkembangannya Malik justru mempunyai kemampuan lebih dibandingkan Luciani terutama dalam merangkul mafia dari berbagai ras.


Dalam agama, seorang nabi itu adalah seorang yang dipilih oleh Tuhan untuk menyebarkan ajaran kebaikan dan menyatukan semua umat untuk selalu dalam jalan Tuhan. Konsep penyatuan inilah yang mungkin dipakai dasar Jacques Audiard dalam pemilihan judul A Prophet. Namun, Bagi Gilasinema, Malik lebih tepat disebut sebagai seorang entrepreneur ketimbang seorang nabi. Tapi gak lucu kali ya kalau film ini dikasih judul ENTREPRENEUR atau WIRAUSAHAWAN. Kenapa Malik itu seorang wirausahawan? Karena tanpa dia sadari dia telah menerapkan prinsip-prinsip seorang wirausahawan. Beberapa Ciri-ciri seorang wirausahawan yang unggul adalah mampu memanfaatkan setiap kesempatan serta mampu berimprovisasi setiap kali ada masalah.Langkah-langkah Malik terencana dengan baik, memiliki kemampuan negosiasi yang prima, mampu membaca situasi serta selalu mau belajar demi meningkatkan kemampuan. Dan yang paling penting, karena Malik berusaha di lahan yang sangat berbahaya, dia harus berani mengambil resiko apapun. Dengan menerapkan prinsip-prinsip diatas, tidak mengherankan kalau Malik mampu menuai “kesuksesan”. Kalau diibaratkan, dia memulainya sebagai pekerja magang dan dalam perkembangannya mampu mempunyai usaha sendiri.


A Prophet sebenarnya mempunyai pola cerita layaknya kisah from zero to hero. Ada naik turunnya, sebelum akhirnya dia keluar sebagai pemenang. Kisah Malik dalam A Prophet di satu sisi, tidak jauh berbeda dengan kisah Nur (Acha Septriasa) di Menebus Impian. Namun karena Malik berkecimpung di dunia hitam, sensasi yang dihadirkan terasa lebih kasar, keras dan liar serta mengejutkan. Kisah dalam A Prophet juga membuktikan kebenaran dari petuah bijak jangan campurkan apel segar dengan apel busuk karena pencampuran tersebut akan berdampak buruk pada apel yang masih segar tadi. Lihat saja perubahan yang terjadi pada Malik gara-gara masuk penjara, meski perubahan tersebut sebenarnya merupakan bentuk proses beradaptasi demi bertahan di lingkungan baru.


Lewat proses adaptasi inilah kita disuguhi sebuah perkembangan karakter yang menarik dan dipresentasikan oleh Tahar Rahim dengan luar biasa apik, mengingat filmografinya masihlah minim. Ketika pertama kali masuk penjara, dia mampu menampilkan wajah muda naif untuk kemudian secara perlahan berubah menjadi makin keras dan cerdas. Tidak munculnya ”hantu” korban pertamanya merupakan wujud dari transformasi kekejaman dalam diri Malik. Tak ada lagi rasa bersalah ketika dia harus mencabut nyawa orang lain. Peran Niels Arestrup sebagai César Luciani juga tidak bisa dianggap remeh. Niels Arestrup mampu menampilkan sosok gembong mafia yang disegani. Meski sudah dimakan usia, masih terlihat aura penguasa, dan bahkan masih bisa menghadirkan kekejaman. Melihat aksi Niels Arestrup, Gilasinema membayangkan, apa jadinya ya kalau karakter César Luciani ini bertemu dengan karakter yang diperankan Jack Nicholson dalam The Departed.


Gambaran kondisi penjara di A Prophet ternyata tidak jauh berbeda dengan penjara di Indonesia. Seorang kriminal besar ternyata lebih berpengaruh dibandingkan dengan para pengelola penjara, bahkan mereka juga punya kuasa terhadap mereka-mereka yang mempunyai kedudukan di luar penjara. Berkat dana yang melimpah dan para pengikut yang loyal nan kejam, seorang kriminal bisa mengendalikan semuanya dari dalam penjara. Yang membedakan dengan penjara di Indonesia, kondisi penjara yang dihadirkan di A Prophet terlihat lebih bersih dan fasilitasnya terlihat lebih komplet. Lewat A Prophet, kita juga bisa meyaksikan wajah lain dari orang keturunan Arab. Rasanya baru kali ini Gilasinema menyaksikan film produksi non-negara Arab yang menampilkan orang Arab sebagai seorang mafia. Jagoan lagi. Dalam kebanyakan film (Holly), orang Arab seringkali digambarkan kalau tidak sebagai teroris ya sebagai sosok yang taat beragama serta cenderung kaku dan picik.


Jacques Audiard, lewat A Prophet berhasil menyajikan sebuah sajian yang mengasyikkan. Tidak terlalu ringan, namun juga tidaklah terlalu memberatkan pikiran. Irama cerita berjalan cukup cepat, hingga durasi 2 jam lebih tidaklah terasa melelahkan. Sangat sayang untuk dilewatkan dan jadilah saksi aksi menawan dari Tahar Rahim yang wajahnya kadang mirip Antonio Banderas, kadang mirip Reza Rahadian. A Prophet merupakan salah satu film terbaik yang menggunakan setting penjara. 4/5


SANG NABI JUGA ADA DI :
KRITIK PENONTON
YUSAHRIZAL

Kamis, 06 Mei 2010

BOLLY DI TAHUN 2010 PART 1

Kamis, 06 Mei 2010 11

Akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 kemarin kita sempat dibuat heboh dengan kehadiran 2 film Bolly yakni 3 Idiots dan My Name is Khan. Bahkan, untuk My Name is Khan masih tayang di beberapa kota dan film ini menjadi film Bolly terlaris sepanjang masa untuk hasil dari peredarannya di seluruh dunia. Untuk hasil peredaran di India sendiri, 3 Idiots masih unggul dibandingkan My Name is Khan yang belum masuk 5 besar. Namun, setelah kehebohan 2 film tersebut, tampaknya Bolly kembali diacuhkan. Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi seputar film Bolly dari media yang berbahasa Indonesia. Kalau ditelusuri, kesuksesan 3 Idiots dan My Name is Khan juga bukan karena pemberitaan media, tapi lebih karena mulut ke mulut atau dari jejaring social di internet. Kalau boleh sombong, jauh sebelum 3 Idiots dirilis, Gilasinema sudah koar-koar di Facebook kalau film ini pantas untuk ditonton *gak penting*


Nah, buat mereka yang tidak anti film Bolly dan tertarik untuk mengkonsumsi film Bolly, Gilasinema mencoba membantu dengan menghadirkan beberapa film Bolly yang rasanya cukup pantas dikonsumsi. Mungkin tidak tayang disini, namun bisa dijadikan panduan berburu versi ora-nya hehehehe….Info ini mungkin terlambat, namun untungnya, sampai akhir April Kemarin, belum banyak film Bolly yang benar-benar booming, kecuali My Name Is Khan. Menunggu perkembangan Housefull yang langsung nangkring di posisi dua dalam best opening sepanjang masa di bawah 3 Idiots. Tanggal rilis merupakan waktu perilisan di Bolly sana dan ada kemungkinan mengalami perubahan.



BUM BUM BOLE ( 7 Mei 2010 )
Masih ingat dengan film Iran berjudul Children of Heaven? Film ini merupakan salah satu film favorit Gilasinema dan salah satu film keluarga terbaik yang pernah Gilasinema saksikan. Bum Bum Bole merupakan versi Bolly dari film Children of Heaven tersebut. Sudah menjadi rahasia umum kalau Bolly sering sekali mencomot ide film yang sudah jadi, dan piawai membuatnya menjadi jauh lebih dramatis. Judul film ini juga merujuk pada salah satu lagu di film hits Taare Zameen Par dimana pemeran utamanya juga berperan dalam Bum Bum Bole yakni Darsheel Safary. Melihat aksinya yang gemilang di Taare Zameen Par, membuat Gilasinema penasaran dengan film ini selain faktor Children of Heaven.


IT’S A WONDERFUL AFTERLIFE (7 Mei 2010 )
Kalau kamu terkesan dengan Bend it Like Beckham, rasanya film ini pantas ditunggu mengingat sutradaranya sama, Gurinder Chadha. Judulnya juga sangat menggelitik karena sedikit membelokkan salah satu judul film yang paling sering diputar di TV Amerika yakni What A Wonderful Life. Sally Hawkins yang tampil mengesankan di Happy-Go-Lucky kabarnya bakalan tampil didalamnya lho.


KITES (21 Mei 2010 )
Tahun ini tampaknya bakal menjadi tahunnya Hrithik Roshan dengan dirilisnya beberapa judul yang dia bintangi yang berpotensi mengeruk banyak keuntungan. Gilasinema sendiri sebenarnya bukanlah penggemar film-filmnya, mengingat dia sering berlebihan dalam memamerkan body kekarnya, namun biasanya film-film dia disambut heboh di Bolly sana. Apalagi, akhir-akhir ini dia terlihat pilih-pilih peran. Film yang dibuat dengan budget yang amat besar untuk ukuran Bolly ini rencananya bakal dirilis serentak di lebih dari 60 negara pada 21 Mei nanti! Bintang telenovela nan jelita, Barbara Mori, bakal menghadirkan sesuatu yang berbeda selain lanskap gurun di Meksiko. Ada kemungkinan film ini akan ada tarian, mengingat kemampuan menari Hrithik Roshan yang jauh diatas actor Bolly lainnya. Semoga kisahnya tidak lebay.


RAAJNEETI ( 4 Juni 2010 )
Katrina kaif yang amat cantik menjadi alasan mengapa Gilasinema merekomendasikan film ini, selain genre political thriller yang lumayan jarang disentuh. Kabarnya kisahnya didasarkan pada kisah Mahabarata namun dengan setting masa sekarang. Hmmm…cukup menjanjikan. Buat pecinta Arjun Rampal, film ini sayang untuk dilewatkan. Dan biasanya kehadiran Ajay Devgan bisa mendongkrak kualitas filmnya.


RAAVAN ( 18 Juni 2010 )
Kalau Raajneeti berlandaskan pada kisah Mahabarata, Raavan ini kabarnya berpondasikan kisah Ramayana. Yang menarik, Mani Ratman bakal menghadirkan twist yang pastinya membuat penasaran. Mani Ratman? Ini dia salah satu sutradara paling disegani di Bolly sana. Karyanya yang berjudul Nayagan,masuk TIME Magazine's All-Time 100 Greatest Movies. Dia juga yang membuat Dil Se dimana adegan tari dengan lagu Chaiyya Chaiyya di atas kereta api yang berjalan merupakan salah satu adegan tari paling dikenang. Bahkan, ada klip dangdut yang ikut-ikutan menghadirkan visualisasi menari di atas kereta api. Lewat Raavan, Mani Ratman kembali mengajak AR Rahman untuk menggarap musiknya. Untuk bintang utama, dipilih pasangan suami istri, Abhisek Bachchan dan Aiswarya Rai. WOW!!! Pantas ditunggu!!!


GUZAARISH ( 16 Juli 2010 )
Yeahh…salah satu sutradara Bolly favorit Gilasinema kembali merilis film. Sanjay Leela Bhansali selalu menghadirkan perpaduan warna yang menarik dalam film-filmnya. Lihat saja Hum Dil De Chuke Sanam dan Devdas Guzaarish ini bisa dibilang proyek unggulan, karena selain Bhansali, ada AR Rahman, Hrithik Roshan dan Aiswarya Rai. Sinergi keempatnya diharapkan menghasilkan sebuah film yang dahsyat. Chemistry Hrithik dan Aiswarya sudah teruji lewat Dhoom 2 dan Jodhaa Akbar yang super laris. Kabarnya keduanya bakal menyanyikan sebuah lagu. Dan kalau tidak keliru, kisahnya bakal mengangkat soal Euthanasia. Hmmm…The Sea Inside versi Bolly?


ACTION REPLAY (13 Agustus 2010 )
Film ini menghadirkan duo Vipul Shah dan Akhsay Kumar yang sebelumnya sukses gila-gilaan dengan Singh Is Kinng . Premis ceritanya sih sepertinya menghadirkan adegan aksi yang seru, seperti umumnya film dari Akhsay Kumar lainnya. Film ini bisa jadi kurang menarik mengingat Akhsay yang terlalu sering merilis film dengan kualitas yang tidak bisa menyenangkan kritikus film di Bolly sana. Semoga kehadiran Aiswarya Rai bisa memberi sentuhan yang lebih baik.

Selasa, 04 Mei 2010

VERTIGE

Selasa, 04 Mei 2010 4

Sekumpulan pemuda, 3 cowok dan 2 cewek, memutuskan mengisi liburan dengan melakukan pendakian di sebuah tebing di daerah Kroasia. Tanpa banyak basa-basi layaknya Opera van Java, kita diajak langsung menuju TKP dengan sedikit pengenalan karakter. Diantara lima pemuda tersebut, ada satu orang yang sebenarnya tidak mempunyai pengalaman dalam pemanjatan tebing. Keikutsertaannya lebih karena ceweknya suka dengan aktivitas tersebut dan si cewek kebetulan sedang dirundung trauma gara-gara salah satu pasiennya meninggal di depan matanya. Dan lagi, dalam pemanjatan tersebut ada mantan cowok si cewek yang tampaknya masih memendam rasa.


Meski sudah ada peringatan kalau lokasi pemanjatan sedang ditutup untuk perbaikan, mereka nekat meneruskan aksi mereka. Rintangan pertama bisa dilalui dengan cukup mulus, namun ketika sampai pada rintangan kedua, salah satu pemudi hampir celaka. Sampai disini, penonton sukses dicekam ketegangan dengan setting ketinggian yang membuat berdesir, serta tangan dan kaki menjadi basah. Masalah kemudian muncul ketika si amatir mulai mengalami kesulitan meneruskan perjalanan yang dampaknya bisa membahayakan keselamatn yang lain. Dua orang memisahkan diri untuk melakukan aksi penyelamatan. Tak disangka, hadir ancaman dalam bentuk lain yang siap merampas nyawa mereka berlima. Mampukah mereka bertahan dan selamat?


Premis kisahnya sedikit mengingatkan pada The Descent, bedanya kali ini nuansanya lebih cerah karena berada di atas tanah dan lebih banyak menyorot aksi kelima pemuda tadi di siang hari. Pendekatan ini mampu memberikan bonus tersendiri pada penonton dengan tampilan alam yang cukup indah. Bagi Gilasinema, adegan-adegan pemanjatan diawal menjanjikan sebuah tontonan yang segar dan menegangkan mengingat jarangnya film yang mengangkat soal pemanjatan tebing. Namun, ketika kelima tokoh tadi dipertemukan dengan satu makhluk gila, Vertige menjadi tontonan yang membosankan. Tiba-tiba saja film ini berbelok arah menuju kisah slasher yang klise. Ibaratnya, saat sudah siap melakukan penetrasi, ada orang yang mengetuk pintu. Gak jadi deh asyiknya.


Parahnya lagi, kesadisan yang dihadirkan sangatlah tanggung dan cenderung ”ramah”. Film ini makin membosankan ketika tak ada eksploitasi raga wanita pirang layaknya slasher kebanyakan, padahal ”potensi” yang dimiliki oleh salah satu pemainnya cukup menggoda. Statistik yang diungkap di akhir kisah juga mempunyai korelasi yang lemah dengan isi cerita. Gilasinema membayangkan, andai saja film ini lebih mengedepankan aksi pemanjatan tebing yang membahayakan, pasti film ini bakal jauh lebih menarik dan inovatif. Kehadiran makhluk gila sah-sah saja asal konsisten dalam penggambaran pemanjatan tebing. Membayangkan, kejar-kejaran sambil memanjat tebing yang tinggi saja sudah membuat hati berdesir. Sayang sekali....2/5
 
GILA SINEMA. Design by Pocket