Minggu, 23 Mei 2010
MAO’S LAST DANCER : CITA CINTA CUNXIN
Minggu, 23 Mei 2010
Once upon a time…inside a deep, dark well, there live a frog
This frog could only see the opening of the well.
One day, a toad arrived at the top of the well
The toad saw the frog and said to the frog
“Come up and have a look. The world up here is huge and bright”
Li Cunxin (Chi Cao) sejak kecil tidak pernah menyadari kalau dirinya mempunyai bakat menjadi seorang penari balet. Bahkan, ketika ditanya akan menjadi apa nantinya, dengan polos dan bangganya, bocah desa ini menjawab ingin menjadi tentara bagi Cina. Namun, di luar kuasanya, pintu demi pintu yang mengarahkannya untuk menjadi salah satu penari balet terbaik di dunia terbuka bagi dirinya. Tanpa mengetahui alasan yang sebenarnya, Li Cunxin terpilih untuk melakukan seleksi di Beijing dan berhasil menyisihkan buanyak anak lain. Selanjutnya, meski bukanlah yang terbaik, Li Cunxin terpilih untuk mewakili China dalam memperdalam balet di Amerika dan tinggal menunggu waktu untuk baginya menjadi seorang bintang.
Perjalanan Li Cunxin bukannya tanpa aral. Seperti halnya film dengan tema from zero to hero lainnya, sang tokoh utama harus melewati beberapa ujian. Dalam Mao’s Last Dancer, ujian terbesar yang menghampiri Li Cunxin hadir ketika dia harus melawan negaranya gara-gara jatuh cinta dengan cewek keturunan Amerika. Kisah cinta tersebut menjadi masalah besar mengingat perbedaan pandangan politik yang sangat kontras antara Cina dengan Amerika Serikat. Pilihan yang menghampiri Li Cunxin tidaklah mudah karena ada hubungannya dengan nasib orang tuanya yang lama tidak ditemuinya.
Menyaksikan film yang diangkat dari kisah orang kondang yang sukses kadang terasa sangat inspiratif, namun kalau tidak digarap dengan apik bisa-bisa malah akan terkesan biasa-biasa saja karena polanya sudah bisa ditebak. Sutradara Bruce Beresford yang sebelumnya membuat Double Joepardy dan Driving Miss Daisy, sayangnya mengemas Mao’s Last Dancer dengan biasa saja hingga filmnya terasa datar. Kisahnya sebenarnya mengandung potensi konflik yang cukup menjanjikan, mulai dari bagaimana usaha Li Cunxin agar bisa menari balet dengan bagus hingga persoalan politis yang menghadangnya.
Konflik batin Li Cunxin kurang tereskpos secara dramatis. Atau hal ini untuk menunjukkan kalau hidup harus jalan terus? Adegan penyanderaan Li Cunxin terkesan biasa-biasa saja dan proses “perlawanan’ Li Cunxin terhadap Negara asalnya juga terkesan kurang gigih. Kegagapan Li Cunxin yang harus hidup di Negara bebas setelah sebelumnya hidup dengan doktrin-doktrin sosialisme juga tidak disajikan secara mendalam. Dampaknya, penonton (saya) susah untuk ikut bersimpati pada beban berat yang menghampiri si tokoh utama. Rasanya kok kisah Li Cunxin jadi kurang menarik untuk dijadikan sebuah film.
Selain penampilan Chi Cao dan Bruce Greenwood, barisan cast pendukung bermain jauh dari kesan istimewa. Saya terkesan dengan penampilan Bruce Greenwood yang secara mengejutkan mampu tampil gemulai. Diluar tidak istimewanya film ini, untungnya kita bisa sedikit dimanjakan dengan sajian tarian balet dengan iringan musik cantik yang meski bisa dihadirkan dengan angle-angle yang lebih variatif, divisualkan dengan cukup memikat. Itupun kalau kamu bisa menikmati balet dan tidak terganggu dengan pria bercelana ketat. Tarian di bawah gunung di akhir film justru menjadi adegan termanis bagi saya. Salah satu pelajaran penting dari film ini adalah kadang kita butuh orang lain untuk membantu kita mengenali dan mengembangkan bakat kita. Jadi, jangan sia-siakan tawaran menarik yang menghampiri kita. Siapa tahu itu menjadi gerbang kesuksesan bagi kita kedepannya. Tentu saja harus juga diimbangi semangat juang yang tinggi dari diri kita sendiri serta keterbukaan dalam menerima hal-hal baru yang positif. 3,5/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar