Kamis, 16 Juli 2009
FILM DAN INSTITUSI RELIGI
Kamis, 16 Juli 2009
Senin (13/7) kemarin Gilasinema mendapati berita, Vatikan lewat surat kabarnya L'Osservatore Romano memberikan dukungan positif terhadap film Harry Potter and the Half-Blood Prince, yang dinilai “made the age-old debate over good vs. evil crystal clear.”
Dalam tahun ini, tidak cuma sekali Vatikan memberi dukungan sesaat sebelum sebuah film dirilis. Angels and Demons sebelumnya juga sempat mendapatkan sertifikat “aman” , bandingkan dengan reaksi keras yang muncul ketika The DaVinci Code dirilis.
Terus terang Gilasinema takjub dengan berita dukungan Vatikan atas seri ke-6 Harry Potter. Entah karena ada misi khusus atau mungkin karena “pendekatan” yang dilakukan oleh pihak produser, hingga Vatikan sampai mengeluarkan penilaian tersebut, mengingat banyak masalah lain yang lebih penting untuk dikomentari. Tidak bisa dipungkiri, hal tersebut sangat menguntungkan produser film dimaksud.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa film dianggap sebagai sebuah media yang sangat penting dalam penyebaran nilai-nilai yang bisa dianggap positif oleh beberapa kalangan meski juga bisa disikapi sebaliknya. Saking pentingnya, seringkali institusi religi mengeluarkan statement terhadap sebuah film. Harry Potter and the Half-Blood Prince mungkin dianggap sebagai sebuah karya penting mengingat dipastikan akan banyak para usia muda menyaksikan film tersebut.
Ingat dengan Ketika Cinta Bertasbih yang memasang promo berisi dukungan para ulama? Tahun sebelumnya, produser Ayat-Ayat Cinta menggandeng beberapa ulama untuk menambah kesan positif jualan mereka. Langkah ini terbukti ampuh dengan panjangnya antrian penonton kedua film tersebut. Siapa yang diuntungkan? Pak Produser yang senyumnya makin lebaaarrr….
Penilaian yang dikeluarkan sebuah institusi religi tidak semuanya positif, bahkan tak jarang bukannya pujian justru malah kecaman yang didapatkan. Dampaknya? Film bisa dilarang diputar atau malah makin menarik minat tonton karena penasaran dengan isinya. The Passion of the Christ dan The DaVinci Code bisa dijadikan contoh. Kecaman dari petinggi Yahudi tehadap The Passion of the Christ, bukannya membuat penonton menjauh justru malah menjadikan film tersebut sebagai film dengan rating R paling menguntungkan sepanjang sejarah perfilman Holly. The DaVinci Code juga berhasil mengeruk ratusan juta meski beberapa Negara melarang untukj memutarnya.
Di Indonesia, kasus serupa menimpa Perempuan Berkalung Surban. Film ini menuai kecaman dari beberapa ulama karena dianggap memberikan gambaran yang kurang tepat akan perempuan dalam Islam dan cenderung provokatif. Bahkan mereka yang terlibat di balik pembuatan film ini dianggap sebagai antek liberalisme (Amerika). Kecaman ini tampaknya malah menarik minat penonton. Terbukti angka 800.000 penonton bisa diraih, meski menurut produsernya belum balik modal (o ya?!).
Tanggapan dari institusi religi nyatanya juga bisa berdampak negative bagi “kehidupan” sebuah film. Ingat kasus yang menimpa Buruan Cium Gue yang sempat tersendat perilisannya karena statement yang dikeluarkan oleh Aa Gym. Tidak mewakili institusi religi mungkin, tapi dukungan terhadapnya tetaplah ada. Penilaian yang diberikan oleh institusi religi juga membuat film-film seperti True Lies, The Siege serta Prince of Egypt haram diputar di Indonesia. Kasus seperti ini tidak banyak terjadi di belahan Negara lain. Cek saja “List of banned films” di Wikipedia.
Positif ataupun negative tanggapan dari sebuah institusi religi, intinya tetap sama yakni film memegang peranan yang penting sebagai media dalam penyampaian sebuah pesan (meski heran Bruno dan Saw lumayan lancar meluncur). Ketika institusi religi sudah menyadari betapa besarnya kekuatan sebuah film, pemerintah tampaknya belum sadar-sadar juga. Hal ini terlihat dari minimnya dukungan bagi perfilman nasional, padahal film bisa dipergunakan sebagai media promosi dan juga sebagai benteng budaya. Gimana nih pak SBY, katanya akan mendorong industri kreatif?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar