Sabtu, 13 Juni 2009

GOOD

Sabtu, 13 Juni 2009


John Halder adalah seorang dosen yang juga merangkap penulis. Selain mengajar di kelas, dirumah dia disibukkan dengan mengurusi dua anaknya, karena kondisi istrinya yang tidak stabil. Ditambah kesabarannya mengurusi ibunya yang invalid, John Halder benar-benar seorang sosok yang baik hati. Semuanya berubah ketika dia menerbitkan sebuah karya yang controversial di jamannya, yakni mengangkat isu euthanasia.
Setelah penerbitan karyanya tersebut, John Halder didekati oleh partai yang saat itu sedang berkuasa, Nazi. Pada saat yang bersamaan dengan hal tersebut, hadir perempuan muda yang menggodanya, Anne (Jodie Whittaker). Berbagai fasilitas dan prestise yang menghampirinya sejak menjadi pengikut yang baik terhadap pemerintah yang berkuasa serta gairah perempuan muda, ternyata mampu membuat John Halder mengabaikan keluarganya. Kondisi ini mendapatkan kritikan keras dari sahabtanya yang seorang Yahudi, Maurice (Jason Isaacs). John Halder seakan gelap mata dan abai akan kenyataan yang ada, sampai dia mendapati aksi-aksi dari pemerintah (Nazi) yang tidak manusiawi serta membuat sahabatnya menjadi korban.
Nazi lagi!Nazi lagi! Tak terhitung sudah berapa banyak film bertema Nazi dibuat. Meski hadir dengan beragam tema dan sudut pandang, lama kelamaan yang timbul kebosanan. Ibarat orang makan, kalau terus disuapi ya lama-lama eneg. Untuk tahun 2009 ini saja (sampai Juni), Gilasinema telah menyaksikan beberapa film bertema Nazi. Mulai dari Defiance, The Reader, I Served the King of England hingga The Boy in the Stripped Pajamas.
Sudah bosan sebenarnya, hanya saja ketika mendapati nama Viggo Mortensen sebagai pemeran utama, rasa penasaran akan penampilannya mampu membuang rasa bosan tadi. Apalagi menjelang Oscar 2009 kemarin, beberapa kalangan menilai penampilan Viggo di film ini layak untuk dilirik oleh para juri. Benarkah? Tidak seperti yang diharapkan. Penampilan Viggo disini memang lain dari peran sebelumnya di History of a Violence atau Eastern Promises, karena karakternya digambarkan lebih soft dan educated., namun penampilannya disini terasa kurang greget, meski tidak bisa dibilang buruk. Justru Jason Isaacs yang mampu mencuri perhatian.

Mungkin ada pengaruh dari naskahnya yang kurang meyakinkan. Sebagai seorang terpelajar, aneh rasanya tokoh John Halder terlambat mengetahui sepak terjang Nazi. Naif, bodoh atau pura-pura buta tuli? Sebagai seorang akademis, rasanya keterpihakannya terasa terlalu cepat. Pertentangan batin yang dia rasakan juga kurang tergali. Hal ini membuat penonton sulit untuk bersimpati pada John Halder. Satu lagi yang mengganggu dari naskah yang diangkat dari naskah panggung olehan CP Taylor ini adalah minimnya ketegangan. Film terasa lempeng, bahkan ketika pencarian John Halder akan Maurice di camp konsentrasi pun jauh dari menegangkan.
Untungnya film ini sedikit terselamatkan dengan tema cerita yang tidak pernah usang, yakni masalah baik dan benar. Baik bagimu belum tentu baik bagiku. Benar bagimu belum tentu benar bagiku. Kalau kebaikan dan kebenaran yang muncul masih saja digugat dan diperdebatkan, berarti bukanlah sebuah kebaikan dan kebenaran yang hakiki, karena kebaikan dan kebenaran yang hakiki itu tidak bisa ditawar dan yang pasti tidak ada pihak yang dirugikan atau dirampas haknya.
Inilah yang tidak dipahami oleh John Halder. Entah karena kebodohannnya atau karena ingin keluar dari beban yang menghimpitnya, hingga dia tidak mampu melihat mana yang baik dan mana yang benar. Tokoh John Halder ini mengingatkan pada tokoh yang diperankan oleh Kate Winslet di The Reader. Namun dalam The Reader, sosok Hanna lebih bisa dimaafkan, karena dia digambarkan kurang terpelajar atau kurang pengetahuan.
Jangan bandingkan dengan karakter utama di I Served The King of England. Meski digambarkan pro Nazi, namun karena karakternya yang konyol dan benar-benar naïf, keterpihakannya tersebut justru terasa lucu, dan merupakan sebuah olok-olok yang cerdas (baca; sebuah parody). Apalagi penampilannya yang mirip Hitler ketika di pasangi kumis. Benar-benar menohok!
Berlabelkan GOOD, film garapan Vicente Amorim sayang sekali belum bisa menjadi sebuah good movie. Bagi yang bosan dengan film bertema Nazi, film ini bisa dilewatkan. Lebih baik tonton I Served the King of England saja yang lucu. Atau bersabar menunggu Inglorious Basterd-nya Quentin Tarantino. Namun kalau mengaku pecinta Viggo Mortensen, Good pastinya BAIK untuk ditonton. 3/5

5 komentar:

nothing mengatakan...

menarik. cuman kayane angel ki ngolek filme nang malang...

gilasinema mengatakan...

Mas Wahyuuu....makasih wis mampir

hakimicture mengatakan...

Wah lama enggak kasih komentar nih mas, baru sembuh dari demam. Ngeliat nama Jason Isaacs, pasti nih film bukan film mayor studio. Soalnya tuh orang -enggak jelas alasannya- dimusuhin studio-studio besar Hollywood (kecuali untuk ngelanjutin peran di seri Harry Potter mungkin). Di Amerika sendiri filmnya jeblok (cuma dapat sekitar US$24 ribu)dan dapat pujian yang enggak begitu hebat. Sayang ya ...

gilasinema mengatakan...

Selamat semubuh dan kembali ke dunia maya hehehe...
Jason Isaacs dimusuhin? Wah sayang sekali, aktingnya oke lho. Jebloknya film mungkin ada faktorJason tadi Ya, jadi pada males ngejual film ini. Kasihan ...

Anonim mengatakan...

What the rash on my weapons system as I was maniacally pulling up my sleeves and exit to townsfolk
on my wrists. In the lag, my lips are still burning, Itch,
cloves are without any doubtfulness a great dwelling
house remedy that has been in use for a tenacious metre to avail men and women who receive impetigo.

What is Impetigo moldiness be deliberate with
the infected areas. Crusts demand to be distant by washup the menudo presentan m�ltiples parches de
imp�tigo.

my web blog: picture of rashes

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket