Jumat, 19 Juni 2009
HOME
Jumat, 19 Juni 2009
Film dibuka dengan penjelasan ilmiah bagaimana kehidupan dihadirkan ke bumi. Glenn Close sebagai narrator (untuk versi Spanyol menggunakan suara Salma Hayek) berulang kali menegaskan betapa semua yang ada didalam bumi ini mempunyai satu keterkaitan yang erat, yang apabila salah satu ada yang goyah akan menganggu keseimbangan yang ada. Air, tanah dan gas mempunyai kaitan yang erat hingga kalau digambarkan akan menciptakan sebuah lingkaran. Yang namanya lingkaran, tidak ada awal dan tidak ada akhir, kecuali ada tangan jahil yang memutusnya.
Keseimbangan yang telah ada, menjadi terganggu ketika manusia dihadirkan ke bumi. Meski mempunyai sejarah yang jauh lebih singkat dibandingkan sejarah pembentukan bumi, manusia dengan AKALnya ternyata mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan alam. Dimulai dari pola hidup berburu dan berpindah-pindah tempat, beralih menetap dengan membuka lahan pertanian hingga ditemukannya sumber daya alam mineral (minyak, batubara dan sebagainya) yang revolusioner, yang membuat manusia lebih mudah dan giat mengeksploitasi apa yang terkandung didalamnya.
Masalahnya perubahan yang ada terlalu cepat untuk dikuti oleh alam, hingga alam tidak berkesempatan meremajakan dirinya. Manusia yang mengelola alampun sayangnya tidak mengimbanginya dengan perilaku balas budi, yang ada malah manusia semakin maruk dan serakah. Tak pelak keseimbanganpun terganggu, dan kalau tidak segera dilakukan langkah-langkah penyelamatan oleh semua pihak, kehancuran “rumah” hanya tinggal menunggu waktu.
Seperti kebanyakan film documenter mengenai alam lainnya (Earth misalnya), Home menyajikan gambar-gambar yang menggugah mata. Sutradara Yann Arthus-Bertrand banyak menyajikan gambar yang diambil dari udara. Sineas satu ini memang dikenal piawai dengan pengambilan gambar di udara. Pendekatan ini berhasil menampilkan lanskap mengagumkan dan menempatkan manusia sebagai sosok kecil layaknya rayap, yang sedikit demi sedikit menggerogti rumah tempat tinggalnya yang harusnya dirawat.
Pada beberapa bagian, film terkesan sangat anti dengan modernisasi, karena dinilai sebagai faktor pemicu cepatnya kerusakan alam yang terjadi. Penemuan mesin dan system perdagangan yang dianut, bukannya menekan biaya produksi, yang terjadi sebenarnya malah makin menguras apa yang terkandung dalam perut bumi. Belum lagi hasilnya yang hanya dinikmati segelintir orang, makin membuat apa yang seharusnya dilihat sebagai kemajuan, justru merupakan sebuah kemunduran yang destruktif. Manusia yang didukung ilmu pengetahuan, justru terlihat bodoh karenanya.
Bumi tempat manusia tinggal belumlah dilihat dan dipahami oleh penghuninya sebagai sebuah rumah. Tempat dimana mereka yang tinggal didalamnya peduli terhadap tempat mereka bernaung karena adanya kesadaran untuk merawatnya, hingga kemungkinan untuk roboh bisa dihindari. Karena kalau sampai rumah kita roboh, entah apa yang menimpa kita selanjutnya.
Yang menggelitik Gilasinema, film yang melibatkan lebih dari 40 negara ini (Indonesia difasilitasi oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya), pada kenyataannya di dukung oleh Pinault-Printemps-Redoute (PPR) yang bermarkas di Paris sono. PPR ini merupakan perusahaan multi nasional yang banyak bergerak di usaha retail, distribusi kendaraan dan barang-barang bermerek ternama (Yves Saint Laurent, Sergio Rossi, Boucheron, Bottega Veneta, Alexander McQueen , Stella McCartney , Balenciaga hingga Puma).
Ironis, karena beberapa usaha tersebut sangat mendorong perilaku konsumtif. Jangan-jangan film ini dibuat oleh kaum kapitalis dengan tujuan menggugah mereka yang peduli akan keseimbangan alam untuk segera bertindak, hingga mereka bisa ongkang-ongkang menghitung dolar yang berhasil diraup. Sudah terbiasa menerapkan prinsip ekonomi, dengan modal tidak begitu besar ($12 juta budget film ini) untuk mendapatkan hasil maksimal, plus bonus citra “produk peduli alam”. Ini sekedar “what if…” lho.. (curiga mulu bawaaanya hehehe..)
Namun optimisme wajib kita pelihara dan diaplikasikan dalam perbuatan nyata. Bisa kita mulai dengan hal-hal kecil seperti meminimalisir penggunaan materi yang sulit didaur ulang hingga menerapkan pola hidup sederhana (susah lho hidup sederhana di dunia yang makin menggoda ini). Atau mungkin bisa dimulai dengan menyaksikan film yang diproduseri Luc Besson ini dengan mengajak kerabat atau orang disekitar kita yang masih belia. 4/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ini bukan film bioskop 'kan ? Wah, kalo film Home ini sampean curigai sebagai alat PPR tadi, mending beli bajakannya aja dan ambil pesan filmnya. Kayaknya jadi menjamur deh film-film soal global warming begini semenjak filmnya Al Gore itu (kayaknya ya ?...)Tapi, melihat judul filmnya, saya jadi malah inget lagu -lagu yang berjudul sama ...malah pas lagi ngetik komentar ini saya lagi mendendangkannya ...^O^.
Di Jakarta diputer di bioskop tertentu. Bayar lagi hehehe...
Posting Komentar