Jumat, 12 Juni 2009
THE CLASS ( ENTRE LES MURS )
Jumat, 12 Juni 2009
Setelah saling memperkenalkan diri di ruang guru serta membahas beberapa murid yang perlu mendapatkan pendekatan khusus, François Marin (François Bégaudeau) memasuki ruang kelas dimana didalamnya banyak terdapat kaum pendatang yang umumnya masuk masyarakat kelas menegah ke bawah. Awalnya kita melihat François layaknya guru biasa yang banyak aturan dan komplain akan perilaku para siswa. Namun penilaian tersebut langsung berubah ketika ada murid yang menanyakan orientasi seksualnya! Dengan tanpa berlebihan, François meladeni hal tersebut.
Selanjutnya sepanjang durasi film, kita disuguhi interaksi François dengan para muridnya. Seakan tidak ada jarak antara guru dan murid. Gaya berpakaian para guru yang tidak mengintimidasi seperti yang bisa ditimbulkan oleh seragam guru di Indonesia, makin memperpendek jarak tersebut. Oleh François, murid dia tempatkan hampir sejajar dan memperlakukan mereka layaknya teman diskusi. Hampir sejajar disini maksudnya adalah para siswa diberi kebebasan dalam mengungkapkan apa yang ada di kepala mereka, namun ketika perilaku mereka dirasa mulai di luar jalur, apalagi sampai melakukan tindakan anarkis, François mulai turun tangan menuntun ke jalur yang semestinya. Ibarat pak kusir yang sedang bekerja gitu hehehe…
Dan tentu saja dengan majemuknya latar belakang para murid, gesekan wajar terjadi. Disinilah guru ditantang untuk mencari sebuah solusi yang idealnya demi kebaikan murid walau kadang terasa berat dan juga belum tentu terbaik bagi murid tersebut. Guru dalam film ini memang tidak terlalu diposisikan sebagai pihak penyelesai masalah. Guru (François) lebih memposisikan dirinya sebagai pembuka wawasan. Jadi guru tidak menghakimi pola pikir dan perilaku murid tapi menuntun murid untuk berpikir lebih logis.
Selain lingkungan rumah, sekolah merupakan salah satu tempat penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah bisa dibilang sebagai rumah kedua tempat bersosialisasi serta tempat transfer ilmu sebagai bekal menjalani hidup kedepannya. Fungsi pendidikan idelanya tidak dibebankan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Butuh kerjasama dari orang tua murid. Karenanya François perlu mengundang orang tua murid demi lebih mengenal siswanya.
Kepedulian yang ditunjukkan oleh guru dalam film ini terasa menyentuh dan inspiratif meski terkesan utopis. Sama seperti belahan Negara lainnya, bahkan di Negara sebesar Perancis sekalipun, gaji guru bisa dibilang pas-pasan. Namun dalam film ini, ditengah keterbatasan ekonomi, para guru menggalang dana ketika ada orang tua murid yang terancam dideportasi.
Guru dalam The Class tidak digambarkan sebagai sosok sempurna karena guru juga manusia. Begitupun dengan François yang “terpeleset, setelah di 2/3 durasi digambarkan sebagai sosok guru ideal. Kesalahan François meski tidak mendapatkan tindakan serius dari Komite Sekolah, sebenarnya telah mendapatkan hukuman dengan turunnya kredibilitas dan wibawa di mata anak didiknya, meski mungkin untuk sementara waktu. Pada adegan lain, ketidaksempurnaan guru digambarkan ketika salah satu guru merasa frustasi dengan perilaku muridnya.
The Class benar-benar mengajak penonton untuk melihat sebuah dunia kecil berbentuk kotak bernama KELAS. Entre les murs kalo diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti “Between the Walls”. Dunia dimana guru dan murid seakan terperangkap dalam sebuah ruangan (dalam film sekolah kadang terlihat seperti penjara) dan masing-masing pihak dituntut untuk berperilaku sesuai peran dan status masing-masing. Khusus untuk guru, kehidupan pribadi sengaja tidak digali seakan menegaskan kalau di sekolah ya tugas mereka mengajar.
Demi keakuratan gambar di tengah keterbatasan ruang, sutradara Laurent Cantet menempatkan 3 kamera di sudut-sudut tertentu. Satu kamera khusus menangkap gerak-gerik François, satu kamera menyorot perilaku siswa, sedang kamera satunya lagi “bertugas” menangkap momen-momen tak terduga. Berkat pendekatan ini The Class menjadi sebuah tontonan yang dinamis dan memikat. Applaus untuk Robin Campillo sang editor. Ruang yang terbatas ternyata tidak menghalangi hadirnya sebuah cerita yang menarik. Untuk mengurangi kebosanan mata, selain pemilihan warna yang cermat (kostum dan setting), diselipkan gambar-gambar yang menyoroti aktivitas murid saat istirahat
Kamera-kamera tadi seakan mewakili mata penonton hingga menjadikan The Class sebagai suguhan yang terasa nyata. Menyaksikan The Class tak beda jauh dengan melihat sebuah film documenter. Pendekatan ini mirip dengan yang ditunjukkan dalam American Teen. Hal ini diperkuat dengan sebagian besar karakter yang memerankan dirinya sendiri, kecuali untuk karakter Souliman ( Franck Keita ) dan Khoumba (Rachel Régulier). Kedua karakter ini tampaknya sengaja dihadirkan demi menambah unsure drama supaya film tidak jadi membosankan.
Dan dijamin The Class jauh dari membosankan. Ketika film menyoroti kasus yang menimpa Soulaiman, penonton dibuat cemas dan gemas akan nasibnya, hingga berharap semoga keputusan yang diambil merupakan keputusan yang terbaik. Beberapa kelucuan juga hadir, terutama lewat perkataan lugas para murid, yang membuat film menjadi lebih segar. Paling senang ketika ada seorang murid yang mempresentasikan apa yang dia suka dan yang dia benci, karena salah satu yang dia benci adalah Materazzi. I HATE MATERAZZI!!!
Apa yang dihadirkan dalam The Class mungkin bukan gambaran paling ideal akan sebuah kelas. Namun tidak bisa dipungkiri (terutama Gilasinema), suasana kelas yang digambarkan The Class sangat menyenangkan. Siapa sih yang tidak suka kalau gurunya seperti François yang begitu demokratis, yang membuka kesempatan untuk saling tukar pikiran dan berusaha melihat sisi positf dari muridnya hingga membangun semangat dan harapan. Yang merasa sedih bukan karena muridnya mendapatkan nilai buruk, tapi ketika ada muridnya yang berkata “aku (merasa) tidak mendapatkan apa-apa”. Oouugh….! 4,5/5
NB : sebenarnya banyak sekali yang ingin Gilasinema “tumpahkan” disini, karena The Class sangat-sangat menarik untuk dibedah. Jadi kangen suasana apresiasi film jaman kuliah hehehe…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
13 komentar:
ini film pengen saya nonton banget!! tapi gak ketemu2 dvd nya... mau download pun lama bgt. setelah ngeliat review mas gilasinema jadi tambah penasaran nih hehe
Udah nonton tp bingung mau bikin resensinya.
Tulisan reviewnya ngepas bang gil, mantap.
Adegan aku benci Materazzi bikin aku mau ketawa ngakak, pas banget momennya.
Ngomong2 sulit nyari guru model Francois di Indonesia. terlalu "bebas", hehehe.....
@fariz : dari hasil perjalanan pencarian film ini di Jogya dan Solo, harusnya film ini dah mudah ditemukan di kota-kota laen.
@yusahrizal : kok mantap terus Bang, jadi malu hehehe...Aku malah bingung mo bikin reviu Departures :)
Guru kayak Francois mungkin cuman ada di sekolah-seklah internasional ya? Jadi ingat sama guru SMA yang aku benci banget. Hanya kasih nilai bagus sama mereka yang ambil les. HUH!!!
scene yg paling saya inget waktu muridnya nanya sambil malu2, apakah si francois gay..hehe
tapi itu anak2 emg kritis2 ya...kalo saya jadi guru udh mewek kali tuh depan kelas..hahah
akhirnya mas setelah saya cari2 ketemu jg dvd nya haha ditaro mba2nya di belakang2 sih jadi susah deh ketemunya
waduh pengen nonton!!!!!
Hahahaha... mudah2an di bali udah ada nih dvdnya!!!
@fariz : tuh mbaknya tega bener :)
@awya : kalo di Bali gak ada, cari kesini aja sambil liburan hehehe
dimana nih.............. kok gag ketemu nyri2 dvd nya.........
huhu...kLo gaq disuruh dosen, gaq bakaL tau nih yg namanya fiLm The CLass!! FiLmnya..kereeennnnn
Dosennya keren tuh. Kalo di Gilasinema masuk tag TERBAIK, dijamin filmnya memang keren deh (narsis hehehe....)
ada yang bisa ngasi tau dimana bisa nemuin tuh film???aku lagi butuh banget buat bahan skripsi...
tolong info ya...ni no. hape aku...0852 9910 0727
a/n riry
downloadnya di mana ya? ada yg punya link-nya?
Toko baju profesi anak jual baju profesi anak guru baju pilot anak kustum anak profesi baju polisi anak
Posting Komentar