Sabtu, 02 Mei 2009
JAMILA DAN SANG PRESIDEN
Sabtu, 02 Mei 2009
“Hahahaha…..sekarang saya dibungkan hanya karena berbeda?”
Entah kutukan apa yang menyelimuti hidup Jamila (Atiqah Hasiholan). Waktu kecil dirinya dijual oleh ayah kandungnya, sebelum akhirnya diselamatkan oleh ibunya. Jamila kemudian ditipkan ibunya kepada kerabatnya. Bukannya mendapatkan afeksi, edukasi dan proteksi, di situ Jamila malah mendapatkan pelecehan seksual yang mendorongnya untuk kabur ditengah kondisi hamil, hingga dia mengalami keguguran.
Belum cukup sampai disitu penderitaan Jamila. Dia juga nyaris diperkosa oleh orang yang menampungnya, hingga akhirnya jalan hidupnya mempertemukan dirinya dengan Susi (Ria Irawan yang seperti biasa fasih bergenit ria dan misuh-misuh) seorang pelacur. Selanjutnya, Jamila mulai berkubang di dunia “hitam” tersebut. Dan karena kecantikan serta kepintarannya, Jamila digambarkan termasuk pelacur yang punya kelas hingga mempertemukannya dengan menteri muda Nurdin (Adjie Pangestu, kenapa sih harus dia?). Hubungannya dengan Nurdin yang berpengaruh, ternyata malah mengarahkan Jamila ke arah kematian. Jamila divonis mati oleh pengadilan karena terbukti membunuh Nurdin, yang nota bene seorang pejabat Negara.
Tentu saja kisah yang dihadirkan dalam Jamila dan Sang Presiden dituturkan secara linear seperti gambaran diatas. Dengan gaya bertutur maju mundur, Ratna Sarumpaet selaku sutradara, produser sekaligus penulis cerita mengurai secara perlahan-lahan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Jamila. Dalam kisah tadi, diselipkan banyak gugatan mengenai nasib para mereka yang termarjinalkan (perempuan).
Gugatan paling keras memang ditujukan kepada system yang membuat perempuan diposisikan sebagai komoditas belaka. Perjualan anak dan perempuan (human trafficking) makin marak, padahal aturan yang berkaitan dengan hal tersebut sudah ada. Kenapa gagal membendung kejahatan tersebut? Karena tidak ada ketegasan dari para aparatnya, yang membuat hukum kehilangan taringnya. Belum lagi indikasi keterlibatan oknum-oknum berpengaruh yang serakah.
Jamila bisa dibilang merupakan korban dari system yang ada. Apa yang dialami oleh Jamila dan perempuan-perempuan kurang beruntung lainnya merupakan akibat dari gagalnya pemerintah mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan selalu memunculkan kriminalitas. Kemiskinan seringkali tidak bisa diminimalisir karena kebodohan yang menjangkiti masyarakat. Kebodohan timbul karena system pendidikan yang diterapkan seringkali tidak tepat dan makin mahal. Jaman makin maju, namun pendidikan bukannya makin murah, justru makin tidak ramah, terutama untuk murid yang dianggap kurang mampu (secara financial dan otak).
Jamila juga merupakan korban dari system, dimana para lelaki masih sangat dominant, baik dari segi jumlah (pelaku) maupun dari segi peran. Perempuan belum dipandang sebagai mitra setaraf, hingga kadang mereka tidak dimanusiakan. Namun tidak bisa semuanya disalahkan kepada para lelaki, karena pada kenyataannya banyak perempuan yang juga berperan dalam “penjerumusan” kaum mereka sendiri. Agama yang sebenarnya menganjurkan menghargai perempuan di tempat terbaik, justru banyak disalah tafsirkan. Agama bukannya membebaskan justru digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan perempuan.
Sungguh banyak sekali gugatan yang ingin disampaikan oleh Ratna Sarumpaet dalam Jamila dan Sang Presiden ini. Dampaknya, film ini menjadi sebuah tontonan yang tajam dan kritis. Sisi negatifnya, karena terlalu banyaknya “teriakan” yang ingin disampaikan, membuat Jamila dan Sang Presiden terkesan cerewet dan menggurui. Kesan ini makin menguat karena Ratna Sarumpaet terlalu “rajin” menggunakan bahasa verbal dalam menyuarakan protesnya. Simak saja dialog Jamila dan Pak Kyai (Nizar Zulmi). Protes pada akhirnya menjadi khotbah menjemukan.
Hal ini bisa dimaklumi, karena naskah asli film ini yang berupa naskah panggung. Namun dengan media yang berbeda, harusnya Ratna menggunakan pendekatan yang berbeda pula. Aksen teatrikal masih sangat kuat dalam film ini, terutama dalam hal naskah dan acting para pemainnya (dua hal ini memang saling terkait). Dan tampaknya Ratna terlalu setia dengan materi aslinya. Akibatnya konflik yang dihadirkan cenderung datar dan membosankan. Dari 5 orang yang menonton film ini, 2 orang sudah keluar sebelum film berjalan separuh! Sayang sekali, padahal Ratna mempunyai modal cerita yang amat kaya dan mempunyai potensi menjadi tontonan yang “menggedor” (nurani dan rasa).
Kesalahan terbesar dari cerita Jamila dan Sang Presiden menurut Gilasinema adalah lemahnya motif yang mendasari Jamila menghabisi nyawa Nurdin. Ketika sepanjang durasi kita disuguhi protes-protes akan bobroknya system yang ada dan nasib perempuan yang memprihatinkan, tiba-tiba semua dimentahkan oleh alasan sakit hati karena dikhianati kekasih tercinta! Rasanya seperti, berjalan diatas jembatan yang sedang dibangun, tiba-tiba jembatan runtuh karena ada kesalahan pada salah satu tiang penyangganya. BRUK!!!
Gilasinema membayangkan, kalau saja si Nurdin ini merupakan bagian dari pelaku human trafficking dan ada kaitannya dengan hilangnya Halimah (adik Jamila), tentu kisah yang dihadirkan akan lebih tajam konfliknya (ini sekedar imajinasi lho).
Dari segi pemain, Atiqah mampu memberikan penampilan terbaiknya. Dia mampu mengimbangi acting dari Christine Hakim. Adegan dua aktris beda usia tersebut di dapur sangat memikat. Atiqah pada beberapa scene juga cuaaantiiik sekali. Yang sedikit mengherankan, kenapa harus dibutuhkan 2 aktris dalam memerankan Jamila di usia tanggung (remaja). Christine Hakim dengan porsi yang terbatas, terlihat berusaha tampil maksimal. Sayang sekali hubungan antara Jamila dan Surya (Surya Saputra) serta Ibrahim (Dwi Sasono) kurang digarap lebih dalam, hingga penampilan dua actor muda tadi kurang tergali.
Perasaan cinta Ibrahim kepada Jamila porsinya terlalu sedikit hingga kurang meyakinkan. Untungnya Dwi Sasono dan Atiqah menampilkan ekspresi meyakinkan pada adegan perpisahan hingga terasa menyentuh. Poin plus patut diberikan kepada Ria Irawan yang membuat film menjadi lebih cair. Ajie Pangestu? Bisa diganti sih, namun kayaknya ini wujud kompromi Ratna dengan Pak Raam deh.
Satu hal yang menarik dari rilisnya Jamila dan Sang Presiden ini, yakni membuktikan bahwa seni merupakan salah satu media yang ampuh dan efektif dalam menyampaikan gugatan (protes). Hanya saja mungkin harus lebih dipikirkan dalam hal pengolahannya, agar mampu menyajikan sebuah tontonan yang memikat. Kalau audiens sudah terpikat, insya allah pesan yang ingin disampaikan bisa sampai ke sasaran. Kedepan, film semacam ini diharapkan akan selalu diproduksi. 3,25/5
NB: sempat ketar-ketir film ini tidak diputar, karena sampai jam tayang kuota minimal penonton belum terpenuhi (2 orang). Untung akhirnya terkumpul 5 penonton, meski kemudian yang 2 orang keluar ketika film belum genap 1 jam. Penonton Indonesia parah tenan!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
10 komentar:
hehe...itu ada ceritanya bro.
Aktris yang satu lagi dibawa ortunya ke amrik sehingga tidak bisa meneruskan suting makanya diganti ama orang lain.
:)
3,25 dari 5?
wuih sepertinya menarik nih...
emank pengen nonton sih...
se-boring apa kalau dibandingin sama may?
@bang mupi: pantes, tapi kok kontraknya lunak banget ya
@timothy: temanya yang menarik dan keberanian Ratna mengangkat isu sensitif patut diapresiasi. Sayang sekali sampai sekarang belum ada kesempatan liat May, jadi ya tidak bisa membandingkan
baru mau nonton nih. eh udah keduluan kamu :p
penonton kita payah ya, seleranya pocong... gimana film indonesia mau maju...
wah ini review yg aku tunggu2.... baru liat trailernya di showbiz cinema wkt ini lsg tertarik.
3'25/5... rasa2nya patut ditonton nih.
yup bener! selera penonton indonesia emang parah..pocong sama kuntilanak beranak itu jadi tontonan wajibnya.
duh jadi takut nih kalo film ini masuk bali, secara minimal yg nonton harus 6 orang, wkt pintu terlarang saja nyari penontonnya susah amat...
argh!
saya udah nonton...di Braga 21, bioskop udah kek bioskop pribadi aja...soalnya yg nonton cuma saya sama temen2 aja...hehehe
saya agak cape' nontonnya mas...bahkan sempet ngantuk juga...
tapi overall bagus siy, walaupun ga spesial..:D
garuk2 ga asik liat pilm ini.
pesan tergambar dan terverba jelas, sayang konsepna kemasan yg ndak jelas.
mau pilm yg teaterikal ato pilm madani. mau dikemas kelam, atau drama doku..
masak yg akting teater/panggung cuma Atikah..
yg lain ya akting pilm, bukan panggung.
jamila jadi tergambar sbg pesakitan di film ini.
jomplang...(smg pada tau maksud saya, kasarnya atika jadi berlebihan, Jamila dg tingkah seperti itu akan diasumsikan gila dan diperiksa dr jiwa, terapi, atau jeblosin rsj.. lain cerita. eh ingat adegan ogah terima telfon dari ibrahim no more, terus buang smartphonenya via jendela taxi? hahahahahahahahahahaaaaaa)
apalagi skenario pilm ini tak mengijinkan penonton utk kuat bersama jamila.
kisahnya bersama sang menteri melencengkan larik yg diteriakkan film, bukan lagi kisah pelacur karena kemiskinan. tapi kisah pelacur karena gaya hidup.. ini bukan sekedar persepsi saya sbg penonton tapi tersampaikan jelas oleh si Susi.. jamila (yg digambarkan jadi pekerja x dg segmen elit) bahagia dg manjaan hartabenda pak menteri!!! yah kalo mo ngeles sih emang jadi pelacur karena miskin hati.. yaah langsung terbetotlah si simpati, ga ada excuse utk miskin ati..
duuh maksaa..
Perpisahan dg Ibrahim terlalu kuat utk sebuah hubungan yg penggambarannya ndak jelas...
ya semoga raam ga berenti mencuba utk proyek yg baginya idealis.
proyek terdahulu, a.l. belahan jiwa ceritanya sebenarnya sudah kasi harapan sbg drama psikologi...
@ semua review & Awya : Yup, penonton Indonesia memang masih harus ditingkatkan lagi tingkat apresiasinya :) Temenku kemaren misuh-misuh liat Janda Kolong Wewe (atau apalah judulnya itu)
Di Bali yang rame minimal 6 orang?
@anonim (siapa sih?) : kayaknya kita punya penilaian yang sama nih tentang film ini. Hubungan cinta antara Nurdin dan Jamila memang menganggu banget.
Paling berkesan memang adegan jamila buang blackberry nya hahahaha...
Pada gak mengerti yang Nurdin dan Jamila yah?
Jadi, Jamila sudah banyak melihat hal-hal yang kasar. Dia sudah menjadi skeptis. Tetapi kemudian muncul Nurdin yang memunculkan harapan bagi Jamila untuk kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, Nurdin ternyata setali tiga uang dengan laki-laki yang lain.
Itu sebabnya, Jamila meminta dihukum mati.
Itu sebabnya, Jamila menolak Ibrahim.
Jamila sudah tak bisa mempercayai laki-laki manapun.
Raam Punjabi tidak punya pengalaman dengan film idealis, berbeda dengan Nia Dinata dan Mira Lesmana yang bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan demi memoles skenario. Kayaknya dia cuma ngangguk-ngangguk doang waktu diminta Ratna Sarumpaet.
Jadi kesalahan bukan pada Raam Punjabi melainkan pada Ratna Sarumpaet.
Kalo soal itu sih paham banget. Cuman gak bisa terima saja hal tersebut sebagai faktor pemicu Jamila memilih dihukum mati setelah sebelumnya banyak berkhotbah.
Raam memang mungkin tidak salah dalam soal skenario, tapi kayaknya sih cukup berpengaruh dalam pemilihan pemain yang sayangnya agak kurang pas. Tapi makasih banget buat Pak Raam yang membuat film ini bisa diputar hampir serentak di Indonesia berkat pengaruhnya di dunia perbioskopan
Posting Komentar