Senin, 18 Mei 2009

QUIET CHAOS (CAOS CALMO)

Senin, 18 Mei 2009


“Rats live on no evil star”

Pietro (Nanni Moretti) mendapati istrinya meninggal dunia setelah sebelumnya dia berhasil menyelamatkan seorang perempuan yang nyaris tenggelam diseret ombak di pantai. Peristiwa yang sangat kontradiktif ini sangat memukul Pietro, yang merasa dirinya lalai mengawasi istrinya. Maish untung baginya, karena masih ada anaknya, Claudia (Blu Di Martino) disisinya yang terlihat lebih tegar menerima kepergian ibunya.
Tidak mau kejadian yang sama terulang kepada anaknya, Pietro memutuskan memberikan seluruh waktunya disisi Claudia. Pietro mengurus dan mengantar Claudia kesekolah. Bahkan Pietro menungguinya sampai kelas berakhir. Lho, bukannya Pietro harus bekerja? Berkat posisinya yang kuat, Pietro bisa memantau pekerjaannya lewat ponsel. Bahkan beberapa rekan kerja malah datang menyambanginya di taman depan sekolah Claudia.
Tanpa disadari Pietro, di taman tersebut seperti terbentuk sebuah dunia kecil baru, dimana orang-orang yang bersinggungan dalam kehidupannya hadir silih berganti. Mulai dari rekan kerja, hingga adik perempuan mendiang istrinya yang labil. Mereka hadir, bukannya untuk meringankan beban Pietro justru merecokinya dengan keluhan demi keluhan, yang membuat Pietro tak beda dengan tempat sampah. Padahal, dalam beberapa adegan, digambarkan betapa merana dan kesepiannya Pietro. Hanya adiknya, Carlo (Alessandro Gassman), yang bisa memahaminya.
Pietro juga menjalin hubungan dengan orang-orang yang rutin berada di sekitar taman tersebut. Seorang anak berkebutuhan khusus bersama ibunya yang tiap melintas selalu menantikan suara alarm mobil Pietro, pria pemilik kafe dan juga gadis yang mengajak anjingnya berjalan-jalan di taman tersebut. Bahkan seorang pria paruh baya yang tinggal di dekat taman, mengundangnya untuk sekedar “nge-teh” bersama.
Bagi penggemar cerita yang disajikan cepat dan meledak-ledak, Quiet Chaos arahan Antonio Luigi Grimaldi akan terasa menjemukan. Film yang diangkat dari buku karangan Sandro Veronesi ini mengalir pelan dan minim letupan konflik. Namun, persinggungan Pietro dan karakter lainnya berhasil disajikan secara menarik oleh Antonio Luigi Grimaldi. Antonio berhasil menahan penonton, dengan membuat penasaran, apa yang pada akhirnya bisa membuat Pietro berdamai dengan dirinya sendiri.
Tidak digambarkan dengan gamblang memang, namun dari rangkaian adegan penonton bisa menyimpulkannya sendiri. Dalam hidup, apa yang telah terjadi tidak bisa kita putar kembali. Apa yang telah terjadi tidak bisa dihindari dan tidak cukup disikapi dengan penyesalan. Berbeda dengan sebuah kata/kalimat, ada yang bisa dibaca terbalik tanpa menimbulkan sebuah kata/kalimat baru (reversible), namun ada kata/kalimat yang tidak bisa dibaca ketika kita membaliknya (irreversible). Perhatikan kalimat pembuka diatas.
Yang bisa dilakukan manusia hanya berusaha untuk terus melangkah maju, dengan menyikapi apa yang telah terjadi sebagai pelajaran berharga agar hal yang sama tidak terulang lagi, bahkan menjadikan kita pribadi yang lebih baik dan lebih kuat (hmmm…mudah sekali mengutarakan hal ini hehehehe). Semuanya tentu membutuhkan proses yang seringkali tidak mudah, bahkan menyakitkan. Menimbulkan kekacauan dalam diri (quiet chaos), yang sering tidak bisa dilihat oleh orang luar. Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Film ini sangat tertolong dengan pergerakan kamera yang cukup lincah serta editing rapi yang didukung blocking pemain yang diatur sedemikian rupa. Terutama adegan di taman. Meski film ini berhasil menyabet penghargaan dalam penataan musik di David di Donatello Awards (Oscar-nya Italia), namun dimasukkannya lagu Cigarettes dan Chocolate Milk-nya Rufus Wainwright kok terasa kurang match (lagunya sih enak).
Dari segi cerita, rasa-rasanya gambaran Pietro dengan pekerjaannya porsinya terlalu besar. Belum lagi dimasukkannya konsep Trinity. Andai saja sutradara lebih intensif menggambarkan perkembangan hubungan Pietro dengan orang-orang baru yang dikenalnya di taman, kemungkinan film akan lebih indah dan menyentuh. Seperti ending film ini yang melegakan. Ah…jadi kepikiran menghadirkan cerita “LELAKI DI TAMAN”.
Entah untuk alasan apa sutradara menghadirkan adegan panas membara antara Pietro dengan perempuan yang dia tolong. Memang cukup “membangkitkan” sih, meski keduanya sudah tidak segar lagi. Tapi tetap saja memunculkan pertanyaan, memang perlu ya menghadirkan adegan tersebut. Namun secara keseluruhan, film ini sayang sekali dilewatkan, apalagi dengan penampilan khusus dari Roman Polanski menjelang akhir film. 3,5/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket