Rabu, 16 September 2009
BRUNO
Rabu, 16 September 2009
3
Selain menghadirkan tokoh Borat, Da Ali G Show yang merupakan kreasi dari Sacha Baron Cohen, menghadirkan karakter bernama Bruno. Pada tahun 2006 kita telah dibuat shock dengan polah tingkah Borat lewat Borat: Cultural Learnings of America for Make Benefit Glorious Nation of Kazakhstan, kini Bruno hadir dalam durasi panjang dengan konten yang jauh lebih mengejutkan dan membuat penonton mengelus dada sepanjang durasi.
Bruno adalah seorang Austria dengan profesi sebagai reporter fashion sebuah acara televisi. Karena berbagai aksi yang dia lakukan, dia dilarang meliput berbagai acara pamer busana yang tentu saja membuatnya ditendang dari stasiun TV tempat acaranya ditayangkan. Hal ini bukannya menjatuhkannya, justru menumbuhkan tekadnya untuk menembus USA (baca : Hollywood). Didampingi oleh asisten dari asistennya yang mencintainya, Lutz (Gustaf Hammarsten), Bruno menuju Los Angeles dengan niat menjadi orang kondang layaknya Hitler!
Ada beberapa langkah yang dia tempuh untuk mewujudkan impiannya tersebut. Langkah awal tentu saja mencari agen yang bisa menjualnya. Seterusnya dia mencoba terkenal dengan ikut dalam sebuah seri TV, mencoba membuat talk show yang membuat Paula Abdul ngibrit, menjadi duta perdamaian dengan menengahi perundingan Israel – Palestina, menjalani misi kemanusiaan dengan mengadopsi anak Afrika mengikuti jejak Madonna dan Angelina Jolie, hingga berniat menjebak anggota Konggres demi sebuah sex tape layaknya Paris Hilton.
Segala jalan yang dia tempuh tersebut selalu mengalami kegagalan. Ya, iyalah! Dengan perilakunya yang dipandang amoral dan bodoh, mana ada pihak yang mau mengontraknya. Belum lagi dengan orientasi seksualnya yang masih dipandang “minus” di dunia Hollywood, meski banyak dari mereka yang mungkin berorientasi sama dengan Bruno.
Di tengah keterpurukannya, Bruno mendapatkan fakta menarik mengapa Tom Cruise, Kevin Spacey dan John Travolta bisa kondang, yakni bahwa ketiganya bukanlah beraliran Homo, tapi Hetero. Setelah kesadaran ini Bruno mengikuti program-program demi mengganti orientasi seksualnya, dipandu dua orang Gay Converter (sebuah profesi yang aneh).
Bruno mencoba lebih jantan dengan mengikuti pelatihan martial arts dengan memberikan kasus yang aneh-aneh, mencoba pelatihan militer meski harus dibentak karena tampilannya yang terlalu gaya hingga mengikuti outdoor activity dengan berburu bersama sekumpulan pria macho. Puncaknya, Bruno ikut dalam sebuah swinger sex party, yang membuatnya dipaksa melayani seorang cewek, yang tentu saja membuat Bruno lari terbirit-birit.
Sungguh, Bruno bukanlah sebuah tontonan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan karena muatan seksualnya yang banyak sekali. Borat juga menghadirkan hal yang sama, namun Bruno menghadirkannya dengan lebih simultan dan kasar, karena memang fokusnya mengenai orientasi seksual. Berbagai gaya bercinta dengan aneka sex toys yang aneh-aneh yang dipraktekkan Bruno di awal film sukses membuat mengelus dada sambil berucap “Masya Allah!”. Penampakan genital dan aktivitas seksual juga lumayan mengejutkan meski sudah di blok atau di blur sekalipun.
Namun bagi mereka yang berpikiran terbuka, Bruno bisa menjadi alternative tontonan yang lucu dan menghibur. Didalamnya juga menghadirkan beberapa sindiran yang lumayan nylekit, seperti sindiran Bruno terhadap cara yang ditempuh para selebriti biar tetap eksis dan bagaimana para orang tua rela melakukan apa saja untuk membuat anaknya kondang. Ditampilkannya Tom Cruise, Kevin Spacey dan John Travolta sebagai selebriti “lurus” yang kondang juga terasa nyinyir mengingat ketiganya pernah diberitakan sebagai pecinta sesama jenis.
Yang terutama, Bruno mencoba menghadirkan kisah olok-olok bagaimana phobianya kebanyakan orang terhadap para kaum Homo. Bagaimana sikap kebanyakan orang terhadap kaum homo tergambar dengan baiknya lewat reaksi yang muncul ketika terjadi “pergulatan” antara Bruno dan Lutz ditengah-tengah arena gulat. Kursi dan botol minuman yang melayang ke tengah arena dan juga umpatan hinaan sekan menegaskan betapa miringnya pandangan kebanyakan orang terhadap mereka yang homo.
Bruno ternyata tidak hanya menghadirkan momen-momen jorok dan kasar. Kehadiran bayi Afrika memberikan sentuhan lain ditengah-tengah rentetan perilaku Bruno yang “abnormal”. Lihat saja bagaimana bayi tersebut didatangkan dengan dibungkus kardus bertuliskan “Fragile”. Sebuah penggambaran yang cerdas. Adegan ketika bayi Afrika tersebut dirampas dari Bruno lumayan mengharukan dan seakan merupakan statement pribadi dari Sacha Baron Cohen akan kecintaannya pada anak-anak.
Sekali lagi, Bruno bukanlah tontonan untuk semua kalangan, jadi sangat disarankan menerima Bruno dengan pikiran terbuka, dan tak perlu menghujat isi di dalamnya dengan kalimat "worse than cancer". Percuma hehehe…Dan lagi, Sacha Baron Cohen di akhir film memberikan bonus manis dengan merangkul musisi-musisi hebat seperti Bono, Elton John, Chris Martin, Snoop Dogg, Sting dan Slash menyanyikan sebuah lagu bersama-sama yang liriknya membuat Bono mengernyit. 3/5
Senin, 14 September 2009
THE BOAT THAT ROCKED
Senin, 14 September 2009
0
Bermasalah dengan sekolahnya, Carl (Tom Sturridge), dikirim oleh ibunya ke sebuah kapal dimana ayah walinya Quentin (Bill Nighy), mengelola sebuah radio. Bukan sembarang radio, karena selain keberadaannya yang tidak lazim, di tengah lautan, Radio Rock beroperasi diera dimana jenis musik masih dibatasi oleh pihak yang berkuasa, dalam hal ini diwakili oleh Dormandy, (Kenneth Branagh) dan “rekannya” Twatt (Jack Davenport). Keduanya digambarkan sibuk memerangi keberadaan Radio Rock yang gemar memutar jenis musik pop dan rock and roll.
Keresahan pihak pemerintah tidak hanya pada jenis musik yang diputar, tetapi juga disebabkan oleh beberapa disc jockey yang dianggap kelewatan. Melalui Carl yang lugu dan perjaka, kita diperkenalkan pada para penyiar seperti The Count (Philip Seymour Hoffman), Angus (Rhys Darby), Dave (Nick Frost) yang berperilaku seolah dirinya sex machine dalam balutan tubuh tambun, Midnight Mark (Tom Wisdom) yang irit omong yang justru digilai para kaum hawa dan ada Smooth Bob (Ralph Brown) yang keberadaanya sering tidak disadari. Hadir juga penyiar dengan perilaku normal, Simon (Chris O'Dowd).
Selain para penyiar, dikapal mesum tersebut juga ada beberapa karakter lainnya, seperti Felicity (Katherine Parkinson) si tukang masak pengemar sesama jenis kelamin, Harold (Ike Hamilton) dan Thick Kevin (Tom Brooke) yang selalu gagal mendapatkan cewek. Karakter yang meriah tadi masih ditambah lagi dengan kehadiran Gavin (Rhys Ifans) yang digambarkan seorang DJ legendaries.
Dengan banyaknya karakter yang dihadirkan, dan ditingkahi dengan musik yang melimpah ruah, The Boat That Rocked menjadi sebuah tontonan yang amat sangat meriah dan berisik. Cerita mengalir dengan amat sangat lancar dan cepat, seakan tidak menyisakan ruang bagi penontonnya untuk bernapas. Cerita berkembang dengan liar dan kurang focus. Kadang, yang ada malah rentetan adegan demi adegan yang kesannya sekedar untuk seru-seruan. Ketidaknyambungan cerita mungkin saja disebabkan penyuntingan akibat cerita awalnya yang mencapai lebih dari 3 jam.
Karakter utama dari film arahan Richard Curtis memang Radio Rock itu sendiri yang menghasilkan aksi berupa musik yang membuat jengah pihak yang berkuasa. Akibatnya, dengan barisan cast yang amat sangat banyak, tidak ada karakter yang bisa tampil menonjol, bahkan ada beberapa yang cenderung numpang lewat sekedar menyemarakkan suasana.
Sebagaimana film olahan sutradara yang sebelumnya menghasilkan film dengan penuh cinta semacam Four Wedddings and A Funeral, Notting Hill hingga Love Actually, Richard Curtis tidak lupa menyelipkan berbagai macam jenis cinta, mulai dari cinta yang dilandaskan nafsu, cinta pada pandangan pertama hingga cinta seorang anak pada ayahnya. Namun yang paling menonjol adalah kecintaan pada musik.
Saking cintanya pada musik, Richard Curtis menjadi amat sangat kedodoran dalam usahanya menghadirkan sebuah cerita yang bulat. Kalau diumpamakan, The Boat That Rocked pada akhirnya menghasilkan sebuah bentuk yang tidak karuan (liar). Terlihat sekali Richard Curtis diperbudak oleh musik. Dengan modal awal sekitar 200 lagu, Richard Curtis dengan serakahnya mencomot lebih dari 50 lagu untuk menghasilkan kisah musikal layaknya Mamma Mia atau Across the Universe.
Masalahnya, dua film tadi dihasilkan dari pabrik yang sama, hingga mempunyai jiwa dan benang merah yang jelas. Berbeda dengan The Boat That Rocked yang menyajikan musik dari beragam musisi. Musik-musiknya memang ok dan fresh layaknya film-film Richard Custis sebelumnya, namun jadinya malah terkesan dipaksakan.
The Boat That Rocked juga semakin terasa kurang memuaskan karena hadiinya beberapa hal yang sudah ada sebelumnya, hingga penonton seakan mengalami déjà vu. Penempatan sosok muda di sebuah kelompok dengan perilaku rock and roll tidak beda dengan Almost Famous. Plot cerita yang mempertentangkan pihak pemerintah dan penentang arus mengingatkan pada St. Trinian’s. Pertentangan tokoh Amerika dan Inggris, mengulang pertentangan Hugh Grant dan Billy Bob Thornton di Love Actually. Ratapan lipsync dari Simon, sudah kita lihat sebelumnya di Bridget Jones’s Diary.
Pada akhirnya, The Boat That Rocked bisa diumpamakan layaknya sayur dengan kadar bumbu yang berlebihan. Too tasty. Masih bisa dinimati sih, tapi hanya sekedar untuk seru-seruan, terutama dengan hadirnya dialog mesum dan beberapa adult content. Dengan kemeriahan yang dihadirkan (terutama endingnya yang gila-gilaan), The Boat That Rocked terasa sangat ringan dan menghibur. Sebuah tontonan yang patut dipilih untuk melepas kepenatan.
Bagi mereka yang mencintai musik era 1960-an, The Boat That Rocked menjadi tontonan yang amat sayang untuk dilewatkan, Kuping kita bakal dimanjakan dengan hadirnya musik-musik asyik olahan band/penyanyi keren macam The Beach Boys, The Who, Jimi Hendrix, Otis Redding, The Supremes, Cat Stevens, Dusty Springfield, David Bowie hingga Duffy. Sebuah tontonan yang merayakan musik. 3,25/5
Senin, 07 September 2009
GOODBYE SOLO
Senin, 07 September 2009
6
Ramin Bahrani disebut-sebut Roger Ebert sebagai “new great American director." Selain itu, Screen Internasional juga mentasbihkan pria berusia 34 tahun ini sebagai salah satu "US Stars of Tomorrow". Filmography-nya mungkin memang belum banyak, namun semua karyanya dipuji sebagai karya berkualitas. Namun, nama yang satu ini mungkin masih terdengar asing, bahkan oleh para penggila sekalipun. Karya-karyanya memang jauh dari kesan komersil, salah satunya adalah Goodbye Solo ini.
Tidak seperti Collateral-nya Jamie Fox dan Tom Cruise, Tanpa basa-basi, kita langsung diperkenalkan seorang sopir taksi, Solo (Souleymane Sy Savane) dan penumpangnya, William (Red West). Penumpang paruh baya menawarkan sebuah kerja sama kepada Solo dengan bayaran yang sangat menggiurkan, yakni Solo harus menjemput dan mengantarnya pada tanggal yang telah ditetapkan, dan Solo tidak harus menjemput setelahnya.
Dari adegan awal ini, terdapat satu adegan yang sangat kuat dan menohok. Ketika Solo terus berbicara yang membuat William sebal dengan keberisikan tersebut, William menawarkan sejumlah uang yang langsung membuat Solo terdiam. Adegan ini seakan menggambarkan, materi (uang) bisa membeli apapun, termasuk kediaman. Untungnya adegan selanjutnya mementahkan penilaian ini.
Dari sini kita sudah diajak untuk melihat semacam kontra karakter dari keduanya. Solo yang berasal dari Senegal mempunyai karakter yang jauh lebih ramah dan hangat dibandingkan dengan William yang terkesan angkuh dan dingin serta membenci basa-basi. Solo yang mempunyai banyak relasi dengan manusia yang lain dihadapkan dengan William yang cenderung menarik diri dari kehidupan social.
Tawaran dari William tadi, meski bayarannya sangat menggiurkan, membangkitkan rasa penasaran sekaligus kekhawatiran pada diri Solo. Jangan-jangan orang tua ini berniat untuk mengakhiri hidupnya. Menuruti perasaannya, Solo berusaha “menyelamatkan” William dengan mendekatkan diri dengan William dan membawa masuk William ke dalam hidupnya. Anak tirinya yang cerdas, Alex (Diana Franco Galindo) juga dia libatkan dalam misinya tersebut.
Dan ketika istrinya Quiera (Carmen Leyva) yang sedang hamil tua mengusirnya gara-gara aksinya tersebut serta ketidaksukaan akan obsesi Solo menjadi pramugara, Solo memaksa untuk tinggal di motel tempat William menginap. William yang anti social awalnya menolak hal tersebut namun karena Solo yang sangat persuasive (baca:banyak omong), William terpaksa menerimanya.
Jangan harapkan hubungan keduanya menjadi membaik layaknya Jack Nicholson dan Morgan Freeman di The Bucket List. Memang William sempat bisa menerima kehadiran Solo, namun gara-gara tidak bisa mentolerir sikap Solo yang dia anggap sudah melewati batas, William mengusir Solo dan membatalkan kerja sama yang dia tawarkan di awal pertemuan.
Solo yang masih merasa bertanggung jawab “menyelamatkan” William, ngotot ingin mengantar ke tempat yang ingin William tuju. Tempat yang dikenal dengan nama “Blowing Rocks”, dimana benda yang kita lemparkan akan dipantulkan oleh angin ke atas. Ketika hari yang ditentukan telah tiba, dengan mengajak Alex, Solo mengantarkan William ke tempat tersebut, dan Solo akhirnya bisa merelakan pilihan hidup William setelah membaca coretan dari William. Apakah benar William akan mengakhiri hidupnya?
Goodbye Solo merupakan salah satu film yang tidak menawarkan solusi. Penonton dipaksa untuk menyimpulkan sendiri inti cerita ditulis oleh Ramin Bahrani dan Bahareh Azimi ini. Bahkan penonton dibiarkan untuk menyimpulkan sendiri apa yang berkecamuk dalam diri Solo lewat ekspresi wajahnya di penghujung cerita dan apa sebenarnya yang dilakukan oleh William.
Goodbye Solo dengan kesederhanaan cerita dan visual menyimpan banyak sekali tafsiran. Salah satunya adalah dengan dihadirkannya tiga karakter beda usia / generasi. Alex yang paling muda seakan dimaksudkan untuk menggambarkan generasi yang menyimpan banyak potensi yang seringkali tidak disadari oleh para orang tua. Solo berada di usia dimana dia harus menghadapi kenyataan mimpi-mimpinya harus rontok mengahadapi kenyataan. Sedangkan William merupakan generasi yang merasakan banyak pengalaman hidup, terutama penolakan dan kegagalan yang mengguratkan kelelahan dalam wajahnya.
Lewat film ini kita juga bisa menyimpulkan bahwa perbuatan baik itu belum tentu benar. Seperti yang dialami oleh Solo yang terlihat terlalu keras menawarkan kebaikan terhadap William. Bagi sebagian penonton, Solo ini mungkin dilihat sebagai sosok yang ramah, hangat, sekaligus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap manusia lainya. Namun, bagi sebagian penonton, Solo bisa jadi merupakan sosok yang cerewet, suka ikut campur urusan orang dan menyebalkan. Pada akhirnya, Solo harus menerima bahwa segala sesuatunya punya jalannya sendiri-sendiri.
Setelah melihat filmnya, apakah Ramin Bahrani memang pantas ditasbihkan sebagai “new great American director."? Sah-sah saja rasanya, meski Glasinema lebih memilih Jason Reitman. Namun akan ada baiknya bagi sutradara yang gemar menampilkan banyak etnis difilmnya ini untuk menggarap film yang lebih nge-pop, mengajak bintang yang punya nama dan menggandeng studio yang lumayan lebih kondang. Buat yang menyukai tontonan semacam The Visitor, Goodbye Solo yang diberi rating 4/4 oleh Ebert ini bisa dijadikan tambahan referensi. (3/75/5)
Jumat, 04 September 2009
STATE OF PLAY
Jumat, 04 September 2009
3
Adegan pembuka State of Play mengingatkan ketika kita
membaca sebuah novel criminal. Seorang pria berlari menembus malam, mencoba menghindar dari pemburu yang bakal mencabut nyawanya. Malang benar nasib orang itu
ketika usahanya tetap berbuah kematiannya. Seorang pengantar pizza yang melihat kejadian itu menjadi ikut menjadi korban.
Selanjutnya, dilain watu dan dilain tempat seorang perempuan bernama Sonia Baker meninggal terlintas kereta api dan diduga banyak orang sebagai aksi bunuh diri. Sonia ini ternyata merupakan staf dari anggota konggres, Stephen Collins (Ben Affleck). Belakangan diketahui, Sonia mempunyai hubungan khusus dengan atasannya tersebut. Tentu saja kejadian ini mengancam posisi Stephen, karena telah mempunyai istri, Anne Collins (Robin Wright Penn).
Stephen yang tengah kalut mendatangi temannya yang seorang wartawan, Cal McAffrey (Russel Crowe), untuk menjernihkan suasana. Kebetulan Cal sedang menyelidiki kasus pembunuhan yang melibatkan pengantar pizza. Dalam perkembangannya, Cal mendapati kasus yang dia hadapi ternyata melibatkan perusahaan jasa keamanan besar, PointCorp, yang bisa menyeret orang-orang penting di pemerintahan.
Dibantu asistennya yang masih minim pengalaman, Della Frye (Rachel McAdams), Cal mulai mengurai benang kusut, meski harus berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin. Namun masalah menjadi pelik baginya, ketika muncul konflik kepentingan. Disatu sisi dia mencoba membantu temannya, disisi lain dia dikejar dead line oleh atasannya (diperankan Helen Mirren). Belum lagi kehadiran Anne yang dulu sempat menjalin cinta dengannya.
Dalam durasi hampir dua jam penuh, sutradara Kevin MacDonald (The Last King of Scotland) meramu State of Play menjadi tontonan yang padat dan bergerak cepat. Butuh konsentrasi lebih untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, terutama dalam persoalan PointCorp. Beberapa ketegangan dihadirkan dengan cukup memikat untuk menaikkan tensi, terutama adegan di tempat parker. Sayangnya ending yang diharapkan menjadi kejutan, bisa mudah ditebak oleh mereka yang biasa mengkonsumsi tontonan sejenis. Dan rasanya, ending yang dipilih terasa terlalu datar dan mudah.
Selama menyaksikan State of Play, muncul pemikiran, ini film bakalan jauh lebih menarik kalau dijadikan serial TV semacam Damages. Apalagi kalau cerita berfokus pada Cal dan Della, Layaknya Glenn Close dan Rose Byrne di Damages. Dan ternyata, State of Play ini diadaptasi dari seri TV dengan judul sama yang ditayangkan di BBC Inggris. Trio penulis naskah, Matthew Michael Carnahan (Lions for Lambs), Billy Ray (Breach, Flightplan) dan Tony Gilroy (tau dong karya-karyanya) terlihat berusaha keras memeras tontonan 6 seri menjadi tayangan padat selama 2 jam. Akibatnya beberapa bagian terasa terlalu cepat dihadirkan, seperti peran polisi yang cuma hadir tidak sampai dua scene.
Untungnya film ini tetap tidak boleh dilewatkan karena menghadirkan bintang-bintang top. Russel Crowe meski dengan rambut gondrong dan wajah “kotor” yang membuat tidak bergairah, mampu bermain cantik, yang bisa diimbangi dengan manis oleh Rachel McAdams. Khusus untuk Rachel, perannya disini menjadi sebuah transformasi menuju peran-peran yang lebih menantang. Helen Mirren masih sempat menunjukkan kematangannya meski dengan porsi terbatas.
Sedangkan Ben Affleck terlihat aman meski sekali lagi malas bermain dengan bahasa tubuh yang lebih kaya. Andai saja Edward Norton tidak mengikuti Brad Pitt yang mundur dari proyek ini, rasanya karakter Stephen bakal lebih menggigit. Namun dari semua pemeran yang ada, entah mengapa Gilasinema sangat menyukai kehadiran Robin Wright Penn yang terlihat cantik dan berkarakter. Kapan ya dia dapat peran yang pas yang bisa membawanya bersaing di Oscar. State of Play versi TV diarahkan oleh David Yates dan dibintangi bintang-bintang beken dari Inggris seperti David Morrissey, John Simm, Kelly Macdonald, Polly Walker, Bill Nighy, Philip Glenister dan James McAvoy. (3,5/5)
Bagi yang akhir-akhir ini mengikuti berita dunia (USA), State of Play menjadi sebuah tontonan yang actual, yakni kaitannya dengan terangkatnya aksi penyiksaan terhadap tahanan yang dijalankan oleh militer USA. Aksi ini disinyalir melibatkan sebuah perusahaan jasa keamanan, Blackwater (sekarang berganti nama menjadi Xe Services). PointCorp yang dijadikan isu dalam State of Play disebut-sebut merujuk pada Blackwater ini, dimana Dick Cheney dan Donald Rumsfeld terkait didalamnya. Dalam sebuah adegan PointCorp, diceritakan mempunyai peran besar dalam penanggulangan korban badai Katrina, parallel dengan peran Blackwater pasca bencana tersebut.
Pemerintah USA (CIA) membuat kontrak dengan perusahaan ini dengan tugas antara lain menyingkirkan “musuh” USA, terutama di wilayah (Negara) yang tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan USA. Teroris bisa dikategorikan dalam kelompok ini. Selain itu, Blackwater mengklaim bisa menjatuhkan atau mendukung orang kuat di Negara lain. Sudah kayak CIA saja, atau malah lebih hebat?
Dalam penerawangan Gilasinema (adooooh….), perusahaan semacam Blackwater ini kedepannya akan makin banyak bermunculan, terutama oleh para pemilik modal besar, yang membuat keberadaan militer seakan tak ada artinya. Sebuah hal yang mengkhawatirkan karena siapa dengan modal melimpah bisa mengontrol keadaan (kecenderungan ini sudah mulai tampak dengan banyaknya pengusaha yang terjun di dunia politik). Takutnya hal ini bisa menciptakan situasi layaknya ketika gangster/mafia/yakuza atau apalah namanya menjalankan sebuah bisnis, yang menuntut upaya pengembangan dan eksistensi dengan cara-cara kekerasan.
Buat yang tertarik dengan film bertema perusahaan jasa keamanan (security service), film Blackline: The Beirut Contract rasanya patut ditungggu. Bukan dihasilkan dari studio besar memang dan dibintangi actor-aktris tidak terkenal, tapi menariknya bakal dibuat menjadi tiga seri (trilogy). Film ini disutradarai oleh Christian Johnston.
Rabu, 02 September 2009
GIGANTIC
Rabu, 02 September 2009
7
Ternyata ada yang melebihi keunggulan Angelina Jolie dan Madonna dalam hal urusan mengadopsi anak dari luar USA. Orang itu adalah, Brian
Weathersby (Paul Dano). Di usia yang belum genap kepala tiga, Brian sudah memutuskan untuk mengadopsi anak yang berasal dari Cina. Selain itu, Brian lebih unggul dari dua wanita hebat tadi, karena niat adopsi tadi merupakan impian masa kecilnya.
Brian yang seorang penjual kasur ini suatu hari bertemu dengan Al Lolly (John Goodman) yang sedang mencari kasur terbaik untuk mengurangi masalah pinggang yang menderanya. Pertemuan dengan Al tersebut membawa Brian berkenalan dengan putri Al, Harriet / Happy (Zooey Deschanel). Berbeda dengan Brian yang dibesarkan dalam keluarga harmonis, meski eksentrik, Happy mempunyai latar belakang keluarga yang berantakan.
Namun demikian, Happy terlihat mempunyai kepribadian yang jauh lebih cerah dibandingkan Brian yang digambarkan hidup diantara realita dan khayalan. Bahkan Brian menciptakan sosok yang selalu menguntit dan mengincarnya dengan perilaku anarkis (diperankan Zach Galifianakis yang bermain di The Hangover). Mudah ditebak, dua insane beda latar belakang dan karakter tadi terlibat dalam hubungan penuh cinta, terutama setelah Happy bicara blak-blakan soal hubungan intim.
Sesuatu yang terlihat seperti masalah muncul ketika Happy mengetahui niat Brian mengadopsi anak dan terlihat kurang tertarik membawa hubungan yang mereka jalin ke arah yang lebih serius. Apalagi Brian digambarkan lebih focus terhadap impiannya terhadap bayi Cina ketimbang memantapkan hubungannya dengan Happy. Menghadapi situasi ini, Happy memutuskan untuk ke Eropa untuk meneruskan studinya, sebelum pada akhirnya sesuatu hal membatalkan niatnya tersebut.
Gigantic mengingatkan kita pada film-film indie yang sempat mampir di Festival Film Sundance. Alur yang lambat, minimnya pemain dan musik latar yang kadang menghadirkan aura sunyi serta bermodalkan cerita yang tidak lazim. Ketidaklaziman cerita kadang mampu memberikan sebuah pengalaman tersendiri pada penontonnya. Namun ketidaklaziman tersebut tak ayal terasa menganggu. Begitulah yang dirasakan oleh Gilasinema mengenai Gigantic yang diarahkan oleh Matt Aselton ini.
Cerita yang digulirkan terasa kurang mempunyai pondasi yang kuat. Gilasinema menangkap kesan, cerita yang ditulis oleh Matt Aselton dan Adam Nagata ditawarkan (atau dipaksakan?) kepada penonton sebagai sesuatu yang alamiah. Seperti udara yang dihirup. Tak ada penjelasan yang meyakinkan mengenai motif Brian mengadopsi anak dari Cina, tidak dijelaskan pula mengapa Brian seakan mencampuradukkan imaji dan realita. Bahkan dengan jailnya, penulis cerita menyodorkan adegan Brian keracunan jamur ketika mengalami halusinasi. Hadirnya gelandangan yang anarkis makin terasa membingungkan.
Namun bukan berarti Gigantic merupakan film yang buruk. Terima kasih buat kepiawaian Matt Aselton menghadirkan rangkaian gambar yang terasa sejuk dimata. Ini dampak dari pemilihan warna serta tempat yang apik. Terdapat beberapa adegan yang memilih penggambaran tidak biasa seperti percakapan Happy dengan ibu Brian atau ketika Happy menelepon ibunya.
Penampilan Paul Dano dan Zooey Deschanel cukup aman, meski tidak istimewa. Salut buat Paul Dano yang sudah berani “nyambi” sebagai Produser Eksekutif. Namun ada baiknya dia terlibat dalam film-film yang sedikit lebih cerah dan komersil. Matt Aselton berpotensi menghasilkan karya yang lebih baik, andai saja dia dibekali dengan naskah yang lebih matang dan riil.
Dalam pemahaman Gilasinema, Gigantic menekankan pada pentingnya keluarga inti yang utuh (ayah, ibu dan anak). Banyak hal besar tumbuh dari keluarga yang dibina dengan baik. Selaras dengan tagline dari film ini “When it comes to family and relationships, there are no small surprises.” Bagi pecinta film, Gigantic patut dipilih sebagai tontonan alternative. 2,75/5
PREPARE FOR THIS HANGOVER GUYS
Selain Bradley Cooper, ada dua bintang lagi yang bakal rajin hadir di dunia perfilman Holly, paling tidak hingga dua tahun kedepan. Keduanya adalah Zach Galifianakis dan Ken Jeong. Sama-sama berbekal fisik yang jauh dari menarik, namun dengan keunikan masing-masing, siap-siap saja kita dibuat “teler” oleh aksi-aksi mereka.
ZACK GALIFIANAKIS
Seperti kebanyakan comedian, sosok tambun berusia 40 tahun ini memulai karirnya lewat stand-up comedy sebelum akhirnya masuk ke televisi. Filmografinya masih bisa dihitung dengan jari. Sebelum tampil di The Hangover, dia sempat nimbrung di Into the Wild dan What Happens in Vegas, tapi kayaknya penampilannya kurang meninggalkan kesan. Gilasinema sendiri kesulitan mengingat sosoknya di dua film tadi, padahal dengan tampilan jenggot lebat sebagai cirri khasnya, harusnya wajahnya mudah diingat.
Tahun 2009 tampaknya menjadi awal kepopuleran dirinya, terutama sejak sukses luar biasa yang diraih The Hangover, dengan merilis banyak film (data dari IMDB). Menjadi gelandangan hobi yang memukuli Paul Dano di Gigantic (penampilannya disini benar-benar seperti gelandangan), mengisi suara di G Force, tampil di Little Fish, Strange Pond bersama Alec Baldwin, memeriahkan Rogue's Gallery yang juga menampilkan Ving Rhames, Maggie Q dan Jeffrey Tambor, serta mendampingi Michael Cera di Youth in Revolt.
Tahun 2010, Zach Galifianakis mempunyai dua proyek yang sangat berpotensi mengeruk dolar. Todd Phillips kembali mengarahkannya dalam Due Date mendampingi Robert Downey Jr. Premis certanya lumayan menjanjikan sesuatu yang seru. Selain itu, untuk konsumsi summer 2010, Zach Galifianakis akan kembali beraksi gila-gilaan dan kali ini dia akan mendapat teman Paul Rudd dan Steve Carrel dalam film yang disutradarai oleh Jay Roach, Dinner for Schmucks. Kalau tidak ada kendala, tahun 2011 dia akan kembali teler di The Hangover 2.
Menurut Gilasinema, Zach Galifianakis bisa menjadi ancaman bagi Jack Black. Sama-sama bertubuh cembung, keduanya sering di beri sosok dengan karakter jorok, tengil dan usil. Satu lagi persamaan keduanya, yakni sama-sama bisa berkarir di bidang musik meski dengan suara yang tidak bisa dibilang merdu. Sekedar informasi, Zach Galifianakis pernah terlibat dalam proyek musik dari Fiona Apple dan Kanye West, meski hanya sebatas menjadi model di klipnya hehehe…., tapi dia juga pernah merilis single di tahun 2006 lho. Perpaduan antara comedic rap/hip-hop/dance (bingung?) dan dibantu oleh Fiona Apple.
KEN JEONG
Nama yang satu ini hadir disaat yang tepat, karena masih sedikitnya bintang lucu berdarah Asia. Sama seperti Zach Galifianakis, Ken Jeong juga merintis karir sebagai stand – up comedian dan tampil di beberapa seri TV sukses (Two and a Half Men, The Office, Entourage, Boston Legal dan Curb Your Enthusiasm) . Namun, dilihat dari filmografinya, Ken Jeong lebih banyak terlibat di film-film laris dibandingkan Zach Galifianakis. Knocked Up, Step Brothers, Pineapple Express dan Role Models merupakan film-filmnya sebelum The Hangover.
Tahun 2009 juga merupakan tahun yang sibuk bagi Ken Jeoang. Selain The Hangover, dia juga merilis The Goods: Live Hard, Sell Hard (yang juga dimeriahkan oleh teman mainnya di The Hangover, Ed Helms), kembali bertemu Bradley Cooper lewat All About Steve, tampil sekilas di Couples Retreat yang dibintangi Vince Vaughn dan Jon Favreau, serta tampil di How to Make Love to a Woman yang juga menampilkan Jenna Jameson!
Di tahun 2010, menurut data pada IMDB, Ken Jeong bakal terlibat pada beberapa proyek yang lumayan menjanjikan seperti Furry Vengeance bersama Brendan Fraser, serta isi suara di dua film yang diperkirakan bakal laris manis, Despicable Me dan The Zookeeper. Dan kalau memang benar The Hangover 2 bakal rilis 2011, rasanya tidak bakalan seru kalau Ken Jeong tidak dihadirkan kembali.
Meski banyak bermain komedi, nyatanya sosok yang satu ini mempunyai latar belakang yang tidak main-main. Ayahnya seorang professor dan Ken Jeong sendiri pernah bergabung dalam klub yang berisi siswa ber IQ tinggi di Walter Hines Page High School. Dia juga bisa memainkan violin dan lulus SMa di usia 16 tahun. Dan siapa yang mengira (apalagi bagi mereka yang sudah melihat The Hangover), kalau Ken Jeong ini seorang dokter yang beristrikan seorang dokter juga.
Dengan riwayat pendidikan yang sangat meyakinkan, tidak mengherankan kalau kedepannya dia terlibat dalam sebuah film komedi yang cerdas, atau paling tidak berisi hal-hal yang berkaitan dengan dunia kedokteran.
Langganan:
Postingan (Atom)