Jumat, 31 Oktober 2008
• REC
Jumat, 31 Oktober 2008
8
Terkesan dengan film Cloverfield atau Diary of the Dead? Atau mungkin masih merasa ngeri ketika ingat dengan The Blair Witch Project yang dulu sempat menghebohkan jagat perfilman Hollywood? Maka film Rec sangat sayang untuk dilewatkan.
Sama dengan ketiga judul diatas, film ini bercerita dengan gaya point of view (POV) pemerannya dengan menggunakan kamera. Kamera berfungsi sebagai saksi sebuah peristiwa mengerikan yang mengancam jiwa mereka. Yang namanya peristiwa luar biasa, maka akan terasa sayang untung dilewatkan, maka dari itu kehadiran kamera amtlah penting, tidak bisa ditawar. Kamera juga dimaksudkan agar apa yang disajikan di layar terasa nyata dan membuat penonton untuk merasa lebih masuk hingga terhanyut dengan alur cerita.
Akibatnya kengerian yang hadir terasa nyata, meski dalam hati kita tahu itu semua hanyalah sebuah film penuh dengan settingan. Rec dibuka dengan wajah cantik dari Angela Vidal (Manuela Velasco) seorang reporter sebuah acara While You’re Sleeping. Dibantu oleh Pablo sang kameraman, dia dalam tugas meliput kehidupan kerja regu pemadam kebakaran. Adegan awal berjalan biasa. Penonton digiring pada peristiwa biasa, hingga nantinya akan diberi kejutan luar biasa. Dan benar, peritiwa luar biasa tersebut menghampiri mereka ketika datang sebuah panggilan darurat dari sebuah apartemen.
Begitu mereka memasuki apartemen tersebut, kekacauan yang mengerikan tidak bisa dielakkan. Berpedoman pada asas profesionalitas kerja, Angela dan Pablo tetap meliput peristiwa tersebut. Ketika keadaan makin genting ketika mereka tidak bisa keluar dari gedung tersebut, karena apartemen tersebut selanjutnya dikarantina secara ketat oleh pasukan keamanan pemerintah. Intinya bertahan mereka mampus, keluar akan disambut dengan serbuan peluru. Situasi serba kacau ini makin mencekam ketika satu demi satu korban berjatuhan. Lebih parah lagi mereka yang didalam tidak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aparat pemerintah yang ada di tengah-tengah mereka makin mempertajam konflik yang terjadi.
Selanjutnya kita menyakasikan usaha mereka yang selamat untuk bertahan hidup. Semuanya terekam oleh kamera yang dibawa Pablo dengan Angela sebagai pemandunya. Ditengah kengerian tersebut, duet sutradara Jaume Balagueró dan Paco Plaza mulai memberikan informasi sedikit demi sedikit mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah hal yang mungkin saja bisa terjadi. Tampaknya penulis cerita Jaume Balagueró dan Luis Berdejo melakukan riset yang lumayan serius demi menghadirkan sebuah cerita yang lumayan masuk akal.
Dibandingkan dengan Diary of the Dead, Rec hadir lebih mengerikan dan lebih menegangkan. Dengan setting lokasi yang lebih terbatas dan peneror yang lebih agresif, Rec menghadirkan tontonan yang lebih “menghantui” rasa dan jangan sungkan untuk menjerit. Rec juga terasa lebih nyata dibandingkan dengan Cloverfield yang kejadiannya terlalu luar biasa. Terutama apa yang menimpa pada tokoh – tokoh yang ada di dalam film Cloverfield tersebut. Bahkan untuk menghadirkan acting yang lebih natural, sutradara sengaja memberi kejutan pada para pemainnya dalam sebuah adegan. Para pemain mengaku terkejut dan bingung dengan apa yang mereka lakukan!Dan ini terekam kamera dan dihadirkan apa adanya dilayar.
Rec mungkin bukan sebuah film yang orisinil, namun sangat sayang untung dilewatkan. Film ini makin kuat dengan aksi para pemainnya yang meyakinkan, terutama Manuela Velasco yang lewat film ini berhasil meraih banyak penghargaan. Paling bergengsi ketika dia dinobatkan sebagai Pendatang baru Terbaik di ajang Goya Awards (Oscar-nya Spanyol). Film ini juga seakan membuktikan, bahwa sineas Spanyol jago dalam menghasilkan film horror bermutu. Masih ingat dengan The Orphanage atau The Others yang meskipun dibintangi pemain dari Hollywood, dihasilkan oleh sutradara dan penulis cerita dari Spanyol.
Seakan mempertegas kekalahan Hollywood dalam menghasilkan film horror bermutu, ketika Rec mendapatakan sambutan sangat positif dari penonton maupun kritikus, Hollywood segera menyambarnya untuk dibuatkan versi mereka. Hasilnya adalah film berjudul Quarantine yang dibintangi Jay Hernandez dan Jennifer Carpenter. Mendapat atensi yang lumayan, namun tetap saja versi asli dinilai lebih baik. Bagi pecinta film horror, film yang satu ini wajib hukumnya! 4/5
PATHOLOGY
Profesi tenaga medis (entah dokter, perawat bidan atau yang lainnya) selalu dipandang sebagai profesi yang mulia. Keberadaan mereka yang bertujuan melawan penyakit dinilai sangat berarti. Belum lagi mereka diikat dengan kode etik yang ketat, dan juga sumpah atas profesi mereka. Namun perkembangan jaman kadang membentuk mereka (dan sebagian besar manusia0 tak ubahnya penyakit. Mungkin terlalu banyaknya motif dalam pilihan mereka.
Pathology mengisahkan seorang dokter muda bernama Ted Grey (Milo Ventimiglia). Sungguh beruntung si Ted ini, sudah tampan, cerdas dan etos kerja yang tidak perlu ditanyakan. Masih ditambah keberadaan tunangannya yang cantik dan sexy, Gwen (Alyssa Milano), lengkap sudah rasanya hidup Ted. Hidupnya mulai berubah ketika dia mulai bekerja di sebuah rumah sakit ternama sebagai pathologist.
Sedikit kurang paham juga dengan kata pathology ini, namun dari gambaran yang dihadirkan di film, seorang pathologist kerjanya “mengacak-acak” mayat untuk mengetahui sebab musabab kematiannya. Di tempat kerja barunya ini, kecemerlangan Ted mendapat tanggapan negative dari Jack Gallo (Michael Weston) dan rekan-rekannya yang cerdas dan berbakat. Namun melihat bakat yang ada, mereka mulai menerima Ted dengan motif tertentu.
Ted yang terpancing rasa penasaran terhadap kumpulan dokter muda tersebut, akhirnya tergoda untuk masuk. Selanjutnya Ted terseret dalam sebuah permainan berbahaya yang mengerikan yang mengusik moralnya. Satu persatu dari anggota kerlompok itu diwajibkan melakukan sebuah pembunuhan yang sempurna, untuk kemudian dianalisa oleh anggota yang lainnya. Sungguh sebuah permainan gila yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang cerdas dengan landasan moral yang lemah.
Pada akhirnya kita disuguhi adegan-adegan tubuh telanjang yang dikuliti, ditusuk dan diobok-obok. Para dokter muda nan cerdas namun “sakit” pada akhirnya malah menjadi penyakit itu sendiri, bukan sebagai penghalau penyakit. Di meja otopsi mereka memperlakukan mayat manusia tak ubahnya seonggok bangkai tak berguna. Untuk menambah kesan gila, terselip adegan mengkonsumsi narkoba dan pesta seks di ruang mayat. Termasuk perselingkuhan yang panas antara Ted dengan Juiliette (Lauren Lee Smith).
Ted yang mulai menyadari apa yang telah dia perbuat (telaaaat mas…!) memutuskan untuk keluar. Hal ini berarti Ted harus segera disingkirkan dan menjadi target pembunuhan yang sempurna. Ted yang tidak bodoh sudah bisa menduga hal ini. Sebelum mereka berhasil menyingkirkannya, ted sudah menyusun langkah untuk menghancurkan mereka. Ted berhasil, namun apakah masalah sudah selesai? Belum, karena ada satu orang yang berhasil lolos yang membuat jiwa Gwen menjadi terancam.
Menyaksikan Pathology, kita harus siap-siap mental melihat dengan apa yang disajikan di layar. Tubuh manusia yang disayat pisau, darah yang mengucur, kepala yang ditusuk benda tajam, leher yang ditebas pisau tajam, perut yang dihujam benda tajam, sampai organ dalam yang diiris ataupun dilempar menjadi tontonan memuakkan yang ditampilkan secara simultan oleh sineas Marc Schoelermann. Sungguh sebuah suguhan yang jauh dari nilaiestetika.
Belum cukup dengan bombardir gambar-gambar tubuh yang teracak-acak, kita juga disuguhi gelinjang tubuh indah para pemainnya, terutama Lauren Lee Smith. Bagi penonton perempuan penggila Milo Ventimiglia akan terpuaskan dengan pamer tubuhnya, baik yang setengah telanjang maupun yang telanjang. Alyssa Milano yang hadir sekedar menjadi pemanispun cukup royal memberikan tubuhnya untuk diacak-acak oleh Milo Ventimiglia.
Pada akhirnya Pathology tak ubahnya sebuah film gory murahan yang hanya mengumbar kengerian yang ditampilkan secara vulgar. Bahkan Saw (yang pertama) pun terlihat lebih baik dibandingkan dengan Pathology yang bisa dinilai satu level dengan Hostel. Naskahnya begitu lemah dan terlalu banyak lubang yang menyisakan pertanyaan, seperti bagaimana mungkin Jack mampu membunuh 3 orang sekaligus dengan begitu mudahnya atau bagaimana aktivitas mereka tidak terbongkar, mengingat mereka menggunakan lokasi dimana mereka bekerja. Dan masih banyak pertanyaan lain yang tidak mungkin diungkapkan semua disini. Belum lagi sosok Ted yang selalu tampil rapi, klimis, bening dan bersih hampir di semua kesempatan.
Dimasukkannya unsure seks yang lumayan banyak porsinya semakin menjerumuskan film ini ke level murahan. Memang akan memanjakan mereka yang menyukai ketelanjangan. Dan tidak bisa dipungkiri secara fisik, Lauren Lee Smith maupun Milo Ventimiglia sangat jauh dari mengecewakan. Namun kurang mempunyai kaitan yang kuat dengan alur utama dari cerita yang dihadirkan.
Sulit untuk memasukkan film ini ke jenis film apa. Sebagai sebuah thriller terlalu tanggung. Ketegangan yang ingin dihadirkan sangat tidak terasa sama sekali. Sebagai sebuah psychology thriller pun kurang kuat karena kurang menyoroti pertentangan batin para tokohnya, terutama Ted. Dengan tagline yang sebenarnya sudah kuat “every body has a secret” sebenarnya film ini bisa hadir lebih kuat lagi tanpa unsure seks yang berlebihan, dan ketegangannya tentu akan lebih terasa andai saja penulis cerita mampu mengemas permainan gila mereka dalam konflik yang lebih meyakinkan. Tempatkan Ted sebagai seorang pathologist yang bekerja untuk polisi sebagai contoh. Tentu akan terjadi “pertempuran” yang penuh ketegangan antara pathologist yang sehat dengan pathologist yang sakit. Seperti adu kecerdasan dalam film Death Note.
Namun demikian, Pathology bukannya tampil tanpa nilai tambah. Dari dialog yang ditampilkan terlihat riset serius yang dilakukan oleh penulis cerita Mark Neveldine dan Brian Taylor. Istilah didunia kedokteran berhamburan tanpa bisa dibendung. Sedikit pusing dengan istilah-istilah yang dihadirkan karena begitu asing di telinga dan sulit untuk diingat. namun paling tidak mampu menambahperbendaharaan kita.
Sekedar saran, jauhkan film ini dari mereka yang “sakit” mengingat banyaknya resep yang bisa dipakai untuk sebuah pembunuhan yang sempurna. Ada satu dialog yang sedikit mengusik nurani dan dialog tersebut sempat diulang beberapa kali yakni “We’re an animal” yang menjadi dasar perilaku gila para dokter gila tersebut. Kita memang sebangsa mamalia, tapi kita MANUSIA yang dianugerahi akal dan rasa, karenanya setiap bertindak harusnya dilandasi motif yang kuat, tidak bisa main – main, karena kadang bermain pun bisa sangat membahayakan. Dan apabila ada kelebihan, pergunakan untuk membuat hidup orang lain menjadi lebih baik, bukan malah menjadi penyakit. 2,25/5
THE STRANGERS
Sepasang manusia datang kesebuah tempat. Hubungan mereka sedang dalam masalah. Selagi mereka merenungkan apa yang sebenarnya terjadi, datang terror yang mengancam jiwa mereka. Selanjutnya mereka berjuang agar bisa bertahan hidup ditengah segala keterbatasan. Premis cerita yang terdengar familiar?
Menyaksikan The Strangers memang tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lihat dalam film Vacation. Bedanya The Strangers menghadirkan duet Liv Tyler dan Scott Speedman, Vacation menampilkan pasangan Kate Beckinsale dan Luke Wilson. Tidak mengherankan apabila penonton pada akhirnya membandingkan kedua film tersebut.
Lalu apa yang mendorong kita untuk menonton The Strangers? Ternyata film yang satu ini tetap menghadirkan sensasi ketegangan tersendiri. Disinilah potensi dari sineas Bryan Bertino patut dipertimbangkan. Dia mampu menghadirkan tontonan usang menjadi sebuah hal yang memikat penonton. Durasi awal penonton dibuat sedikit bosan dengan penampilan dua bintang utamanya yang salaing bermuram durja.
Ditambah dengan suasana yang tenang dan sepi, penonton yang kurang sabar akan bisa jatuh tertidur. Namun bersabarlah karena ketika terdengar suara ketukan di pintu, bersiaplah menghadapi terror demi terror yang mencekam. Sutradara mampu mengemasnya dengan pas dan tidak berlebihan. Cerita yang dihadirkan lumayan bisa diterima akal dan dibungkus dalam durasi yang tidak terlalu lama. Memang bagian akhir agak sedikit dipanjang-panjangkan, namun bisa dimaafkan.
Kesalahan terbesar sutradara ada pada awal film berjalan. Kenapa sutradara harus menampilkan fakta – fakta yang berkaitan dengan tema cerita? Kita seolah – olah sedang disuguhi makanan, namun kita diperingatkan kalau makanan tersebut mengandung racun. andai saja blunder ini tidak terjadi pasti film akan terasa lebih menegangkan.
Dari segi pemain, film ini memang lebih menonjolkan Liv Tyler dibandingkan Scott Speedman. Bahkan, kalaupun Scott Speedman tidak dilibatkan, film ini akan tetap berjalan menarik. Mungkin akan lebih seru. Bayangkan serunya gadis secantik Liv Tyler berjuang sendirian menghadapi terror 3 remaja “sakit” yang memakai topeng dan bersenjatakan kampak. Soal kampak, tampaknya sutradara Bryan Bertino terpesona dengan sosok gadis berkampak yang hadir di film berjudul Tamara. Untungnya public Amrik sana mau mengenal The Strangers. Pada minggu awal perilisannya, film ini sudah balik modal dengan keuntungan yang berlipat. Bisa jadi The Stangers merupakan film horror Hollywood yang palin sukses di tahun 2008, bukan Prom Night. 3/5
PROM NIGHT
Prom Night yang sebenarnya sebuah peristiwa penuh hura-hura dan tidak penting, entah mengapa mendapatkan tempat yang istimewa bagi para remaja. Prom Night sering diidentikkan dengan saat yang tepat untuk melakukan apa yang sebelumnya belum (sempat) terlaksana. Mulai dari mendapatkan pacar, pembalasan dendam, mabuk-mabukkan hingga saat yang tepat untuk melepaskan keperawanan/keperjakaan.
Prom Night juga mendapatkan tempat istimewa di Hollywood. Tidak terhitung banyaknya film yang mengambil moment Prom Night sebagai setting klimaks cerita. Kebanyakan memang sebagai sarana pernyataan cinta atau sekedar penyaluran hasrat seksual. Namun dalam film ini, Prom Night dijadikan saat yang tepat untuk menuntaskan sebuah pembunuhan yang belum selesai di masa lampau.
Film Prom Night ini menegaskan keranjingan Hollywood ini akan film horror yang popular di era 1980-an. Tampaknya Hollywood memang sedang mengalami kekeringan ide (film horror) hingga harus mencomot ide yang telah jadi. Kalau tidak dari film horror masa lampau yang lumayan sukses ya comot saja ide cerita film horror Asia yang sukses. Hasilnya? Hampir semuanya tampil mengecewakan.
Pun demikian dengan Prom Night. Atmosfer horror tidak terasa sama sekali, alur cerita mudah ditebak dan tidak meyakinkan serta banyak adegan tidak penting yang berfungsi untuk menambah durasi film yang tetap saja tidak sampai 90 menit. Jangan samakan dengan Scream yang begitu menghentak, bahkan dibandingkan dengan I Know What You Did Last Summer, film ini terasa begitu melempem. Hal ini makin diperparah dengan buruknya acting para pemainnya. Poin terendah patut dialamatkan pada Jonathan Scaech. Bukan berarti yang lain tampil bagus, hanya saja penampilan Jonathan Scaech terasa begitu mentah.
Meski terlalu banyak “dosa’ yang menghinggapi film ini, namun ternyata Prom Night benar-benar mempunyai tempat yang istimewa di hati remaja. Sebagai bukti film ini ketika dirilis mencapai hasil dua kali lipat dari biaya produksi! 2/5
THE RUINS
Ingat peribahasa “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”? Kira – kira artinya , nurut aja deh gak usah macem-macem. Kalau kita amati, sebenarnya banyak sekali film horror yang menggunakan peribahasa sebagai landasan cerita. Makanya kebanyakan plot film horror, terutama film Horror Indonesia, terror demi terror hadir setelah satu atau sekelompok remaja melanggar sebuah aturan. Mengapa remaja? Ya namanya anak muda ya suka melanggar batas.
Tidak beda dengan film horror kebanyakan, The Ruins hadir dengan plot yang kurang lebih sama. Sekelompok anak muda berlibur di tempat yang indah, sampai datang sebuah informasi ada sebuah lokasi yang patut untuk dikunjungi. Awalnya memang terdapat sedikit friksi diantara mereka karena ada beberapa pihak yang tidak setuju dengan ide mendatangi lokasi tersebut. Namun tetap saja pada akhirnya mereka menyambangi lokasi tersebut.
Di tengah perjalanan mereka akan bertemu dengan orang yang melarang mereka mendatangi lokasi yang sebenarnya terlarang. Namun karena sudah terlanjur mereka ngotot ke tempat tersebut tanpa menyadari bahaya yang bakal menghampiri mereka. Segala sesuatu ada harganya. Karena mereka sudah melanggar aturan, maka saatnya mereka menerima hukuman. selanjutnya kita disuguhi adegan – adegan menegangkan dan seram yang berujung pada matinya satu persatu dari mereka.
Lalu apa alasan kita melihat The Ruins kalau dari plotnya saja sudah biasa, bahkan basi? Untungnya film yang diangkat dari novelnya Scott B. Smith ini hadir dengan jenis terror yang berbeda. Tidak luar biasa, namun terasa beda, karenanya film ini menjadi tetap enak untuk dinikmati. Tidak lupa adegan berdarah-darah yang lumayan membuat ngeri. Adegan ketika salah satu tokohnya berusaha membuang terror dari tubuhnya lumayan bisa membuat penonton memalingkan muka. Situasi makin kacau karena mereka tidak bisa meninggalkan tempat tersebut, karena mereka tahu telah ditunggu bahaya lain yang tak kalah ganas.
Film garapan sutradara Carter Smith ini memang tidaklah istimewa, seperti halnya acting para pemain yang biasa. Namun The Ruins tetap seru buat seru-seruan bersama teman-teman, terutama bagi mereka penonton remaja. Dan seperti halnya film horror mutakhir, film ini juga menghadirkan bintang – bintang muda dengan tubuh indah yang sayang untuk dilewatkan. Dan kalau ada yang kurang puas dengan film ini, memang lebih baik melihat The Descent saja.2,5/5
GARA – GARA BOLA
Heru (Herjunot Ali) adalah seorang pemuda yang cinta dan lihai mengolah bola. Hal ini digambarkan dengan efektif lewat gambar-gambar yang seolah memamerkan gocekan kaki Heru. Dia bersahabat dengan Ahmad (Winky Wiryawan) yang juga seorang penggila bola, maksudnya gemar taruhan pertandingan bola.
Kegilaan Ahmad dengan judi bolanya membuat mereka berdua terlibat masalah, karena Ahmad yang sembrono pasang taruhan tanpa pertimbangan matang. Masalah dimulai dari ditendangnya mereka dari tempat kost yang mereka tinggali dengan ibu kost yang tidak mau mendengar kata “tidak”. Masalah terbesar mereka adalah dikejar-kejar tukang tagih suruhan mafia judi, yang ternyata adalah ayah dari gadis yang dipacari oleh Heru.
Masalah yang dihadapi Heru makin pelik karena ceweknya ngambek, ayah yang mata keranjang, ibu yang terus meratap. Belum lagi manajer tempat dia bekerja yang reseh. Belum cukup? Mereka harus melunasi hutang mereka dengan batas waktu yang makin menipis. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk merampok tempat Heru bekerja yang nota bene milik ayah Heru. Aksi yang seharusnya lancer tersebut menjadi kacau ketika berbenturan dengan kepentingan beberapa pihak.
Dengan alur cerita yang cepat, tokoh – tokoh yang berseliweran dengan berbagai macam karakter easy going yang tidak bener serta berbagai macam kepentingan menghasilkan sebuah tontonan yang sangat efektif dalam menghadirkan sebuah hiburan. Belum lagi durasinya yang tidak menyentuh 90 menit.
Menyaksikan film ini tidak bisa dipungkiri mengingatkan kita pada dua film Guy Ritchie yaitu Snatch dan Lock, Stock and Two Smoking Barrels, atau filmnya Barry Levinson yang Get Shorty. Film – film tadi berisi alur cerita yang cepat, banyak tokoh dengan karakter “tidak jelas” dan adanya tabrakan kepentingan berbagai pihak. Intinya menggambarkan situasi yang kacau dan riuh. Masih ingat dengan betapa carut marutnya nasib para tokoh dalam film Smokin’ Aces?
Bagi penonton yang menggemari judul-judul film tadi, tentu akan merasa terhibur dan terpuaskan. Namun, bagi mereka yang kurang terbiasa jadinya akan sedikit bingung. Terutama dalam menangkap maksud pembuat film. Sedikit saran, tidak perlu terlalu pusing menyikapi film jenis ini, karena tujuannya memang untuk menghibur. Kalau memang masih ngotot mencari pesan dari film ini, simple aja jadilah manusia yang bener dan tidak berlu bermain judi. That’s it!
Sebagai sebuah hiburan, Gara-Gara Bola! cukuplah. Ada beberapa hal yang mengganggu seperti beberapa muatan yang lumayan “dewasa”, logika cerita dan permilihan judul. logika cerita masih bisa tertutupi dengan alur cerita yang cepat, hingga penonton yang paling teliti sekalipun akan segera melupakannya. Tentang judul, terkesan sedikit dipaksakan. Kenapa judulnya harus menggunakan bola. Padahal bola hanya ditampilkan sekejap saja. Belum lagi sub plot yang dipilih soal persaingan usaha yang jauh urusannya dari bola. Mungkin lebih tepat kalau judulnya Gara-Gara Judi! atau Gara- Gara Utang!
Dari barisan cast-nya, Herjunot Ali memberikan penampilan yang lumayan segar. Mungkin sedikit mengobati kebosanan akan pemain cowok yang itu-itu saja. Winky Wiryawan berusaha tampil beda, lumayan berhasil kalau saja rambutnya tidak seperti itu. Sangat mengganggu. Kesegaran hadir lewat Laura Basuki. Meski sekedar tempelan, tapi bolehlah. Kredit tersendiri pantas diberikan untuk Aming dan Aida Nurmala. Entah mengapa Aming selalu menghadirkan suasana lucu. Padahal perannya ya itu-itu saja. Aida Nurmala sukses tampil nakal , jalang, norak dan murahan.
Gara – Gara Bola! bak hujan dimusim kemarau. Sedikt kehilangan moment memang dan kurang pas waktu perilisannya, namun tetap mampu memberikan kesegaran. Andai saja timingnya tepat, pasti film ini akan mendapatkan sambutan yang lebih, hingga tidak harus turun layar sebelum satu minggu tayang. Sungguh sayang sekali. Dan sangat disayangkan apabila penonton keluar dari gedung bioskop sebelum credit title benar – benar habis, karena ada penampilan khusus dari Aida Nurmala yang Merem Melek. 2,75/5
Jumat, 24 Oktober 2008
FLASHBACKS OF A FOOL
Jumat, 24 Oktober 2008
0
Joe Scott (Daniel Craig) adalah seorang selebriti Hollywood (actor). Di usia yang menuntut kedewasaan, perilaku Joe Scott layaknya remaja yang “mampir” di dalam tubuh orang dewasa. Segala perilakunya dimaksudkan untuk mencapai kepuasan pribadi. Sejak menit pertama sudah diperlihatkan betapa hedonisnya si Joe Scott ini lewat percintaan bertiga yang samar – samar tapi lumayan panas.
Dia juga seorang egomaniak menyebalkan yang selalu mengharuskan keinginannya segera terpenuhi. Tidak heran, sedikit sekali orang yang dekat dengan dia. “Pengasuhnya”, Ophelia (Eve) sebenarnya sudah berniat berhenti, dan segera membatalkannya hanya karena iming – iming gaji yang lebih tinggi. Belum lagi para perempuan yang dia undang ke ranjangnya, yang lebih mempedulikan diri mereka sendiri. Kehidupannya diperparah dengan kecanduannya terhadap zat terlarang. Anjing yang berak di mobilnya rasanya merupakan ganjaran yang tepat terhadap orang yang satu ini.
Meskipun sebenarnya bergelimang ketenaran (yang segera surut), Joe sebenarnya sosok yang kesepian dan menyimpan kemarahan. Sebuah gambaran klise untuk orang-orang kondang layaknya novel picisan karya Joan Collins. Semuanya berubah ketika dia mendapatkan kabar dari kampung halamannya. Segera kabar tersebut membawa penonton untuk melihat siapa sebenarnya Joe Scott ini dan mengapa dia berkepribadian seperti itu.
Secara garis besar cerita, sebenarnya Flashback of a Fool ini bukanlah sesuatu yang baru. Sudah banyak film yang mengangkat kisah masa lalu tokoh utamanya apalagi perjalanan hidup orang kondang macam film Ray. Dan film berjenis seperti ini hampir semuanya mempunyai ujung yang sama yakni bagaimana mereka berdamai dengan masa lalunya tersebut. Intinya setiap orang itu mempunyai bayangan yang akan selalu mengikutinya sepanjang hidupnya. Pernah melihat orang yang tidak mempunyai bayangan? Berarti orang tersebut hidup dalam kegelapan, atau lebih mengerikan lagi, bisa saja dia adalah sesosok hantu.
Lalu apa yang istimewa dari film ini? Tidak lain adalah kepiawaian sutradara Baillie Walsh dalam mengemasnya menjadi tontonan yang indah dan puitis. Cerita yang biasa berhasil dia bingkai dengan gambar-gambar yang sedap dimata. Baillie Walsh juga piawai menjaga irama dengan baik hingga tidak membuat penonton menjadi bosan. Film ini terasa puitis bak novel dan mengalun dengan tenang menghanyutkan, dengan tanpa melupakan memasukkan sebuah tragedy yang pasti akan membuat penonton terhenyak. Tragedy yang ditampilkan merupakan salah satu poin terbaik dari film ini. Tidak heran kalau peristiwa tersebut bisa membuat hidup para tokoh yang ada menjadi hancur berantakan.
Meski tidak istimewa, Baillie Walsh mampu menghadirkan cerita yang rapi. Kalau diperhatikan, sebenarnya tidak banyak perubahan berarti dalam diri Joe menjalani hidupnya yang bisa dilihat dari pemilihan lokasi tempat tinggalnya. Sebelum tragedy yang merubah segalanya, Joe sebenarnya remaja yang manis, semanis sebagaimana dia pada akhirnya tahu apa yang harus dia lakukan, meskipun akan membuat penonton bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, karena sutradara mengemasnya dengan bahasa gambar yang mungkin bagi sebagian penonton kurang begitu jelas maksudnya.
Kalau misalnya bosan dengan ide cerita yang ditawarkan, rasanya sangat disayangkan melewatkan gambar-gambar yang dihadirkan dalam film ini. Selain tentu saja kehadiran Daniel Craig yang sekaligus merangkap sebagai produsernya. Bagi yang pernah melihat promonya, jangan terlalu berharap akan memelototi Daniel Craig sepanjang durasi karena dia berbagi layar dengan actor muda Harry Eden (dengan penampilan yang cukup segar) yang berperan sebagi Joe muda. Promonya memang sangat menonjolkan Daniel Craig dengan segala sisi seksinya (bagi mereka yang menganggapnya sexy).
Namun jangan kuatir, sebagai produser Daniel Craig bukanlah sosok yang pelit. Dia termasuk royal mengobral tubuhnya buat penonton. Dari setengah telanjang sampai telanjang. Begitu menampilkan dirinya, yang pertama tergambar adalah pantatnya. Belum lagi opening title nya yang berisi tiga tubuh telanjang menggelinjang (kalau masuk bioskop Indonesia pasti pusing motongnya). Selamat menikmati. 3,25/5
DOA YANG MENGANCAM
Usaha dan doa, begitu yang selalu ditegaskan oleh para mereka yang bijak (dan tua) kalau kita ingin hidup sukses dan berhasil (secara financial). Kalau belum juga berhasil, kita hendaknya terus berusaha dan semakin memperbanyak doa. Siapa tahu Tuhan meluangkan waktu untuk mendengarkan doa kita dan mewujudkan apa yang menjadi keinginan kita. Namun hidup bukanlah sebuah permintaan, karena seringkali kita dihadapkan pada pilihan hidup yang sulit. Lalu apa lagi yang perlu dilakukan ketika usaha keras dan banyak doa tidak lagi mempan?
Sungguh malang apa yang menimpa Madrim (Aming S. Sugandhi). Sudah miskin, pekerja kelas bawah, terlilit hutang masih dihadapkan dengan kenyataan ditinggalkan istri yang sangat dicintainya, Leha (Titi Kamal). Belum cukup? Dia juga diusir dari rumah kontrakan yang tak beda dengan kandang. Atas ceramah temannya, Kadir (Ramzi), Madrim berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan selain semakin giat bekerja. Hasilnya? Nasibnya tidak jauh beda, malah semakin parah. Dalam keputusasaan yang teramat sangat dia mencoba menggugat Tuhan lewat doa yang mengancam.
Sampai sebuah peristiwa merubah hidupnya secara total. Madrim dianugerahi dengan kemampuan super bisa melihat masa lalu dan masa depan hanya lewat sebuah gambar/foto. Dengan kemampuan ini, Madrim mulai hidup bergeliman harta dan masih berharap akan bersatu kembali dengan Leha. Bahagiakah Madrim? Ternyata tidak, hidupnya tidak menjadi mudah, malah makin rumit dengan masuknya dia dalam dunia criminal. Lalu apa yang salah dengan doanya? Sampai film berakhir, sutradara Hanung Bramantyo tidak secara gambalng memberikan jawaban. Penonton diberi kebebasan menyimpulkan sendiri lewat serangkaian peristiwa dan dialog yang dilakoni Madrim.
Hal inilah yang sedikit mengganggu kenikmatan penonton. Sampai dengan adegan sebelum Madrim disambar petir, film sangat enak dinikmati karena menghadirkan gambar dan cerita yang jujur. Kemiskinan dan penderitaan dihadirkan secara telanjang, apa adanya. Apa yang dialami Madrim begitu lekat dengan kejadian sehari – hari. Entah apa yang ada di benak penulis cerita, ketika selanjutnya kita disuguhi adegan demi adegan yang extra ordinary yang membuat penonton sedikit kesulitan menyatu dengan cerita. Ditambah dengan pemilihan eksekusi cerita yang terkesan terlalu mudah untuk menjadi nyata, film yang pada awalnya terasa dekat, pada akhirnya mengambil jarak dengan penonton. Belum lagi dengan pendekatan surealis menjelang akhir cerita yang menimbulkan kesan tidak konsisten. Bandingkan dengan Phenomenon-nya John Travolta. Apa yang menimpa dirinya dan bagaimana cerita diakhiri bisa diterima oleh penonton dengan alasan yang kuat dan konsisten.
Alur cerita yang dipilihkan untuk Madrim terasa terlalu luar biasa dan sedikit mengada-ada. Memang bukan alur yang buruk, berkat kepiawaian Hanung mengolah adegan film masih bisa enak dinikmati, hanya saja agak tidak nyambung dengan jalinan cerita di awal. Mungkin hal ini disengaja untuk memberi gambaran yang sangat bertolak belakang pada hidup Madrim. Akankah dengan perubahan tersebut, adakah yang berbeda dengan hidup Madrim.
Dengan pemilihan jalan cerita yang dihadirkan, mau tidak mau benak penonton digiring pada satu kesimpulan: tidak masalah bagaimana hidupmu berjalan, pada akhirnya bagaimana manusia mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan Tuhan. Tuhan tidak akan menguji manusia diluar batas kemampuannya kok (aduh…klise banget). Mungkin ini yang ingin ditanamkan oleh creator film ini. Kita diajak untuk memahami doa sebagai alat untuk bersyukur, bukan untuk meminta atau malah untuk menghujat atau mengancam. Hati – hati dengan apa yang engkau harapkan.,
Meski kalau dari segi cerita kita diresapi secara seksama terdapat beberapa hal yang mengganjal di pikiran, sekali lagi, Hanung berhasil menghadirkan tontonan yang menarik dan berbeda. Ditambah dengan kepiawaiannya mengolah gambar – gambar yang matang, film ini sebenarnya mempunyai potensi untuk tampil lebih kuat lagi. Rangkaian gambar mengalir dengan mulus, meski untuk beberapa penonton yang cukup jeli dan sedikit usil (IT’S ME!) terdapat blooper. Tidak masalah sih, hanya bangga saja karena berhasil menemukannya .
Film ini makin mempunyai nilai tambah berkat penampilan para pemainnya yang berusaha untuk total. Kredit terbesar patut diberikan kepada Aming yang terlihat berusaha keras masuk ke dalam karakter Madrim (meski karung goni itu tidak seluruhnya berisi wortel). Nani Wijaya dan Dedi Sutomo menunjukkan kematangan acting mereka. Zaskia A. Mecca berhasil mencuri perhatian dengan tampilannya yang segar. Ramzi mampu menjalankan tugasnya dengan mulus. Karakternya memang harus ada, karena di kehidupan sehari – hari tokoh seperti Kadir ini banyak adanya dan memang kadang terasa menyebalkan dengan segala khotbahnya yang banyak benarnya. Bagaimana dengan Titi Kamal? Pemilihannya sebagai istri Madrim sedikit terlihat mencolok, namun memberikan sumbangan yang cukup, bukan tempelan semata.
Pada akhirnya film ini amat sayang untuk dilewatkan karena memberikan sensasi yang berbeda. Inspiratif meski sedikit membingungkan. Jangan lewatkan humor-humor satir khas Hanung, dan beberapa sentuhan yang terasa persobal sekali. Film ini sukses membuat diri berdesir menyaksikan para aktornya berlakon di atas gedung pencakar langit. Sudah tahu mereka masih baik – baik saja di kehidupan nyata, namun tetap saja muncul perasaan cemas, kalau – kalau mereka jatuh dan terpeleset. Bravo Hanung! 3,25/5
DEFINITELY, MAYBE
Cinta itu misteri, makanya banyak tabir yang harus terbuka sebelum kita bisa menemukannya. Cinta bisa kita temukan sendiri dan bisa juga lewat bantuan pihak lain. Pada intinya yang dibutuhkan hanyalah keyakinan. Yakin ada saatnya kita akan menemukan cinta itu. Mungkin inilah yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis cerita Adam Brooks. Sineas yang satu ini sebelumnya terlibat dalam dihasilkannya film Wimbledon, French Kiss, Practical Magic maupun Bridget Jones: The Edge of Reason.
Lewat pertanyaan Maya (Abigail Breslin) kepada ayahnya Will (Ryan Reynolds dengan penampilan yang so lovely) seputar kisah asmara anatara ayahnya dengan ibunya. Meski awalnya enggan, Will akhirnya mau bercerita seputar wanita yang pernah masuk dalam hidupnya. Ada Emily (Elizabeth Banks), Summer (Rachel Weisz) dan April (Isla Fisher).
Ketiga perempuan tadi datang silih berganti mengisi hidup Will. Penonton dijamin akan kesulitan siapa sebenarnya yang akan dipilih oleh Will pada akhirnya. Apakah Emily yang memberikannya Maya, Summer perempuan cerdas dan merdeka yang selalu siap bertukar pikiran atau April, teman yang asyik.
Inilah yang membedakan Definitely, Maybe dengan film sejenis. Film ini berhasil menghadirkan kisah cinta dengan balutan misteri. sebuah pendekatan yang segar dan asli. Menyaksikan film ini bak melihat sebuah film tentang misteri pembunuhan, dimana kita dituntut untuk berfikir siapa yang menjadi pelaku. Begitupun dalam film ini Adam Brooks mampu mengecoh penonton beberapa kali. Ketika kita sudah diyakinkan Will akan memilih salah satu dari ketiga perempuan tadi, tiba-tiba datang suatu hal yang mementahkan hal tersebut. Gemes kita yang melihatnya.
Naskah yang segar untungnya didukung dengan penampilan bintang – bintangnya yang juga tampil segar dan santai. Interaksi Ryan Reynolds dan Abigail Breslin terasa meyakinkan dan akrab, Rachel Weisz seperti biasa selau membuat layar tampak lebih cerah dengan kehadirannya. sedang Isla Fisher dengan kemudaannya, ternyata mampu memberikan kontribusi yang meyakinkan lewat aksinya. Namun bagian paling mengasyikkan memang melihat aksi Ryan Reynolds dan Abigail Breslin. Terutama dialog – dialog yang keluar dari mulut Abigail Breslin yang mampu memancing senyum dengan kepolosannya.
Lalu, siapakah akhirnya yang akan dipilih oleh Will? Jawabannya akan kita temui di menit-menit akhir dari film ini, dan rasanya kesabaran penonton terbayar dengan pantas lewat eksekusi cerita yang dipilih. Kelemahan kecil dari film ini adalah durasinya yang agak terlalu panjang. Namun hal itu tidaklah menjadi masalah. Begitupun dengan siapa yang pada akhirnya menjadi pilihan Will, karena Definitely, Maybe mampu mengisi kekosongan pasokan tontonan romantis bermutu tanpa menumpulkan logika. Sangat cocok ditonton bagi mereka sedang kasmaran. Salah satu film romantis terbaik yang bisa dinikmati semua gender. Rasa-rasanya para cowok bakalan bisa menikmati film yang satu ini dibandingkan 27 Dresses atau Made of Honor. Mungkin setelah melihat film ini akan sedikit membantu para cowok memantapkan pilihan mereka
Sekedar pertanyaan, mengapa film ini kurang bergema dibandingkan kedua film tadi mengingat kualitasnya yang jauh lebih baik? Sungguh mengherankan selera penonton itu. 4/5
THE CHASER ( CHUGYEOGJA )
Sudah lama sekali kita tidak disuguhi film semacam The Silence of The Lambs, Seven ataupun Kiss the Girls. Kerinduan tersebut terjawab oleh film Korea Selatan bertajuk The Chaser. Di Negara pembuatnya sana, film ini mendapatkan sambutan meriah, meski didalamnya menampilkan beberapa adegan kekerasan yang cukup sadis.
Film ini berkisah mengenai Joong Ho (Yun-seok Kim ) seorang mantan polisi yang beralih menjadi seorang germo. Akhir – akhir ini dia disibukkan dengan menghilangnya beberapa “anak buahnya’ secara misterius. Joong Ho digambarkan sebagai sosok germo yang kurang simpatik. Yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana para anak buahnya bisa menghasilkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka. Penggambaran tokoh utama yang jauh dari simpatik ini seakan-akan memberikan janji kalau kita akan disuguhi dengan tontonan yang berbeda.
Joong Ho yang berpikir anak buahnya melarikan diri berusaha mengusut keberadaan mereka setelah perempuan terakhir yang dia kirim, Mi Jin (Yeong-hie Seo ) yang tiba – tiba menghilang dan meninggalkan seorang anak. Selanjutnya kita disuguhi cerita kelam yang dibalut dengan gambar- gambar suram. Kita diajak untuk menyusuri lorong – lorong gelap nan kumuh yang sangat membantu membangun ketegangan.
Pada akhirnya pelaku berhasil ditangkap yaitu seorang pria sakit bernama Young-min Jee (Jung-woo Ha ) yang senang menghancurkan kepala korbannya dengan palu tanpa ampun. Apakah film selesai setelah pelaku bisa tertangkap? Ternyata belum karena Joong Ho harus berpacu dengan waktu untuk menemukan Mi Jin demi anaknya. Masalah makin seru dan menegangkan ketika pelaku dibebaskan karena polisi kesulitan mengorek informasi darinya. Belum lagi beberapa peristiwa yang melibatkan emosi dari Joong Ho yang meledak –ledak yang membuatnya juga menjadi sasaran buruan dari polisi. Film diakhiri dengan perkelahian yang seru dan dikemas secara realistis antara Joong Ho dan Young-min Jee.
Berhasilkan usaha Joong Ho dalam menyelamatkan Mi Jin dan mempersatukan kembali dengan anaknya? Bagaimana nasib dari Anak kecil tersebut? Dan bagaimana nasib Joong Ho selanjutnya ketika dia didapati memegang senjata yang digunakan oleh pelaku untuk menghabisi korban-korbannya? Apa sebenarnya motif dari pelaku? Untuk sampai pada semua jawaban tersebut kita disuguhi dengan adegan demi adegan yang lumayan memacu jantung.
Untuk menetralisir suasana, sutradara Hong-jin Na mengemasnya dengan balutan komedi di tengah-tengah film. Mungkin akan terasa garing dan membosankan bagi penonton di luar Korea Selatan. Namun hal ini mempu memberi penegasan tersendiri bahwa film Korea Selatan memang mempunyai ciri khas tersendiri. Film makin terasa komplit dengan beberapa adegan yang mampu memancing simpati penonton, atau bahkan ada yang sampai meneteskan air mata ketidakrelaan atas pilihan penulis cerita mengakhiri nasib salah satu karakter dalam film ini (ups…)
The Chaser makin menarik berkat karakter tokoh utamanya yang berkembang. Dari seorang germo keparat, kepribadiannya mengalami perubahan sejak bertemu dengan anak Mi Jin. Ternyata dia belum kehilangan nalurinya sebagai aparat kepolisian pelindung dan penegak keadilan. Tentunya hal ini tidak bisa terwujud tanpa peran dari aktornya yang mampu menerjemahkan karakternya dengan baik.
Kerinduan kita akan film-film thriller bermutu terjawab sudah lewat The Chaser ini. Melihat hasil akhirnya yang mendapatkan hasil positif dari segi kualitas maupun kuantitas, tidak mengherankan kalau tersiar kabar Leonardo DiCaprio tertarik untuk membawa kisah ini untuk dibuat ulang oleh Hollywood. Semoga nantinya hasilnya tidak mengecawakan. 3,75/5
IN BRUGES
Ingin masuk surga atau neraka? Sebuah pertanyaan bodoh yang pastinya akan banyak yang memilih surga sebagai jawabannya. Lalu bagaimana wujud surga itu? Bagi Ken (Brendan Gleeson), surga itu adalah Bruges, sebuah propinsi di Belgia. Namun tidak bagi rekannya, Ray (Collin Farrel) yang menganggap Bruges sebagai kota yang membosankan. Bahkan mengumpamakannya dengan neraka.
Kedua orang dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang ini sengaja “diungsikan’ ke kota Bruges tersebut. Meski keduanya beda karakter, ternyata keduanya mempunyai profesi sama yakni pembunuh bayaran, dan kepribadian mereka tersebut pada akhirnya malah saling melengkapi. Bos mereka, Harry Waters (Ralph Fiennes) sengaja “membuang” mereka untuk sementara waktu berkaitan insiden yang terjadi saat kedua pembunuh bayaran tadi melaksanakan tugas mereka.
Kenapa Bruges? Karena tempat tersebut dianggap tempat yang representative untuk menyembunyikan diri. Coba kalau ada yang bertanya dimanakah letak Bruges itu, dapatkah kamu menunjukkannya? Di tempat yang tenang dan adem tadi Ken dan Ray berusaha mengisi hari – hari mereka dengan aktivitas yang berbeda. Ken memanfaatkannya sebagai sebuah wisata rohani, sedang Ray sibuk dengan seorang gadis yang mengaku sebagai pekerja film, yang akhirnya terbuka kedoknya sebagai pemalak para turis.
Sampai sebuah tugas baru dari Harry datang kepada Ken. Tugas tersebut adalah melenyapkan Ray karena insiden yang terjadi sebelumnya. Insiden yang dimaksud sebenrnya sebuah peristiwa tak terduga yang terus menghantui mereka berdua, terutama Ray. Ditengah kebimbangan Ken, Harry memutuskan untuk juga mengunjungi Bruges. Manakah yang akan dipilih oleh Ken? Melaksanakan tugas atau melindungi Ray?
Selanjutnya film semakin menarik dan lucu karena sutradara memang membalut darah dalam film ini dengan humor satir yang lumayan menyentil kesadaran penonton. Adegan paling konyol namun asyik terjadi di penginapan ketika Harry mengejar Ray. Konyol memang, tapi sungguh lucu. Selain beberapa adegan kekerasan, film ini bertaburan bahasa kasar, terutama kata FUCK. Tak terhitung berapa ratus kali kata tersebut diucapkan.
Kembali ke masalah surga/neraka tadi. Sutradara Martin McDonagh tampaknya ingin mengajak penonton untuk memahami bahwa surga/neraka bisa tercipta dimana saja, tergantung bagaimana manusia itu menyikapinya. Ray yang pada awalnya hidup bagai di neraka, pada akhirnya merasa menemukan surga setelah menemukan wanitanya (klise!) serta membayar perbuatannya di masa lalu. Berbeda dengan Harry yang pada akhirnya memperoleh “hadiah” neraka dan ketika dia menyadarinya, tahulah dia apa yang harus dia lakukan, yakni…. Simpelnya, surga bagimu bisa saja neraka bagiku.
Sekedar tambahan pengetahuan, Bruges adalah salah satu propinsi di Belgia sana. Dengan populasi sekitar 120.000 jiwa kota ini ditasbihkan sebagai salah satu World Heritage City oleh UNESCO di tahun 2000. Kota ini banyak mempunyai bangunan bersejarah semacam Church of Our Lady yang mempunyai tower yang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, hasil karya perupa terkenal Michelangelo berjudul Madonna and Child juga berada di kota ini. Dan masih banyak peninggalan penting lainnya.
Menyaksikan In Bruges dibutuhkan kesabaran, mengingat gaya bertuturnya yang British banget, sedikit mirip dengan Lock, Stock and Smoking Barrels dalam lingkup yang lebih kecil. Maka bersabarlah kalau didalamnya banyak bertaburan dialog panjang dan terkesan tidak penting. Namun bagi yang ingin mencoba film dengan pendekatan humor yang sedikit lain (terutama dengan produk Hollywood), film ini sayang untuk dilewatkan. Plus permainan ketiga pemeran utamanya yang santai, namun pas. 3,5/5
Langganan:
Postingan (Atom)