Jumat, 24 Oktober 2008
DOA YANG MENGANCAM
Jumat, 24 Oktober 2008
Usaha dan doa, begitu yang selalu ditegaskan oleh para mereka yang bijak (dan tua) kalau kita ingin hidup sukses dan berhasil (secara financial). Kalau belum juga berhasil, kita hendaknya terus berusaha dan semakin memperbanyak doa. Siapa tahu Tuhan meluangkan waktu untuk mendengarkan doa kita dan mewujudkan apa yang menjadi keinginan kita. Namun hidup bukanlah sebuah permintaan, karena seringkali kita dihadapkan pada pilihan hidup yang sulit. Lalu apa lagi yang perlu dilakukan ketika usaha keras dan banyak doa tidak lagi mempan?
Sungguh malang apa yang menimpa Madrim (Aming S. Sugandhi). Sudah miskin, pekerja kelas bawah, terlilit hutang masih dihadapkan dengan kenyataan ditinggalkan istri yang sangat dicintainya, Leha (Titi Kamal). Belum cukup? Dia juga diusir dari rumah kontrakan yang tak beda dengan kandang. Atas ceramah temannya, Kadir (Ramzi), Madrim berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan selain semakin giat bekerja. Hasilnya? Nasibnya tidak jauh beda, malah semakin parah. Dalam keputusasaan yang teramat sangat dia mencoba menggugat Tuhan lewat doa yang mengancam.
Sampai sebuah peristiwa merubah hidupnya secara total. Madrim dianugerahi dengan kemampuan super bisa melihat masa lalu dan masa depan hanya lewat sebuah gambar/foto. Dengan kemampuan ini, Madrim mulai hidup bergeliman harta dan masih berharap akan bersatu kembali dengan Leha. Bahagiakah Madrim? Ternyata tidak, hidupnya tidak menjadi mudah, malah makin rumit dengan masuknya dia dalam dunia criminal. Lalu apa yang salah dengan doanya? Sampai film berakhir, sutradara Hanung Bramantyo tidak secara gambalng memberikan jawaban. Penonton diberi kebebasan menyimpulkan sendiri lewat serangkaian peristiwa dan dialog yang dilakoni Madrim.
Hal inilah yang sedikit mengganggu kenikmatan penonton. Sampai dengan adegan sebelum Madrim disambar petir, film sangat enak dinikmati karena menghadirkan gambar dan cerita yang jujur. Kemiskinan dan penderitaan dihadirkan secara telanjang, apa adanya. Apa yang dialami Madrim begitu lekat dengan kejadian sehari – hari. Entah apa yang ada di benak penulis cerita, ketika selanjutnya kita disuguhi adegan demi adegan yang extra ordinary yang membuat penonton sedikit kesulitan menyatu dengan cerita. Ditambah dengan pemilihan eksekusi cerita yang terkesan terlalu mudah untuk menjadi nyata, film yang pada awalnya terasa dekat, pada akhirnya mengambil jarak dengan penonton. Belum lagi dengan pendekatan surealis menjelang akhir cerita yang menimbulkan kesan tidak konsisten. Bandingkan dengan Phenomenon-nya John Travolta. Apa yang menimpa dirinya dan bagaimana cerita diakhiri bisa diterima oleh penonton dengan alasan yang kuat dan konsisten.
Alur cerita yang dipilihkan untuk Madrim terasa terlalu luar biasa dan sedikit mengada-ada. Memang bukan alur yang buruk, berkat kepiawaian Hanung mengolah adegan film masih bisa enak dinikmati, hanya saja agak tidak nyambung dengan jalinan cerita di awal. Mungkin hal ini disengaja untuk memberi gambaran yang sangat bertolak belakang pada hidup Madrim. Akankah dengan perubahan tersebut, adakah yang berbeda dengan hidup Madrim.
Dengan pemilihan jalan cerita yang dihadirkan, mau tidak mau benak penonton digiring pada satu kesimpulan: tidak masalah bagaimana hidupmu berjalan, pada akhirnya bagaimana manusia mensyukuri segala sesuatu yang telah diberikan Tuhan. Tuhan tidak akan menguji manusia diluar batas kemampuannya kok (aduh…klise banget). Mungkin ini yang ingin ditanamkan oleh creator film ini. Kita diajak untuk memahami doa sebagai alat untuk bersyukur, bukan untuk meminta atau malah untuk menghujat atau mengancam. Hati – hati dengan apa yang engkau harapkan.,
Meski kalau dari segi cerita kita diresapi secara seksama terdapat beberapa hal yang mengganjal di pikiran, sekali lagi, Hanung berhasil menghadirkan tontonan yang menarik dan berbeda. Ditambah dengan kepiawaiannya mengolah gambar – gambar yang matang, film ini sebenarnya mempunyai potensi untuk tampil lebih kuat lagi. Rangkaian gambar mengalir dengan mulus, meski untuk beberapa penonton yang cukup jeli dan sedikit usil (IT’S ME!) terdapat blooper. Tidak masalah sih, hanya bangga saja karena berhasil menemukannya .
Film ini makin mempunyai nilai tambah berkat penampilan para pemainnya yang berusaha untuk total. Kredit terbesar patut diberikan kepada Aming yang terlihat berusaha keras masuk ke dalam karakter Madrim (meski karung goni itu tidak seluruhnya berisi wortel). Nani Wijaya dan Dedi Sutomo menunjukkan kematangan acting mereka. Zaskia A. Mecca berhasil mencuri perhatian dengan tampilannya yang segar. Ramzi mampu menjalankan tugasnya dengan mulus. Karakternya memang harus ada, karena di kehidupan sehari – hari tokoh seperti Kadir ini banyak adanya dan memang kadang terasa menyebalkan dengan segala khotbahnya yang banyak benarnya. Bagaimana dengan Titi Kamal? Pemilihannya sebagai istri Madrim sedikit terlihat mencolok, namun memberikan sumbangan yang cukup, bukan tempelan semata.
Pada akhirnya film ini amat sayang untuk dilewatkan karena memberikan sensasi yang berbeda. Inspiratif meski sedikit membingungkan. Jangan lewatkan humor-humor satir khas Hanung, dan beberapa sentuhan yang terasa persobal sekali. Film ini sukses membuat diri berdesir menyaksikan para aktornya berlakon di atas gedung pencakar langit. Sudah tahu mereka masih baik – baik saja di kehidupan nyata, namun tetap saja muncul perasaan cemas, kalau – kalau mereka jatuh dan terpeleset. Bravo Hanung! 3,25/5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
OK
\ SANGAT MNGESANKAN
lu mirip kancut...................
Posting Komentar