Setiap melihat film adaptasi sebuah novel, seringkali kekecewaan yang aku temui (Kecuali Silence of The Lambs). Hal ini terjadi lagi setelah melihat Badai Pasti Berlalu. Entah apakah penulis skenario dan sutradara sudah membaca novelnya atau belum.Ato mungkin sekedar melihat filmnya yang versi Teguh Karya? Entahlah.
Kebetulan beberapa hari kemudian aku membaca novel karya Marga T tersebut. Badai Pasti berlalu versi novel menurutku mempunyai dramaturgi yang kuat, sesuatu yang tidak begitu tampak pada filmnya. Jarang sekali novel Indonesia yang enak buat dibaca (menurutku). Tapi dalam kasus Badai pasti Berlau, ceritanya enak banget diikuti. Berbeda dengan filmnya yang sangat membosankan (sampai rasanya ingin keluar).
Padahal Badai Pasti Berlalu berbekal materi yang cukup. Cerita yang kuat, barisan pemain muda yang secara mengejutkan tampil bagus (terutama Raihanuun), pemain senior yang tampil konsisten, pemilihan warna yang menarik dan gambar-gambar yang indah (meski kadang puyeng dengan gambar-gambar yang terlau "goyang").
Badai Pasti Berlalu (harusnya) bercerita tentang penderitaan seorang wanita bernama Siska (Raihanuun, dengan penampilan yang cantik, secantik fisiknya) yang tiada henti dan bagiamana dia menyikapi hal tersebut. Siska dikhianati teman dan tunangannya, dijadikan bahan taruhan (yang dalam novelnya diceritakan diprakarsai oleh Ayah dan Kakaknya), terjebak dalam pernikahan dengan psiko, ayah yang selingkuh, ibu yang sakit-sakitan, punya diabet dan anaknya yang meninggal.(Kejamnya dunia!)
Segala hal tadi membuat dia menjadi pribadi yang apatis dan sinis. Belum lagi setelah menikah dia hidup dalam gelimang dosa dan makin jauh dari Tuhan. Dalam Novelnya diceritakan keluarga Siska ini merupakan keluarga yang taat berdoa dan ke Gereja.
Hal ini makin diperparah ketika dia menyimpulkan orang yang dia cintai punya diabet juga, yang berarti dia tidak bisa menikah dengan orang tersebut.
Semua hal diatas kurang begitu nampak di layar.Apalagi soal kesimpulan yang keliru tadi. Dalam novel terlihat ada dilema ketika dia mengambil keputusan untuk putus dengan Leo (Vino G. Sebastian). Antara cinta dan diabet.
Terus sosok Helmi (Winki Wiryawan) dalam novel dikisahkan seorang gigolo bangsat yang memikat para Tante kaya untuk mengumpulkan uang. Mengenai hal ini, kalo filmnya ikut novelnya akan dipenuhi dengan adegan seks yang panas.
Pada intinya Badai pasti Berlalu lemah dalam mengadaptasi apa yang tertulis dalam novelnya. Masalah klasik dalam pengadaptasian.
Untungnya film ini banyak wajah-wajah indah, sehingga lumayan bisa mengobati kebosanan. Raihanuun (sekali lagi) bermain lepas dan tidak canggung dan bibirnya kemlamut banget, Davina yang mulus (dalam novel karakter dia suangat sangat JALANG), Dewi Irawan yang tetap mempesona.
Vino G. Sebastian kurang pantas memerankan Leo. Kurang brandal. Kadang malah kayak orang stres, terlau banyak umbar senyum. Di novel Leo digambarkan sosok yang menyebalkan sekaligus didambakan oleh para cewek. Hal ini tidak nampak pada Vino. Apalagi suara dia kurang "keras" untuk sosok Don Juan.
Aku malah membayangkan novelnya dijadikan sinetron seri (cukup 13 episode saja). Dari pada adaptasi serial Korea. Taiwan ataupun Jepang. Semoga Leo Sutanto bisa melihat peluang ini.
Kalau dijadikan sinetron aku usul Laudya Cinthya Bella (Siska), Vicky Notonegoro (Leo) dan Baim Wong (Helmy).
Pasti ntar dapet rating tinggi. Hehehe.....2,5/5