Pun demikian, film bertema politik selalu dibuat dan wajib dibuat. Untuk lebih bisa diterima public, biasanya sineas yang menggarap film bertema politik mengambil pendekatan komedi, yang ujung – ujungnya lebih ke satire dengan berbagai sindiran sepanjang durasi film, terutama dalam menyoroti perilaku para actor – aktornya. Masih ingat Wag the Dog yang begitu pedas atau Primary Colors yang mengupas habis kebusukan sosok politikus?
Meskipun dikemas dengan pendekatan komedi, tetap saja dibutuhkan referensi yang cukup agar kita bisa masuk ke dalam cerita yang dihadirkan. Menyaksikan Charlie Wilson’s War yang dikemas secara ringan, masih tetap saja membuat kening berkerut. Film ini berkisah seputar usaha anggota konggres, Charlie Wilson, dalam usahanya membantu pejuan Mujahidin di Afghanistan dalam mengusir cengkeraman komunis (pada saat itu Uni Soviet). Dibantu oleh Joanne Herring (Julia Roberts), seorang wanita kaya, dan juga agen CIA, Gust Avrakotos (Phillip Seymour Hoffman), ketiganya bahu – membahu meng-golkan rencana mereka.
Bukan usaha yang mudah, mengingat Charlie seorang Yahudi, sehingga memunculkan kecurigaan dari pihak yang ingin dibantunya. Belum lagi keberadaan Afghanistan yang waktu itu dianggap kurang penting bagi kepentingan politik luar negeri AS, sehingga pemerintah AS terkesan enggan mengucurkan dana. Usaha mereka semakin sulit, karena pada saat bersamaan Charlie tersandung masalah pelecehan seksual.
Yang membuat menarik dari film ini adalah karakter dari ketiga tokoh utama film ini. Charli Wilson yang digambarkan flamboyant dan sangat suka wanita segar, namun juga seorang yang cerdas dan tukang lobi ulung. Gust yang agen CIA meski cerdas digambarkan licik dan semau gue.Sedang Joanne adalah seorang wanita yang kuat dengan koneksi super luas. Interaksi ketiganya menghadirkan tontonan yang unik, terutama ketika Gust mulai bergabung dan awalnya tidak disukai oleh Charlie dan Joanne.
Karakter – karakter yang kuat dan unik ini untungnya diperankan oleh actor dan aktris berkelas. Entah bagaimana nasib film ini kalau tidak didukung oleh mereka. Ketiganya pernah membawa pulang piala Oscar. Tom Hanks meskipun tidak mengejutkan, mampu tampil konstan dan menghibur. Dan rasanya baru kali ini dia mempertontonkan ketelanjangannya. Phillip Seymour Hoffman sekali lagi menunjukkan kapasitasnya sebagai actor watak. Sedang Julia Roberts, meski tidak istimewa, kehadirannya selalu membawa kesegaran tersendiri. Penampilan Amy Adams walau hanya sebagai pendamping, namun tetap penting.
Selain kehadiran actor dan aktris kelas Oscar, sebenarnya kekuatan utama dari film ini ada pada naskahnya. Meski bermuatan berat, film ini lumayan enak dinikmati. Sutradara mengarahkan film ini dengan alur yang cepat. Konsekuensinya, butuh konsentrasi lebih dalam menikmati film ini. Yang namanya film politik, banyak dialog – dialog panjang antar tokohnya. Entah penonton yang kurang pintar, atau naskahnya yang terlalu cerdas hingga pada beberapa bagian, penonton akan merasa kurang terhubung karena kurang paham dengan yang diperbincangkan.
Kekuatan film ini juga hadir lewat naskah yang menghadirkan kelucuan pada beberapa bagian. Kehadiran para “baladewa” Charlie yang kesemuanya perempuan segar dan cerdas serta naïf berhasil memancing senyum atau seperti ketika Charlie berdialog dengan PM Pakistan. Lucu sekaligus menohok (AS). Film ini dibuat memang untuk menyindir beberapa kebijakan politik luar negeri AS yang kadang kurang bertanggung jawab, seperti penyerbuan di Irak. Banyak sekali sindiran – sindiran yang dihadirkan dalam film ini terhadap Pemerintah AS. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketika kita sudah berhasil melaksanakan sebuah politik tertentu lantas selesai sudah tugas kita? Inilah yang harus dijawab, terutama oleh Pemerintah AS yang sering kali menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain yang lebih serius. 3,25/5
0 komentar:
Posting Komentar