Tim Burton + Jhonny Depp = film yang suram, gelap, ganjil, imajinatif dan menarik. Keduanya sering sekali bekerja sama dalam berbagai jenis film, dan kini mereka hadir lagi lewat film musical yang diangkat dari drama musical yang pernah menjadi hit di Broadway karya dari Stephen Sondheim dan Hugh Wheeler. Film ini menjadi pertemuan yang keenam dari kolaborasi Tim bUrton dan Jhonny Depp setelah Edward Scissorhands (1990), Ed Wood (1994), Sleepy Hollow (1999), Charlie and the Chocolate Factory (2005), dan Corpse Bride (2005).
Bukan Tim Burton namanya kalau tidak menyuguhkan tontonan yang lain daripada yang lain. Untuk sebuah film musical, film ini memang menawarkan aksi suara dan gerak para pemerannya, namun jangan mengharapkan ekspresi ceria dan tarian penuh keceriaan laiknya film musical. Bisa dibilang film Sweeney Todd ini merupakan film musical paling kelam dan berdarah.
Kisahnya seputar usaha Benjamin Barker (Jhonny Depp) dalam membalas semua penderitaan yang dilaluinya akibat perbuatan hakim tiran, Turpin (Alan Rickman). Dibantu wanita pembuat pie, Mrs. Lovett (Helena Bonham Carter), Benjamin yang telah merubah namanya menjadi Sweeney Todd mulai menyusun rencana agar Turpin masuk ke dalam perangkapnya. Kerja sama yang mereka lakukan tersebut mungkin terlihat tidak manusiawi, namun sangat menguntungkan keduanya.
Menyaksikan Sweeney Todd : The Demon Barber of Fleet Street seperti menyaksikan sebuah mimpi buruk. Kucuran darah, leher yang tersayat, tubuh manusia yang terlempar secara asal serta pie rasa manusia disuguhkan Tim Biurton secara simultan dan vulgar. Belum lagi lokasi yang suram dan gelap dan make – up yang seperti kurang darah. Pendekatan yang pas untuk menggambarkan hidup Sweeney Todd yang awalnya hidup bahagia bersama istrinya (digambarkan dengan indah), namun menjadi sebuah mimpi buruk ketika ambisi dari Turpin merusak segalanya. Sekali lagi, ditangan Tim Burton, rangkaian mimpi buruk tersebut mampu diolah menjadi sebuah tontonan yang menarik, meski tidak semua orang mampu menerima apa yang disajikan di layar.
Seperti biasa, Jhonny Depp mampu melakukan tugasnya dengan mulus, meski tidak istimewa. Usahanya untuk dapat bernyanyi sambil berakting bolehlah menjadi poin plus, meski dalam beberapa lagu, terutama lagu yang mengekspresikan kemarahannya, vokalnya terdengar kurang bertenaga. Alan Rickman tidak diragukan lagi kapasitasnya dalam memerankan tokoh kejam yang menyebalkan. Kehadiran Jayne Wisener sebagai Johana, anak dari Sweeney Todd, mampu menjadi katalis tersendiri. Justru penampilan singkat Sacha Baron Cohen yang mampu mencuri perhatian, walau “tonjolannya” agak sedikit menganggu pandangan.
Film ini walau disajikan penuh darah (jauhkan dari jangkauan anak-anak), sebenarnya mempunyai pesan yang bagus. Betapa rasa cinta mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Entah benar atau salah. Apa yang dilakukan oleh karakter – karakter dalam film ini tidak bisa dikotakkan menjadi benar atau salah. Semua diserahkan kepada penonton. Namun penulis cerita mengingatkan, bahwa langkah yang diambil, baik benar maupun salah, akan selalu mendapatkan balasan setimpal. Satu hal lagi yang dapat dipetik lewat film ini adalah bahwa dendam tidak akan membawa kebahagiaan, justru sebaliknya, dendam akan membuat hidup kita makin hancur.
Sepanjang film, meski digambarkan sebagai seorang tukang cukur, Sweeney Todd lebih disibukkan menggorok leher orang daripada merapikan rambut. Setelah korban pertama jatuh, Sweeney Todd tak beda jauh dengan vampire yang makin haus darah. Aksinya makin tidak terkendali hingga tibalah balasan setimpal untuknya. He’s got nothing! 3,5/5
3 komentar:
Saya merasa pesan moral dari film ini "Once You Kill, the next will be easier, and you just can't stop it".
Hehehe...
Film ini sangat menghibur menurut saya, entah kenapa meskipun berdarah-darah, tapi warna merahnya terasa pas memecah nuansa 'grayscale' film ini...
Intinya jangan maen darah deh, bikin ketagihan hehehhe
memang filmnya unik sih. Tapi menurut gua dibuat dalam versi musikal malah mengurangi nilai film ini.
Posting Komentar