Sabtu, 05 Juli 2008

DIARY OF THE DEAD

Sabtu, 05 Juli 2008 1



George A. Romero mungkin tidak terlalu dikenal oleh penonton generasi sekarang. Tidak seperti Michael Bay ataupunSam Raimi. Padahal nama George A. Romero dikenal dan dihormati berkat karyanya yang konsisten menggunakan judul DEAD dan mengangkat terror yang ditimbulkan oleh Zombie. Pria kelahiran 4 Februari 1940 ini mulai dikenal ketika merilis Night of The Living Dead di tahun 1968. Sukses berlanjut ketika dia merilis Dawn of the Dead (1978) yang menghasilkan keuntungan berlipat.
George A. Romero bukannya tidak mengagkat tema yang lain, namun ternyata peruntungannya terdapat di kata DEAD dan di dunia zombie. Maka dia kembali membuat Day of the Dead di tahun 1985 serta Land of the Dead (2005). Kini dia meluncurkan aksi zombie terbaru dengan judul Diary of the Dead, serta menyiapkan sequelnya untuk dirilis tahun 2009.
Dalam Diary of the Dead, Romero berusaha menangkap maraknya penggunaan kamera serta mengemasnya bak reality show. Film ini makin actual dengan mengangkat fenomena maraknya upload private video di internet, semacam di You Tube atau MySpace. Beberapa sindiran juga disampaikan dalam film ini. Dengan menggabungkan gambar hasil rekaman hand held camera, hand phone, news footage serta security camera, Romero berhasil menghadirkan tontonan yang segar, meski mungkin tidak orisinal mengingat dulu pernah hadir The Blair Witch Project, atao yang terbaru, Cloverfield.
Kisahnya seputar beberapa mahasiswa film yang sedang membuat film. Di tengah kepusingan mereka dalam usaha menyelesaikan film, tersiar kabar merebaknya sebuah virus yang membuat seseorang yang terkena menjadi zombie yang ganas. Korban bertambah dengan cepat. Kekasih Jason (Joshua Close), Debra (Michelle Morgan) memilih untuk pulang ke rumah untuk memastikan keluarganya selamat dari serbuan zombie.
Melihat hal tersebut, Jason berkenan untuk mendampingi Debra, begitupun dengan teman – teman yang lain. Maka dimulailah petualangan mereka di tengah ancaman zombie yang selalu datang tak terduga. Satu persatu teman mereka menjadi korban dan mereka masih harus disuguhi pemandangan mengerikan sepanjang perjalanan. Semua peristiwa tersebut terekam oleh kamera yang dibawa oleh Jason. Puncak kengerian terjadi ketika mereka ke tempat salah satu teman mereka.
Diary of the Dead menjadi menarik berkat gaya bertuturnya yang apik. Meski kadang terlihat tidak konsisten dengan konsep yang dipilih, Romero mampu mengemas tiap adegan dengan baik. Dengan gaya yang dipilih ini, Romero mampu menghadirkan tontonan yang mendekati realistis. Sebuah gaya yang akhir – akhir ini sering dipakai oleh beberapa sineas untuk membuat penonton merasa terlibat di dalamnya.
Sebagai sebuah film horror, mungkin bagi sebagian orang film ini terasa kurang mencekam, mengingat zombie dalam film ini tidak mampu bergerak dengan cepat seperti halnya dalam 28 Days Later beserta sekuelnya 28 Weeks Later, atau makhluk buas dalam I Am Legend. Namun beberapa adegan tetap mampu menghadirkan kengerian tersendiri. Secara keseluruhan film ini mampu menghadirkan sesuatu yang lain dibandingkan ketiga film tadi. Dan jangan dibandingkan dengan 30 Days of Night yang tidak horror sama sekali. Salah satu kelemahan dalam film ini adalah acting para pemainnya yang terasa kurang maksimal.
Romero juga mencoba menghadirkan beberapa joke yang menyindir bebrapa hal dalam ini, seperti sindiran terhadap pakem yang sering dipakai dalam film horror. Film ini juga menjadi pembelajaran penting bagi mereka yang tertarik menjadi kameramen. Ketika sebuah bencana, mana yang lebih penting : sibuk merekamnya untuk kemudian disebarkan ke khalayak luas sebagai sebuah kebenaran atau membantu para korban?
Ada baiknya generasi sekarang mengenal George A. Romero. Dari sosoknya kita bisa belajar untuk konsisten dengan karya yang dihasilkan. Mungkin pada akhirnya terkesan tidak kreatif karena terus mengangkat sesuatu yang sama, namun hal tersebut justru menjadi tantangan. Bagaimana mengangkat hal yang sama dengan kemasan yang berbeda dan tetap menarik sebagai sebuah tontonan. Tidak mengherankan kalau Stephen King dan Guillermo del Torro mau menyumbangkan suara mereka sebagai wujud penghormatan mereka terhadap kekonsistenan George A. Romero. 3,25/5

PENELOPE




Bagaimana perempuan memaknai kebahagiaan di dunia yang makin mementingkan gaya daripada makna ini? Dunia dimana manusia diperbudak oleh hal – hal berbau material dan keindahan fisik. Mempunyai wajah cantik dan tubuh proporsional, serta dipersunting pangeran tampan yang akan menjamin kehidupan bahagia selama – lamanya?
Penelope hadir untuk menyadarkan kita bahwa ada hal yang lebih penting dari keindahan ragawi. Untuk sampai pada pemahaman tersebut kita diajak untuk melihat perjalanan Penelope (Christina Ricci) dalam usahanya (usaha ibunya tepatnya) untuk mendapatkan jodoh yang akan menghapus kutukan yang menimpa dirinya.
Perlu diinformasikan bahwa leluhur Penelope mendapatkan kutukan dari seseorang yang tersakiti. Kutukan tersebut adalah bahwa keturunan perempuan leluhur Penelope akan mempunyai hidung layaknya hidung babi dan kutukan tersebut akan hilang ketika anak perempuan tersebut menemukan cinta sejatinya. Malang bagi Penelope, karena generasi sebleumnya tidak sampai terkena kutukan karena dialah keturuna perempuan pertama dari dinasti Wilhern yang terpandang.
Tidak ingin hidup dengan malu, Jessica (Catherine O’Hara) “mematikan” Penelope dan menjauhkan Penelope dari dunia luar yang kejam dengan sesuatu yang berbeda. Sampai tiba waktunya, Jessica merasa sudah waktunya bagi Penelope menikah untuk membuang kutukan tadi. Satu persatu pria dari keluarga yang dipandang layak diundang untuk dikenalkan dengan Penelope. Semuanya berakhir dengan kisah yang sama: si pria datang dengan antusias, namun pergi dengan wajah shock.
Hingga datanglah Jhonny (James McAvoy) yang sebenarnya sudah klop, namun karena salah pengertian hubungan yang sudah terjalin mengalami kerusakan. Penelope yang makin tidak kuat menghadapi perilaku ibunya, berontak dengan lari meninggalkan rumahnya. Di sisi lain ada pihak – pihak yang ingin membongkar jati diri Penelope.
Pada akhirnya terkuaklah wajah asli dari Penelope. Berbagai simpati datang kepada Penelope, namun semuanya terasa palsu. Hal ini membuat Penelope merasa kesepian di tengah dunianya yang makin riuh. Akhirnya dia menyerahkan semuanya pada pilihan yang diambil oleh ibunya. Cerita tidak berakhiir sampai disini, karena Penelope akhirnya menyadari apa sebenarnya yang dia mau dan yang paling dia cintai.
Sama seperti wajah Penelope yang unik, film ini juga mampu menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Hasil akhir dari film ini seakan dimaksudkan untuk mengejek pakem film – film komedi romantis yang terkena cinderella syndrome. Bagaimana seorang perempuan yang biasa – biasa saja, di akhir cerita dapat hidup berbahagia dengan pangeran impian. Penelope mengajak kaum perempuan untuk lebih menghargai segala kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki. Salute untuk pemilihan solusi bagi kutukan yang menimpa Penelope.
Intinya film patut ditonton oleh kaum perempuan. Begitupun kaum pria agar lebih melihat isi daripada kemasan. Film ini juga layak tonton karena sangat menghibur. Dibalut bak cerita dongeng, sutradara Mark Palansky mampu mengemas film dengan baik dengan menghadirkan beberapa humor segar dan kemasan visual yang sangat nyaman di mata. Permainan Christina Ricci begitu dominant, mengingat cerita yang memang menitikberatkan pada dirinya. Di barisan pendukung, penampilan Catherine O’Hara yang paling berkesan. Reese Witherspoon yang juga bertindak sebagai produser memang tidak begitu penting, namun tidak mengganggu jalannya cerita. Sedang James Mc Avoy terlihat begitu muda dan lugu. Wajar, mengingat film ini sudah tersimpan selama 2 tahun.
Film – film semacam ini harusnya lebih banyak lagi agar penonton sadar bahwa menjadi berbeda itu bukanlah sesuatu yang tabu. Intinya jangan takut untuk menjadi berbeda. Penelope mengajak kita untuk tidak klise. Membosankan. Melihat hasil akhir dari film ini secara financial, rasa – rasanya penonton masih lebih suka dijejali dengan sesuatu yang klise. Kisah bak Cinderella. Tidak mengherankan kalau Enchanted yang berjalan sesuai pakem dongeng mendapatkan dolar yang jauh lebih baik. Atau mungkin Penelope kesulitan “menjual” dirinya karena melawan arus yang begitu kuat hingga harus tersimpan selama 2 tahun sebelum diedarkan secara luas? 3,25/5

THE BANK JOB




Pada bulan September 1971, Inggris dihebohkan dengan peristiwa perampokan yang terjadi di sebuah bank di kawasan London’s Baker Street. Para perampok berhasil mengambil beberapa safe deposit box yang berisi barang dan surat berharga. Peristiwa tersebut menjadi headline samapai berhari – hari, dan samapi sekarang belum terkuak siapa yang terlibat di balik peristiwa tersebut dan kemana harta yang berhasil dirampas.
Berangkat dari peristiwa tersebut, sutradara Roger Donaldson berusaha menghadirkannya di layar lebar lewat versi cerita yang disusun oleh Dick Clement dan Ian La Frenais. Yang namanya versi cerita, tidak perlu diperdebatkan benar tidaknya cerita yang dihadirkan. Yang lebih penting adalah mamu tidaknya sutradara mengemas tontonan yang menarik tanpa menyakiti logika.
Film dibuka dengan beberapa orang yang sedang berasyik masyuk, tanpa menyadari aksi mereka direkam oleh seseorang. Selanjutnya kita diperkenalkan dengan Terry (Jason Statham) yang mantan perampok dan sedang berusaha membina kehidupan yang lurus dengan mengelola sebuah bengkel. Ketika dihadapkan pada kebangkrutan, datang tawaran dari teman di masa lalu, Martine (Saffron Burrows) untuk merampok sebuah bank. Tanpa berpikir lama, Terry menyetujui usul tersebut dan mulai mengumpulkan orang – orang yang dia percaya dan kompeten untuk memuluskan aksi mereka.
Sejak awal kita diperlihatkan kenyataan bahwa ada pihak yang “menggerakkan” Martine. Terry bukannya tidak mengetahui hal tersebut, dia hanya tidak paham motif di balik orang dibelakang Martine. Dia tetap menjalankan tugasnya dengan professional, dan menyiapkan rencana akhir yang dia simpan sendiri. Perampokan berjalan sukses dengan beberapa gangguan yang lumayan membuat tegang penonton.
Namun masalah sebenarnya muncul setelah perampokan, karena ternyata perampokan tersebut mengancam eksistensi beberapa pihak. Tidak mau beresiko dengan kelangsungan hidup mereka, beberapa pihak tadi mulai memburu dan menghabisi orang – orang yang diajak oleh Terry. Melihat hal tersebut, Terry tidak tinggal diam. Dia mulai menyusun langkah untuk menyelamatkan nyawa teman – temannya sekaligus menjauhkan keluarganya dari bahaya.
Secara keseluruhan, film ini mampu menyajikan tontonan yang memikat. Adegan demi adegan hadir dengan pas dan tidak berlebihan. Para pemainnya mampu menggerakkan film dengan mulus. Jason Statham yang bisa dibilang actor laga paling sibuk saat ini, dalam film ini berhasil menampilkan sosok yang lain dibandingkan peran dia sebelumnya. Bisa dibilang, perannya dalam film ini merupakan peran paling normal dari semua peran yang pernah dia pegang. Tetap sebagai criminal namun dia juga seorang sosok yang cinta istri dan anak. Untungnya peran tersebut tidak dia tampilkan secara berlebihan seperti halnya dalam In The Name of The King. Sedang Saffron Burrows selalu tampil sensual dari semua sudut.
Mungkin sebagian penonton akan merasa sedikit tidak nyaman dengan porsi ketelanjangan dan kekerasan yang lumayan banyak ditampilkan. Namun kalau diperhatikan, adegan – adegan tersebut erat kaitannya dengan cerita, dalam hal ini dengan motif orang – orang yang merasa terancam dengan peristiwa perampokan tadi. Film ini bisa dijadikan pilihan untuk menghilangkan kepenatan. 3/5

GRACE IS GONE




Berbeda dengan War, Inc yang terasa vulgar dalam mengkritik kebijakan luar negeri pemerintah Amerika, Grace is Gone tampil dengan segala kesederhanaannya, namun mampu menghadirkan tontonan yang inspiratif, namun tetap menyentuh tanpa tampil cengeng. Grace is Gone berusaha menyentil dengan halus, namun focus dan efektif dalam menyampaikan pesan
Disini John Cusack berperan sebagai seorang ayah dengan dua anak, Heidi (Shélan O'Keefe) dan Dawn (Gracie Bednarczyk). Tanpa kehadiran ibu mereka, Stanley (John Cusack) menghidupi kedua anaknya dengan bekerja sebagai supervisor di sebuah swalayan. Ibu mereka, Grace (Dana Lynne Gilhooley), bukannya meninggal ataupun lari dengan orang lain, namun sedang menunaikan tugas dari negara sebagai tentara di Irak.
Stanley berusaha mendidik anak – anaknya dengan baik, meski cenderung tidak komunikatif, posesif dan terlalu banyak aturan. Sama dengan yang dialami oleh Steve Carrel di Dan In Real Life, hal tersebut tidak membuat Stan dekat dengan anak – anaknya, malah terbentuk jarak yang memisahkan mereka. Sampai sebuah berita tentang kematian Grace datang menghampiri Stan.
Seperti halnya dengan keluarga lain yang salah satu anggotanya tewas di medan perang, Stan merasa shock dan tidak siap menerima kabar tersebut, meskipun dia sadar sepenuhnya resiko yang bakal dihadapi ketika seorang tentara terjun ke medan perang. Dia juga dihadapkan pada ketidaksiapan menyampaikan hal tersebut kepada anak – anaknya. Ditengah kebingungan tadi, dia mengajak anak – anaknya untuk jalan – jalan, kemanapun mereka mau.
Seperti umumnya sebuah road movie, film ini mulai mengurai permasalahan demi permasalahan sepanjang jalan. Kita dihadapkan pada informasi bahwa dulunya Stan juga masuk kedalam militer, karena dirinya seorang patriot. Namun dia dikeluarkan ketika dia ternyata melakukan kecurangan agar masuk ke dalam militer yang mempertemukannya dengan Grace. Karena mempunyai latar belakang militer, maka tidak mengherankan dengan penggambaran pola asuh yang dia terapkan kepada anak – anaknya.
Stanley adalah gambaran pihak yang terluka oleh negaranya. Luka pertama timbul ketika dia dikeluarkan dari militer. Padahal patriotismenya tidak akan berkurang hanya karena dia tidak memenuhi syarat – sayarat yang telah ditentukan. Dalam hal ini dia merasa dikhianati oleh negaranya. Luka selanjutnya timbul karena kematian istri tercintanya di medan perang yang tidak jelas apa tujuannya. Kebahagiaan keluarganya serasa dicabut oleh kebijakan pemerintah yang cenderung bodoh. dan lewat perjalanan dengan anak –anaknya, Stanley berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bangkit kembali untuk menciptakan hidup yang lebih bahagia bagi anak – anaknya.
Film ini mungkin terasa menjemukan bagi penonton yang terbiasa dengan film penuh hingar bingar, serta tampilan efek visual yang dominan. Namun film ini terasa indah dan sayang untuk dilewatkan. Film ini intinya ingin menampilkan efek perang bagi keluarga yang ditinggalkan salah satu anggota keluarganya karena tewas di medan perang. Apakah perang merupakan jalan terbaik untuk menciptakan perdamaian?
Berbeda dengan film sejenis sebelumnya, film ini terasa orsinil dari segi cerita, karena kalau pada film – film sebelumnya yang pergi ke medan perang adalah seorang ayah, dalam film ini ibu adalah pihak yang meninggalkan keluarganya demi tugas dari Negara. Betapa lucu dan ironisnya ketika dalam sebuah adegan, Stanley menghadiri perkumpulan para istri tentara untuk berbagi cerita.
Tanpa bermaksud cengeng, sutradara James C. Strouse berhasil menghadirkan beberapa adegan yang lumayan menyentuh. Adegan ketika Stanley menelepon ke rumah hanya untuk mendengar suara istrinya, terasa sangat menyesakkan dan mampu merangkum rasa kehilangan Stanley. Begitupun adegan di sebuah gerai mainan anak – anak, ketika mereka bertiga berangkulan di sebuah ruamah – rumahan. Akhir cerita disajikan terasa pas dan tidak berlebihan. Tidak menampilkan tangisan yang berlebihan, namun tetap membuat penonton ikut meneteskan air mata.
Selain cerita, kekuatan film ini ada pada acting dari John Cusack yang kuat. Dia mampu mempresentasikan dengan baik sosok ayah tunggal yang kehilangan istri tercintanya. Disisi lain dia juga menyimpan kemarahan kepada negaranya. Bisa dibilang penampilan John Cusack disini merupakan yang terbaik sepanjang karirnya. Perhatikan perut buncit dan cara berjalannya yang seperti keberatan membawa beban. Menarik juga melihat interaksi John Cusack dengan dua bintang belia yang berperan sebagai anaknya. Hubungan mereka terasa pas dan natural. Film makin terasa sendu dengan alunan Jamie Cullum yang melantunkan Grace is Gone (nice song!). 3,5/5

WAR, INC




John Cusack dikenal sebagai actor yang cerdas. Meski film – filmnya jarang menjadi hit (kecuali Con Air) namun penampilannya selalu mendapatkan apresiasi yang cukup positif, baik dari kritisi film maupun dari penonton. Meski termasuk kurang produktif, John Cusack tampaknya mempunyai fans yang cukup loyal.
Selain sebagai actor, John Cusack juga dikenal sebagai penulis yang cerdas. Hal ini terlihat dari beberapa film yang naskahnya dia tulis atau terlibat di dalamnya, seperti Grosse Point Blank yang dipuji – puji kritikus. Dan dibalik wajah imutnya, ternyata John Cusack memendam semacam rasa sebal terhadap kebijakan yang diambil oleh negaranya dalam hal Perang Irak. Dalam waktu yang hampir bersamaan, John Cusack merilis dua film yang bertujuan mengkritik kebijakan politik luar negeri dari George W Bush, yakni War, Inc dan Grace is Gone.
Dalam War, Inc, John Cusack berperan sebagai seorang agen rahasia bernama Brand Hauser. Di awal film kita diajak untuk melihat aksinya yang dingin. Selanjutnya Hauser mendapatkan tugas untuk membunuh Omar Sherif (Lyubomir Neikov) di Turaqistan. Turaqistan ini seperti halnya Irak, sedang dilanda konflik, dan Amerika berada disana berusaha menjadi malaikat perdamaian. Padahal motif sebenarnya adalah penguasaan sumber daya alam, yang dalam hal ini dimenangkan perusahaan Tamerlane. Omar Sharif tadi dianggap merecoki kepentingan bisnis dari Tamerlane, sehingga wajib disingkirkan.
Berkedok sebagai Ketua dari Tamerlane Trade Mission, Hauser mulai menjalankan aksinya. Segalanya harusnya berlangsung dengan mudah. Namun yang terjadi kemudian jauh meleset dari perkiraan. Terutama ketika seorang reporter, Natalie Hegalhuzen (Marisa Tomei), dan seorang super star mirip Britney Spears, Yonica Babyyeah (Hilary Duff), mulai memasuki hidup Hauser. Hidup Hauser yang sebelumnya digambarkan sepi sendiri bermain solitaire, kini terasa riuh dengan hadirnya dua wanita tadi, dan menyebabkan konsentrasinya terpecah.
Sama dengan yang dialami oleh Hauser, film ini menjadi bingung dalam memfokuskan cerita. Cerita yang awalnya terasa menggigit dengan hadirnya beberapa sindiran keras terhadap perilaku Amerika di negeri orang, selanjutnya lebih disibukkan oleh permasalahan personal dari Hauser. Konflik yang seharusnya menarik menjadi terasa lembek dan kurang tenaga. Menjadi sebuah film biasa.
Padahal, di sepertiga durasi awal, film ini mampu menghadirkan sesuatu yang segar dan terasa cerdas. Beberapa sindiran terasa menohok dan menggelikan. Bagaimana Amerika menanamkan pengaruh di negeri orang tergambar dengan frontal dalam film ini. Mulai dari kehadiran restoran cepat saji, berbagai hal penunjang hidup konsumtif (billboard dimana-mana) sampai penampilan Yonica yang berpenampilan renyah layaknya Britney Spears atau Lindsay Lohan.
Kemunafikan Amerika disajikan secara telanjang di film ini. Pada salah satu adegan, digambarkan seseorang yang menopang papan tentang toleransi, namun ternaya dipunggung orang itu terdapat tattoo bertuliskan “F#$% Haji!”. Dan dalam usahanya menarik simpati, Tamerlane (Amerika) menampilkan pentas seni oleh para korban perang, lengkap dengan penjelasan spesifikasi senjata yang melukai mereka oleh asisten Hauser, Marsha Dillon (Joan Cusack). Masih belum puas? Si pemberi perintah, Vice President (Dan Ackroyd), digambarkan memberi instruksi lewat video call ditoilet ketika dirinya sedang buang air besar sambil membaca koran!
Seperti disebutkan diatas, film ini terasa menarik di sepertiga durasi awal dan terasa biasa di menit – menit berikutnya. Namun untungnya hal tersebut tertutupi dengan permainan para actor/aktrisnya. John Cusack seperti biasa mampu memainkan peran apa saja dan selalu kompak dengan kakaknya Joan Cusack. Marisa Tomey yang sahabat dekat Cusack mampu mengimbangi dengan baik. Hillary Duff memberi kejutan dengan penampilannya yang sexy, liar sekaligus rapuh. 2,75/5
 
GILA SINEMA. Design by Pocket