Adjeng (Titi Sjuman) adalah seorang penulis cerita anak yang lumayan dikenal. Namun entah mengapa dia ingin meninggalkan hal tersebut untuk beralih menjadi penulis cerita dewasa. Dalam mewujudkan keinginan tersebut, Adjeng dibantu oleh mentor sekaligus “teman ranjangnya”, Asmoro (Ray Sahetapy). Dalam proses penulisan cerita dewasa pertamanya kita diajak untuk melihat berbagai kejadian di masa lalu Adjeng yang membentuk kepribadian Adjeng dewasa.
Waktu kecil, Adjeng (Banyu Bening) mengalami beberapa peritiwa kelam. Mulai dari ditinggalkan ayahnya untuk menikah dengan perempuan yang lebih muda, mendapatkan pelecehan seksual dari pacar ibunya (diperankan oleh Bucek Depp), sampai menjadi saksi mata pembunuhan yang dilakukan oleh ibunya. Belum lagi lingkungan sekolah yang tidak bersahabat. Tak heran, Adjeng tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, pemurung, namun menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja serta terbiasa hidup dengan imajinasi.
Segala bencana tersebut hadir terutama setelah ayahnya meninggalkan ibunya. Ibunya melihat Adjeng sebagai sosok yang dibenci sekaligus dicintainya, yang membuat perilaku ibunya menjadi labil. Kadang bersikap keras, baik secara fisik maupun verbal, namun disisi lain menjadi sosok pelindung yang berlebihan hingga terkesan cerewet.
Hubungan yang aneh dan tidak sehat ini berlanjut hingga Adjeng beranjak dewasa yang memutuskan untuk hidup sendiri. Adjeng tidak lantas bisa hidup tenang, karena setiap saat ibunya selalu hadir merecoki hidupnya. Sebuah hal yang hanya diterima pasrah dengan terpaksa oleh Adjeng. Adjeng dewasa menjadi pribadi yang terluka namun sekaligus memuja kebebasan karena terbiasa menyimpan permasalahannya sendiri.
Pada akhirnya penonton diajak untuk memahami bahwa proses yang diambil oleh Adjeng sekarang ini merupakan semacam terapi bagi jiwanya yang terluka. Konflik memuncak ketika akhirnya Adjeng berhasil meloloskan cerpennya di sebuah surat kabar ternama. Berbagai reaksi datang menghampirinya, yang membuat hidup Adjeng makin sulit, dan meledaklah segala kemarahan yang tersimpan dalam diri Adjeng. Aaaaaaaaaaargh!!!
Cerita yang dihadirkan oleh Djenar Maesa Ayu akan sangat sulit diterima oleh penonton awan. Terutama bagi mereka yang melihat film sebagai media hiburan. Dengan cerita yang cenderung gelap, karakterisasi yang kurang simpatik bahkan cenderung tak bermoral di mata masyarakat, serta diceritakan dengan irama yang lambat, berpotensi membuat penonton langsung tertidur atau bahkan segera beranjak meninggalkannya karena ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh film ini. Namun kalau penonton mau sedikit bersabar, kita akan diberi hadiah sebuah akhir cerita yang cerdas sekaligus mengejutkan. Dijamin, akhir cerita yang dihadirkan bisa dimasukkan sebagai salah satu penutup cerita terbagus di perfilman Indonesia mutakhir.
Pemilihan akhir cerita tampaknya sengaja dipilih Djenar untuk menyatakan sikapnya, terutama terhadap mereka yang sibuk mengomentari dan menghakimi orang lain, tanpa melihat lebih dekat apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah hal yang jamak terjadi di tengah masyarakat dengan kontrol sosial yang kuat. Film ini menjadi semacam ejekan terhadap orang – orang yang sibuk mencereweti karya orang lain (termasuk GILASINEMA donk……jadi malu). Mungkin hal ini kurang tersampaikan dengan mulus mengingat karakter Adjeng yang tidak sepenuhnya mengundang simpati.
Sebagai sebuah karya perdana, Mereka Bilang, Saya Monyet bukanlah sebuah karya yang buruk, menjanjikan malah. Kalau Djenar serius berkecimpung di dunia film, karya – karya selanjutnya patut ditunggu. Walaupun bernuansa gelap, cerita yang dihadirkan oleh Djenar terasa lebih bersahabat dengan logika, mungkin tidak dengan rasa. Secara teknis juga perlu diperhalus lagi, apalagi dengan banyaknya bahasa gambar yang dipergunakan dalam penyampaian pesan.
Begitupun dalam mengarahkan pemain. Djenar tampaknya harus lebih keras lagi dalam mengarahkan pemain dalam filmnya. Siti Sjuman dan Henidar Amroe memang mampu menampilkan performa yang apik. Namun beberapa pemain pendukung terlihat agak canggung, mengingat banyaknya muatan dewasa dalam film ini. Contohnya Mario Lawalatta yang terlihat tidak nyaman dengan sedikit kain yang menempel ditubuhnya.
Kekuatan film ini memang ada pada naskahnya yang kadang terasa sangat cerpen. Keberanian Djenar mengangkat sesuatu yang lain dan menabrak banyak aturan patut mendapatkan apresiasi tersendiri. Ketika di film lain para tokohnya sibuk berkata “aku”, dalam film ini Adjeng menyebut dirinya dengan “saya”. Padahal orang – orang egois akan sangat menikmati film ini. Sayang film ini tidak beredar secara luas. Kalau saja film ini dilihat oleh lebih banyak mata. 3,5/5
1 komentar:
kurang suka film2 yg bertempo lambat spt ini...
Posting Komentar