Fiksi. dibuka dengan penggambaran tokoh Alisya (Ladya Cheril yang sering terlihat seperti teh Nia Dinata, hehehe) yang diperlakukan bak boneka oleh ayahnya yang seorang militer dan merupakan sosok yang terpandang. Dengan disiplin dan pengawasan yang ketat, Alisya seakan direnggut dari dunia nyata. Terdapat jarak yang amat lebar antara bapak dan anak ini yang ditunjukkan dengan sangat efektif dengan adegan di meja makan.
Terbiasa hidup dalam ruang lingkup yang sempit, Alisya melarikan hidupnya dengan bermain cello dan mengkoleksi boneka (orang kesepian cenderung mengkoleksi benda). Alisya menjadi pribadi yang kesepian dan terbiasa menyimpan segalanya sendiri. Polah tingkahnya tak beda jauh dengan boneka yang dia koleksi. Perhatikan cara dia berjalan, intonasi kata yang monoton sampai pemilihan model dan warna pakaian yang dia kenakan. Namun dibalik wajah tanpa ekspresi, tersimpan sebuah sebuah jiwa yang sakit. Hal ini diperparah dengan peristiwa traumatis yang dialami Alisya dimasa kecil.
Hidupnya berubah ketika Bari (Donny Alamsyah) masuk ke dalam kehidupannya. Entah mengapa dia selanjutnya begitu terobsesi dengan sosok satu ini. Mungkin dia melihat kehidupan dalam diri Bari. Selanjutnya dimulailah pengembaraan Alisya dalam usaha mendapatkan Bari yang telah mempunyai kekasih, Renta (Kinaryosih).
Mengaku sebagai Mia, Alisya menempati sebuah ruang yang KEBETULAN kosong disamping ruang yang ditempati oleh pasangan Bari dan Renta di sebuah rumah susun. Bari ternyata adalah seorang penulis cerita yang selalu mengalami kesulitan dalam mengakhiri cerita yang dia tulis, sedang Renta KEBETULAN merupakan mahasiswi jurusan Psikologi. Pasangan tersebut pada awalnya tidak melihat sesuatu yang aneh pada diri Mia/Alisya. Sampai beberapa peristiwa tragis menimpa beberapa penghuni rumah susun tersebut, Bari mulai merasakan ada sesuatu yang aneh, mangingat korbannya adalah sumber inspirasi cerita yang dia tulis. Hidup Bari makin tidak tenang setelah Mia/Alisya menyerahkan keperawanannya. Kalau sebelumnya Mia/Alisya hidup dibawah control, kini dia yang memegang control.
Menyaksikan Fiksi. mengingatkan kita pada gaya film produk Jepang, semacam Audition. Film mengalir dengan lambat, musik yang minimalis, pencahayaan yang suram namun menyimpan sebuah tragedy di penghujung cerita. Obsesi Alisya sedikit mengingatkan pada Jennifer Jason Leigh di Single White Female, Glenn Close di Fatal Attraction atau Kathy Bates di Misery.
Dibandingkan film Indonesia yang lain, film ini lebih mengandalkan gambar dalam menyampaikan sebuah ide. Meski pada beberapa bagian terkesan cerewet, seperti masalah hidup bersama, pada beberapa bagian Mouly Surya mampu menghadirkan gambar – gambar yang cukup efektif berbicara, meskipun tidak istimewa. Bahasa gambar paling kuat dan mengesankan adalah pada saat Mia/Alisya membaca tulisan karya Bari. Moment terkuat dari film ini hadir lewat adegan ini. Lewat adegan yang dihadirkan, sutradara dan penulis cerita seakan ingin memberi batasan yang tegas antara fiksi dan realita, namun bukan berarti keduanya tidak bisa berinteraksi. Hanya saja harus disikapi dengan lebih bijaksana.
Karena banyak bermain dengan bahasa gambar, mau tidak mau para pemain dituntut untuk mampu menerjemahkan naskah yang ada secara cerdas. Tugas berat dibebankan kepada Ladya Cherril yang tampil dominant sepanjang durasi film. Untungnya dia mampu menjalankan tugasnya dengan baik, begitupun dengan Donny Alamsyah. Kinaryosih tampil kurang menonjol mengingat porsinya yang memang terbatas.
Menyaksikan Fiksi. mau tidak mau sedikit mengingatkan pada film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang, Saya Monyet. Ada kemiripan antara Alisya dengan Adjeng, selain nama mereka dimulai dengan huruf A. Keduanya merupakan sosok yang mencoba untuk bebas dan merindukan cinta. Masalah yang mereka hadapi ditimbulkan oleh satu sosok yang sama : ayah yang brengsek. Kemiripan kedua film ini makin terasa dengan jalan cerita yang cenderung kelam dan lambat. Hanya bedanya, Joko Anwar terasa lebih terampil mengolah drama hingga filmnya lebih enak dinikmati, meski ada beberapa hal yang kurang tergambarkan dengan kuat seperti motivasi Alisya begitu terobsesi dengan sosok Bari. Dan seperti biasa, selalu ada sosok homoseksual. Namun dalam mengakhiri cerita yang dihadirkan, Mereka Bilang, Saya Monyet jauh lebih unggul.
Mengenai pemilihan akhir cerita, langkah yang diambil oleh penulis cerita bisa diterima, mengingat dialog dalam sebuah adegan yang membahas perbedaan antara fiksi dan realita. Namun apakah harus dengan kematian? Terkadang orang yang mati sekalipun, kisahnya akan tetap ada dan mempunyai pengaruh terhadap cerita selanjutnya, meski dengan pelaku yang berbeda. Namun pada akhirnya kita tidak perlu terlalu serius menyikapi sebuak fiksi, karena kadang ada beberapa bagian yang terasa dilebih – lebihkan dan terlalu banyak kebetulan didalamnya. Apakah darah perawan bisa seluber itu? Entahlah, namanya juga fiksi. Perhatikan dan camkan baik – baik judulnya yang tidak lazim! Judul film ini adalah FIKSI. (dengan titik) bukan FIKSI (tanpa titik). 3,25/5