Jumat, 28 Mei 2010

ALICE DOESN’T LIVE HERE ANYMORE : PERSEMBAHAN TERMANIS MARTIN SCORSESE

Jumat, 28 Mei 2010

Martin Scorsese selama ini banyak menghasilkan film seputar dunia lelaki, hingga kesan keras senantiasa hadir dalam film-filmnya. Tidak banyak yang tahu kalau diawal karirnya sebagai sutradara, Martin Scorsese pernah menghasilkan film yang sangat perempuan dan bahkan mendapatkan banyak apresiasi positif, baik dari para kritikus film maupun dari beberapa festival film, termasuk Cannes! Judul film yang dimaksud adalah Alice Doesn't Live Here Anymore yang dirilis akhir tahun 1974. Martin Scorsese rasanya pantas berterima kasih pada Francis Coppola karena gara-gara rekomendasinya, Ellen Burstyn yang diberi kuasa oleh Warner Bros untuk memilih sutradara yang tepat, menunjuk Martin Scorsese setelah menyaksikan Mean Streets.


Alice Doesn't Live Here Anymore mempunyai kisah yang sederhana. Alice Hyatt (Ellen Burstyn) terpaksa harus kembali ke kampung halaman ketika secara tiba-tiba, suaminya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Sepeninggal suaminya, Alice hanya mempunyai sedikit dana dan masih harus mengurusi anak semata wayangnya, Tommy (Alfred Lutter). Menempuh perjalanan yang panjang, Alice berhenti sejenak di beberapa kota untuk mendapatkan uang. Sejak kecil Alice bercita-cita sebagai penyanyi. Cita-cita tersebut sempat terlupakan ketika Alice menikah. Kini dia berusaha meraih cita-cita tersebut. Masalahnya, kehidupan itu kadang tidak mudah dan kenyataan tidak seindah impian. Ada saja hambatan yang menghampiri. Ditengah usahanya tersebut, Alice bertemu dengan pria-pria yang sedikit mempersulit langkah dan membebaninya dengan pilihan yang bisa menghancurkan mimpinya dan janji terhadap ana yang sangat dia cintai.


Meski terkesan sangat sederhana, Alice Doesn't Live Here Anymore cukup berhasil menghadirkan sosok perempuan di masa dimana gerakan perempuan akan persamaan hak mulai menggejala di mana-mana. Hal tersebut diwakili dengan apik dengan karakterisasi dari si Alice. Sosok Alice digambarkan sedikit teatrikal, namun bertenaga serta berani mangambil pilihan sendiri. Jiwa bebas dari Alice digambarkan lewat sikap optimis dan tidak terseret kedukaan serta kalimat-kalimat lugas yang meluncur bebas dari mulutnya. Meski demikian, sosok Alice tidak digambarkan radikal karena ada sang anak sebagai katalis aksinya. Selain itu, Alice juga digambarkan layaknya manusia kebanyakan, tanpa memandang jenis kelamin, yang membutuhkan cinta dalam hidupnya. Resikonya, ending yang dipilih terkesan kompromis dan cenderung terlalu cepat. Namun, rasanya pilihan endingnya sudah cukup bijaksana dan menggambarkan salah satu alternative pilihan ideal dan manis.


Daya tarik film ini menurut saya, selain karakter Alice yang loveable, juga berkat hubungan Alice dan Tommy, sang anak, yang begitu cair dan tanpa batas. Interaksi keduanya senantiasa menghadirkan senyum dan tawa. Lihat saja bagaimana Alice mengusili Tommy, begitupun sebaliknya. Perdebatan diantara keduanya kadang terkesan kurang ajar dan menabrak batas-batas kelaziman hubungan ibu dan anak. Sebagai seorang pemain baru, penampilan Alfred Lutter yang didapat setelah mengaudisi lebih dari 300 anak sungguh sangat mengesankan. O iya, selain itu ada Jodie Foster lho. Disini dia terlihat ganteng dan tokoh yang dia perankan, mulutnya tidak kalah lugas dengan mulut si Alice. Bahkan, dalam salah satu adegan, kata-kata yang keluar dari mulut Audrey yang diperankan oleh Jodie Foster tersebut membuat Alice terperangah.


Film tentang perempuan seringkali menempatkan sosok pria sebagai si brengsek. Tidak demikian dengan Alice Doesn't Live Here Anymore. Memang ada sosok pria yang kasar dan keras terhadap perempuan seperti Ben (Harvey Keitel) yang mengejar Alice meski sudah beristri, namun film ini juga ada David (Kris Kristofferson) yang tidak egois dengan berani minta maaf serta ada juga Mel (Vic Tayback) pria pemilik restoran yang sangat toleran, bahkan tidak berdaya menghadapi salah satu pegawainya, Flo (Diane Ladd). Sosok Flo ini mewakili citra perempuan seksi namun independen. Dengan karakter yang sama-sama bebas, Flo bisa menjadi teman terbaik bagi Alice. Perempuan memang idealnya saling dukung satu sama lain. 4/5

12 komentar:

Anonim mengatakan...

FILM LAMA???BELON NONTON DAN BELUM PERNAH DENGER JUDUL SCORSESE YANG INI..
tapi judulnya kerennnnnn kayak judul albumnya siapa ya lupa akuu he

Anonim mengatakan...

Tahu gak, kalau Koya Pagayo bernah dengan tidak tahu malunya membuat film horor kancut yg diberi judul 'Alice Tidak Tinggal Disini Lagi"?

Untunglah dia tahu diri, sehingga kemudian mengubah filmnya menjadi 'Lewat Tengah Malam' yang sumpah nggak nyambung dengan isi filmnya, tapi sebenarnya judul diawallah yang pas dan cocok dengan isi filmnya. :D

gilasinema mengatakan...

@delupher : filmnya sempat masuk Cannes lho. di lapak ora kayaknya sulit didapat. Aku dapetnya VCD Asli secara tidak sengaja lho. Di obral sepuluh ribu rupiah

@jalagfilm : O YA?! ck....ck...ck...makasih infonya

gilasinema mengatakan...

Aduuuh....maksudnya JALANGFILM, bukan jalagfilm. Sorry :)

Fariz Razi mengatakan...

@jalangfilm hahaha iya mas saya jg pernah baca di majalah kalo gak salah yg 'Alice Tidak Tinggal Disini Lagi', LOL. Eh bulan depannya diganti judulnya

Movietard mengatakan...

Ohmay...jadi pengen nonton... tadi memang pengen ngambil film ini karena harga vcdnya disale hanya 5000k! Tapi nggak jadi karena I never heard this Scorsese's film akhirnya pilihan justru jatuh ke Mean Street

Rijon mengatakan...

Jangan lupa, Martin Scorsese juga pernah bikin drama melankolis: The Age of Innocence.

Mampir ya ke blogku.

Gilasinema mengatakan...

@movietard : 5ra?! Huaaaa...senengnya bisa dapet murah. Di film ini,Scorsese gak kalah deh sama Almodovar. Pd bbrp bagian jg mirip Dancer in the Dark,cuman jauh lebih riang

@rijon : yup. Selain hadirkan sindiran sosial,The Age of Innocence jg angkat soal independensi perempuan. Salam kenal :)

Anonim mengatakan...

Great review..(smart perspective)

Baru tahu kalo:
1. Ternyata item putih ya..
2. Martin Scorsese yg buat.

Thoughts:
Ellen Burstyn emang paling oke aktingnya (paling inget pas 'requim for a dream')...

Efek:
Makin penasaran (i love classic movie..),abis ini segera hunting di lapak dvd langganan...hehe :)

@gunawan_trian

Movietard mengatakan...

#Om Gila itu maksudnya 5000 ribu rupiah saja, didiskon gila2an di Carefour om :D

#Rijon Aha! The Age of Innocence salah satu period drama favorikur, Day Lewis always awesome ya

gilasinema mengatakan...

@gunawan : ini filmnya berwarna lho ;)

@movietard : iya, maksudku begitu hehehehe...

Rijon mengatakan...

@Movietard:
Winnoa Ryder yang paling menarik perhatian di film itu. Sayang sekarang dia gak seterkenal dulu lagi. Kalau masalah period drama, aku lebih suka David Lean, kayak "A Passage to India" dan "Doctor Zhivago".

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket