Senin, 26 April 2010

SYNDROMES AND A CENTURY (SANG SATTAWAT)

Senin, 26 April 2010

Mmmm…bagaimana ya enaknya menceritakan kembali kisah yang dihadirkan oleh Apichatpong Weerasethakul. Kita seakan menyaksikan dua kisah yang sama, dan hanya dibedakan oleh tempat dan waktu. Karena berbeda ruang dan waktu, pada akhirnya kisah tersebut memiliki jalinan kisah yang berbeda. Seperti sungai yang mempunyai satu muara, namun dalam alirannya membentuk cabang-cabang tersendiri untuk kemudian bertemu lagi pada satu muara. Begitulah Syndromes and A Century disajikan. Kedua kisah dimulai dengan adegan yang hampir serupa. Dr. Toey (Nantarat Sawaddikul) dan Dr. Nohng (Jaruchai Iamaram) yang berbeda kelamin menggiring kita pada kisah yang berbeda, yang membuat Syndromes and A Century tak ubahnya sebuah sajian komparatif. Yang satu berlatar belakang desa (tradisional), satunya lagi mengambil Kota (modern) sebagai latar belakang cerita.


Mungkin Apichatpong Weerasethakul tidak bermaksud membuat perbandingan, namun dari apa yang disajikan dilayar, kita sebagai penonton tak pelak membuat kesimpulan. Paruh pertama kita melihat sajian visual yang indah alami, hijau, meditatif dan menyejukkan. Ada keintiman antara orang-orang yang tampil di layar. Ada interaksi pria-wanita yang serba canggung namun tersirat keintiman antara keduanya. Pada bagian ini, jarang sekali kamera menyoroti dengan dekat para pemerannya. Mereka diletakkan ditengah seakan menegaskan posisi mereka terhadap alam lingkungan di mana mereka tinggal. Manusia hidup dengan udara segar. Kisah kedua ditempatkan pada tempat dimana warna putih begitu mendominasi. Selain terlihat indah, juga menghadirkan sesuatu yang dingin. Hadirnya beberapa warna terang terasa mengejutkan indera. Di tempat yang teknologinya makin canggih ini, keintiman interaksi antar manusia terasa tergerus, dan nyatanya perkembangan teknologi tidak membuat pekerjaan lebih efisien. Interaksi pria-wanita terasa lebih vulgar dibandingkan kisah yang pertama. Terasa kurang pantas, begitupun dengan aksi beberapa tokoh lainnya. Dan manusia, diselubungi racun yang mengancam kesehatan mereka.


"Making a film is like your relationship with memories, or writing a diary," begitu penjelasan dari Apichatpong Weerasethakul dalam sebuah wawancara. Yang namanya memori itu terkait erat dengan ingatan hasil sebuah pengamatan. Syndromes and A Century membuktikan kalau Apichatpong Weerasethakul adalah seorang pengamat yang sangat detail (ayah ibunya adalah seorang dokter). Hasilnya, Syndromes and A Century adalah sebuah sajian komparasi yang tajam, dan dituturkan dengan amat indah. Latar belakang pendidikan arsitektur tampaknya mempertajam kemampuan Apichatpong Weerasethakul dalam hal komposisi gambar hingga apa yang tersaji sangat enak dan nyaman di mata. Film ini juga terasa lucu, terutama ketika terjadi pertemuan pola pikir desa (tradisional) dengan kota (modern). Dengan berlatar belakang kisah di dunia medis, film ini menghadirkan ide soal karma dan reinkarnasi. Dua hal yang nyatanya masih sangat dipercayai oleh Apichatpong Weerasethakul. "I believe in karma, reincarnation. You can't prove it but something is there for you, signs that affect your mind and heart."


Seperti halnya film nyeni kebanyakan, Syndromes and A Century memunculkan banyak interpretasi yang bisa membangkitkan sebuah diskusi yang menarik. Meski cukup enak dinikmati (satu keunggulan film ini dibandingkan film nyeni lainnya), ada beberapa bagian yang masih membuat Gilasinema bertanya-tanya, seperti ibu-ibu yang menatap kamera ketika orang-orang disekitarnya saling bercakap-cakap atau ending film ini. Menariknya film seperti ini adalah kadang jawabannya akan kita temukan suatu saat nanti. Atau mungkin ada yang bisa membantu? 4,5/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket