Selasa, 19 Januari 2010

TRUCKER

Selasa, 19 Januari 2010

Perempuan itu hakekatnya bagaimana sih? Peran yang bagaimana yang benar bagi seorang perempuan. Menjadi ibu rumah tangga yang disibukkan permasalahan domestic dengan mengesampingkan segala hasratnya atau menjadi sosok berdikari yang bisa melakukan hal-hal yang lazim digeluti para lelaki dan bebas mengejar mimpinya? Tak bisakah perempuan perempuan menggabungkan dua peran diatas?
Trucker sekali lagi mengangkat persoalan eksistensi perempuan. Di era dimana tuntutan persamaan peran semakin mengemuka, persoalan eksistensi perempuan ternyata butuh banyak sekali film untuk menumbuhkan kesadaraan mengenai kesetaraan gender. Bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan lawan jenisnya. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan baru, ketika perempuan disibukkan dengan perjuangan haknya, bagaimana dengan kewajibannya. Hak dan kewajiban bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Namun kadang kala karena terlalu asyik di satu sisi, membuat sisi yang lain menjadi terlupakan.


Diane Ford (Michelle Monaghan) memilih menjadi sopir truk karena pekerjaan ini dianggap lebih mencerminkan dirinya sebagai perempuan independent dibandingkan dengan pekerjaan sebagai pelayan atau perawat. Apalagi truk yang dia kendarai merupakan miliknya pribadi. Bagi Gilasinema, alasan ini agak sedikit kurang kuat. Apa bedanya mengoperasikan truk milik pribadi dengan menjadi pelayan di warung yang dikelola sendiri? Toh, keduanya sama-sama melayani orang lain.
Pilihan pekerjaan sebagai supir truk memungkinkan Diane bekerja sendiri, dan bisa memilih pasangan seksual tanpa pasangan ketika dia menginginkannya. Sekian tahun berada di jalan, membentuk Diane menjadi pribadi yang keras dan egois. Sutradara James Mottern memberi gambaran karakter Diane dengan efisien di adegan pembuka. Lewat adegan persetubuhan tersebut, terpampang dengan jelas bagaimana Diane cenderung nyaman semuanya berada di bawah kendalinya.
Namun naskah tidak membiarkan sosok Diane menikmati kebebasannya terlalu lama dengan menghadirkan Peter (Jimmy Bennett) anak kandungnya yang dia tinggalkan tidak lama setelah dilahirkan. Penonton pastinya sudah bisa menebak bagaimana selanjutnya cerita akan digulirkan. Pergesekan peran mulai menghantui hidup Diane. Sebenarnya, gesekan tersebut tidak perlu muncul terlalu tajam andaikan Peter tidak dimodali dengan tutur kata yang kasar dan penuh kemarahan. Bahkan, untuk ukuran anak berumur 11 – 12 tahun, apa yang keluar dari mulutnya terlalu dewasa, hingga terkesan berlebihan.


Seperti kebanyakan film independen, Trucker tidak memberikan konklusi yang jelas di akhir kisah. Kita hanya disuguhi sebuah rekonsiliasi antara Diane dengan Peter. Penonton dibiarkan menyimpulkan sendiri bagaimana peran ideal bagi seorang perempuan setelah hampir sepanjang durasi kita diperlihatkan berbagai konsekuensi dari sebuah pilihan. James Mottern tidak menempatkan sosok Diane layaknya terdakwa yang mendapatkan penghakiman. Kenyataannya, banyak sekali perempuan yang bekerja di sektor yang lazim dikerjakan lelaki. Ada yang berhasil menjalankan multi peran dengan baik, namun tak bisa dipungkiri, tak sedikit yang gagal mengkombinasikan berbagai peran yang melekat padanya.
Bagi penonton yang memandang perempuan seharusnya lebih banyak berkecimpung di dunia domestik, mungkin akan sulit sekali menikmati Trucker ini. Pada beberapa bagian, diperlihatkan perlakuan Diane pada lelaki. Selain adegan pembuka, adegan ketika Diane melangkahi temannya yang mabuk, Runner (Nathan Fillion), hingga kakinya menyenggol kepala lelaki tersebut mungkin akan terasa sangat kasar dan menghina. Sosok lelaki dalam film ini juga digambarkan tidak ada yang beres, mulai dari yang pesakitan, penurut hingga manipulatif.


Trucker memang tidak dibekali dengan naskah yang cukup meyakinkan, namun film ini ditopang oleh dua hal penting. Pertama, aksi para pemainnya yang bagus, terutama Michelle Monaghan dan Jimmy Bennett. Dibandingkan dengan pemenang Aktris Terbaik Kategori Film Drama di Golden Globe 2010, Monaghan menyajkan performa yang lebih menawan. Dia benar-benar mengemudikan sendiri truknya lho. Jimmy Bennett meski usia masih belia, justru melakonkan sosok Peter dengan baik. Lihat saja adegan dia bersama Len (Benjamin Bratt), ayahnya, yang terasa menggetarkan.
Penopang kedua film Trucker adalah sinematografinya yang memikat dan enak dimata. James Mottern dengan piawainya memanfaatkan pencahayaan alami untuk menghadirkan gambar-gambar yang cukup mengesankan. Dengan cukup banyaknya tampilan luar ruang, menjadikan film ini tidak terasa membosankan dan tidak jatuh ke aura suram. Musiknya, meski terdengar klise untuk sebuah film indie (bujet film ini kabarnya cuma $1,5 juta), cukup okelah ditelinga dan mampu mengiringi adegan demi adegan dengan baik.
Gilasinema dulu pernah melihat tayangan di tv yang menghadirkan sosok perempuan pengemudi truk pengangkut pasir. Kenapa belum ada sineas Indonesia yang berniat mengangkat kisah perempuan tersebut ya? Rasanya, bakal menjanjikan suguhan yang menarik asal naskahnya diolah dengan baik dengan disertai riset yang mendalam.3,25/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket