Sabtu, 16 Januari 2010

IDENTITAS

Sabtu, 16 Januari 2010

Pantaskah film Identitas menjadi yang terbaik di ajang FFI 2009? Pertanyaan ini langsung menggelayut tatkala Gilasinema selesai menonton film ini. Identitas bagi Gilasinema sungguh sebuah film yang mengganggu, rasa dan estetis. Sulit untuk menempatkan Identitas sebagai film yang bagus, namun tak layak juga dikategorikan sebagai film buruk. Menyaksikan Identitas seperti mendengarkan seseorang sedang curhat. Yang namanya orang curhat selalu menampilkan satu sisi kebenaran dan esensi dari curhat itu sendiri adalah mencari dukungan akan kebenaran idenya hingga tidak memberi ruang penghakiman dari si pendengar.
Identitas merupakan curhat kreatornya akan bobroknya system kesehatan di negeri kita. Ketika di rumah sakit, entah itu milik pemerintah atau swasta. manusia sudah merosot derajatnya menjadi komoditas, hingga membuka berbagai macam peluang bisnis mulai dari bisinis pelayanan kesehatan, jasa pemakaman, penjualan organ hingga bisnis kepuasan ragawi. Sehat menjadi hal yang eksklusif karena hanya kalangan tertentu saja yang bisa mendapatkan pelayanan terbaik.


Rumah sakit dalam Identitas menjadi tempat yang kotor, dalam artian sebenarnya maupun kiasan serta riuh karena dipenuhi orang-orang dengan berbagai macam kepentingan. Tentu saja hal ini membutuhkan sosok antagonis biang carut marutnya pelayanan kesehatan, yang dalam Identitas, sekali lagi dibebankan pada para pembuat kebijakan yang dinilai piawai menebar janji namun seringkali amnesia dalam realisasi.
Lewat tokoh Adam (Tio Pakusadewo) yang berprofesi memandikan mayat, kita diajak untuk “berwisata” menyaksikan segala kebobrokan tadi. Karena sering bergaul dengan mayat, Adam menjadi sosok asing dilingkungan tempat tinggalnya yang digambarkan penuh dengan orang-orang hipokrit yang sibuk berjualan. Namun anehnya, di luar tempat tinggalnya, Adam bisa dengan mudahnya menjalin kontak dengan orang lain, apalagi dengan perempuan keturunan Tionghoa (Leony) yang menjual tubuhnya pada pria penikmat hubungan kelamin, untuk mendapatkan biaya perawatan ayahnya.
Gara- gara persinggungan Adam dengan perempuan tersebut, tiba-tiba saja curhat beralih ke persoalan identitas. Di sesi curhat bagian kedua ini, si pencurhat mencoba menjungkir balikkan stereotype yang berlaku di masyarakat. Yang paling kentara tentu saja penggambaran tokoh keturunan Tionghoa yang digambarkan miskin. Lihat saja si pemilik warung atau sosok yang diperankan Leony yang saking melaratnya tidak mampu membeli alas kaki, yang (mungkin) bisa juga untuk memberi gambaran tak adanya proteksi terhadap kaum (yang dianggap) minoritas. Meski kenyataannya banyak dijumpai warga keturunan yang kurang beruntung, namun sudah terbentuk pandangan mereka dipandang sebagai kaum mapan.


Identitas berusaha mengkritisi pemaknaan jati diri seseorang yang hanya mendapat pengakuan oleh Negara kalau ada bukti otentik yang mendukungnya. Identitas seseorang dinilai dari apa yang tercantum dalam kertas yang dilegalisasi oleh pihak berwenang. Kalau syarat ini tidak bisa dipenuhi, orang tersebut dianggap tidak eksis, dan malangnya bisa dianggap melanggar hukum. Bukannya mereka tidak ingin melegalkan identitas mereka, namun birokrasi yang tidak ramah dan manusiawi membuat mereka mundur. Dampaknya, ketika meninggal pun mereka tidak bisa mendapatkan pemakaman yang layak.
Kenyataannya, identitas itu sesuatu yang sangat fleksibel, yang bisa ditentukan oleh banyak hal, salah satunya adalah batas geografis. Warga keturunan Tionghoa dikondisikan sebagai warga minoritas di Indonesia, namun kalau dilihat secara luas, mereka warga terbesar di dunia ini dilihat dari jumlahnya. Indikator dalam penentuan identitas pastinya menimbulkan perdebatan panjang dan pastinya akan lebih mudah ketika manusia dipandang sebagai manusia.


Kembali ke persoalan curhat tadi. Sebenarnya apa yang dicurhatkan materinya sangatlah menarik, namun karena disampaikan dengan terlalu banyak gugatan, sebagai pendengar curhat kita jadi bertanya-tanya, ini maunya apa sih? Apalagi dalam berkeluh kesah diselipkan humor-humor yang hanya bisa diterima kalangan tertentu saja. Dimasukkannya berbagai macam ornamen semakin membuat kita sulit menterjemahkan maksud cerita.
Selain gugatan yang membabi buta, kta dibuat tidak nyaman dengan persentasi audio visual yang tidak konsisten. Dialog pemainnya kadang merupakan hasil pengisian suara di studio, namun di beberapa adegan merupakan hasil rekam langsung pas syuting. Tidak asyiknya, dengan dialog yang amat teatrikal, pengisian suara lewat studio tersebut malah mengikis emosi karena terdengar tidak natural. Pengambilan gambar dalam durasi cukup lama tanpa putus patutlah dihargai, namun lain kali kalau bisa bayangan kameramen jangan sampai ikut nampang. Patut diacungi jempol mereka yang mengurusi bagian artistik atas keseriusan mereka dalam memberi gambaran kondisi rumah sakit yang ruwet bin kacau.


Seperti diungkapkan diatas, menyaksikan Identitas layaknya mendengar sebuah curhat. Luapan keluh kesah itu sangatlah personal, karenanya tidak mengherankan kalau Identitas terkesan egois. Kreatornya seakan tidak menghiraukan tanggapan audien karena bisa saja itu bukanlah sesuatu yang penting bagi mereka. Sulit bagi penonton untuk bersimpati pada kisah yang dituturkan hingga tidak peduli dengan pesan yang ingin disampaikan. Kreator tampaknya sudah cukup puas uneg-unegnya sudah tercurahkan dan hirau pesan mengena sasaran atau tidak. Kok seperti masturbasi ya?
Kabarnya Identitas merupakan bagian pertama dari sebuah trilogy. Kalau hal ini benar adanya, alangkah bijaksananya apabila para kreatornya membuat dua film selanjutnya lebih ramah pada penonton. 3/5

5 komentar:

nothing mengatakan...

leoni dah gede, hehehe

ajirenji mengatakan...

satu kata: setuju

memang kayaknya sulit membuat dialog bermakna, dalam bahasa indonesia yg baik dan benar tanpa terjebak jadi dialog teatrikal...

btw, kalo di DVD gambarnya lebih terang gak? gw nonton di Jiffest kmaren (digital tapi di blow up ke format pita film) gambarnya suram banget.

gilasinema mengatakan...

DVD nya terang banget,makanya bisa liat bayangan kameramennya

Awya mengatakan...

Wah, keren bener reviewnya. Saya suka banget kalo neglihat review yg isinya unek2 si penulis daripada penjelasan plot filmnya. argumen itu lebih mahal bagi saya. jadi lebih gak banyak spoiler seperti waktu review Paranormal Activity yang isi endingnya. Serius lho saya jadi gak tertarik nonton film horor itu jadinya. lol.

Reviewnya dalem banget. Cerdas. Tajam. Terpercaya. *jilatbiardikasiDVD*

Jadi penasaran pengen nonton Identitas jdnya. udah ada dvdnya toh?

gilasinema mengatakan...

Apaan sih :P

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket