Senin, 30 November 2009

MARY AND MAX

Senin, 30 November 2009 10
God gave us relatives…that God we can choose our Friends.


Pada tahun 2003, Adam Elliot berhasil meraih Oscar untuk Kategori Film Animasi Pendek lewat judul Harvey Krumpet. Mary and Max merupakan proyek panjangnya yang pertama sutradara dari Australia ini, dan setelah menyaksikannya, Gilasinema menempatkan film ini sebagai film animasi terbaik tahun ini selain Coraline. Dengan label “based on a true story”, Mary and Max menjanjikan tontonan animasi yang berbeda dibandingkan film animasi yang Gilasinema saksikan sebelumnya.


Tak ada yang menyangka dua orang yang tinggal di benua berbeda, Mary di Melbourne dan Max di New York, mempunyai pengaruh besar satu sama lain. Apalagi, keduanya mempunyai rentang usia yang jauh. Pertemanan dua orang tersebut juga diawali dengan ketidaksengajaan. Selama lebih 20 tahun, Mary dan Max terhubung lewat tulisan dan belum sekalipun bertemu meski keduanya saling bertukar foto.
Keduanya mempunyai beberapa kesamaan, yakni sama-sama kesepian, pecinta coklat dan menyukai seri TV The Noblets. Berawal dari cerita remeh, seperti makanan kesukaan, hubungan keduanya makin intens dan menyebabkan saling ketergantungan satu sama lain. Hubungan keduanya bukannya tidak mengalami naik turun, apalagi dengan Syndrome Asperger yang melekat pada Max.


Hubungan Mary dan Max mengalami titik terendah ketika Max merasa dirinya dimanfaatkan oleh Mary. Pada fase ini, Mary sampai terpuruk dan ditinggalkan oleh semuanya, namun kembali bangkit ketika Max membuka pintu maaf. Setelah melewati masa “penyembuhan”, Mary memutuskan untuk menemui Max dengan membawa anaknya. Akankah keduanya pada akhirnya bisa bertemu?


Dengan durasi hamper 90 menit, Mary and Max menyajikan gambar dan dialog yang amat padat. Setiap adegan terasa penting, hingga menarik untuk diulas. Adam Elliot terlihat sangat mendewakan detail. Lihat saja gambaran New York yang berbeda ketika Mary beranjak dewasa. Pemilihan warna tanah (abu-abu dan coklat) yang dominan dengan selipan warna merah menghadirkan kesan artistik yang kuat, selain dimaksudkan untuk memperkuat karakterisasi.
Meski mengisahkan hubungan pria dewasa dengan anak belia, jangan bayangkan rangkaian dialog penuh petuah bijak. Max yang cenderung kaku dan sinis seringkali melontarkan dialog-dialog yang rasanya terlalu vulgar dan kurang bijak untuk anak kecil, belum lagi kebiasaannya kentut sembarang tempat.


Max Jerry Horovitz: Unfortunately, in America, babies are not found in cola cans. I asked my mother when I was four and she said they came from eggs laid by rabbis. If you aren't Jewish, they're laid by Catholic nuns. If you're an atheist, they're laid by dirty, lonely prostitutes.


Dari informasi yang Gilasinema baca, Mary and Max kebanyakan diberi rating PG atau G di beberapa Negara. Suatu hal yang mengherankan mengingat isi dari Mary and Max rasanya terlalu “kasar” untuk anak belia. Selain beberapa dialog dan adegan yang lumayan provokatif, seperti adegan bunuh diri. Belum lagi beberapa adegan yang lumayan sadis, seperti matinya seseorang karena tertimpa AC atau ikan yang masuk ke pembakar roti. Tampilan fisik tokoh-tokohnya juga kurang menarik untuk mata penonton belia.


Mary and Max berkisah seputar pertemanan. Pertemanan yang tulus tanpa memandang usia, jenis kelamin, budaya dan lain sebagainya. Sometimes perfect strangers make the best friends. Pertemanan itu bisa terjalin karena beberapa hal. Selain persamaan, pertemanan juga bisa terjalin karena adanya kepercayaan yang merupakan wujud dari rasa saling mengasihi. Namun, sebelum kita mengasihi orang lain, ada baiknya LOVE YOURSELF FIRST.
Dibalik persolan pertemanan tadi, Gilasinema menangkap satu ide besar yang ingin disampaikan oleh Adam Elliot, yakni atas kuasa Tuhan semuanya bisa terjadi. Seperti pepatah orang bijak, kita hanya bisa berencana, namun Tuhan jualah yang menentukan segalanya. Banyak sekali adegan dalam Mary and Max yang mengesankan pesan besar tadi.


Barisan pengisi suara yang hebat makin membuat Mary and Max memiliki jiwa yang kuat. Apresiasi lebih patut diberikan pada Philip Seymour Hoffman yang mengisi suara Max serta Barry Humpreys sebagai narrator. Mary and Max dikerjakan lebih dari 57 minggu dengan menggunakan 133 set yang berbeda. Tak kurang 212 boneka dan 475 miniatur property dibuat. Hasilnya? Film yang wajib tonton dan lebih bagus ketimbang Up. 4,25/5

Sabtu, 28 November 2009

FUNNY PEOPLE

Sabtu, 28 November 2009 0
Underneath anger is hurt, but underneath hurt is love.


Mendapati dirinya divonis mengidap penyakit mematikan, George Simmons (Adam Sandler) yang merupakan bintang Holly kondang memutuskan untuk kembali tampil sebagai stand up comedian. Beruntung dia bertemu Ira Wright (Seth Rogen) yang sedang merintis karir dan banyak mempunyai ide-ide segar. George Simmons menawarkan tawaran menarik yang sulit Ira tampik hingga “menendang” sahabatnya, Leo Koenig (Jonah Hill). Sebuah keputusan yang mengancam persahabatan mereka nantinya.


Dalam perkembangannya, Ira yang digambarkan naïf melihat betapa menyedihkannya hidup George Simmons. Hidupnya diselimuti kesepian dan kehampaan, hingga tidak ada yang benar-benar peduli kepadanya. Banyak yang mendekati George Simmons namun hanya melihatnya sebagai sosok kondang. Ira yang begitu memuja George Simmons, hingga rela melakukan apa saja, sialnya tidak mendapatkan reaksi yang sepadan, mengingat sikap sang bintang yang kadang menjengkelkan.
Pertunjukan demi pertunjukan membuat hubungan keduanya makin erat dan saling membutuhkan. Keadaan berubah ketika George dipertemukan dengan sang mantan, Laura (Leslie Mann), yang sayangnya sudah membina rumah tangga dengan Clarke (Eric Bana) dan dikaruniai dua putri. George bertekad merebut kembali cinta Laura yang untungnya hal ini didukung dengan berita gembira, kalau penyakit telah beranjak pergi dari tubuhnya.


Berbeda dengan dua film yang disutradarai Judd Apatow sebelumnya yakni The 40-Year-Old Virgin dan Knocked Up yang membuat jengah dengan leluconnya, Funny People mengalir dengan irama yang jauh lebih manis dari pada dua film tadi. Guyon-guyon seputar selangkangan (cowok) tetaplah bertaburan, namun entah mengapa hal tersebut sedikit terabaikan dengan bagaimana George perlahan bertransformasi menuju kebaikan. Gilasinema paling suka dengan adegan di kamar periksa yang menghadirkan dokter berambut pirang sepundak. Lucu banget.


Namun, setelah Laura dihadirkan, film menjadi sedikit menjemukan. Hal ini disebabkan dengan arah cerita yang seolah akan memenangkan usaha sabotase dari George. Penonton yang awalnya bersimpati terhadap George bakalan dibuat antipati dengan aksinya tersebut. Hal ini berimbas pada penilaian terhadap acting Adam Sandler yang sebelumnya terlihat manis. Untung, Judd Apatow mengakhiri film dengan bijaksana dengan memberikan bogem mentah terhadap George Simmons.


Funny People sebenarnya sangat enak dinikmati. Selain joke-jokenya yang segar dan pemilihan lagu yang manis, film ini didukung oleh deretan cast yang bermain pas sesuai porsinya. Menurut Gilasinema Adam Sandler berhasil menunjukkan salah satu penampilan terbaiknya, selain di Spanglish. Belum sekelas Oscar memang, tapi Golden Globe bolehlah. Eric Bana ternyata juga bisa tampil ok di genre komedi dengan dialek Aussie-nya dan Leslie Mann terlihat cantik, apalagi dia didampingi dua putrinya. Benar-benar proyek keluarga.


Seth Rogen cukup memberikan kejutan dengan karakternya yang naïf, dibandingkan peran-peran sebelumnya yang tengil, serta tampilan fisiknya yang jauh lebih tipis. Demi memeriahkan filmnya, Judd Apatow berhasil mengajak beberapa nama kondang untuk urun tampil seperti Sarah Silverman, Paul Reiser, Ray Romano, Andy Dick, Eminem dan James Taylor. Judd Apatow juga berhasil menggaet sinematografer handal, Janusz Kaminski, demi menghadirkan tampilan visual yang lebih enak dimata.


Sayangnya, berbagai kelebihan diatas sedikit terusakan oleh durasi yang terlalu panjang. 145 menit! Gilasinema merasa Funny People sudah cukup dibalut dengan durasi 100 – 120 menit dengan memangkas beberapa adegan yang terlalu panjang seperti usaha George dalam mendapatkan kembali Laura, atau mengurangi show-show dari George Simmons, meski tentu saja tidak bisa menghilangkan adegan “Fuck Facebook in the face!” yang (mungkin) pesanan dari sponsor (MySpace) hehehehe….


Lalu siapa sih yang dimaksud sebagai manusia lucu oleh Judd Apatow? Manusia lucu menurut Apatow adalah mereka yang tidak bisa belajar dari kesalahan yang mereka buat, justru mengulanginya tanpa rasa bersalah alias BODOH. Lihat saja film-film yang dimaksudkan mengocok perut penonton. Disitu banyak dijumpai karakter-karakter bodoh didalamnya. Namun hal tersebut seringkali menjadi tidak lucu lagi kalau berulang-ulang dihadirkan, layaknya komedi slapstick.


Beberapa kritikus film di luar sana membandingkan Funny People dengan film-film karya James L Brooks. Gilasinema setuju dengan hal tersebut, meski Judd Apatow harus belajar bagaimana memadatkan cerita. Film-film James L Brooks biasanya menghadirkan karakter-karekter “sakit” yang pada akhirnya mendapatkan “kesembuhan” di akhir cerita. Buat yang terkesan dengan Terms of Endearment atau As Good As It Gets, film ini bakal memberikan sensasi yang kurang lebih sama. 3,75/5

Kamis, 26 November 2009

LOOKING FOR ERIC

Kamis, 26 November 2009 1

Eric Bishop (Steve Evets) usianya tidak muda lagi. Di usia yang idealnya diisi dengan ketenangan justru menjadi masa terberat dalam hidup Eric. Gara-gara diminta bantuan oleh anak perempuannya, dia harus berhadapan dengan istri yang telah lama dia tinggalkan, Lily (Stephanie Bishop). Di tengah kegalauan ini dia juga harus menghadapi dua anak angkatnya yang beranjak remaja dan tidak menunjukkan rasa hormat sedikitpun.


Kondisi ini membuat Eric menjadi sosok yang keras, pemurung dan cenderung banyak mengumpat. Teman-teman bekerjanya di kantor pos selalu siap membantunya, namun usaha mereka menemui kegagalan, bahkan hanya untuk sekedar membuat Eric tersenyum. Hanya kepada Eric Cantona sajalah Eric bisa mengeluarkan segala unek-uneknya.
Tentu saja dalam hal ini bukanlah Eric Cantona yang sebenarnya. Karena saking mengidolakan Sang Raja, Eric menghadirkan sosok Eric Cantona di dunia nyata, layaknya John Nash dengan sosok imajinernya di A Beautiful Mind. Berbeda dengan sosok imajiner John Nash yang destruktif, Eric Cantona justru membantu Eric dalam membuka selubung demi selubung yang menjerat hidupnya, terutama dalam usahanya menata ulang kehidupan cintanya dengan Lily.


Ketika hubungan Eric dan Lily menuju kearah yang indah, Eric dihadapkan pada masalah yang menimpa salah satu anak angkatnya. Masalahnya tidak main-main karena berkaitan dengan anggota gank tertentu. Eric yang juga ingin membuktikan pada dua anak angkatnya bahwa dia berhak untuk dihormati, berusaha membantu dengan menemui langsung gank tersebut. Bukannya dibuat takut, para gank tadi justru membuat Eric makin tampak memalukan. Disinilah Eric Cantona kembali berperan sebagai malaikat penyelamat.
Looking for Eric hadir sebagai bukti makin kuatnya hubungan Ken Loach dan Paul Laverty. Yang satu sebagai sutradara, sedangkan satunya lagi sebagai penulis naskah. Keduanya sudah lebih dari 5 kali bekerja sama, dan rencananya masih akan ada beberapa karya lagi yang bakal mereka hadirkan. Sinergi keduanya menghasilkan beberapa karya yang diakui festival film bergengsi, terutama Cannes. Puncaknya ketika The Wind That Shakes the Barley sukses menggondol Palme d'Or di tahun 2006.


Looking for Eric juga sempat bertarung di Cannes 2009, dan banyak yang menjagokan Steve Evets dalam perebutan Aktor Terbaik, meski tentu saja harus kalah dari Hans Landa yang brillian. Looking for Eric, menurut Gilasinema mengangkat inti cerita bagaimana kita memandang diri sendiri dan bagaimana memandang orang lain. Kita selalu memandang kehidupan orang lain jauh lebih baik dibandingkan kehidupan kita. Akibatnya kita cenderung bersikap kejam terhadap diri kita sendiri.
Padahal, belum tentu kehidupan orang lain itu lebih baik dibandingkan apa yang kita jalanai. Wang sinawang orang Jawa bilang. Yang namanya manusia selalu dihadapkan dengan masalah, Kalau merasa tidak punya masalah, pasti ujung-ujungnya mencari-cari masalah hehehe…Looking for Eric juga mengangkat persoalan pemujaan terhadap sosok yang kita anggap hebat. Sosok yang sebenarnya manusia biasa. Kenapa mereka menjadi terlihat hebat, sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan usaha keras yang mereka tempuh. Pemujaan/pengidolaan sah-sah saja, dan akan lebih baik kalo kita bisa belajar dari tokoh tersebut dan diterapkan dalam menjalani hidup kita. Kalau tidak cocok? Berarti saatnya berganti haluan.


Kesalahan dan kegagalan yang dialami oleh Eric membuat dirinya menjadi pribadi yang enggan berbagi masalah dengan orang lain. Kesalahan memang lazim terbuat, namun selalu ada jalan untuk memperbaikinya. Kegagalan bukanlah akhir segalanya. Dan kalau semua yang terjadi terasa terlalu berat untuk ditanggung sendiri, tak ada salahnya minta bantuan orang-orang terdekat demi sebuah hasil akhir yang manis. Solidaritas ini yang juga dikemukakan dalam Looking for Eric yang meski secara visual tidaklah istimewa namun bagus buat bahan renungan. Penampilan Eric Cantona juga saying untuk dilewatkan lho. 4/5

Senin, 23 November 2009

SHORT MOVIE REVIEW : VINCERE, 12 & CHERI

Senin, 23 November 2009 1
VINCERE


Berkisah tentang perjuangan Ida Dalser (Giovanna Mezzogiorno) dalam pengakuan sebagai istri pertama dari Benito Mussolini (Filippo Timi). Bukannya pengakuan yang didapat, justru penderitaan demi penderitaan yang Ida dapatkan, padahal dia telah mengorbankan semua yang dia punya demi modal di awal perjuangan Benito Mussolini.
Penampilan Giovanna Mezzogiorno sebagai Ida Dalser sungguh sangat bagus. Salah satu penampilan terbaik yang Gilasinema lihat sepanjang tahun 2009 selain Jessica Lange di Grey Gardens. Penampilannya yang cantik dan berkarakter kuat berhasil membuat penonton terpikat. Tidak heran kalau Benito Mussolini sempat jatuh hati padanya. Pesona Filippo Timi juga membuat kita maklum kenapa Ida Dalser begitu tergila-gilanya dengan Benito Mussolini.


Gilasinema terkesan dengan bagaimana sutradara Marco Bellocchio menggambarkan hubungan keduanya lewat serangkaian pertemuan dalam kegelapan dan percintaan penuh gairah. Paling terkesan dengan ekspresi yang ditampilkan Giovanna Mezzogiorno menjelang film berakhir. Berbagai campuran ekspresi muncul dari wajahnya. Mulai dari rasa kemenangan, kemarahan sekaligus kepedihan berhasil ditampilkan dengan amat meyakinkan.
Lewat Vincere, Marco Bellocchio juga seakan menampilkan kekuatan dari sinema. Mulai dari sarana propaganda yang ampuh, untuk sekedar hiburan dan bisa sebagai sarana terapi yang menggugah. Sayangnya, Vincere bukanlah film yang bisa dinimati semua umat. 3,75/5

12


Film ini terinspirasi film klasik yang dianggap sebagai salah satu film pengadilan terbaik yang pernah dibuat, Twelve Angry Men. Kalau versi aslinya hanya butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk akhirnya memberikan keputusan kepada terdakwa, 12 oleh sutradara Nikita Mikhalkov membutuhkan lebih dari 2,5 jam untuk membebaskan sang terdakwa dari tuduhan pembunuhan.
Dengan durasi yang panjang, kita disuguhi oleh aneka macam khotbah dari 12 pria matang dengan berbagai latar belakang. Menyaksikan 12 seakan melihat Rusia kecil dengan segala macam problematikanya. Hal ini berpotensi menjadikan 12 sebagai tontonan yang dengan segera ditinggalkan oleh penontonnya.


Untungnya, Nikita Mikhalkov menyelipkan beberapa adegan aksi yang lumayan mengobati kejenuhan. Bagaimana mereka merekonstruksi kejadian juga disajikan menarik. Ketegangan Gilasinema rasakan ketika mereka membahas pisau yang digunakan sebagai alat dalam pembunuhan. Pada akhirnya, keadilan memang berhasil ditegakkan. Namun, sudah selesaikah tugas mereka? Film ini memilih akhir cerita yang bijaksana. Lewat 12, sekali lagi kita diingatkan, yang banyak itu belum tentu benar. 3,75/5


CHERI


Ada beberapa film yang menurut Gilasinema tidak patut untuk dibuat, dan menurut Gilasinema, Cheri patut dimasukkan dalam kategori tersebut. Bukan karena filmnya tidak bagus, tapi karena naskahnya yang menurut Gilasinema kurang diolah dengan sedemikian rupa. Film berjalan dengan datar tanpa letupan konflik yang berarti. Kisah cinta beda usia antara Michelle Pfeiffer dan Rupert Friend yang menjadi fokus utama justru kalah menarik dibandingkan perseteruan Michelle Pfeiffer dan Kathy Bates.


Ending cerita yang dipilih membuat Gilasinema mengernyit. Sudah?!Begitu saja?! Ibarat sebuah makanan, Cheri sebenarnya mempunyai bahan-bahan yang berkualitas. Selain dua bintang perempuan yang tidak perlu diragukan lagi kemampuan aktingnya, ada Alexandre Desplat yang mengolah musiknya. Sutradaranya juga tidak main-main, Stephen Frears yang pernah hasilkan High Fidelity. Bahan-bahan berkualitas tadi sayangnya tidak diberi bumbu yang cukup oleh Christopher Hampton yang bertugas mengadaptasi novel karya Colette. 2,75/5

SHORT MOVIE REVIEW : SURROGATES, GAMER & LAND OF THE LOST

SURROGATES


Sebenarnya mempunyai ide cerita yang lumayan menarik, dan beberapa bagian sedikit mengingatkan pada Metropolis nya Rintaro yang diangkat dari manga karya Osamu Tezuka, seperti kelompok penentang Surrogates. Film yang diproduseri oleh Elizabeth Banks ini juga menampilkan efek visual yang cukup bagus. Gilasinema terkesan dengan wajah para pemainnya yang menjadi terlihat mulus.


Sayangnya, banyak hal yang kurang tuntas dan mengganjal. Salahkan durasinya yang tidak sampai 90 menit. Mengherankan, mengingat film-film sejenis biasanya minimal berdurasi 100 menit, bahkan ada yang mencapai lebih 120 menit. Dengan durasi yang lebih panjang, Gilasinema membayangkan Surrogates mempunyai jalinan cerita yang rapat dan lebih meyakinkan selain untuk mengakomodasi adegan aksi yang jauh lebih spektakuler.Sayang....2,75/5

GAMER


Mark Neveldine dan Mark Taylor tampaknya bakal jadi pasangan sutradara favorit Gilasinema. Dwilogi Crank yang tidak sedikit yang membencinya, justru memberi kepuasan tersendiri bagi Gilasinema. Kini dia hadir deengan Gamer dan berhasil menggaet barisan bintang beken mulai dari Gerard Butler, Michael C. Hall, Amber Valletta, Ludacris hingga Alison Lohman. Seperti halnya Crank, Gamer menyajikan jalinan cerita yang tak perlu diperdebatkan. Nikmati saja bagaimana Neveldine/Taylor mengolah adegan aksi yang sekali lagi, tidak mengecewakan. Gamer juga menyajikan beberapa adegan dewasa yang kurang pantas disaksikan penonton belia.


Dibandingkan dengan Crank, Gamer menyisipkan lebih banyak drama. Sayang, selipan ini membuat Gamer menjadi lembek di paruh akhir. Neveldine/Taylor tampaknya tidak hanya dicintai oleh Gilasinema dan bakalan punya fan base yang kuat, duo ini juga bakalan dicintai oleh produser karena, meski tidak banyak, selalu memberikan keuntungan bagi penyandang dana. Dengan modal tidak sampai $15 juta, Gamer berhasil meraih pendapatan kotor hingga dua kali lipat biaya produksi. 2,25/5

LAND OF THE LOST


Sebelumnya, Gilasinema belum pernah melihat film yang dibintangi Will Ferrel. Melihat Land of the Lost pun gara – gara maen ke sebuah warnet yang sudah menyediakan download-an film. Dan ternyata, Land of the Lost memang jenis film yang sangat bisa untuk dilewatkan. Budget yang kabarnya mencapai $100 juta terkesan mubazir. Tampilan visual tidaklah istimewa. Hal ini makin diperparah dengan jalinan cerita yang tidak memberikan apa-apa, bahkan hiburan sekalipun.
Mungkin penonton belia masih akan tertawa melihat aksi Will Farrel, namun adegan pemakaian barang yang bikin halusinasi membuat film ini patut dijauhkan dari jangkauan anak-anak. 2/5

Sabtu, 21 November 2009

SHORT MOVIE REVIEW : PANDORUM, PARANORMAL ACTIVITY & ASSASSINATION OF A HIGH SCHOOL PRESIDENT

Sabtu, 21 November 2009 3
PANDORUM


Tertarik filmnya gara-gara teaser posternya yang seakan menyajikan adegan-adegan mengerikan. Tapi ternyata Pandorum tidaklah se-mengerikan seperti yang dibayangkan Gilasinema, meski tetap menghadirkan ketegangan yang cukup. Para makhluk jahatnya yang cepat dan kuat membuat tensi film menjadi lebih tinggi, apalagi dibalut aura gelap hampir sepanjang durasi.
Gilasinema sedikit terganggu dengan beberapa adegan yang menurut Gilasinema lumayan jorok, hingga para pemerannya kurang sedap dipandang. Sempat kurang begitu paham dengan arah cerita, namun setelah mencoba berpikir keras dengan daya nalar yang tebatas, menjadi agak lebih paham.


Pandorum seakan meneruskan kutukan yang menimpa Dennis Quaid yang tak henti dirundung kemalangan dengan jebloknya film yang dia bintangi. GI JOE sekalipun untuk peredaran domestic sebenarnya kurang menguntungkan, dan tertutup dengan peredaran internasional. Ben Foster tampil lumayan bagus dalam Pandorum ini, dan karakternya sangat tahan banting. Beberapa kali dia terlempar dan terbanting, namun tetap bisa gagah berdiri. 2,5/5

PARANORMAL ACTIVITY


Paranormal Activity sekali lagi membuktikan bahwa dengan strategi dagang yang tepat, jualan kita akan lebih mudah dan lebih banyak untuk dijual. Dengan cerdiknya, produser film ini “bersenjatakan” testimony dari sutradara kondang, Steven Spielberg, untuk menjual film yang disebut sebagai film paling seram sepanjang masa. Siapa sih yang tidak percaya pada komentar sutradara dengan reputasi hebat. Mengabaikan fakta, filmnya selesai diproduksi sejak 2007.
Selanjutnya, dengan cerdiknya, Paranormal Activity diputar di kota dimana banyak bermukim para pelajar. Film-film model begini memang paling mudah menggaet penonton belia untuk kemudian tersebar lewat mulut atau jejaring sosial di dunia maya. Selanjutnya, Paranormal Activity melenggang mulus untuk menjadi film indie paling menguntungkan sepanjang sejarah.


Namun layakkah mendapat gelar paling seram? ABSOLUTELY NOT! Gilasinema sendiri dibuat sebal dengan dua pemeran utamanya, terutama si cewek, yang cenderung banyak mengeluh tetapi mengabaikan bantuan dari si cowok. Si cowok juga sepertinya belum pernah dilempar kamera.
Paranormal Activity sebenarnya berpotensi menjadi tontonan yang lebih seram. Beberapa momen berpotensi menghadirkan kejutan, seperti ketika si cowok naik ke loteng. Namun sutradara Oren Peli menyajikan momen ini tanpa kejutan. Melihat film ini, Gilasinema jadi kepikiran untuk membuat versi Indonesia, yang tentu saja akan menampilkan lebih banyak penampakan hehehe..... Endingnya sih menurut Gilasinema, memang lebih oke dengan ...... di ......, bukannya mati di tembak polisi yang merupakan versi asli.
Melihat film ini juga terus terang membangkitkan otak porno Gilasinema. Daripada menyajikan adegan tidur yang terlalu dominan, mbok ya diselipi sedikit sex scene. Tidur bareng selama berhari-hari kok kayaknya gak ada aktivitas seksual sama sekali. Coba mereka making love, setannya pasti malu buat ganggu-ganggu. Dan selain scary tape, kita juga disuguhi sex tape hehehe....3/5

ASSASSINATION OF A HIGH SCHOOL PRESIDENT


Film ini menurut Gilasinema merupakan perpaduan dari Election dengan Cruel Intentions. Setelah banyak digempur dengan film-film remaja dengan tema cinta dan horror, hadirnya Assassination of a High School President yang bernuansa politik, memberikan kesegaran tersendiri. Bolehlah film ini disebut sebagai All the President’s Men versi High Schoool.
Film yang diarahkan oleh Brett Simon ini cukup enak dinikmati, meski naskah tulisan Tim Calpin dan Kevin Jakubowski menyimpan beberapa petunjuk penting hingga penonton kesulitan untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi meski dapat dengan mudah menebak siapa pelakunya. Film ini juga ditingkahi lagu-lagu yang enak dikuping, seperti Oh La la –nya Goldfrapp.


Reece Thompson tampil lumayan sebagai wartawan amatir yang lugu dan bodoh. Mischa Barton tampil cantik dan dengan rela memamerkan bagian atas tubuhnya pada salah satu adegan, meski sebenarnya tampilannya terlalu tua untuk seorang murid SMA. Bruce Willis tampil komikal dan bermulut kotor. Paling senang ketika dia mengucapkan dialog yang memparodikan perannya dalam The Sixth Sense, “You think I don’t see Cipriato behind me jerking off right now?He’s a dead man. I’ll deal with him.
Sayang film ini batal dirilis di bioskop gara-gara produsernya bangkrut. 3/5

SHORT MOVIE REVIEW : SUSUK POCONG, PUNK IN LOVE, QUEEN BEE & KETIKA CINTA BERTASBIH 1

SUSUK POCONG


Film horor Indonesia jalinan ceritanya amat sangat mudah sekali ditebak, dan biasanya bermuara pada dendam akibat pengkhianatan cinta (atau nafsu?). Untuk mengatasi kebosanan penonton, dihadirkanlah para pemain wanita yang sehat-sehat. Entah mereka minumnya susu cap apa, hingga bisa sesehat itu. Jangan lewatkan PENAMPILAN KHUSUS dari Dewi Perssik yang dengan rela mengolok-olok dirinya sendiri. 1,5/5

PUNK IN LOVE


Menjadi salah satu film Indonesia terlucu tahun 2009 ini selain Jagad X Code. Sutradara Ody C Harahap yang sebelumnya sukses dengan Kawin Kontrak lumayan berhasil “menghajar” stereotype yang melekat pada anak-anak punk. Mereka tidak digambarkan sebagai sosok yang seram dan cinta anarkis, tetapi layaknya anak muda biasa yang kadang konyol, ribet dalam urusan cinta, setia kawan, nasionalis dan takut hantu.
Kelucuan demi kelucuan tak henti dihadirkan yang membuat Gilasinema ngakak. Salah satu adegan sedikit kebabalsan dan berpotensi membuat penonton mual merasa jorok.


Punk in Love mampu tampil beda dengan petualangan sepanjang Pulau Jawa dan dialek Jawa Timuran para tokohnya, meski harusnya lebih banyak lagi pisuhan ”dancuk” . Lucu ketika mereka terjebak banjir si Semarang. Kisah yang lucu makin enak dinikmati dengan penampilan empat bintang utamanya yang padu. Kalau ada waktu, tak ada ruginya nonton film ini. 3/5

QUEEN BEE


Film ini mempunyai niat mulia yang patut kita hargai yakni mengajak para kaum muda untuk lebih peduli terhadap dunia politik. Film ini juga bisa menjadi masukan bagus buat mereka yang ingin terjun di dunia politik, terutama untuk merangkul partisipan muda.
Sayangnya, film ini kurang begitu asyik dinikmati para penonton muda. Penuturan yang kurang lincah dan beberapa bagian yang terkesan menggurui membuat film ini bisa membosankan beberapa penonton muda. Dipilihnya musik dari RAN, menurut kuping Gilasinema terasa kurang dinamis. Akibatnya, niat baik para pembuatnya tidak mendapatkan atensi yang semestinya. Sayang sekali.....2,75/5

KETIKA CINTA BERTASBIH 1


Gilasinema lumayan bisa menikmati film ini yang menurut banyak orang terasa membosankan. Ceritanya sendiri, menurut Gilasinema, memang lebih menarik ketika difokuskan di Indonesia. Bersabar menunggu VCD seri duanya keluar, yang tampaknya bakal lebih menggetarkan.
Penampilan para bintang mudanya dalam KCB 1 ini memang beberapa bagian masih perlu diasah. Namun, kalau mereka diberi banyak kesempatan, kedepannya akan lebih oke aktingnya, terutama pemeran Azzam dan Anna. 3/5

Jumat, 13 November 2009

2012

Jumat, 13 November 2009 13

Lupakan jalan cerita yang klise dengan balutan drama ala opera sabun yang sialnya tetap bisa membuat mata berkaca-kaca, abaikan logika cerita yang menyakiti otak, akting para pemain yang kurang meyakinkan ketika dihadapkan dengan tragedi kemanusiaan, selipan humor yang lumayan garing serta tak perlulah terlalu sibuk mencari tebaran bloopers dalam film ini.


Nikmati saja ketegangan demi ketegangan yang dihadirkan oleh Rolland Emmerich lewat serangkaian adegan penghancuran berbalut efek visual yang WOW. Meski, saking fokusnya pada adegan-adegan "besar", tampilan efek visual di adegan-adegan "kecil" jadi sedikit terabaikan. Paling mengesankan tentu saja ketika California dihancurkan. Masya Allah!


Sayangnya, Gilasinema sudah menikmati penghancuran (meski dalam wilayah yang lebih kecil) di Haeundae. Dampaknya sedikit mengurangi greget 2012. Dan lagi, dalam 2012 tidak ada adegan hujan kontainer layaknya di Haeundae yang amat membekas dalam ingatan.
Untungnya, Rolland Emmerich menyisipkan pesan yang sangat bagus sekali. Kiamat tidaklah hadir ketika bumi mengalami kehancuran namun ketika rasa kemanusiaan hilang dari muka bumi ini.



Durasi yang panjang (158 menit!) bisa merupakan kelemahan sekaligus keunggulan. Panjangnya durasi terasa tidak diperlukan. Perkenalan di awal terlalu lama, dan mungkin terasa membosankan bagi penonton. Begitupun dengan 20 menit terakhir. Durasi yang panjang sukses membuat pantat terasa kebas. Keunggulannya, penonton merasa tidak rugi keluar duit buat bayar tiket. Contohnya, untuk 158 menit, di bioskop tertentu hanya dikenakan tarif Rp. 15.000,00. Jadi, untuk 1 menit-nya, harganya tidak sampai Rp. 100,00. Murah kan hehehehe.....


Kalau tak ada tempat kering di benua Afrika, ending film ini akan mengarahkan kita ke Waterworld. Selamat deh buat Kevin Costner yang dulu banyak dicerca. Hayo...yang merasa mencerca, segera minta maaf :D
2012 memang sebuah film hiburan, namun cukup membangkitkan perenungan. Mari kita menuju jalan yang benar, karena kebetulan dan keberuntungan hanya akan banyak hadir di film. Mari menebar kebaikan, dan tetap berdoa, kalau perlu dengan lengkingan ala Adam Lambert,"it's time for miracles.....yaaaaayy....!!!"2,75/5

Minggu, 08 November 2009

PAPAKU HEBATTT!!!

Minggu, 08 November 2009 4

Gara-gara melihat World’s Greatest Dad, Gilasinema jadi kepikiran tokoh-tokoh ayah dalam sinema. Langsung tertangkap beberapa karakter, yang kebanyakan dari film Holly. Dengan daya ingat yang mulai mengendor, akhirnya dipilih beberapa karakter ayah yang cukup berkesan bagi Gilasinema. Paling sulit ketika mencari sosok ayah terbaik di dunia dari film kreasi dalam negeri. Ternyata, dalam film-film nasional, sosok ayah seringkali digambarkan sebagai sosok yang keras dan old fashioned yang kurang bisa mengekspresikan kasih sayang. Lihat saja film-film karya Rudi Sudjarwo, Upi atau Joko Anwar. Sosok ayah sedikit digambarkan berbeda dalam Bukan Cinta Biasa. Kapan ya film Indonesia bisa menampilkan sosok ayah yang loveable?


Sosok ayah bisa menjadi sosok yang dipuja anaknya, namun juga bisa menjadi sosok pertama yang dituding sebagai penyebab “kerusakan” seorang anak. Namun, rasanya tidak pantas terus menyalahkan ayah(-ibu) kita ketika kita merasa ada yang tidak benar, apalagi kalau umur sudah tidak muda lagi. Secara, sudah gedhe jadi berhenti menyalahkan pihak lain. Kalau kita bisa memperbaiki kerusakan yang terjadi, itu baru anak yang hebat.

Bryan Mills (Liam Neeson) – TAKEN


I would sacrifice anything for her.

Bangga benar mempunyai ayah seperti Bryan Mills ini. Demi menyelamatkan anaknya, dia bisa membuat kacau sebuah kota dan menerabas berbagai lembaga di negara lain. Belum lagi kemampuannya mengolah fisik, tenaga dan otak. TOP. Bisa jadi Bryan Mills pantas ditasbihkan sebagai papa paling cool sedunia hehehe....
Sama seperti Guido, Bryan memang tidak mempunyai harta berlimpah, namun dia siap berkorban apa saja demi menyelamatkan anaknya. Meski dengan jalan membunuh sekalipun. Yang menjadi nilai minus Bryan selain karakternya yang bisa keras dan kejam, jenis pekerjaan yang dia pilih bisa membawa dampak buruk bagi keluarganya. Mungkin dia bisa jadi ayah yang hebat, namun belum tentu bisa jadi suami yang baik. Tapi Bryan ini bisa lembut juga lho. Usahanya mendapatkan tips demi cita-cita anaknya patut diapresiasi.
PapaMeter : 6/10

Jim’s Dad (Eugene Levy) – AMERICAN PIE


I have to admit, you know, I did the fair bit of masturbating when I was a little younger. I used to call it stroking the salami, yeah, you know, pounding the old pud. I never did it with baked goods, but you know your uncle Mort, he pets the one-eyed snake 5-6 times a day.

Berbeda dengan ayah yang lain. Jim’s Dad bukannya shock dan marah mendapati anaknya bermasturbasi ria, justru malah dengan manisnya berbagi pengalaman dan pengetahuan. Jim’s Dad model ayah yang siap menjawab semua pertanyaan yang keluar dari mulut anaknya, bahkan untuk hal yang paling ekstrem sekalipun.
Jim’s dad juga sosok ayah yang siap mendampingi anaknya kapan saja, bahkan untuk momen paling memalukan sekalipun. Ayah model begini bisa sangat menyenangkan, tetapi juga bisa amat memalukan sekaligus menjengkelkan. Yang paling membahagiakan, dia siap mendampingi anaknya di salah satu momen paling penting.
PapaMeter : 6,5/10

Harry Stamper (Bruce Willis) – ARMAGEDDON


Awalnya, Harry digambarkan bukan sosok ayah ideal. Lingkungan kerja yang keras membentuk wataknya menjadi kurang peka terhadap Grace, anak perempuannya. Keduanya sering berseberangan dan Grace sendiri enggan memanggil Harry dengan panggilan ’Ayah”. Namun, siapa yang tidak bangga ketika melihat ayah kita menjadi pahlawan yang bisa menyelamatkan bumi dari kehancuran?
Harry mungkin bukanlah seorang ayah yang baik, namun sangat menyayangi anaknya. Dia tidak bisa memberikan kasih sayang layaknya ayah kebanyakan. Namun dia ayah yang hebat karena memberikan masa depan yang indah bagi anaknya. Selain berjasa menyelamatkan bumi, dia juga memberi kehidupan bagi pria yang bakal mendampingi anaknya menapaki kehidupan selanjutnya. Atas pergorbanannya tersebut, Harry akhirnya layak mendapatkan penghormatan. ” That is my father up there!”


Pengakuan dari anaknya kadang sudah cukup membuat ayah/ibu bahagia. ” I, um, I lied to you, too, when I told you that I didn't wanna be like you, because I am like you. Everything good that I have inside of me I have from you.” Hmmm….film yang masih saja membuat Gilasinema sesenggukan meski sudah ditonton beberapa kali.
PapaMeter : 7/10

Daniel Hillard / Mrs. Euphegenia Doubtfire (Robin Williams) - MRS. DOUBTFIRE


In regards to my behaviour, I can only plead insanity. Because, ever since my children were born, the moment I looked at them, I was crazy about them. Once I held them, I was hooked. I'm addicted to my children, sir. I love them with all my heart. And the idea of someone telling me I can't be with them, I can't see them every day... It's like someone saying I can't have air. I can't live without air, and I can't live without them. Listen, I would do anything. I just want to be with them. I know I need that, sir. We have a history. And I just... They mean everything to me. And they need me as much as I need them. So, please, don't take my kids away from me. Thank you.
Kalimat diatas sudah menunjukkan betapa sayangnya Daniel terhadap anak-anaknya. Keberaadaan anak yang diumpamakan udara yang dihirup sungguh analogi yang kuat dan tepat. Saking krusialnya keberadaan anak-anaknya, Daniel rela melakukan apa saja, hingga menyamar menjadi perempuan. Daniel model ayah yang kreatif dan menyenangkan dengan kemampuan komunikasi yang hebat. Yang menjadi masalah kalau Daniel terlalu menikmati penyamarannya, yang bisa membuat anak-anaknya menjadi bingung hehehe….
PapaMeter : 8/10

Chris Gardner ( Will Smith) – THE PURSUIT OF HAPPYNESS


I met my father for the first time when I was 28 years old. I made up my mind that when I had children, my children were going to know who their father was.

Kalimat diatas menjadi pegangan Chris Gardner dalam mengasuh anaknya. Meski tidak punya penghasilan yang memadai, selama dia ada untuk anaknya, itu sudah lebih dari cukup. Adegan ketika Chris berseteru dengan pengantre di rumah singgah menjadi bukti usaha Chris Gardner demi penghidupan yang layak bagi anaknya, selain terus berusaha meningkatkan kemampuannya yang menunjukkan kecerdasan yang dia miliki.
Seorang ayah idealnya memang harus cerdas. Tahu bagaimana mengejar mimpinya, yang dalam hal ini Chris memimpikan anaknya hidup layak tanpa harus kehilangan sosok ayah. Resiko mengejar mimpi tersebut, sang anak harus sedikit ikut menderita. Kengototan Chris agar sang anak ikut dirinya, bukannya sang ibu, sedikit membahayakan sang anak karena tidak dimilikinya tempat tinggal. Ada satu nasehat penting yang diberikan Chris kepada anaknya, You got a dream... You gotta protect it. People can't do somethin' themselves, they wanna tell you you can't do it. If you want somethin', go get it. Period.” Kata-kata ini bisa menjadi modal ampuh bagi sang anak kedepannya.
PapaMeter : 8,5/10

Marlin (Albert Brooks/Voice) - FINDING NEMO


Marlin: Where's my son? Where's Nemo?

Di awal, Marlin memang digambarkan sebagai sosok ayah yang sangat membatasi ruang gerak Nemo. Suatu hal yang dapat dimaklumi mengingat Nemo satu-satunya anak yang dapat bertahan meski sedikit cacat. Hal ini membuat Nemo sebal. Mungkin tidak hanya ikan, anak manusiapun kalau mempunyai ayah secerewet Marlin, pasti cenderung memilih menjauhi ayahnya.
Marlin sebenarnya sangat sayang pada Nemo. Lihat saja usaha kerasnya dalam usaha menyelamatkan Nemo. Menempuh ribuan kilometer dengan dihadang berbagai macam bahaya dan masalah. Luar biasa dan tak terlupakan!
Marlin tipe yah yang pintar membesarkan jiwa anaknya dan yang pasti siap berkorban apa saja demi kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Yang paling penting, Marlin adalah tipe ayah yang mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya. Jarang sekali ayah seperti ini bukan. Seringkali karena merasa lebih tua, merasa lebih benar hingga tidak mau mendengar suara anaknya.
PapaMeter : 9/10


Guido Orefice (Roberto Benigni) - LA VITA E BELLA / LIFE IS BEAUTIFUL


This is my story. This is the sacrifice my father made. This was his gift to me.

Tidak mudah hidup sebagai Yahudi di jaman NAZI, apalagi buat mereka yang mempunyai keluarga. Guido berusaha sekuat tenaga supaya anaknya mempunyai masa kecil yang menyenangkan di tengah suasana tak menentu dan bisa merenggut keluarganya setiap saat.
Guido ini tipe ayah yang sangat kreatif. Orang kreatif biasanya cerdas. Kemampuan lebih ini, Guido dedikasikan sepenuhnya demi kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Tidak mudah memang menjadi papa, hingga dibutuhkan kemampuan berimprovisasi, dan diimbangi kemampuan komunikasi yang mumpuni. Situasi sulit tidak menjadikan Guido kehilangan akal. Meski tidak bergelimang harta dan tidak diberi waktu panjang untuk mencurahkan kasih sayang, Guido selalu berusaha agar Giosué dapat menikmati hidup yang layak. Guido rela berkorban, bahkan dengan nyawanya sekalipun. Ayah seperti ini layak mendapatkan kehormatan tertinggi.
PapaMeter : 10/10
 
GILA SINEMA. Design by Pocket