Selasa, 28 April 2009

SERUNYA CANNES 2009

Selasa, 28 April 2009 6


Selain Academy Award, Cannes merupakan movie event yang selalu Gilasinema ikuti. Cannes selalu menarik karena selalu menyajikan film-film yang lain dari biasanya. Daftar film-film yang masuk, biasanya Gilasinema simpan sebagai bekal ketika berburu film hehehe….Tahun ini pertarungan memperebutkan Palem Emas tampaknya akan berjalan seru. Nama-nama yang disegani dan mendunia (tidak hanya dikenal di Holly semata) akan saling bertarung. Kalau diperhatikan, kebanyakan yang bertarung adalah nama-nama yang sebelumnya telah berkompetisi di ajang yang sama. Yang menarik, Asia menghadirkan lebih dari 5 wakilnya di ajang kompetisi. Bahkan China berhasil mengirimkan 2 wakilnya. Korea Selatan makin makin mengukuhkan dirinya sebagai Negara yang makin berkembang industri filmnya dengan rutin mengikuti Cannes Film Festival. Yang mengejutkan, Filipina dan Malaysia berhasil menembus sesi kompetisi. Indonesia kapan ya?
Buat yang rajin mendownload film, kemungkinan film-film di bawah ini sudah ada yang bisa diunduh, mengingat seringkali ada yang iseng membocorkannya, seperti kasus The Burning Plain dan Two Lovers kemaren. Beberapa film sangat sulit mencari info yang terkait, mengingat masih dalam proses sentuhan akhir.


• LOS ABRAZOS ROTOS (BROKEN EMBRACE), Pedro Almodovar, Spanyol
Pedro Almodovar memang belum pernah menang di Cannes. Namun kolaborasinya bersama Penelope Cruz selalu layak ditunggu. Bertarung di Oscar 2010 mungkin? Ada peluang Cruz masuk lagi.

• FISH TANK, Andrea Arnold, Inggris
Gilasinema pernah menyaksikan film karya Andrea Arnold yang berjudul Red Road. Film ini ikut bertarung di Cannes 2006 dan berhasil membawa pulang Jury Prize. Yang menarik dari Fish Tank adalah tampilnya Michael Fassbender yang tahun kemarin dipuji habis-habisan lewat perannya di Hunger. Aktor yang satu ini juga tampil di Inglourious Basterds, dan tampaknya bakal makin sibuk di Holly dengan proyek menjanjikan Jonah Hex (2010) dan Wuthering Heights (2010).

• UN PROPHETE, Jacques Audiard , Perancis
Kisah yang diangkat dalam Un Prophete sungguh mengusik rasa penasaran. Seorang pria arab yang masih muda dikirim ke penjara di Perancis dan menjadi mafia didalamnya. Menarik bukan? Jacques Audiard pernah mendapatkan penghargaan Best Screenplay lewat Un héros très discret di Cannes 1996.


• BRIGHT STAR, Jane Campion , New Zealand
Setelah lama tidak muncul, Jane Campion akhirnya kembali muncul membawa kisah cinta sastrawan beken, John Keats. Tampaknya Bright Star akan mirip dengan The Piano yang puitis dan indah. Kehadiran Abbie Cornish dan Kerry Fox (yang tampil heboh di Intimacy) mengindisikasikan hadirnya adegan sensual layaknya Holly Hunter dan Harvey Keitel.

• VINCERE, Marco Bellocchio , Italia
Marco Bellocchio merupakan sedikit dari sekian banyak sutradara yang sering mampir di Cannes. Salto nel vuoto (1980), Enrico IV (1984), Il principe di Homburg (1997), La balia (1999) dan L'ora di religione (Il sorriso di mia madre) (2002) bisa dijadikan bukti.
Vincere mengisahkan kekasih rahasia Mussolini yakni Ida Dalser, dengan anaknya yang albino. Menarik nih…


• MAP OF THE SOUNDS OF TOKYO, Isabel Coixet , Spanyol
Isabel Coixet dikenal berkat Mi vida sin mí / My Life Without Me (2003) dan ikut nimbrung di proyek keroyokan, Paris, je t'aime (2006). Tahun kemarin dia mengarahkan Penelope Cruz dan Ben Kingsley di Elegy. Yang menarik di Map of the Sounds of Tokyo adalah tampilnya Rinko Kinkuchi.


• CHUN FENG CHEN ZUI DE YE WAN (SPRING FEVER), Lou Ye, China
Film ini tidak secara resmi mewakili China, mengingat sutradara Lou Ye tidak mengantongi ijin dari Pemerintah China. Hal ini seakan mengulangi kejadian di tahun 2006, dimana film Lou Ye, Summer Palace juga tidak mendapat restu dan mendapat cekal di rumah sendiri.

• A L’ORIGINE (IN THE BEGINNING), Xavier Giannoli, Perancis
Xavier Giannoli pernah memenangkan Golden Palm untuk kategori Best Short Film lewat L'interview (1998). Di tahun 2006, dia kembali masuk kompetisi lewat Quand j'étais chanteur. A L’origine dibintangi oleh Gérard Depardieu.

• DAS WEISSE BAND, Michael Haneke , Jerman
Michael Haneke pernah berjaya di Cannes lewat La Pianiste / The Piano Teacher (2001). Bahkan dia pernah meraih gelar Best Director di Cannes 2005 lewat Caché (Gilasinema agak kurang paham dengan film ini). Penggemar film mungkin baru mengenal nama satu ini lewat Funny Games (2007) yang dibintangi oleh Naomi Watts.


• VENGEANCE, Johnnie To , China
Kalau Korea Selatan menawarkan cerita vampire, China menawarkan kisah seorang pembunuh bayarandari Perancis yang memburu mangsanya di Hongkong. Sepertinya menarik dan ada Simon Yam disini (horeeeee!!!)


• LOOKING FOR ERIC, Ken Loach, Inggris
Sutradara yang satu ini sebelumnya disambut meriah lewat The Wind That Shake The Barley. Looking for Eric akan menampilkan kisah seputar Eric Cantona. Hmmm….jadi kebayang filmnya Zidane.


• ENTER THE VOID, Gaspar Noe , Argentina
Gaspar Noe adalah sutradara yang mebuat Monica Belucci diperkosa secara brutal di Irreversible. Gaya bertuturnya yang tidak lazim sempat menggemparkan Cannes 2002.


• BAK-JWI (THIRST), Park Chan-wook, Korea Selatan
Cannes 2009 bakal meriah dengan beragamnya tema yang diangkat, salah satunya film produk Korea selatan ini yang mengangkat kisah seorang pria yang berubah menjadi vampire karena kegagalan dalam sebuah eksperimen! Tampaknya film ini bakal mencetak rekor dalam negeri, dan mungkin Holly akan tertarik me-remakenya (seperti biasa!) layaknya Let the Right One In. Yang hebat tentu saja aktor Kang-ho Song, yang selama 3 tahun terakhir rajin menyambangi Cannes (Secret Sunshine, The Host dan The Good, The Bad and The Weird)

• THE TIME THAT REMAINS, Elia Suleiman , Israel
Elia Suleiman diakui sebagai slah satu sineas Israel paling top. Lewat Yadon ilaheyya / Divine Intervention (yang teronggok sia-sia di rak Gilasinema), Elia Suleiman berjaya di Cannes 2002. Bagi yang ingin mengenal Israel lebih dalam, The Time That Remains rasanya sayang untuk dilewatkan.


• ANTICHRIST, Lars von Trier, Denmark
Nama yang satu ini sangat dihormati di Eropa namun kurang disukai di Amerika. Ketika Dancer in the Dark membuahkan prestasi bagi Bjork, di Amerika film ini lumayan mendapat kritikan. Begitupun dengan Dogville (Nicole Kidman) dan Manderlay (Bryce Dallas Howard) yang disambut dingin. Mungkin hal ini disebabkan gaya bertutur Lars von Trier yang cenderung nyleneh. Di Antichrist, Lars menggandeng William Dafoe.


• TAKING WOODSTOCK, Ang Lee , Taiwan-born
Sutradara kesayangan Festival Film Venesia mulai melebarkan sayap dengan lebih tertarik mengikutkan karyanya di Cannes. Konsekuensinya, ada kemungkinan film ini tidak bakal bertarung di Oscar 2010. Kalupun masuk, kecil kemungkinan mendapat perhatian.


• VISAGE (FACE), Tsai Ming-liang , Malaysia
Tsai Ming Liang mungkin lahir di Malaysia, namun karena beberapa karyanya dianggap tidak mencerminkan budaya Malaysia, sutradara yang satu ini mendapatkan masalah di negeri kelahirannya, hingga memutuskan pindah ke Taipei. Padahal dirinya mengharumkan nama Malaysia di kancah festival film dunia seperti Venice Film Festival Dan Berlin Film Festival. Visage sendiri diproduksi di Perancis dengan mayoritas bintang Perancis di dalamnya, seperti Mathieu Amalric (Diving Bel and The Butterfly)dan Laetitia Casta.


• INGLORIOUS BASTERDS, Quentin Tarantino , U.S.
Any Comment? NOPE!

• KINATAY, Brillante Mendoza, Philippines

• LES HERBES FOLLES, Alain Resnais , Perancis

Senin, 27 April 2009

KAYAKNYA ASYIK NIH......

Senin, 27 April 2009 7
Summer memang menjanjikan tontonan-tontonan ringan yang seru dan menghibur. Namun diantara serbuan film-film heboh terselip beberapa film yang kadang sayang untuk dilewatkan, karena justru mampu menyajikan sesuatu yang baru. Jadi, buat mereka yang sudah mulai bosan dengan formula film-film heboh yang dirilis sepanjang Mei - Agustus, berikut ini ada beberapa judul yang patut dipertimbangkan (baca: dilirik)



Tanpa gembar-gembor, Steven Soderbergh tau-tau sudah merilis film lagi pasca CHE. Dengan barisan bintang yang kurang beken, The Girlfriend Experience tampaknya merupakan proyek independen layaknya Sex, Lies and Videotape. Hmm...menarik!
Rilis 15 Juli 2009.




Mungkinkah mampu mengulang kesuksesan tak terduga dari The 40 Year Old Virgin?. Kisah para lelaki loser nan tengil biasanya mampu memberi kejutan, dan sudah saatnya Justin Bartha mulai tampil tanpa sokongan Nicholas Cage. Posternya sendiri sedikit mengingatkan pada Three Man and A Baby. Heather Graham sedikit membuat pesimis akan "kesegaran" film ini.
Rilis 5 Juni 2009




Sebuah ketidaklaziman, sutradara penghasil The Queen dan High Fidelity ini merilis filmnya di musim panas yang kering. Dari posternya, tampaknya Cheri merupakan jenis film yang tidak bakal mudah mengeruk dolar ditengah gempuran film-film bernuansa futuristik. Namun berdasarkan pengalaman, karya Stephen Frears, sangat sulit untuk ditolak.
Rilis 26 Juni 2009 (limited), berarti ada kemungkinan wide rilisnya (akhir tahun mungkin?)




Waaaw...Sam Mendes dah rilis film lagi, meski limited. Baca plotnya, nih film kental banget nuansa dramanya. Mengingatkan kepada In Amerika. Barisan bintangnya bukan kelas A, namun Sam Mendes gitu :)
Rilis 5 Juni 2009




Nia Vardalos memang reuni lagi dengan John Corbett lewat I Hate Valentine Day (di Jakarta dah mo tayang), namun sepertinya My Life in Ruins ini bakal menjanjikan tontonan yang tak kalah menghibur. Apalagi sutradaranya Donald Petrie yang sebelumnya sukses menghadirkan Miss Congeniality dan How to Lose a Guy in 10 Days. Dari trailernya sih lumayan lucu.
Rilis 5 Juni 2009.




Mempertemukan dua bintang muda yang rajin berseliweran di film indie, Joseph Gordon-Levitt dan Zooey Deschanel. Poster terasa segar dan muda. Trailernya juga asyik banget. Sutradara Marc Webb sebelumnya menggarap video dari 3 Doors Down dan Green Day.
Rilis 17 Juli 2009.




Tidak biasanya Ang Lee merilis filmnya di bulan Agustus. Kenyataan ini saja rasanya sudah cukup memancing penasaran penonton, apa sebenarnya yang ingin dihadirkan dalam Taking Woodstock. Belum lagi keberhasilan film ini menembus sesi kompetisi di Cannes 2009. Penampilan dua bintang muda, Paul Dano dan Emile Hirsch makin membuat penasaran. Ang Lee kali ini tetap dengan soulmate-nya, James Schamus.
Rilis 14 Agustus 2009.

Sabtu, 25 April 2009

INSPIRING MOVIE : PAY IT FORWARD

Sabtu, 25 April 2009 9


(Is it possible for one idea to change the world? Sometimes The Simplest Idea Can Make The Biggest Difference.)

What did you ever do to change the world?
Dunia ini sudah memberikan banyak hal kepada kita, namun apa yang telah kita berikan kepada dunia yang makin tua dan makin tidak ramah ini? Pertanyaan filosofis ini diberikan oleh Eugene (Kevin Spacey) kepada murid-muridnya. Berangkat dari pertanyaan, Eugene memberikan tugas kepada para muridnya untuk membuat sebuah program nyata, demi mewujudkan dunia yang lebih baik. Berbagai ide dikemukakan, namun ide Trevor (Haley Joel Osment) yang mampu menarik minat Eugene.
Idenya simple, dimulai dengan sebuah memberikan bantuan kepada orang yang dirasa membutuhkan. Bantuan tersebut bukannya tanpa pamrih. Sebagai balasannya, orang yang telah dibantu tersebut diharapkan membalas bantuan yang diberikan kepada tiga orang lain yang membutuhkan bantuan.

Thorsen: I thanked him and there were some very specific orifices in which I was told to shove my thanks. He told me, "Just pay it forward." Three big favors for three other people. That's it.

You don’t pay back a favor, you pay it forward.
Berkaitan dengan idenya, Trevor mempunyai tiga orang menjadi sasaran proyek Pay it Forward tersebut. Pria tuna wisma yang kumuh (James Caviezel), berusaha menjalinkan ikatan cinta antara gurunya, Eugene, dengan ibunya, Arlene (Helen Hunt) dan membantu temannya yang selalu mendapatkan penganiayaan. Namun ternyata, apa yang dia programkan satu demi satu menemui kegagalan. Bukti bahwa, kadang sebuah niat baik tidak selalu mendapatkan hasil positif. Hal ini menyebabkan Trevor sedih dan frustasi.
Namun tanpa Trevor sadari, gerakan Pay it Forward tersebut, secara perlahan mulai menyebar ke kota lain. Hal ini menarik minat seorang wartawan, Chris (Jay Mohr). Nalurinya sebagai wartawan merasa terusik dan dimulailah investigasinya untuk menemukan orang yang mencetuskan Pay it Forward tadi.
Selama ini kita mengenal konsep MLM di bidang ekonomi (penjualan). Apa jadinya kalau konsep tersebut diterapkan kepada sesuatu yang sifatnya humanis? Pay it Forward lah jawabannya. Bayangkan kalau setiap manusia di dunia melipat gandakan kebaikan yang mereka terima? Konsep ini mungkin dirasakan terlalu idealis (atau utopis?) bagi sebagian orang, namun bukannya tidak mungkin untuk diwujudkan. Dibutuhkan sebuah kemauan, keberanian serta keyakinan untuk sebuah dunia yang lebih baik.

I guess it's hard for people who are so used to things the way they are - even if they're bad - to change. 'Cause they kind of give up. And when they do, everybody kinda of loses.

Bahkan, Trevor yang mencetuskan konsep Pay it Forward pun sempat mengalami keraguan akan keberhasilan konsep tersebut. Namun setelah melihat hasilnya di akhir film, penonton diajak untuk memahami satu hal penting yakni, bahwa sebuah niat baik pasti berbuah kebaikan pula pada akhirnya. Kalaupun kebaikan belum memperlihatkan hasil, kita hanya bisa bersabar dan yakin, kebaikan kita tidak akan sia-sia.
Pay it Forward kalau dicermati mengisahkan orang-orang yang terluka (tersakiti), dan bagaimana usaha mereka dalam menyembuhkan luka tersebut, karena sebuah luka/sakit yang tidak segera ditangani hanya akan membuat beban dunia makin berat. Dibutuhkan sebuah usaha bersama untuk menyembuhkan sebuah dunia yang sakit.

Do me a favor… save my life.

Pay it Forward menjadi salah satu film yang patut ditonton, terutama bagi mereka yang sedang mengalami kegamangan akan hidup. Siapa tahu setelah melihat film ini akan mendapatkan pencerahan dan memandang dunia dengan lebih optimis. Meski terkesan tragis, akhir film ini menyiratkan aura optimisme, bahwa kebaikan masih akan bisa bertahan di atas bumi, sehingga mereka yang hidup diatasnya tidak perlu lagi bertanya “Is the world shit?”

NB : menyaksikan lagi film ini (23/4/2009) masih saja menimbulkan sedu sedan :)

OSAMA



Enak mana sih, jadi perempuan atau jadi lelaki? Bagi sebagian kalangan, menjadi perempuan dilihat lebih mengenakkan dibandingkan menjadi lelaki, namun sebagian lagi berpikiran sebaliknya. Bahkan, kalau boleh jujur, ada sebagian pihak yang merasa iri dengan kehidupan lawan jenisnya. Namun setelah menyaksikan Osama, segala pemikiran tadi ada baiknya disingkirkan terlebih dahulu.
Gadis kecil itu (Marina Golbahari) tinggal bersama ibu (Zubaida Sahar) dan neneknya (Hamida Refah). Tidak ada keberadaan lelaki di rumah mereka, karena telah “ditelan” oleh konflik yang rutin terjadi di Afganista. Sungguh berat hidup sebagai perempuan yang hidup di bawah rezim (Taliban) dimana gerak perempuan sangat dibatasi. Bahkan untuk berbahagia di hari perkawinan pun tabu hukumnya. Ingin berontak? Tinggal pilih sanksi yang bakal dijatuhkan, penjara atau siksa. Atau mau yang lebih buruk, yakni hukuman mati!
Masalahnya, tidak berbeda dengan jenis kelamin yang lain, ketiganya butuh makan demi bertahan hidup. Tapi bagaimana bisa makan kalau untuk keluar rumah saja mereka dilarang? Timbul ide si gadis kecil dirubah penampilan menjadi layaknya lelaki demi mendapatkan pekerjaan. Menyandang nama Osama, gadis kecil itu terlibat pada sebuah jalan kehidupan yang mendebarkan berkaitan dengan identitas barunya.
Sebagai “lelaki’, Osama “berhak” keluar rumah dengan bebas dan bisa mengikuti pelajaran disekolah. Sebagai konsekuensinya, Osama harus berusaha keras untuk menjadi “lelaki” yang benar. Mulai harus bisa memanjat pohon, bekerja keras demi sesuap nasi hingga dipersiapkan sebagai tentara demi diterjunkan di medan perang. Belum lagi dengan beberapa tuntutan berkaitan dengan ritual agama yang dianut. Semuanya terasa menyiksa Osama Namun demi alasan bertahan hidup, dia terpaksa menjalani peran tersebut.
Tidak butuh waktu lama, penyamaran yang dilakukan Osama pada akhirnya terbongkar juga. Dan gadis belia itu “dihadiahi” hukuman mati. Untung bagi Osama, karena masih ada Mullah baik hati yang menyelamatkannya nyawanya dengan meminangnya sebagai istri. Benarkah sebuah keuntungan? Karena ternyata perkawinan yang seharusnya membuahkan kebahagiaan, justru “penjara” yang Osama dapatkan. Dengan tanpa rasa bersalah, si Mullah memberi kebebasan kepada Osama untuk memilih sendiri kunci dari “penjara” tersebut!
Osama dirilis pada tahun 2003 dan banyak meraih banyak penghargaan, termasuk Golden Globe 2004 untuk kategori Best Foreign Language Film. Meski demikian, ide utama dari film ini rasanya masih relevan dengan kondisi sekarang, karena di sebuah belahan dunia, apa yang menimpa Osama masih banyak ditemukan. Perempuan masih dipandang sebagai kelas dua, karenanya keberadaan mereka dianggap kurang penting, dan berperan layaknya budak (lelaki). Padahal, tentunya Tuhan tidak bermaksud demikian ketika menciptakan perempuan. Dengan dalih agama (dan kadang cinta) para lelaki membatasi gerak perempuan. Kalau diberi kesempatan yang sama, sebenarnya perempuan mempunyai kemampuan yang sama, justru akan melengkapi kekurangan yang ada pada lelaki. Seperti kata Jerry Maguire “You complete me”.
Film Osama, oleh sutradara Siddiq Barmak, disajikan dengan gambar-gambar sederhana. Namun kalau diperhatikan, gambar-gambar sederhana tersebut sangat kuat, hingga mampu menggugah penonton. Perhatikan adegan dimana seorang Taliban yang memanggul senjata menghardik perempuan. Adegan ini terasa intimidatif namun menggelitik. Apakah lelaki akan merasa dirinya kuat tanpa senjata ditangannya? Adegan dimana Osama dikejar-kejar para murid lelaki terasa mengiris, karena Osama layaknya sebuah binatang buruan. Jangan lupakan gambaran rumah si Mullah yang menghadirkan suasana horror dan mencekam layaknya sebuah penjara. Meski temanya berat, film ini sangat enak dinikmati berkat durasi yang tidak berlebihan (kurang dari 90 menit).
Di sela-sela “terror” yang harus dihadapi Osama, Siddiq Barmak tidak lupa menyelipkan beberapa adegan yang lumayan mengundang senyum (kecut). Adegan ketika Osama mengikuti sholat berjamaah terasa lucu, meski menghadirkan rasa kuatir di hati penonton, kalau-kalau penyamaran Osama bakal terungkap. Puncak kelucuan tergambar ketika Mullah mengajarkan bagaimana mandi besar yang benar. Dua hal menggelitik tadi, tidak bisa dipungkiri bisa menjadi sebuah ide film tersendiri yang Gilasinema yakin bakal menarik hasilnya.
Kembali kepada pertanyaan diawal tadi, enak jadi perempuan tadi atau jadi lelaki? Jawabannya, bertolak dari kisah hidup Osama, berhenti mempertanyakan hal tersebut, karena ada yang lebih penting dari pertanyaan tersebut. Bagamana menciptakan system yang benar, dimana perempuan dan lelaki bisa hidup selayaknya dan sama, tanpa mengingkari takdir masing-masing pihak. Toh, Tuhan tidak menilai manusia berdasarkan jenis kelamin, tapi lebih kepada amal kebajikannya. Bukan begitu Pak Kyai? 4/5

Senin, 20 April 2009

MOST BEAUTIFUL PERSON ON SCREEN : KATRINA KAIF

Senin, 20 April 2009 4
(dalam rangka Hari Kartini nih hehehe...)

Gilasinema pertama kali menyaksikan aksi mantan model ini lewat film Namastey London mendampingi Akhsay Kumar. Filmnya sendiri bisa dibilang sangat biasa. Namun kecantikannya meninggalkan kesan tersendiri. Kecantikannya makin menggetarkan di clip lagu Tu Muskura yang hadir di film Yuvvraaj, meski filmnya sendiri gagal total. Meski perjalanan karirnya belumlah lama (penampilan debut di tahun 2003), namun kiprahnya di Bolly makin diperhitungkan. Hampir semua film yang dia bintangi mencetak hasil fantastis. Tahun 2008 bisa jadi merupakan tahun terbaik bagi Katrina. Welcome (rilis akhir tahun 2007) dan Race disambut meriah oleh penonton. Dan tentu saja Singh is Kinng yang fenomenal. Ketiga film tersebut masuk 15 Biggest Worldwide Grossers of All Time (untuk film Bolly). Bahkan Singh is Kinng sempat memecahkan rekor best opening of all time sebelum ditumbangkan oleh Ghajini.
Priyanka Chopra mungkin menjadi aktris Bolly paling laris saat ini, namun Katrina Kaif bisa bangga menjadi aktris Bolly yang paling banyak di cari di Google. Dengan torehan prestasi yang luar biasa untuk ukuran aktris yang belum lama berkecimpung di dunia film, rasa-rasanya karir Katrina Kaif bakal panjang mengingat usianya baru 25 tahun. Tahun 2009 ini saja dia siap melempar 4 filmnya. Sayang sekali, dirinya sudah punya kekasih, Salman Khan (aku benci makhluk ini!). Ah….mending nikmatin aja wajahnya sebelum bosan


LORNA’S SILENCE (LE SILENCE DE LORNA)


Tidak mudah menjadi Lorna (Arta Dobroshi). Demi mendapatkan hidup yang lebih baik di Belgia bersama kekasihnya, Sokol (Alban Ukaj), Lorna harus menikah dengan seorang pecandu akut, Claudy (Jérémie Renier). Lorna dan Sokol keluar dari Negara asal mereka, Albania. Berbeda dengan Lorna yang menikah demi mendapatkan kewarganegaraan, Claudy bersedia menikah dengan Lorna demi segepok uang untuk mencukupi kebutuhannya akan barang haram. Pernikahan tersebut diatur sepenuhnya oleh seorang pria semacam “agen” para penyelundup, Fabio (Fabrizio Rongione).
Menikah dengan seorang pecandu, bukanlah sebuah hal yang mudah. Lorna ibarat seorang ibu yang terpaksa sabar menanggapi rengekan si anak kecil (Claudy). Penonton memang tidak diberi penjelasan gamblang mengenai hukum perkawinan (campur) di Belgia, namun dengan menikahnya Lorna dengan Claudy, tidak butuh waktu lama bagi Lorna untuk menjadi warga negara Belgia. Masalahnya, Fabio yang serakah mempunyai rencana yang lain. Setelah susah payah mencari cara yang “benar” untuk menyingkirkan Claudy, Fabio memaksa Lorna untuk menikah dengan seorang pria Rusia, Andrei (Anton Yakovlev ), sebelum mempersatukan Lorna dengan Kokol.
Lorna yang tahu Claudy meninggal dengan tidak wajar, hanya bisa pasrah dalam diam. Apalagi Kokol yang terus menyudutkannya. Pertemuan dengan Andrei meninggalkan kesan yang tidak mengenakkan di hati Lorna. Hidup Lorna makin pelik ketika mendapati dirinya hamil berkat hubungannya dengan Claudy. Meski menjalani pernikahan pura-pura tanpa cinta, perlahan tumbuh perasaan suka dalam diri Lorna terhadap Claudy. Lorna yang panic, berencana menggugurkan janin yang berada dalam rahimnya, namun kemudian membatalkannya. Sayang, kehamilan tersebut pada akhirnya diketahui oleh Andrei dan Fabio yang memaksa Lorna untuk melakukan aborsi. Pada saat yang sama, Lorna menyadari betapa egoisnya Sokol. Apakah Lorna tetap mau melakukan apa yang dimau oleh para lelaki tadi?
Menyaksikan film garapan Jean-Pierre Dardenne dan Luc Dardenne dibutuhkan kesabaran tersendiri. Meski bermodalkan cerita yang mempunyai potensi menjadi sebuah tontonan menegangkan, Dardenne Bersaudara membungkusnya dengan bersahaja dan tidak berlebihan. Apalagi pemakaian hand held camera yang membuat kesan lebih realis, hingga diharapkan membuat emosi penonton larut dengan cerita yang dihadirkan. Dampaknya, Lorna’s Silence akan terasa membosankan bagi sebagian penonton yang belum terbiasa dengan pendekatan ini.
Penonton di Indonesia pastinya masih asing dengan Dardenne Bersaudara ini. Padahal, di Eropa sana, kedua orang ini termasuk sineas yang disegani. Dardenne Bersaudara termasuk sineas yang disayangi oleh Festival Film Cannes (selain Gus Van Sant tentu saja). Dua Palem Emas bisa menjadi bukti hal tersebut. Lorna’s Silence sendiri berhasil membawa pulang Skenario Terbaik di Cannes 2008 kemarin. Kebetulan Gilasinema pernah menyaksikan karya Dardenne Bersaudara sebelumnya yakni The Child / L’Enfant yang berjaya di Cannes 2005. Terdapat kemiripan antara Lorna’s Silence dan The Child. Gaya bertuturnya hampir mirip dan keduanya mempunyai potensi menjadi tontonan yang menegangkan. Dari kedua film tersebut, terlihat Dardenne Bersaudara mempunyai minat yang besar terhadap kaum pinggiran di Belgia. Kedua film tadi terasa humanis. Kemiripan lain antara The Child dan Lorna’s Silence adalah dalam sebuah scene, terlihat menggunakan setting tempat yang sama.
Dalam Lorna’s Silence, Dardenne Bersaudara kembali mengajak Jérémie Renier. Sebelumnya, mereka telah bekerja sama di The Child. Penampilan Jérémie Renier di Lorna’s Silence meski cuma sebentar mampu mencuri perhatian dan meninggalkan kesan. Penampilannya yang kurus dan lusuh terasa meyakinkan sebagai seorang pecandu. Penampilan Jérémie Renier di The Child memang lusuh namun terlihat lebih berisi. Jangan bandingkan dengan penampilannya di The Pornographer yang jauh lebih bersih. Arta Dobroshi sebagai Lorna memang tidak buruk, namun harusnya bisa lebih menggigit. Pada beberapa bagian, penampilannya terasa datar. Atau memang itu yang diinginkan oleh Dardenne Bersaudara?
Lorna’s Silence sekali lagi memberikan gambaran betapa perempuan masih digambarkan belum mempunyai kesetaraan tempat dengan kaum lelaki. Padahal, tanpa malu-malu, para lelaki (dalam film ini) menggunakan perempuan demi mencapai tujuan mereka. Perempuan ibarat alat yang secara egois dimanfaatkan oleh lelaki. Kalau perempuan menyadari posisinya, mereka bisa membalikkan keadaan tersebut. Inilah yang disadari oleh Lorna, betapa para lelaki yang ada disekitarnya sebenarnya begitu tergantung pada dirinya. Kediaman Lorna memang tidak diwujudkan pada keenggannya untuk berbicara banyak, namun lebih kepada misteri apa sebenarnya yang dia rasakan dan apa yang dia pikirkan. Karenanya, tidak pernah bisa ditebak, langkah apa yang selanjutnya akan dia ambil.
Sisi lain yang menarik dari Lorna’s Silence adalah persoalan kawin campur. Rasanya tema ini masih sangat jarang diangkat ke layar lebar. Dengan makin riuhnya pergerakan manusia dewasa ini, harusnya banyak hal menarik yang bisa diangkat dari perkawinan campur ini. Tema pergesekan budaya selalu menarik untuk diangkat, belum lagi dengan celah yang bisa diakali berkaitan dengan hukum perkawinan disuatu wilayah (Negara). Uni Eropa tampaknya mulai mulai menyadari hal ini. Tidak hanya persoalan kawin campur, dengan makin terbukanya suatu wilayah (Negara) tentu banyak menghasilkan sumber cerita baru yang menarik. Bagaimana dengan Indonesia yang makin banyak warganya melakukan perkawinan campur dan berbatasan dengan banyak Negara? 3,75/5

Rabu, 15 April 2009

THE HEART IS A DARK FOREST (DAS HERZ IST EIN DUNKLER WALD)

Rabu, 15 April 2009 2


Benar memang kata pepatah, dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa tahu? Lain dimulut lain dibibir. Kenyataan inilah yang baru disadari oleh Marie (Nina Hoss), ketika tanpa sengaja mendapati suaminya, Thomas (Devid Striesow) ternyata telah mendua hati. Thomas ternyata mempunyai istri lagi, dan parahnya lagi, wanita tersebut tak lain adalah seseorang yang pernah menjadi teman dari Marie. Rupanya dua anak dari Marie belum cukup bagi Thomas, hingga menambah satu anak dari rahim perempuan tersebut.
Kenyataan tersebut menyadarkan Marie betapa dirinya sangat kurang mengenal Thomas. Marie frustasi karena merasa telah berbuat sebaik mungkin sebagai seorang istri, termasuk mengubur impiannya. Sebuah pilihan yang sempat dikritik oleh yahnya.
Pada saat itu juga Marie memutuskan untuk mengawasi gerak-gerik dari Thomas di luar rumah. Menghadiri sebuah acara dimana Thomas tampil sebagai penghiburnya, Marie semakin terhenyak dengan kenyataan kalau suaminya gemar main perempuan. Di tempat tersebut pula, Marie mendapati betapa banyak orang yang menyimpan beberapa hal mengejutkan yang tak terungkapkan.
Terus terang agak sulit menikmati film ini mengingat sutradara sekaligus penulis cerita, Nicolette Krebitz, mencampur adukkan berbagai macam gaya dalam penceritaan. Pada beberapa adegan yang menggambarkan hubungan Marie dan Thomas, kita disuguhi adegan layaknya sebuah panggung teater. Mungkin gaya ini dipilih untuk menggambarkan betapa hidup bagaikan sebuah panggung sandiwara, dimana setiap insane yang berada diatasnya bebas memainkan peran yang dia inginkan.
Belum lagi suasana pesta kostum yang menegaskan kesan teatrikal tadi. Meski pentas musik yang disajikan lumayan bagus, namun adegan dimana Marie barjalan di atas meja makan tanpa satupun yang peduli terus terang menimbulkan kebingungan tentang maksud adegan tersebut. Selain itu kita juga disuguhi penggambaran imajinasi dari Marie ketika teringat pada ayahnya yang membuat film menjadi terasa ganjil dan sulit untuk berkomunikasi dengan penonton awam. O iya, ada adegan dimana Marie menggelindingkan diri ke sungai dengan telanjang bulat!
Seperti halnya film ini, hati memang sulit ditebak ataupun dipahami. Hati bisa seluas samudra, namun bisa juga layaknya sebuah hutan belantara yang lebat hingga susah untuk dijelajahi dan dikenali. Kita tidak tahu apa yang mengintai dibalik pohon, semak ataupun kegelapan yang membayang. Ucapan dan tindakan bisa jadi amat jauh berbeda dengan yang hati rasakan. Marie mungkin terlihat tegar menerima kenyataan tentang suaminya. Namun siapa yang tahu apa yang ada dalam hatinya ketika memutuskan bercinta di pinggir sungai dengan lelaki yang baru dikenalnya dan apa yang melandasi hatinya ketika di akhir film dia mengambil langkah yang amat sangat tragis. Bagi pecinta film eksprimental (art?) film The Heart is a Dark Forest ini bisa dijadikan pilihan. Sekedar informasi, salah satu produser film ini adalah Tom Tykwer. Salah satu sutradara dari Jerman yang sukses dengan karyanya seperti Run Lola Run, Perfume: The Story of a Murderer dan yang barusan dirilis, The International3/5

Senin, 13 April 2009

THE BURNING PLAIN

Senin, 13 April 2009 2


Sebelum membahas film ini lebih jauh, Gilasinema berdoa semoga tidak bernasib tragis layaknya seorang kritikus film yang dipecat gara-gara mengulas film Wolverine dari bajakan yang telah beredar mendahului rilis resminya. The Burning Plain memang telah dirilis di Italia tahun 2008 kemaren, namun di Holly, film ini baru kan rilis pertengahan September 2009 mendatang. Mungkin demi menjaga peluang bersaing di ajang Oscar 2010. Jadi, kalo mencari review film ini web nya Roger Ebert, pastinya tidak bakal ketemu hehehe….(HIDUP BAJAKAN!!!)
Nama Guillermo Arriaga tentu masih asing bagi kebanyakan orang. Namun bagi penggila sinema, nama yang satu ini tentu membangkitkan gairah tersendiri. Guillermo Arriaga sebelumnya dikenal berkat olahan naskahnya yang tidak linear lewat Amores Perros, 21 Grams dan Babel. Bagi yang terpuaskan dengan ketiga film tadi, maka The Burning Plain amat sayang dilewatkan. Dan kali ini Guillermo Arriaga terjun langsung duduk di kursi sutradara.
Agak susah menceritakan kembali isi dari The Burning Plain. Seperti karya Guillermo Arriaga sebelumnya, The Burning Plain mengobrak-abrik alur cerita. Penonton layaknya bermain puzzle dan dituntut untuk merangkai kepingan demi kepingan demi mewujudkan suatu kisah yang utuh. Mungkin demikian halnya hidup. Kalaupun Gilasinema menyajikannya dengan runut, tentu akan membongkar kejutan yang dihadirkan yang tentunya menghancurkan kenikmatan mereka yang belum menontonnya.
Intinya, The Burning Plain mengisahkan usaha empat perempuan dalam usahanya untuk terbebas dari kelukaan akibat dendam yang menghantui. Sylvia (Charlize Theron) memang cantik dan sukses menjalankan sebuah restoran. Nmaun dari rangkaian gambar yang dihadirkan, penonton bakal menyimpulkan bahwa dirinya menyimpan sebuah luka yang tak terperi. Dengan bebasnya dia memperlakukan para lelaki sebatas pemuas nafsu, kesukaannya menyakiti dirinya sendiri makin mengkhawatirkan dengan sekelbat niatan untuk mengakhiri hidupnya.
Gina (Kim Basinger) terlibat affair panas dengan Nick (Joaquim de Almeida). Keduanya terlibat hubungan panas yang terlarang, karena keduanya telah mempunyai keluarga. Entah apa yang mendorong Gina melakukan hal tersebut, namun sekilas dia menunjukkan sebuah “cacat” yang dia miliki yang nyatanya tidak mempengaruhi Nick untuk mundur. Tanpa mempertimbangan perasaan keluarga masing-masing, keduanya rutin menjalankan “aktivitas” mereka.
Mariana (Jennifer Lawrence) harusnya tidak menjalin hubungan dengan Santiago (Danny Pino). Layaknya kisah cinta Romeo dan Juliet, keduanya harusnya dilarang untuk saling berhubungan. Namun keduanya nekat menjalin hubungan, didorong oleh kesamaan nasib yakni rasa sakit yang disebabkan oleh orang terdekat mereka. Akhirnya, segala tabu mereka langgar hingga membuahkan janin di rahim Mariana. Keluarga keduanya hanya meratap ketika kedua insane belia tersebut memutuskan untuk lari meninggalkan keluarga mereka.
Yang terakhir ada Maria (Tessa La) gadis kecil yang mendapati ayahnya mengalami kecelakaan yang tragis yang membuatnya kritis. Ditengah kesedihannya, Maria “dipaksa” untuk bertemu dengan ibu yang telah lama meninggalkan ayahnya dan juga dirinya sejak bayi. Pertemuan pertama terasa menyakitkan, karena didepan matanya sang ibu seolah tidak menginginkannya dan lari menghindar. Namun, selalu ada kesempatan kedua, yang membawa ibunya menghampirinya meski butuh waktu untuk menerima kehadirannya. Keempat karakter yang terkesan tidak saling berhubungan tersebut, pada akhirnya mempunyai kaitan yang sangat erat dan saling mempengaruhi.
Menyaksikan The Burning Plain tak pelak seakan mengalami déjà vu. Seperti karya sebelumnya, Guillermo Arriaga mengacak plot cerita yang ada hingga menuntut penonton untuk selalu focus dengan apa yang dihadirkan. Mengasyikkan memang menyaksikan tontonan seperti ini karena terasa begitu menantang. Namun bagi yang telah terbiasa, apa yang disajikan menjadi kurang menggigit. Bahkan bagi penonton yang cerdas, di tengah cerita, mungkin sudah bisa menebak kemana cerita berjalan, meski tetap saja terkejut dengan fakta yang dituturkan menjelang cerita berakhir.
Déjà vu makin terasa kuat dengan diangkatnya tokoh-tokoh penuh luka dan bagaimana usaha mereka menyembuhkan luka tersebut. Tokoh-tokoh seperti ini sebelumnya pernah dihadirkan oleh Guillermo Arriaga, khususnya 21 Grams. Untungnya Guillermo Arriaga menghadirkan kesegaran baru dengan tampilan visual yang memukau. Terima kasih kepada sinematografer handal, John Toll, yang membantu Robert Elswit dalam menghadirkan gambar – gambar indah nan berisi. Sekedar informasi, John Toll sebelumnya memperindah film-film semacam The Thin Red Line, Braveheart, The Last Samurai, Legends of the Fall, Captain Corelli's Mandolin hingga Tropic Thunder!
Film yang terkena sentuhan Guillermo Arriaga harus didukung oleh cast yang kuat. Beruntung dalam film ini, Guillermo Arriaga bisa menggandeng dua aktris peraih Oscar. Penampilan Charlize Theron dan Kim Basinger begitu meyakinkan. Charlize Theron menunjukkan totalitasnya dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang kuat, serta keikhlasannya bertelanjang ria dalam beberapa scene. Kim Basinger sukses dengan gairah yang dibalut kegelisahan dan rasa bersalah. Jennifer Lawrence secara mengejutkan mampu mengimbangi performa dua aktris senior tadi. Gadis yang belum genap 20 tahun ini bisa jadi melejit layaknya Rinko Kikuchi dan setelah filmnya rilis (resmi) nantinya, namanya bakalan masuk list the next big thing. Peran lelaki memang terasa kurang menonjol dalam film ini, namun kehadiran mereka tetap sangatlah penting.
Apresiasi tertinggi tentu diberikan kepada Guillermo Arriaga, karena sebagai karya debut The Burning Plain sangat jauuuuh dari mengecawakan. Fokusnya tidak pecah meski mengemban dua tugas penting. Terlihat sekali setiap adegan diolah semaksimal mungkin dan sangat memperhatikan detail. Setiap aksi ada kaitan dengan jalinan cerita selanjutnya dan perhatikan perbedaan setting tempat dari karakter Mariana dan Sylvia yang begitu kontras. Kilasan adegan menjelang ending begitu mengesankan. Dan kalau boleh berkomentar, kalau diceritakan secara runut, naskah film ini bakalan jatuh menjadi sebuah melodrama biasa.
The Burning Plain mempunyai pesan yang amat jelas dan klasik. Janganlah bermain api kalau tidak ingin terbakar dan meninggalkan bekas yang sulit dihilangkan. Api kecil mungkin bisa jadi sahabat, namun ketika membesar patutlah diwaspadi dampaknya kepada orang-orang yang berada disekitar. Gina seolah api yang menyulut amarah dalam diri Mariana berkobar dan melalap apa yang ada dan menyisakan bara api yang terus membara dalam diri Sylvia. Maria yang belia untungnya belum banyak tercemari, hingga mempunyai keringanan dalam memberi maaf dan menebarkan cinta yang akan memadamkan dendam dan amarah.
Mungkin masih terlalu awal, namun kalau boleh memprediksikan, misalkan film ini berhasil menembus Oscar 2010 nanti, The Burning Plain tampaknya akan mencuri perhatian di bidang penyutradaraan, naskah asli, acting (actress/supporting actress untuk Jennifer Lawrence), sinematografi dan juga penataan musiknya yang ok. 4,25/5

Minggu, 12 April 2009

TWO LOVERS

Minggu, 12 April 2009 2


Penikmat film tentu lebih mengenal James Gray sebagai salah satu sutradara yang tertarik mengangkat dunia criminal. Dua karya James Gray menunjukkan kecenderungan tersebut, yakni The Yards dan We Own the Night. Lalu apa jadinya kalau dia beralih haluan menggarap film dengan balutan drama yang kental. Masih dengan Joaquin Phoenix, kali ini Gray menyajikan kisah drama percintaan lewat Two Lovers yang tahun kemarin mendapatkan apresiasi positif di Cannes.
Meski pernah mengalami kegagalan dalam percintaan dan sempat berusaha bunuh diri, Leonard (Joaquin Phoenix) bukanlah pribadi yang kurang menyenangkan. Namun entah mengapa, diusianya yang sudah tidak muda lagi, dia tetap tinggal bersama dengan kedua orang tuanya yang begitu memperhatikan dirinya. Sebagai anak satu – satunya, dia diharapkan meneruskan usaha keluarga. Dan demi tujuan tersebut, Leonard diperkenalkan dengan anak rekan bisnis ayahnya.
Sandra (Vanessa Shaw) nama gadis itu. Bukan perempuan yang jelek, namun juga bukan perempuan buruk. Just an ordinary women. Sama dengan Leonard, usia Sandra juga tidak bisa dibilang muda. Meski awalnya canggung, keduanya seakan sepakat untuk saling mengenal lebih dalam. Pada waktu yang sama, Leonard bertemu dengan Michelle (Gwyneth Paltrow) yang tinggal tidak jauh dengan tempat tinggal Leonard.
Berbeda dengan Sandra, Michelle jauh lebih gaya, ceria dan spontan. Tidak butuh waktu lama keduanya terjalin hubungan platonis, yang diam-diam menghanyutkan Leonard. Masalahnya, Michelle sedang terlibat dengan pria beristri, Ronald (Elias Koteas). Hubungan Michelle dan Ronald bisa dibilang tidak mulus dan sering kali bermasalah, namun yang namanya cinta ya sudah. Setiap kali masalah muncul, Michelle selalu lari kepada Leonard yang selalu siap kapanpun, bahkan di saat dia tengah bersama Sandra.
Hingga pada akhirnya Michelle mengalami keterpurukan yang oleh Leonard digunakan sebagai saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Michelle yang tengah rapuh menerima ungkapan hati Leonard tersebut, bahkan menyusun rencana untuk pergi bersama. Namun pada saat semuanya telah siap, Michelle kembali berubah arah dan memutuskan untuk kembali kepada Ronald yang telah memutuskan meninggalkan istrinya. Lalu bagaimana dengan Leonard? Apakah dia akan mengakhiri hidupnya atau memutuskan Sandra sebagai kekasihnya?
Menyaksikan Two Lovers yang diadaptasi dari karya pendek karya seniman beken dari Rusia, Fyodor Dostoevsky berjudul White Nights, mau tak mau teringat pada kisah cinta Vicky di film karya Woody Allen, Vicky Cristina Barcelona. Bedanya, dalam Two Lovers, jenis kelaminnya berbeda. Apa yang dialami oleh Leonard, tidak jauh beda dengan yang menimpa Vicky yang terhimpit oleh dua cinta. Benar apa kata orang, cowok memang berhak meilih, namun cewek punya hak untuk menolak. Meski berhasil dengan dua cewek yang dekat dengannya (yang mungkin membuat beberapa penonton antipati terhadap Leonard), pada akhirnya Leonard bukanlah sebagai pihak yang mengambil keputusan.
James Gray ternyata berhasil menyajikan sebuah tontonan yang menghanyutkan dengan balutan drama yang pekat dan rapi, serta terasa realistis meski berbalut gambar-gambar suram. Filmnya mungkin dirasakan lamban dan cenderung membosankan, namun bisa jadi penonton dewasa akan menyukainya. Terutama mereke-mereka yang di usia siap nikah.
Film ini makin kuat berkat trio Joaquin Phoenix,Gwyneth Paltrow dan Vanessa Shaw dengan permainan mereka yang solid. Sorotan utama tentu saja diarahkan kepada Joaquin Phoenix yang mampu tampil beda. Dalam film ini, dia diberi kesempatan untuk memamerkan bakat lain yang dia miliki. Lelucon yang dia tampilkan lumayan berhasil dan usahanya untuk nge-rap ternyata tidak buruk lho. Sayang sekali kalau dia benar-benar berhenti dari dunia acting. Makanya, sayang sekali melewatkan film yang satu ini. Begitupun dengan penampilan Gwyneth Paltrow yang mengingatkan pada aksinya di The Great Expectations yang begitu lovely dan elegan. She’s so gorgeous!
Ada sedikit hal yang sedikit mengusik benak Gilasinema. Yakni karakterisasi yang terkesan stereotype. Kenapa sih, perempuan biasa yang tidak neko – neko sering digambarkan berambut gelap, sedangkan perempuan yang lebih gaya dan attractive bermahkotakan pirang? (Sekali lagi) Mengingatkan kekontrasan penampilan dan karakter Vicky dan Cristina di Vicky Cristina Barcelona.
Two Lovers sekali lagi menghadirkan tontonan dengan tema pilihan diantara dua. Mana yang kamu pilih, seseorang yang biasa, dengan telepon rumah yang bisa kamu hubungi atau seseorang menarik yang selalu menghubungi ponselmu setiap saat yang membuatmu merasa dibutuhkan? Toh, banyak orang yang menikah bukan dengan cinta sejatinya dan berhasil. Masih bingung? Mending dengarkan saja lagu Jangan Tunggu Lama-Lama-nya Cici Faramida hehehe….


Apabila engkau berjumpa dengan seorang dara
Yang terlalu banyak meminta tanpa menimbang rasa
Jangan dimanja atau dipandang
Walaupun hanya sebelah mata…


Gilasinema menunggu kiprah film ini di ajang movie award. akhir tahun nanti. 3,75/5

Sabtu, 11 April 2009

I’VE LOVED YOU SO LONG (IL Y A LONGTEMPS QUE JE TA’IME)

Sabtu, 11 April 2009 3


At the clear of mountain
While I was strolling by
I found the water so nice
That I went in to bathe
So long I’ve been loving you ( il y a longtemps que je ta’ime )
I will never forget you….


Lima belas tahun sudah Juliette Fountain (Kristen Scott Thomas) mendekam di balik terali besi setelah didakwa membunuh anaknya sendiri. Kini, setelah bebas dia dipertemukan kembali dengan adik perempuannya, Léa (Elsa Zylberstein) yang pada saat kejadian tragis tersebut masih sangat belia dan kesulitan untuk mengingat apa yang terjadi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sikap kedua orang tua mereka yang “membuang” Juliette dari lembaran hidup mereka berkaitan peristiwa lima belas tahun yang lalu.
Karenanya, pertemuan keduanya terasa canggung dan dingin. Dengan kondisi yang ada, mau tidak mau Juliette untuk sementara waktu terpaksa tinggal bersama Léa, meski sempat diprotes oleh suami Léa, Luc (Serge Hazanavicius). Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat dalam rumah mereka ada dua anak belia hasil adopsi. Luc tidak ingin kejadian lima belas tahun silam terjadi lagi, apalagi Juliette kukuh menyimpan sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Léa tetap pada pendiriannya, karena bagaimanapun ada hubungan darah antara dirinya dengan Juliette. Perlahan-lahan Léa mulai mendekati kakaknya agar hidup Juliette menjadi lebih baik, meski selalu membentur tembok yang Juliette bangun. Dalam usahanya tersebut, Léa berusaha menjalin kembali emosi dan kenangan yang sebelumnya terputus. Pada akhirnya, Juliette pun mulai terbawa dalam arus kehidupan Léa dan keluarganya serta beberapa relasi dari Léa, tetap dengan teguh memegang rahasia yang dia simpan rapat dengan bersikap amat defensive ketika ada yang menyinggungnya.
Selanjutnya kita diajak untuk melihat perkembangan hubungan dua bersaudara tersebut. Kenangan mulai muncul dan bagaimana kejadian yang menimpa Juliette sangat berpengaruh pada diri Léa. Bahkan keputusan Léa untuk mengadopsi anak terkait erat dengan peristiwa lima belas tahun yang lalu. Dan yang namanya rahasia pada akhirnya terungkap juga. Léa shock berat mendapati apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang selanjutnya dia lakukan berkaitan dengan kenyataan tersebut?
I’ve Loved You So Long mungkin berjalan terasa lamban, namun oleh sutradara sekaligus penulis cerita, Philippe Claudel, penonton diikat untuk bertahan hingga akhir. Philippe Claudel begitu rapat menyimpan apa yang sebenarnya terjadi pada Juliette lima belas tahun silam yang membuat penasaran di benak penonton, dan Philippe Claudel baru membukanya menjelang film berakhir. Namun dengan berbagai petunjuk, penonton yang cerdas tentu sudah bisa menebak apa yang terjadi. Gambaran Juliette yang begitu elegan, kedekatannya dengan keponakannya serta kenyataan kalau Juliette mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat menyakinkan sudah cukup meyakinkan penonton bahwa Juliette tidak sepenuhnya bersalah.
Sepanjang layar kita disuguhi karakter dari Juliette dan Léa, karenanya secara konstan kita disuguhi aksi dari Kristin Scott Thomas dan Elsa Zylberstein. Sebagai Juliette, Kristin Scott Thomas bermain amat meyakinkan dan patut mendapat acungan jempol. Perhatikan wajahnya yang kosong, dingin namun menyimpan sebuah kekerasan yang sulit ditembus. Perrhatikan juga kecanggungan dan keenggannya berinteraksi, setelah sekian lama terputus hubungan dunia luar.Belum lagi bungkus penderitaan akibat peristiwa silam yang terus menghantui. Intinya, wajahnya begitu berbicara dan tanpa balutan make up, justru memancarkan sebuah kecantikan yang memikat.
Penampilan Kristin makin kuat ketika dikontraskan dengan ekspresi bingung penuh pertanyaan yang dihadirkan oleh Elsa Zylberstein. Dan seperti karakter Juliette, Léa juga menyimpan penderitaan yang seringkali membuatnya tak berdaya. Kombinasi kedua peran tadi, boleh jadi merupakan kekuatan dari film ini.
Dari segi cerita, Philippe Claudel memasukkan beberapa sub plot demi mempertajam balutan drama dalam kisah ini. Sayangnya, beberapa sub plot terkesan bias dan kurang penting, seperti penggambaran kehidupan Léa di kampus yang pada beberapa bagian terasa keluar jalur dan agak panjang. Argumennya tentang dunia buku (sastra) meski mungkin untuk menggambarkan kekalutan pikiran Léa, terlihat seperti opini pribadi dari Philippe Claudel yang nota bene seorang penulis kondang di Perancis sana.
Selain itu juga memunculkan gugatan, terutama tentang keadaan si buah hati Juliette yang hanya diketahui oleh Juliette. Bagaimana mungkin yang lain, paling tidak suaminya, tidak mengetahui kondisi anak kecil tersebut. Namun sebagai sebuah karya perdana, I.ve Loved You So Long sungguh sebuah pencapaian yang sangat menjanjikan. Dan ada satu gambar yang sangat kuat dan berkesan yakni ketika Juliette berdiri di bawah patung angel. Sebuah gambar yang memancarkan optimisme.
Dalam I’ve Loved You So Long, sutradara dan penulis cerita Philippe Claudel mengajak penonton untuk memaknai sebuah kenangan. Kenangan yang berusaha disimpan dan kenangan yang ingin diungkap. Kenangan yang menyakitkan, sekaligus kenangan yang membahagiakan. Kenangan pahit, kenangan manis. Apapun wujud kenangan itu, pada akhirnya yang membentuk hidup kita di masa sekarang. Kenangan pada akhirnya harus disikapi sebagai sebuah bekal (kekuatan) untuk menjalani hidup yang sekarang, seperti yang diungkapkan oleh Juliette di penghujung film, “ I’M HERE…..” 4/5

Kamis, 02 April 2009

FASHION

Kamis, 02 April 2009 2


Meski ditentang keras oleh ayahnya, Meghna (Priyanka Chopra) bertekad menjadi seorang supermodel. Berbekal tekad kuat dan optimisme tinggi, Meghna yang berasal dari kota kecil menuju Mumbai untuk meraih impiannya. Ternyata bermodal cantik saja tidak cukup, karena dibutuhkan kerja keras tanpa henti untuk menjadi seorang supermodel. Dan kadang kerja keras serta disiplin tinggi pun tidak cukup menjadi senjata, karena pada akhirnya dibutuhkan sebuah mental kuat serta, yang paling penting, bagaimana menjalin sebuah relasi di tengah persaingan yang amat ketat.
Dibantu oleh teman-temannya, setapak demi setapak Meghna mulai menuju puncak tertinggi. Apalagi ketika dirinya dekat dengan Abhijit (Arbaaz Khan) pria beristri yang dikisahkan mempunyai pengaruh besar di dunia fashion. Yang namanya roda, kadang diatas kadang dibawah. Begitupun dengan Meghna. Meski Abhijit mempunyai peran besar dalam mengangkat karir Meghna, Abhijit juga lah yang menghancurkan karier Meghna. Belum lagi sikap Meghna yang disilaukan oleh gemerlapnya popularitas yang membuatnya mulai dijauhi teman-temannya. Termasuk Maanav (Arjan Bajwa) yang sempat menjadi kekasihnya.
Disisi lain kita diajak untuk melihat perjalanan dari Shonali (Kangana Ranaut) yang dengan segala attitude buruknya berjuang untuk bangkit dari keterpurukan. Shonali sebelumnya merupakan supermodel laris. Sayang dia terjerumus dalam lingkungan yang kurang tepat. Keberadaan kekasihnya yang suka main tangan diperparah dengan ketergantungannya akan obat terlarang.
Meghna yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh Shonali, mengalami nasib yang tidak jauh beda karena dalam kejatuhannya mulai tergantung alcohol. Ditengah keterpurukannya, Shonali memutuskan untuk pulang kembali ke rumah meski mendapatkan sambutan dingin dari ayahnya. Melihat nasib Shonali yang tragis, Meghna berusaha bangkit, bahkan berusaha membantu kebangkitan Shonali. Berhasilkah usaha Meghna, yang dalam usahanya untuk bangkit, melakukan sebuah hal yang bisa mengubur ambisi besarnya?
Membaca review diatas pasti terbersit kesan sebuah cerita yang amat sangat klise. Tidak bisa dipungkiri, apa yang ditawarkan dalam Fashion garapan Madhur Bhandarkar ini sudah banyak dihadirkan di banyak film (atau sinetron?). Seorang anak manusia yang berusaha mengejar obsesinya (di dunia gemerlap), dan berusaha keras mewujudkannya hingga sukses dan mengalami kejatuhan karena silau dengan kesuksesannya tersebut. Kemudian, kita diajak untuk melihat usahanya untuk bangkit kembali. Klise.
Lalu apa yang kita dapatkan setelah menonton film Fashion ini. Yah paling tidak, sejenak kita luangkan waktu untuk melihat karya asli anak India setelah sebelumnya terserang demam akibat gigitan si Anjing Kumuh. Toh, intinya juga sama, bagaimana anak manusia mencoba meraih impiannya dan mencoba bertahan di tengah segala rintangan yang menghampiri. Meski sangat India, Fashion tidak bisa disamakan dengan film India lainnya. Apa yang dihadirkan memang kental unsure dramanya, namun oleh Madhur Bhandarkar, Fashion disajikan dengan lebih bersahaja (untuk ukuran Bolly tentu saja).
Dan tampaknya Madhur Bhandarkar demen mengangkat dunia gemerlap dalam karyanya. Sebelumnya dia sukses menelorkan Page 3 yang nyinyir, yang menyoroti dunia selebritas yang penuh kemunafikan. Secara keseluruhan, Page 3 menurut Gilasinema lebih unggul dibandingkan dengan Fashion ini. Page 3 selain lebih nyinyir juga terasa lebih jujur. Apalagi jajaran pemainnya yang kurang dikenal, yang membuat Page 3 jauh lebih terasa nyata.
Namun tidak bisa dipungkiri, Fashion menyuguhkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film Bolly lainnya. Dalam film ini tidak ada satupun adegan tari-tarian. Lagunya tetap dihadirkan, namun sebagai pengiring ketika peragaan busana berlangsung. Fashion makin asyik dinikmati berkat penggambaran suasana back stage yang lumayan detail. Belum lagi keseriusan para kru dalam menyajikan sebuah fashion show yang megah. Tidak mengherankan, mengingat Fashion didukung beberapa produk dan orang-orang beken dari dunia fashion di Mumbai sana. Selain itu, Fashion juga sedikit memberikan porsi terhadap sosok gay yang gamang sebagai sub plotnya.
Di Bolly sana, ketika dirilis di bulan Oktober 2008, Fashion mendapatkan respon yang amat positif dari para kritisi, bahkan ada yang memberinya 3,5 dari skala 5. Perolehan box office-nya pun sangat memuaskan. Priyanka Chopra dipuji mampu menampilkan acting terbaik dalam film ini, meski menurut Gilasinema peran Meghna akan lebih nendang kalau diperankan oleh aktris baru yang lebuh terlihat lugu dan natural. Lewat Fashion, Priyanka Chopra (dan Dostana) mampu menyamakan posisinya dengan aktris papan atas seperti Aishwarya Ray atau Kareena Kapoor. Namun sambutan paling meriah diarahkan kepada debutan Kangana Ranaut yang dinilai berhasil menghidupkan karakter Shonali yang dinilai cukup berat karena digambarkan frustasi dan gila. Wajahnya juga terlihat lebih fotogenic. Kedua aktris ini berhasil bersinar di ajang Filmfare Award (Oscar-nya Bollywood).
Bagi penggemar film Bolly, Fashion sayang sekali dilewatkan. Apalagi buat pecinta fashion, pasti lumayan puas dengan desain baju yang dihadirkan. Buat yang kurang suka, kalau ada waktu luang, bolehlah dipilih sebagai tontonan alternative. Lumayan lah menikmati wajah dan tubuh mulus pemerannya. 2,5/5

Catatan : Di ajang Filmfare Award 2009, AR Rahman kembali berjaya dengan 2 piala, Best Background Score (Jodhaa Akbar-film terbaik nih) dan Best Music Director (Jaane Tu…Ya Jaane Na)
 
GILA SINEMA. Design by Pocket