Rabu, 24 Juni 2009

SORRY, IF I LOVE YOU ( SCUSA MA TI CHIAMO AMORE )

Rabu, 24 Juni 2009


Cinta memang buta dan tidak mengenal batas usia. Jadi sah-sah saja ketika Alex (Raoul Bova) menjalin hubungan percintaan dengan Niki (Michela Quattrociocche) yang usianya jauh dibawahnya. Di usia 37 tahun, Alex merana karena ditingalkan oleh ceweknya, Elena (Veronica Logan) yang menjauh demi cowok lain yang kebetulan menjadi pesaingnya di tempat kerja.
Melalui sebuah insiden, Alex dipertemukan dengan Niki, seorang gadis ceria yang sedang bergejolak dan sedang menikmati masa mudanya bersama tiga temannya yang tak kalah cantik sexy. Dari pertemuan yang penuh permusuhan (seperti biasa), perlahan (atau cepat?) terjalin hubungan cinta penuh nafsu antara keduanya. Tidak berjalan terlalu mulus tentu saja, karena selain beda karakter dan orientasi, Niki menjalani hubungan tersebut tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, meski pada akhirnya ibunya mengendus hubungan asmara tersebut
Muncul masalah ketika tiba-tiba Elena hadir lagi dalam kehidupan Alex. Setelah memikirkannya secara mendalam (?), Alex memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Niki. Padahal, Niki begitu menginspirasi Alex hingga berhasil memenangkan persaingan dengan lelaki yang membuat Elena menjauh sebelumnya. Tapi, yang namanya drama percintaan, tidak afdol dong kalau kedua tokoh utamanya tidak bersatu di akhir film.


Menyaksikan Sorry, If I Love You ini lumayan membuat Gilasinema terheran-heran. Mengapa? Ternyata film yang disambut heboh di Italia sana ini mengalir biasa saja dan klise. Chemistry dua bintang utamanya juga kurang begitu kuat. Padahal ikatan kimia ini merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan sebuah drama percintaan. Sub plot yang mengutak-atik persoalan persahabatan kok terkesan melebar ke mana-mana dan hanya sekedar membuat durasi makin panjang.
Kalau dicermati, rangkaian gambar dan cerita yang digulirkan ditujukan demi melegalkan hubungan cinta beda usia tadi. Padahal hubungan keduanya, sekali lagi, bukanlah sebuah kesalahan. Berbeda dengan di Amerika yang sangat melarang pria dewasa menjalin hubungan dengan cewek dibawah 18 tahun (mohon dibenarkan kalau salah).
Percintaan dua insane beda usia tadi meski legal, yang ada malah membuat penonton jengah. Penyebabnya tak lain karena dihadirkannya serangkaian adegan penuh nafsu antara Alex dan Niki. Jadinya persepsi penonton melihat hubungan keduanya lebih dilandasi nafsu dari pada rasa cinta dan sayang. Apalagi dengan karakter cewek yang diberi umur 17 tahun. Rasanya kok kurang pantas. Harusnya sih cukup kiss-kiss saja. Kalaupun beranjak ke ranjang, akan lebih nyaman kalau tidak perlu divisualisasikan. Coba deh cek lagi beberapa film romantis yang berhasil tampil memikat, sangat jarang dihadirkan adegan panas menggelora.
Tampilan fisik kedua bintangnya juga makin memperkuat kesan mesum tadi. Akibatnya, Niki jadi terlihat seperti remaja centil yang kegatelan liat pria matang nan menawan. Sedang Alex seperti om senang yang girang mendapat daging segar. Belum lagi bonus beberapa adegan yang mengekspos "daging-daging segar".


Menikmati sebuah drama percintaan ternyata sangat dipengaruhi budaya tempat penonton tinggal. Kisah cinta yang dihadirkan di film ini mungkin bisa sangat diterima di Italia sana karena budayanya yang (mungkin) lebih bebas. Dengan tema yang sama, kalau misalnya setting tempat dipindah ke Amerika, tentu jalan cerita akan jauh lebih kompleks dan kemungkinan memancing kontroversi.
Kalau di Indonesia? Bisa lebih seru tuh. Film bisa mengalir ke arah komedi seks, horor dengan kisah hantu gadis menuntut balas kepada om-om yang merenggut keperawanannya atau menjadi sebuah komedi satire yang menggigit. Apalagi kalau naskahnya dikerjakan oleh seseorng dengan talenta seperti Putu Wijaya.
Sorry, If I Love You mungkin masih bisa dinikmati oleh mereka yang demen dengan jalinan seperti ini. Apalagi bagi mereka yang sudah mengalami asyiknya menjalin hubungan dengan pria/wanita yang jauh lebih matang. Bagi pecinta wajah-wajah Italia, film garapan Federico Moccia ini sayang untuk dilewatkan. 2/5

7 komentar:

Anonim mengatakan...

kayaknya pass deh nih film.

O iya, barusan nonton Hula Girl yg dibahas mas Gil jauh hari sblmnya. Filmnya menampilkan semangat yg sama dgn film Swing Girls yg kubahas baru2 ini.

Kayaknya sutradara Jepang hobi ngembahas tema "berjuang ditengah keterbatasan yg tidak umum". Liat aja plot tari hula-hula, musik Jazz Big Band (Swing Girls), sampai kelompok cowok renang indah (Waterboys).

gilasinema mengatakan...

Bagusnya, sineas Jepang mampu mengemasnya dengan sangat menghibur dan berisi.
Jadi teringat dengan Waterboys yang lucu puooll.
Bahkan salah satu adegannya (nari di kolam) aku potong buat ditonton kalo pas pusing hahahaha...

Anonim mengatakan...

wah jadi tertarik nih nontonnya. beli ah.

titiw mengatakan...

Nyeh? Film Itali..? Hem.. memikat juga sebenernya nih.. Soalnya aku lagi les itali,, hehe.. Kapan itu ada festival film di TIM yang kerjasama ama kebudayaan Italia, aku nonton satu film yang dibintangin robrto benigni. Kisahnya sendiri sebenernya bisa lebih bagus kalo skenario bisa dikembangin lagi.. Oh iya, ini film tahun 95, ceritanya mereka tiba2 ke masa lalu gitu.. Eh OOT yak..? Anyway film ini masa lurus2 aja sih..? Posternya sepertinya menarik.. Hem.. don't judge a film by it's poster, girl..

gilasinema mengatakan...

@titiw : iya alurnya lurus-lurus aja. Nih poster memang asyik. Mengingatkan Pretty Woman dulu

ieraiera mengatakan...

udh nonton...bapuk euy...asa asa lebay...(jadi sunda gini)..hihi
itu si niki tua banget tampangnya padahal masih muda...tapi motornya bolehlah

Ladzylitz mengatakan...

Udah nonton. Berhubung aq orangnya suka yang romantis dan lebay amoy gitu, filmnya kukategorikan dalam daftar film tak terlupakan seumur hidup. Habis jalan hidup si Niki itu mencakup semua impianku.
Hihihi...

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket