Selasa, 05 Mei 2009

THE INTERNATIONAL

Selasa, 05 Mei 2009


Filmografi dari Tom Tykwer mungkin belum panjang. Namun sejak menelorkan Run, Lola, Run, sineas asal Jerman ini menjadi favorit bagi penikmat film. Tom Tykwer terlihat sekali berusaha memberi suguhan yang berbeda di setiap karyanya. Kalu Run Lola Run, kita diajak untuk menikmati sebuah kemungkinan (waktu), di Perfume : The Story of A Murderer, penonton diajak untuk menyelami jiwa seorang psikopat. Kini Tom Tykwer kembali hadir mengusung tema yang berbeda, yakni seputar konspirasi keuangan (perbankan) dunia.
Cerita bermula ketika Louis Salinger (Clive Owen) seorang agen Interpol, melihat kematian salah satu temannya di depan matanya. Keduanya sedang disibukkan menguak aliran dana misterius yang bisa menyeret salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, The International Bank of Business and Credit (IBBC). Kejadian ini bukannya menyurtkan langkah Salinger, justru makin menguatkan tekadnya untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Usaha salinger ini sedikit mengingatkan aksi Leonardo DiCaprio di Blood Diamond.
Salinger tidak sendirian, karena ada Eleanor (Naomi Watts), si penegak hukum, yang berada disisinya. Keduanya rela bergerak dari Negara yang satu ke Negara yang lain demi membekuk otak yang berada di balik aliran dana kotor yang digunakan sebagai sarana mencapai tujuan bagi golongan tertentu. Sebuah hal yang bisa merongrong perdamaian dunia dan dikhawatirkan menelan korban yang tidak berdosa. Usaha tersebut seringkali menemui jalan buntu, mengingat banyaknya orang yang terlibat dibaliknya dan juga keterlibatan beberapa figure penting yang sulit ditembus. Hal yang lumrah, mengingat dolar yang “diolah” jumlahnya sangat menggiurkan. dan korban pun mulai berjatuhan.
Bagi penikmat trilogy Bourne, The International akan terasa menjemukan dan tanggung. Menyaksikan The International, mau tidak mau harus membandingkan dengan Bourne Trilogy. Sama-sama mengisahkan intrik dan konspirasi, serta mengajak penonton untuk menjelajahi beberapa tempat di dunia (Eropa). Berbeda dengan Bourne Trilogy yang banyak menyajikan adegan aksi memukau, The International terbilang pelit adegan aksi nan seru. Namun aksi gun fight di Museum Guggenheim sangat mengesankan, karena terlihat sekali dipikir matang dan serius. Adegan seru ini juga terasa lebih realistis.
Ketegangan yang coba dihadirkan juga kurang menggigit, bahkan pada adegan menjelang akhir yang berpotensi menghadirkan ketegangan tingkat tinggi, Tom malah menggarapnya secara lempeng-lempeng saja. Kesan nanggung mungkin disebabkan oleh karakter tokoh utamanya yang digambarkan cerdas, namun tidak secerdas Bourne, serta tidak dimodali teknologi canggih layaknya James Bond. Belum lagi kemampuan fisik yang jauh dibawah kedua agen rahasia tadi. Namun justru karakterisasi seperti ini menjadi kekuatan tersendiri, karena tokoh Louis Salinger terasa lebih riil. Bahkan, beberapa kesempatan Louis yang terbantu dengan kemujuran. Adegan aksinya juga terasa lebih nyata dan tidak dibuat-buat. Andai film ini dirilis sebelum Bourne Trilogy, tentu penerimaan penonton bakal lain.
Dengan segala “ketanggungan” tadi, justru The International menjadi sebuah suguhan yang berbeda. Kesan ini makin kuat ketika hadir adegan dimana Wilhelm (Armin Mueller-Stahl) membuat pengakuan di depan Louis. Tiba-tiba saja kita disuguhi sebuah percakapan dengan muatan yang dalam, bahkan cenderung filosofis, yakni tentang integritas manusia di tengah dunia yang makin kotor dan mengikis kepribadian. Tokoh Louis yang mengangkat isu seputar pilihan hidup makin membuat scene ini meninggalkan kesan dan mengusik nurani.
Dengan irama film yang cenderung ditengah-tengah (begitupun dengan penataan musiknya) dan berpotensi membuat bosan, Tom Tykwer memberikan keindahan visual lewat tampilan gambar yang menyoroti gedung-gedung megah nan indah. Gambar-gambar ini seakan ingin menekankan, bahwa kejahatan dewasa ini tidak hanya berlangsung di medan perang, namun bisa juga muncul dari dalam sebuah ruangan yang terselip di dalam gedung megah nan indah. Betapa dunia dikendalikan oleh segelintir orang dari tempat yang tidak mudah diraih oleh kebanyakan orang.
Menyaksikan The International seakan melakukan sebuah wisata arsitektur. Namun kemudian kita dikejutkan dengan ide Tom Tykwer yang mencoba “merusak” salah satu ikon keindahan arsitektur. Museum Guggenheim di New York dibuat “babak belur’ dengan peluru yang melubangi tembok dan menghancurkan keca serta beberapa instalasi seni. Tentu saja lokasi yang digunakan bukan lah lokasi yang sesungguhnya, karena demi menunjukkan keseriusan menyuguhkan aksi yang bagus, para kru membangun sebuah tiruan dari Museum Guggenheim. Salut untuk kerja mereka.


Lewat The International, sekali lagi Clive Owen menunjukkan kepantasannya berperan di film dengan tema konspirasi atau dunia intelijen. Masih ingat dong dengan penampilannya di Bourne Identity, Children Of Men, Shoot ‘em Up hingga yang terbaru, Duplicity (belum liat sih hehehehe). Yang membuat Gilasinema heran, dengan modal wajah rupawan dan acting yang tidak jelek (paling tidak pernah masuk nominasi Oscar), karir Clive Owen terkesan jalan ditempat. Filmnya secara financial mendatangkan pemasukan yang kurang memuaskan. hal yang sama juga menimpa Naomi Watts yang tampak kesulitan mengangkat karirnya.
Setelah menyaksikan The International, Gilasinema jadi berpikir, kenapa ya banyak para manusia cerdas dan pandai tidak memanfaatkan kemampuannya untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Mereka justru tersilaukan oleh kemasyuran dan kekayaan dunia serta kilau dunia lainnya. Kesimpulan akhir, Eric Singer rasanya perlu mendapat bantuan Tony Gilroy kalau ingin menghasilkan sebuah naskah yang lebih menggigit. The International akan jauh lebih menarik apabila dituangkan menjadi sebuah novel tebal. Untungnya berkat sentuhan Tom Tykwer, The International mampu menjadi sebuah tontonan yang mempunyai kelas tersendiri. O, iya dalam film ini kedua bintng utama tidak terlibat asmara. Sayang sekali...atau malah membuatnya berbeda?3,25/5

3 komentar:

Awya Richie mengatakan...

Tertarik menonton karena dibintangi oleh duet yg briliant. tapi mereka tidak mengalami hubungan percintaan? hm... rasa2nya mungkin akan agak kurang ngena....

timo mengatakan...

wah, ratingnya cukup tinggi dari Gilasinema?
sementara gue memberi rating yang sedang-sedang saja. tapi filosofi di film ini patut dicermati sih. kejahatan konspirasi kerah putih.

gilasinema mengatakan...

@awya: justru tanpa hubungan percintaan, film ini jatuhnya jadi lain, meski pesona fisik kedua bintangnya sebenernya sayang buat dilewatin :)

@timothy: aku terkesan dengan penggarapan Tom yang sedikit beda dengan film lain dengan tema sejenis. Terasa lebih realistis. Kadang bertanya aja, apa iya agen rahasia sejago yang digambarkan difilm-film terdahulu?

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket