Minggu, 24 Mei 2009

FUNNY GAMES

Minggu, 24 Mei 2009


Teror itu dimulai dengan permintaan telur dari Peter (Brady Corbet). Sebagai pihak peminta, Peter terkesan menjengkelkan dengan berbagai permintaan dan aksinya, termasuk menjatuhkan telepon genggam dari Ann (Naomi Watts) dan meski tidak diperlihatkan layar, penonton tahu dia sengaja memecahkan telur yang telah diberikan untuk kemudian meminta ganti. Teror berlanjut ketika teman Peter, Paul (Michael Pitt) ikut nimbrung dan memperkeruh suasana.
Puncaknya, Paul memperoleh tamparan dari suami Ann, George (Tim Roth, lama tidak melihat aksi actor ini). Naas bagi keluarga ini karena mereka tidak mengetahui dengan siapa mereka berurusan. George dan Ann serta anak mereka, Georgie (Devon Gearhart) yang bermaksud menikmati liburan justru mendapatkan siksaan demi siksaan kejam yang dianggap sebuah permainan “lucu” oleh dua pemuda sinting tersebut. Di awal, Ann sudah mencium sesuatu yang tidak biasa berkaitan dengan tetangga mereka, Fred (Boyd Gaynes), namun tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
Setelah insiden telur pecah, penonton diajak Michael Haneke untuk memasuki atmosfer terror yang menyesakkan dan mengejutkan. Mulai dari pembantaian anjing, pemukulan terhadap Geoorge yang meremukkan tulang kakinya, pelucutan pakaian Ann, hingga peluru yang menembus…..(it’s really really shocking!). Kekerasan demi kekerasan dari Peter dan Paul disuguhkan tanpa toleransi sama sekali. Atmosfer ini sedikit mengingatkan pada Saw jilid pertama.
Meski demikian, film ini meminimalisir visualisasi kekerasan. Satu satunya adegan yang mempertontonkan kekerasan yakni saat Ann menembak salah satu pelaku. Minimnya visualisasi kekerasan justru menimbulkan efek yang mengejutkan dan mengerikan. Minimnya musik pengiring makin membuat Funny Games terasa mencekam. Apalagi musik yang dipilih terasa tidak lazim di kuping. Haneke juga terampil mengatur ketegangan, terutama adegan ketika Georgie berusaha melepaskan diri.
Dan memang, Funny Games penuh dengan ketidaklaziman yang menjungkirbalikkan pola yang ada selama ini tertancap di otak penonton. Sejak film dibuka, kita disuguhi dengan gambar yang tidak biasa. Kamera bergerak di atas mengikuti obyek (mobil) yang bergerak. Gambar ini terlihat seperti sebuah lukisan dan seakan memperkenalkan kepada penonton pihak yang bakal menjadi “target” permainan. Opening tittle dan musik yang dihadirkan makin memperkuat ketidakbiasaan tadi.
Meski banyak menghadirkan kekerasan, film dibalut dengan penggunaan warna putih yang cukup dominant, yang membuatnya menghadirkan atmosfer berbeda dibanding film thriller kebanyakan. Komposisi gambar yang tidak biasa membawa penonton pada sebuah pengalaman visual yang cukup menyegarkan. Puncak ketidaklaziman hadir ketika hadir sebuah adegan yang menghancurkan harapan penonton. (Ampun! Adegan ini sukses membuat misuh-misuh). Belum lagi, pada beberapa adegan Michael Pitt mengerling dan menyeringai kearah kamera seakan mengejek penonton.
Dengan judul Funny Games, penonton benar-benar dibuat masuk ke dalam sebuah permainan tidak lucu dan cenderung kejam yang memposisikan kita (penonton) benar-benar sebagai penonton yang tidak punya kontrol. Analoginya begini, kita sedang menonton teman kita (Peter dan Paul) sedang bermain sebuah permainan (Ann sekeluarga). Jadi ketika Peter dan Paul melakukan sebuah kecurangan, kita hanya bisa mencemooh namun tidak bisa berbuat apa-apa karena keduanya yang memainkan permainan tersebut. Keduanya laksana “Tuhan” yang memegang kendali sepenuhnya. Suka-suka mereka wis…
Setelah menyaksikan film ini, terus terang muncul pertanyaan, apa sih maksud Michael Haneke menghadirkan sebuah tontonan yang tanpa toleransi sama sekali. Setelah mengubek-ubek kesana kemari, didapatkan dalam sebuah wawancara, kalau Haneke ingin menyuguhkan relevansi antara media dan kekerasan. Benarkah media punya peran dalam memunculkan perilaku beringas? Itulah mengapa ada televisi menyala dalam film ini untuk menggambarkan betapa televisi sudah merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia. Televisi (monitor) begitu menyita kehidupan manusia.
Meski didukung sedikit pemain, masing-masing cast mampu menampilkan permainan memikat. Duo Michael Pitt dan Brady Corbet sukses bertransformasi menjadi sosok sinting yang menyebalkan. Naomi Watts yang juga berperan sebagai produser, berhasil menampilkan sosok teraniaya yang mengibakan, begitupun Tim Roth. Sedangkan aksi actor cilik, Devon Gearhart, sangat meyakinkan dan alami.
Funny Games pada beberapa adegan terasa sangat nyata dengan membiarkan kamera diam (statis) menyoroti aksi para tokohnya. Pendekatan ini semakin membangkitkan perasaan miris di hati penonton. Di akhir film, kedua pemuda sinting tadi mendiskusikan tentang realita dan fiksi untuk selanjutnya melanjutkan aksi di rumah sebelah. Benar-benar tontonan sinting yang menghantui. Tidak heran beberapa pihak, slah satunya The Times, menempatkan film ini sebagai salah satu film terburuk 2008, meski tidak sedikit yang memuji film yang merupakan remake identik (shot to shot) dari film berjudul sama dan disutradarai oleh orang yang sama (rilis tahun 1997). Funny Games sayang dilewatkan, terutama bagi mereka yang selalu mencari sebuah pengalaman visual yang lain dari biasanya. 3,75/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket