Jumat, 31 Oktober 2008

PATHOLOGY

Jumat, 31 Oktober 2008


Profesi tenaga medis (entah dokter, perawat bidan atau yang lainnya) selalu dipandang sebagai profesi yang mulia. Keberadaan mereka yang bertujuan melawan penyakit dinilai sangat berarti. Belum lagi mereka diikat dengan kode etik yang ketat, dan juga sumpah atas profesi mereka. Namun perkembangan jaman kadang membentuk mereka (dan sebagian besar manusia0 tak ubahnya penyakit. Mungkin terlalu banyaknya motif dalam pilihan mereka.
Pathology mengisahkan seorang dokter muda bernama Ted Grey (Milo Ventimiglia). Sungguh beruntung si Ted ini, sudah tampan, cerdas dan etos kerja yang tidak perlu ditanyakan. Masih ditambah keberadaan tunangannya yang cantik dan sexy, Gwen (Alyssa Milano), lengkap sudah rasanya hidup Ted. Hidupnya mulai berubah ketika dia mulai bekerja di sebuah rumah sakit ternama sebagai pathologist.
Sedikit kurang paham juga dengan kata pathology ini, namun dari gambaran yang dihadirkan di film, seorang pathologist kerjanya “mengacak-acak” mayat untuk mengetahui sebab musabab kematiannya. Di tempat kerja barunya ini, kecemerlangan Ted mendapat tanggapan negative dari Jack Gallo (Michael Weston) dan rekan-rekannya yang cerdas dan berbakat. Namun melihat bakat yang ada, mereka mulai menerima Ted dengan motif tertentu.
Ted yang terpancing rasa penasaran terhadap kumpulan dokter muda tersebut, akhirnya tergoda untuk masuk. Selanjutnya Ted terseret dalam sebuah permainan berbahaya yang mengerikan yang mengusik moralnya. Satu persatu dari anggota kerlompok itu diwajibkan melakukan sebuah pembunuhan yang sempurna, untuk kemudian dianalisa oleh anggota yang lainnya. Sungguh sebuah permainan gila yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang cerdas dengan landasan moral yang lemah.
Pada akhirnya kita disuguhi adegan-adegan tubuh telanjang yang dikuliti, ditusuk dan diobok-obok. Para dokter muda nan cerdas namun “sakit” pada akhirnya malah menjadi penyakit itu sendiri, bukan sebagai penghalau penyakit. Di meja otopsi mereka memperlakukan mayat manusia tak ubahnya seonggok bangkai tak berguna. Untuk menambah kesan gila, terselip adegan mengkonsumsi narkoba dan pesta seks di ruang mayat. Termasuk perselingkuhan yang panas antara Ted dengan Juiliette (Lauren Lee Smith).
Ted yang mulai menyadari apa yang telah dia perbuat (telaaaat mas…!) memutuskan untuk keluar. Hal ini berarti Ted harus segera disingkirkan dan menjadi target pembunuhan yang sempurna. Ted yang tidak bodoh sudah bisa menduga hal ini. Sebelum mereka berhasil menyingkirkannya, ted sudah menyusun langkah untuk menghancurkan mereka. Ted berhasil, namun apakah masalah sudah selesai? Belum, karena ada satu orang yang berhasil lolos yang membuat jiwa Gwen menjadi terancam.
Menyaksikan Pathology, kita harus siap-siap mental melihat dengan apa yang disajikan di layar. Tubuh manusia yang disayat pisau, darah yang mengucur, kepala yang ditusuk benda tajam, leher yang ditebas pisau tajam, perut yang dihujam benda tajam, sampai organ dalam yang diiris ataupun dilempar menjadi tontonan memuakkan yang ditampilkan secara simultan oleh sineas Marc Schoelermann. Sungguh sebuah suguhan yang jauh dari nilaiestetika.
Belum cukup dengan bombardir gambar-gambar tubuh yang teracak-acak, kita juga disuguhi gelinjang tubuh indah para pemainnya, terutama Lauren Lee Smith. Bagi penonton perempuan penggila Milo Ventimiglia akan terpuaskan dengan pamer tubuhnya, baik yang setengah telanjang maupun yang telanjang. Alyssa Milano yang hadir sekedar menjadi pemanispun cukup royal memberikan tubuhnya untuk diacak-acak oleh Milo Ventimiglia.
Pada akhirnya Pathology tak ubahnya sebuah film gory murahan yang hanya mengumbar kengerian yang ditampilkan secara vulgar. Bahkan Saw (yang pertama) pun terlihat lebih baik dibandingkan dengan Pathology yang bisa dinilai satu level dengan Hostel. Naskahnya begitu lemah dan terlalu banyak lubang yang menyisakan pertanyaan, seperti bagaimana mungkin Jack mampu membunuh 3 orang sekaligus dengan begitu mudahnya atau bagaimana aktivitas mereka tidak terbongkar, mengingat mereka menggunakan lokasi dimana mereka bekerja. Dan masih banyak pertanyaan lain yang tidak mungkin diungkapkan semua disini. Belum lagi sosok Ted yang selalu tampil rapi, klimis, bening dan bersih hampir di semua kesempatan.
Dimasukkannya unsure seks yang lumayan banyak porsinya semakin menjerumuskan film ini ke level murahan. Memang akan memanjakan mereka yang menyukai ketelanjangan. Dan tidak bisa dipungkiri secara fisik, Lauren Lee Smith maupun Milo Ventimiglia sangat jauh dari mengecewakan. Namun kurang mempunyai kaitan yang kuat dengan alur utama dari cerita yang dihadirkan.
Sulit untuk memasukkan film ini ke jenis film apa. Sebagai sebuah thriller terlalu tanggung. Ketegangan yang ingin dihadirkan sangat tidak terasa sama sekali. Sebagai sebuah psychology thriller pun kurang kuat karena kurang menyoroti pertentangan batin para tokohnya, terutama Ted. Dengan tagline yang sebenarnya sudah kuat “every body has a secret” sebenarnya film ini bisa hadir lebih kuat lagi tanpa unsure seks yang berlebihan, dan ketegangannya tentu akan lebih terasa andai saja penulis cerita mampu mengemas permainan gila mereka dalam konflik yang lebih meyakinkan. Tempatkan Ted sebagai seorang pathologist yang bekerja untuk polisi sebagai contoh. Tentu akan terjadi “pertempuran” yang penuh ketegangan antara pathologist yang sehat dengan pathologist yang sakit. Seperti adu kecerdasan dalam film Death Note.
Namun demikian, Pathology bukannya tampil tanpa nilai tambah. Dari dialog yang ditampilkan terlihat riset serius yang dilakukan oleh penulis cerita Mark Neveldine dan Brian Taylor. Istilah didunia kedokteran berhamburan tanpa bisa dibendung. Sedikit pusing dengan istilah-istilah yang dihadirkan karena begitu asing di telinga dan sulit untuk diingat. namun paling tidak mampu menambahperbendaharaan kita.
Sekedar saran, jauhkan film ini dari mereka yang “sakit” mengingat banyaknya resep yang bisa dipakai untuk sebuah pembunuhan yang sempurna. Ada satu dialog yang sedikit mengusik nurani dan dialog tersebut sempat diulang beberapa kali yakni “We’re an animal” yang menjadi dasar perilaku gila para dokter gila tersebut. Kita memang sebangsa mamalia, tapi kita MANUSIA yang dianugerahi akal dan rasa, karenanya setiap bertindak harusnya dilandasi motif yang kuat, tidak bisa main – main, karena kadang bermain pun bisa sangat membahayakan. Dan apabila ada kelebihan, pergunakan untuk membuat hidup orang lain menjadi lebih baik, bukan malah menjadi penyakit. 2,25/5

2 komentar:

Beritaistic mengatakan...

ini film sadis banget sih >.<

Rusda Anjani mengatakan...

Memang sih, aku aja sampe takut banget, pas nonton full movie, layar hp nya aku tutup

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket