Kamis, 06 Maret 2008

Hwaryeohan hyuga ( MAY 18 )

Kamis, 06 Maret 2008

Entah ada apa dengan bulan Mei. Masih teringat dalam benak kita peristiwa kerusuhan Mei di tahun 1998 yang menelan begitu banyak korban dari etnis Tionghoa. Menyaksikan film May 18 ini mau tidak mau mengingatkan kembali peristiwa tersebut.

Sama dengan yang terjadi di Indonesia, bulan Mei menjadi bulan yang berdarah bagi negara Korea Selatan, khususnya bagi warga di kota Gwangju. Banyak korban melayang pada peristiwa bentrokan antara militer dengan penduduk sipil yang dituduh membangkang (pengkhianat). Peristiwanya sendiri berjalan selama 10 hari yang mencekam.

Mengambil sudut pandang dari beberapa tokoh, film ini mengajak kita untuk menyaksikan betapa hidup mereka berubah sejak 18 Mei, yakni ketika militer bertindak kelewat batas terhadap para pelajar yang melakukan demonstrasi. Apa yang disajikan di layar begitu brutal dan menghentak rasa kemanusiaan. Pada akhirnya pertanyaan klasik muncul dalam benak kita “Apakah kekerasan akan sanggup mengatasi suatu masalah?”

Pada awalnya kehidupan warga kota Gwangju digambarkan tentram dan damai. Kita diajak untuk melihat kasih sayang seorang kakak, Min-wu (Kim Sang-kyung) terhadap adiknya Jin-wu (Lee Jun-ki). Juga ada gadis cantik yang ditaksir Min-wu, Sin-ae (Lee Yo-won). Ketentraman hidup mereka terganggu ketika militer memasuki kota tersebut untuk menghalau para pelajar yang memprotes kudeta politik yang dilakukan oleh pimpinan militer. Para pelajar tersebut malah dituduh sebagai simpatisan komunis. sebuah tuduhan yang mengada – ada.

Selanjutnya kita disuguhi adegan – adegan yang brutal sekaligus mencekam. Kekejaman militer digambarkan lumayan frontal oleh sutradara Ji-hun Kim. Miris rasanya melihat apa yang ditampilkan di layar. Menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang dihadirkan, rasanya tidak dipercaya peristiwa tersebut “hanya” menelan korban sekitar 200-an jiwa, disamping lebih dari 900-an orang yang dinyatakan hilang.

Seperti umumnya film Korea Selatan lainnya, film ini pada beberapa bagian terasa membosankan. Belum lagi kehadiran dua karakter komikal yang lumayan menganggu irama film dengan aksi – aksi mereka yang tidak begitu penting. Naskah film ini bisa dibilang kurang maksimal. Kalau saja sutradara menitikberatkan pada beberapa karakter penting, tentu film ini akan terasa lebih dramatis dan lebih enak dinikmati. Sayang sekali, padahal sutradara terlihat sangat serius mempersiapkan setting untuk membawa penonton merasa terlibat dalam peristiwa yang terjadi. Mulai dari property senjata, sampai dengan banyaknya figuran yang terlibat.

Diluar fakta yang sebenarnya terjadi, film dengan genre seperti ini sangat layak untuk dibuat, terutama di Indonesia. Dibutuhkan keberanian dan riset yang mendalam untuk menghasilkan tontonan yang otentik sekaligus bisa dinikmati dengan enak. Selain itu, untuk mengingatkan kita agar peristiwa serupa tidak perlu terjadi kedepannya.

Film yang menghabiskan budget yang sangat besar untuk ukuran Korea Selatan ini menjadi salah satu film terlaris di tahun 2007. Bahkan mampu mengalahkan pemasukan “Live Free or Die Hard” dan “Ratatouille”. Bukti bahwa sebenarnya film – film bertema seperti ini juga mempunyai peminat, paling tidak untuk pasar domestic. 3/5


English


Hwaryeohan Hyga (May 18)


I do not know what happen in Mei. I’m still remember what had happened on 18th May that recall us on what had happened that day.
It’s the same on what happened in Indonesia, Mei is a bloody month to South Korean either, especially the people in Gwang Ju city. A lot of people died on the clash between the military with the civilization that accused as a threator. It’s happened for 10 days.
Taking from the different point of view of the characters, this film is taking us to witness how after May 18 their live have change. That the military side is acting over to the student that do the strike. And the end is that the classic questions that come up from our conscious, " Is the violence take care the problem?"
At previous time the live of the citizen of Gwangju is describing as a wealth and comfort city. We are taking to see the passion of carrying sister, Min Wu (Kim Sang Kyung) to her little brother (Lee Jun-Ki). And there is a beautiful girl that Min-wu has crush on, Sin-ae (Lee Yon Won). Their comfort is interrupted when the military side enter to the city to expel the student that do a protest to the political coup d’etat that done by the military side leader. The student is accused as the communist sympathizer, as a nonsense accused.
After that we are paced before the brutal scenes and grasp. The military side brutality is drawn frontally by the director, Ji-hun Kim. It’s pitty to see what was come up from the screen. Witness the violence and the cruel of the military side. And it’s unbelievable that what happened just taking about 200 people, and more than 900 people are missing.
Just like the other South Korean film, this film on several part seem so boring. Not the present of two comical characters that so unimportant. And the script is not optimally written. Just if the director take the point to some important character, of course the film is more enjoyable. It’s to shame, because the director is taking the setting of the film seriously, so the audience will able to interact with what really happened that day. From the weapon property, until there are so many figurant that involved.
Out side the fact what really happened, the film with this kind of genre is so proper to make, especially in Indonesia. Need courage and deep research to produce the authentic film and enjoyable to see as well. Besides that, to memorize that the tragedy should not be happen again in the future.
Film that spend so many budget for South Korean made this film as the top of box office in 2007. Even can pass the income of "Live Free or Die Hard" and " Ratatouille". It’s proof that this kind of film have the devotee, for the domestic market. 3/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket