Senin, 29 Oktober 2007

BLACK DAHLIA

Senin, 29 Oktober 2007

Apa yang terpikir di benak kalian ketika membaca sebuah judul? Entah itu judul buku, judul film ataupun judul yang lain. Ketika membaca sebuah judul, yang pertama terlintas dipikiran kita adalah bahwa isinya pasti berkaitan dengan judul yang tertera. Judul harusnya mampu merangkum tema utama yang ingin disampaikan oleh kreatornya. Tapi hal ini tampaknya tidak berlaku untuk The Black Dahlia, film arahan Brian de Palma. Terlihat sekali bahwa judul yang dicantumkan semata – mata untuk menarik orang untuk menonton film ini. Judul ini mengacu pada nama korban pembunuhan yang sampai saat ini belum terungkap siapa pelakunya, meskipun kasusnya timbul pada tahun 1947. Memang film ini mencoba mengangkat sisi lain dari peristiwa yang menewaskan Elizabeth “Betty” Short.


Membaca judul film ini, yang terbersit di benak penonton adalah film ini akan banyak mengulas profil si korban melalui penyelidikan – penyelidikan yang dilakukan oleh polisi pada waktu itu. Tapi ternyata film ini lebih focus kepada karakter dua polisi yang mengusut kasus tersebut. Black Dahlia akhirnya hanya menjadi sub plot dalam film ini.

Secara visual film ini sangat memanjakan mata. Brian de Palma menyajikan gambar – gambar dengan pencahayaan dan setting khas film noir. Terlihat jelas bahwa penata artistik di film ini bekerja dengan amat serius untuk membangun suasana tahun 1940 – an. Tak heran film ini mendapat nominasi Oscar untuk Penataan Artistik. Mulai dari kostum, make up dan properti yang dihadirkan benar – benar menguatkan film ini. Belum lagi para pemainnya yang berakting semi teatrikal yang memang banyak dijalani pada waktu itu. Film ini makin asyik di mata dengan kehadiran para pemainnya yang memang pas didandani ala 40 –an. Tapi penampilan paling asyik adalah si Mia Kishner yang tampil meyakinkan sebagai si korban. Pada salah satu adegan kita tidak bisa menebak apakah dia sedang di audisi atau sedang direkam apa adanya. Yang mengecewakan adalah Josh Harnett, yang entah kenapa di layar terlihat paling malas mengekspor karakternya.

Ada satu lagi hal menarik dari film ini, yakni pergerakan kamera yang asyik banget pada adegan – adegan tertentu, seperti adegan seorang wanita teriak minta tolong ataupun adegan pada saat jatuhnya Aaron Ekhart. Brian de Palma juga cukup piawai menjaga ketegangan film ini, meskipun setengah jam pertama berjalan kacau.

Yang menjadi kelemahan film ini adalah memang pada skripnya. Penonton di awal dibuat bingung dengan arah yang akan dituju. Baru setelah sekitar setengah jam kemudian arah film mulai terlihat jelas. Sebagai penonton, agak kecewa juga dengan fokus yang dipilih oleh penulis cerita. Hal ini diperparah lagi dengan ending film yang menurutku tidak cukup berharga untuk dijadikan penyelesaian, meskipun cukup mengejutkan juga. Tetapi sungguh mengesalkan mengetahui motif dari si pelaku, yang membuat film ini menjadi sedikit konyol menurutku.

Film ini diangkat dari novel tulisan James Ellroy dengan judul yang sama yang memilih untuk setia pada kenyataan bahwa kasus ini tidak pernah terungkap. Penulis skenario memilih untuk ”mengungkap” kasus ini. Mungkin akan lebih menarik kalau dia memilih setia pada novelnya. Bagi pecinta film semacam Wild Things, film ini lumayan mengobati kerinduan akan jenis film yang penuh dengan tipu menipu, seks dan darah. Bonus: dikemas dengan indah.

Rating : 3/5

0 komentar:

Posting Komentar

 
GILA SINEMA. Design by Pocket